Semalam setelah menerima telepon yang entah dari siapa, Mas Fahmi langsung berpamitan kepadaku. Sudah kutanya, ia akan ke mana, tetapi hanya dijawab ke tempat saudara.
Awalnya aku keberatan ditinggal sendirian, tetapi karena Mas Fahmi berjanji akan segera kembali, aku pun mengizinkan. Namun kenyataannya, sampai hari berganti pun, Mas Fahmi tak kunjung pulang.
Telah kuhubungi nomornya berkali-kali, tetapi lagi-lagi seperti seorang yang melarikan diri, ponselnya mendadak tak dapat dihubungi.
“Sudah, Va! Mungkin Mas Fahmi masih ada urusan. Paling nanti juga pulang,” kataku, mencoba berpositif thinking. Mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang sempat hilir mudik dalam pikiran.
Dengan cepat, lekas kupakai kerudung berwarna khaki seperti warna seragamku. Aku harus segera berangkat karena hari ini hari Senin dan itu artinya akan dilaksanakan upacara, seperti biasanya.
Selepas memastikan semua barang-barang telah kubawa, pun buku-buku telah kumasukkan ke dalam tas, kuberjalan ke arah pintu keluar. Kukunci pintu dan menaruhnya di balik pot bunga, tempat biasa aku dan Mas Fahmi menaruh kunci.
Masih dengan perasaan yang gamang, kucoba mengucap bismillah dan bergegas meninggalkan rumah. Kubuka ponselku kemudian kupesan ojek online karena kendaran satu-satunya yang kami miliki yaitu mobil dibawa Mas Fahmi ke rumah saudaranya.
Akhirnya, setelah sepuluh menit menunggu, Mas ojol pun tiba dan tanpa berbasa-basi lekas diantarnya aku ke SDN 3 Solah, tempat di mana aku mengajar.
Sekitar dua puluh menit perjalanan, motor pun berhenti di depan gerbang SDN 3 Solah. Kubuka helm dan lekas turun dari motor.
“Ambil saja kembaliannya, Mas,” kataku sambil menyerahkan uang senilai tiga puluh ribu.
Selepas berterima kasih dan menyerahkan helm, cepat kubawa kaki masuk menuju gerbang sekolah karena bel pertanda akan dimulainya upacara telah terdengar.
‘Bismillah. Mas Fahmi pasti akan pulang, Va. Kamu harus percaya sama dia. Dia mencintaimu. Dia tak mungkin berkhianat. Ayo, semangat! Kamu harus profesional,' ucapku menyemangatkan diri.
Tak peduli sudah berapa kali aku menyemangati diri dan mencoba menjalankan tugasku seprofesional mungkin, sesekali masalah akan Mas Fahmi datang membayang.
Hingga sampai bel terakhir, pertanda berakhirnya persekolahan berbunyi pum, aku masih terus memikirkan suamiku.
Di manakah ia sekarang? Akankah ia pulang? Sudahkan ia makan? Dan sedang bersama siapakah ia?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus kurapalkan dalam hati sampai tak sengaja kudengar notifikasi dari salah satu aplikasi yang ada di ponselku.
Tak menunggu lama, lekas kubuka gawaiku dan sejurus kemudian senyum lebar merekah begitu saja di bibirku.
[Sayang, lima belas menit lagi Mas nyampe sekolahan. Mas jemput kamu. Tunggu, ya!]
Betapa hati yang tadinya gamang, kini berubah menjadi riang.
Tanpa menunggu apa pun, segera, kubalas pesannya Mas Fahmi.
[Siap, Mas. Adek tunggu di depan.]
Kumasukkan buku-buku dan lembar pekerjaan siswa ke dalam tas kemudian bangkit dari kursi dan kubawa kaki keluar ruang guru.
“Mau pulang, Bu Eva? Mau bareng tidak, kebetulan kita searah,” ucap Pak Robi yang juga adalah guru di sekolah tempat kumengajar.
“Terima kasih, Pak. Tapi, Maaf. Saya sudah dijemput sama Mas Fahmi.”
Kupaksakan seulas senyum sebagai penutup ucapan.
“Oalah, saya kira enggak dijemput. Kalau begitu saya duluan ya, Bu. Mari.”
Lagi-lagi, hanya kupaksakan sudut bibirku terangkat sebagai balasan. Tak berselang lama dari kepergian Pak Robi, aku pun kembali melanjutkan langkahku ke arah gerbang sekolah dengan senyum yang tak henti-hentinya tersungging di bibir.
“Adek, sebelah sini!”
Kulihat Mas Fahmi berteriak sembari melambai-lambaikan tangannya. Tanpa berdiam diri lagi, kuangkat kaki menghampirinya.
“Sini, tasnya biar Mas aja yang bawain,” ujarnya setelah aku sampai di dekatnya.
“Enggak usah, Mas. Biar Adek aja. Nggak berat kok.”
Mas Fahmi mengangguk dan memimpinku berjalan ke arah mobil. Namun, bukannya mengekor, aku justru mematung.
Dadaku tiba-tiba terasa sesak sekali. Bahkan hanya untuk menarik napas saja rasanya susah.
“Dek, kenapa diam di situ. Ayo pulang!”
Mas Fahmi berteriak karena mungkin supaya suaranya bisa kudengar. Namun, jangankan melangkah, bergerak dari tempat saja, aku tak ingin. Takut bila apa yang kusangkakan benar adanya.
“Hei..., sayang! Kamu kenapa? Hei, lihat Mas,” ujarnya sambil mengangkat ujung daguku supaya kami bisa beradu pandang.
Iya, benar. Mas Fahmi kembali menghampirimu padahal tinggal beberapa langkah lagi, ia akan sampai mobil.
“Mas jujur sama Adek, Mas sebenarnya dari mana? Kenapa ada bau parfum perempuan di tubuh, Mas?”
Aku memukul-mukul tubuh Mas Fahmi, tetapi suamiku itu hanya diam saja. Tak sedikit pun melawan atau pun menghentikan pukulanku.
“Kenapa Mas hanya diam saja? Apa dugaan Adek benar kalau Mas seling---”
“Kita bicara di rumah ya, Dek? Di sini banyak orang. Nggak enak dilihat. Mas akan jelaskan semuanya.”
Dengan patuh, kuanggukkan kepala karena malu juga dilihat murid-murid dan rekan-rekan guru lainnya bila aku harus berkelahi dengan suami di pinggir jalan.
Sebagai seorang pendidik mestinya aku harus mencontohkan prilaku yang baik-baik, bukan malah menunjukkan sesuatu yang buruk kepada siswa-siswaku.
Selama perjalanan menuju rumah aku memilih tak berbicara sedikit pun. Begitu halnya dengan Mas Fahmi. Ia juga terdiam membisu.
Sekitar dua puluh menit perjalanan, kami pun tiba di rumah. Mobil terhenti di depan halaman. Tanpa diperintah, aku segera turun dari mobil. Meninggalkan Mas Fahmi yang masih terdiam.
Kucari kunci rumah di tempat biasa dan dengan cepat kubuka pintu. Berjalan masuk begitu saja, setelah sebelumnya kuucapkan salam.
“Dek, tunggu! Kamu harus dengar penjelasan Mas dulu!”
Langkahku terhenti, tetapi aku tak sedikit pun menoleh ke arah Mas Fahmi.
“Duduk dulu, ya. Kita bicarakan baik-baik,” perintahnya sambil membawaku duduk di sofa ruang tamu karena ruangan itulah yang paling dekat sekarang.
Aku duduk di sebelah kanan Mas Fahmi dan masih terdiam. Tentu, sekarang aku tak ingin berkata apa pun karena aku hanya akan berperan sebagai pendengar.
“Dek...,” kata Mas Fahmi, lalu menghadapkan sebagian tubuhku supaya melihat ke arahnya.
“Tatap Mas, Dek! Mas nggak mau kamu terus-terusan kayak gini!”
Akhirnya, dengan pelan kuangkat wajahku. Menatap tepat di netra hitam suamiku.
“Siapa perempuan itu?” ucapku tegas meski dadaku terasa sesak luar biasa.
“Dia istri mendiang Kakakku, Dek. Namanya Safna.”
“Ada urusan apa Mas sama dia? Kenapa Mas malam-malam harus pergi ninggalin Adek sendirian? Bahkan sampai pagi nggak pulang-pulang?”
Pecah sudah tangis yang sejak tadi kutahan. Sungguh menyakitkan rasanya mengetahui Mas Fahmi yang lebih memilih wanita lain dan meninggalkan aku sendirian semalam.
“Safna habis melahirkan, Dek. Dia memerlukan seseorang di sampingnya. Karena Kakak Mas sudah meninggal, Mas yang menggantikan posisinya sementara. Dia yatim piatu, Dek. Tak juga punya saudara. Hanya Mas yang dia punya. Jadi, Mas mohon, Adek ngertiin keadaan Mas, ya.”
Mas Fahmi memegang tanganku dan menatapku dalam. Wajah tampannya terlihat kelelahan, bahkan tampak pucat. Aku menduga suamiku itu tak tidur semalaman. Mungkin, karena harus menunggu istri kakak iparnya itu.
“Adek ingin ketemu sama dia. Adek akan tanya langsung sama dia karena Adek belum sepenuhnya percaya dengan apa yang Mas katakan,” ucapku masih dengan nada suara yang terdengar ketus.
Bukannya melarang atau apa, Mas Fahmi malah tersenyum. Senyum kelegaan terpancar jelas di wajahnya.
“Besok Minggu, Mas akan bawa Adek buat ketemu Safna. Adek bisa buktikan sendiri kalau Mas nggak bohong sama kamu, sayang.”
Setelah mengatakan itu, Mas Fahmi langsung membawaku ke pelukannya. Pelukan hangat yang selalu aku rindukan.
Untuk sejenak, aku membiarkan Mas Fahmi memelukku, menyalurkan bahasa tubuh yang mungkin tak kan mampu terucap dengan bahasa lisan. Dan aku berdoa, semoga pelukan hangat Mas Fahmi selalu bisa aku rasakan. Baik sekarang, esok, hingga sampai di masa depan nanti.
Next....
Tiga hari berlalu semenjak Mas Fahmi menjelaskan tentang wanita yang bernama Safna itu. Selama itu juga aku mendiami Mas Fahmi. Mendiami maksudku ialah dengan tak banyak bicara padanya. Paling hanya bicara secukupnya, bila menyangkut perkara penting saja. “Dek, Mas antar, ya?”“Nggak usah. Adek bisa berangkat sendiri," ucapku ketus sambil memalingkan muka darinya.Setelah menolak tawaran Mas Fahmi, aku lantas mengambil tasku. Bersikap-siap berangkat. Hari ini aku ada jam pertama. Jadi, harus cepat.“Adek mau salim,” kataku datar sambil mengulurkan tangan kepada Mas Fahmi yang masih berkutat dengan sarapannya.Yah, meski tengah kesal, aku masih tahu norma. Mas Fahmi tetaplah suamiku yang harus kuhormati baik saat aku tengah marah atau tidak.Setelah mencium tangan Mas Fahmi, aku langsung bergegas menuju pintu keluar. Tak lupa kuucapkan salam padanya.“Adek kan udah bilang Mas, Adek nggak mau diantar.”Aku berucap demikian karena kulihat Mas Fahmi kini mengekor di belakangku, padahal
Kudorong gerbang rumah pelan lalu menutupnya rapat kembali. Mengangkat kaki sampai ke pintu rumah yang masih tertutup. “Assalamualaikum. Mas..., Mas Fahmi...” panggilku setelah membuka pintu. Namun hening. Tak kudapati balasan. “Mungkin Mas lagi di kamar,” kataku sambil mangut-mangut dan melangkahkan kaki menuju kamar. Akan tetapi, lagi-lagi tak kutemukan siapa pun di sana. “Ya Allah Mas Fahmi ke mana? Apa jangan-jangan dia pergi karena kesal sama aku?” Dengan segera, aku berlari ke arah lemari baju Mas Fahmi. Aku berniat mengecek apakah pakaian Mas Fahmi masih tertata di sana ataukah tidak. “Alhamdulillah, masih,” ucapku setelah membuka lemari pakaian milik suamiku. “Kalau Mas Fahmi nggak pergi, terus dia ke mana?” Kembali kulangkahkan kaki menuju bagasi. Aku ingin melihat apakah mobil masih berada di sana. “Kosong.” Ya, bisa kulihat. Bagasi sempit yang hanya memuat mobil kami itu kini terlihat lenggang karena si mobil telah entah ke mana dibawa. “Berati Mas Fahmi lagi pe
Berulang kali kutengok jam dinding yang ada di atas TV. Malam semakin larut, tetapi Mas Fahmi tak kunjung pulang. Kini, ponselnya bahkan tak lagi aktif. “Mas, kamu di mana? Kenapa sampai sekarang nggak pulang? Apa Mas lupa kalau kamu sudah janji sama Adek akan segera pulang?”Aku terus saja berbicara. Padahal tak ada seorang pun di sekitarku. Kecuali daripada siaran televisi yang sudah kuputar sejak beberapa jam lalu. Hanya untuk mengusir sepi dan kebosanan karena ditinggal suami tersayang.“YA ALLAH....” pekikku saat lampu tiba-tiba mati. Seketika ruangan berubah gelap.Meski takut, aku mencoba berdiri dari tempat duduk. Pelan-pelan kulangkahkan kaki. Aku harus mencari senter atau apa pun itu yang bisa dijadikan sumber penerangan.Drt..., Drt..., Drt...Ponsel yang ada di atas meja bergetar. Sejurus, aku lupa kalau ternyata aku memiliki gawai yang bisa kujadikan sebagai lampu.Kuraih gadget-ku dan dengan cepat kuangkat telefon yang masuk.“Waalaikumussalam, Mas. Mas Fahmi kapan pula
“Aku kakak iparmu, Fahmi. Kamu tak boleh seperti ini terus. Lupakan aku! Kamu sudah punya Eva di sisimu.” “Kamu tak berhak memaksaku, Na. Hatiku hanya mau kamu. Bukan yang lain.”“Fahmi cukup! Kamu sudah menikah dan aku sudah memiliki anak. Hubungan kita telah berakhir!”“Aku akan ceraikan Eva bila itu bisa membuatmu kembali padaku, Na. Lagi pula, Mas Farhan sudah meninggal. Kita bisa menikah dan hidup bahagia mulai sekarang.”“Gila kamu Fahmi. Kamu kira menikah hanya untuk main-main? Apa kamu tak peduli sedikit pun dengan perasaan istrimu? Berhenti sakiti dia Fahmi. Dia mencintaimu.”“Menikahlah denganku, Na. Maka Eva tak akan menderita lagi. Dia akan aku ceraikan. Dia bisa menikah kembali karena seperti katamu dia tipe istri idaman yang bisa dengan mudah mencari penggantiku. Dan aku yakin, dia tak tulus mencintaiku karena kami hanya baru menikah beberapa bulan. Aku yakin, cepat atau lambat Eva akan bisa melupakanku.”“Sungguh gila kamu Fahmi. Benar-benar tak waras.”“Aku gila karen
“Mas Fahmi tak perlu repot-repot mengantarku balik. Karena aku bisa pulang sendiri ke rumah orang tuaku. Aku yang akan jelaskan semuanya. Mas juga nggak usah susah-susah memberi orang tuaku uang karena aku masih bisa menafkahi mereka. Alhamdulillah, gajiku yang sedikit itu masih bisa kuberikan kepada mereka. Mas gunakan saja uang Mas untuk keperluan pernikahan kalian. Semoga bahagia dengan keluarga baru, Mas. Aku pamit.”Tanpa menunggu jawaban apa pun dari mereka, segera kupaksa langkahku keluar ruangan. Tak peduli dengan kakiku yang semakin melemas, takpeduli dengan kepalaku yang bertambah pusing, tak peduli dengan demamku yang kian tinggi, dan tak peduli dengan air mata yang terus bersimbah, aku terus dan terus memacu laju kakiku.Sesekali aku berhenti. Bukan karena lelah atau apa. Tetapi karena berharap barang kali Mas Fahmi akan mengejar dan menghentikanku. Namun, lagi-lagi aku harus kembali mengubur khayalanku dalam-dalam karena sampai aku keluar dari pintu utama rumah sakit pun,
Satu tahun kemudian....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”Khuk...Khuk...Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga...”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku. Aku aka
Satu tahun kemudian ....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”uhuk ... uhuk ....Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga ....”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku.
"Akh ... rasanya benar-benar mau gila. Kepalaku hampir pecah dibuatnya."“Sudahlah, Va. Jangan marah terus. Toh, niatnya Pak Dion juga baik.”Iya. Apa yang dikatakan Ara benar. Pak Dion sengaja membawaku ke ruangan semacam UKS itu hanya karena ingin memberiku beberapa obat dan vitamin. Orang yang menabrakku di depan toilet waktu itu adalah Pak Dion sehingga ia tahu bahwa hari ini aku sedang tak enak badan.“Tapi, tetap aja caranya nggak ke gitu juga, Ar. Padahal dia tahu kalau aku sakit, tetapi kenapa dia malah ngusir aku dari kelasnya? Bikin kesal aja.”“Ya mungkin ... biar kamu nggak pusing-pusing mikirin pelajaran, Va. Makanya, Pak Dion nyuruh kamu keluar dan bawa kamu ke UKS.”“Tapi, tetap aja sal—“Drt ... drt ... drt ....“Sebentar, Ar. Aku terima telepon dulu,” ucapku setelah melihat ponsel di meja berdering.“Dari siapa?” tanya Ara. Mungkin penasaran karena melihat keningku yang mengerut.“Dari, Ibu. Bentar, ya.”Aku langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan menjauh beb
“Sa-saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu kemari. Ini kucing saya lagi rewel,” ucap Pak Dion setelah menghadap mahasiswanya. Laki-laki itu tidak langsung berdiri karena sepertinya dia sengaja ingin menyembunyikan tubuhku. Ya, punggung lebarnya yang kokoh itu memang sangat cukup menutupi tubuhku yang mungil ini. Meskipun orang berdiri tepat di hadapan kami sekali pun, mereka tetap tak akan melihat apa pun. Karena seperti kataku tadi, tubuh tegap Pak Dion menghalangi pandangan mereka untuk melihatku. “Ba-ik kalau begitu, Pak. Saya pikir Pak Dion kenapa-kenapa.” “Saya baik-baik saja. Jadi, kamu bisa duduk kembali. Saya masih harus menenangkan kucing saya dulu. Dari tadi dia rewel terus.” Kali ini Pak Dion telah bangkit dari duduknya, tetapi laki-laki itu masih berdiri tepat di depanku. Mungkin, dosen gila itu masih menunggu mahasiswanya kembali ke tempat duduknya baru kemudian dia akan berlalu dari hadapanku. “Pak, kucingnya perlu dipeluk kali. Makanya rewel gitu. Soalnya, saya jug
Mataku masih ingin terus terpejam, tetapi telingaku terusik oleh suara-suara yang begitu berisik. Aw ... pinggangku terasa nyeri. Begitu pun dengan punggungku. Rasanya, seluruh badanku hampir remuk redam. “Baik, mahasiswa sekalian. Hari ini, kita lanjutkan materi kita pada pertemuan sebelumnya. Coba sekarang perhatikan di layar ....”Langsung membekap mulutku setelah sadar akan apa yang terjadi. Aku baru ingat jika kemarin aku bersembunyi di kolong meja dosen untuk menghindar dari laki-laki gila itu. Dan sekarang aku masih terjebak di sini. Astaga ... bagaimana caranya aku keluar dari sini? Aku nggak mungkin menunggu sampai jam kuliah selesai, kan? Serius. Itu sama sekali nggak lucu. Badanku sudah pegal-pegal. Perutku juga sudah meronta-ronta minta diisi. Tapi, kalau tiba-tiba aku keluar dari bawah meja ini, pasti akan langsung geger seisi kelas. Jadi, mau tak mau, dengan penuh rasa terpaksa aku harus menunggu sampai kelas ini bubar. Melirik jam tangan yang masih melingkar di tan
"Akh ... rasanya benar-benar mau gila. Kepalaku hampir pecah dibuatnya."“Sudahlah, Va. Jangan marah terus. Toh, niatnya Pak Dion juga baik.”Iya. Apa yang dikatakan Ara benar. Pak Dion sengaja membawaku ke ruangan semacam UKS itu hanya karena ingin memberiku beberapa obat dan vitamin. Orang yang menabrakku di depan toilet waktu itu adalah Pak Dion sehingga ia tahu bahwa hari ini aku sedang tak enak badan.“Tapi, tetap aja caranya nggak ke gitu juga, Ar. Padahal dia tahu kalau aku sakit, tetapi kenapa dia malah ngusir aku dari kelasnya? Bikin kesal aja.”“Ya mungkin ... biar kamu nggak pusing-pusing mikirin pelajaran, Va. Makanya, Pak Dion nyuruh kamu keluar dan bawa kamu ke UKS.”“Tapi, tetap aja sal—“Drt ... drt ... drt ....“Sebentar, Ar. Aku terima telepon dulu,” ucapku setelah melihat ponsel di meja berdering.“Dari siapa?” tanya Ara. Mungkin penasaran karena melihat keningku yang mengerut.“Dari, Ibu. Bentar, ya.”Aku langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan menjauh beb
Satu tahun kemudian ....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”uhuk ... uhuk ....Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga ....”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku.
Satu tahun kemudian....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”Khuk...Khuk...Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga...”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku. Aku aka
“Mas Fahmi tak perlu repot-repot mengantarku balik. Karena aku bisa pulang sendiri ke rumah orang tuaku. Aku yang akan jelaskan semuanya. Mas juga nggak usah susah-susah memberi orang tuaku uang karena aku masih bisa menafkahi mereka. Alhamdulillah, gajiku yang sedikit itu masih bisa kuberikan kepada mereka. Mas gunakan saja uang Mas untuk keperluan pernikahan kalian. Semoga bahagia dengan keluarga baru, Mas. Aku pamit.”Tanpa menunggu jawaban apa pun dari mereka, segera kupaksa langkahku keluar ruangan. Tak peduli dengan kakiku yang semakin melemas, takpeduli dengan kepalaku yang bertambah pusing, tak peduli dengan demamku yang kian tinggi, dan tak peduli dengan air mata yang terus bersimbah, aku terus dan terus memacu laju kakiku.Sesekali aku berhenti. Bukan karena lelah atau apa. Tetapi karena berharap barang kali Mas Fahmi akan mengejar dan menghentikanku. Namun, lagi-lagi aku harus kembali mengubur khayalanku dalam-dalam karena sampai aku keluar dari pintu utama rumah sakit pun,
“Aku kakak iparmu, Fahmi. Kamu tak boleh seperti ini terus. Lupakan aku! Kamu sudah punya Eva di sisimu.” “Kamu tak berhak memaksaku, Na. Hatiku hanya mau kamu. Bukan yang lain.”“Fahmi cukup! Kamu sudah menikah dan aku sudah memiliki anak. Hubungan kita telah berakhir!”“Aku akan ceraikan Eva bila itu bisa membuatmu kembali padaku, Na. Lagi pula, Mas Farhan sudah meninggal. Kita bisa menikah dan hidup bahagia mulai sekarang.”“Gila kamu Fahmi. Kamu kira menikah hanya untuk main-main? Apa kamu tak peduli sedikit pun dengan perasaan istrimu? Berhenti sakiti dia Fahmi. Dia mencintaimu.”“Menikahlah denganku, Na. Maka Eva tak akan menderita lagi. Dia akan aku ceraikan. Dia bisa menikah kembali karena seperti katamu dia tipe istri idaman yang bisa dengan mudah mencari penggantiku. Dan aku yakin, dia tak tulus mencintaiku karena kami hanya baru menikah beberapa bulan. Aku yakin, cepat atau lambat Eva akan bisa melupakanku.”“Sungguh gila kamu Fahmi. Benar-benar tak waras.”“Aku gila karen
Berulang kali kutengok jam dinding yang ada di atas TV. Malam semakin larut, tetapi Mas Fahmi tak kunjung pulang. Kini, ponselnya bahkan tak lagi aktif. “Mas, kamu di mana? Kenapa sampai sekarang nggak pulang? Apa Mas lupa kalau kamu sudah janji sama Adek akan segera pulang?”Aku terus saja berbicara. Padahal tak ada seorang pun di sekitarku. Kecuali daripada siaran televisi yang sudah kuputar sejak beberapa jam lalu. Hanya untuk mengusir sepi dan kebosanan karena ditinggal suami tersayang.“YA ALLAH....” pekikku saat lampu tiba-tiba mati. Seketika ruangan berubah gelap.Meski takut, aku mencoba berdiri dari tempat duduk. Pelan-pelan kulangkahkan kaki. Aku harus mencari senter atau apa pun itu yang bisa dijadikan sumber penerangan.Drt..., Drt..., Drt...Ponsel yang ada di atas meja bergetar. Sejurus, aku lupa kalau ternyata aku memiliki gawai yang bisa kujadikan sebagai lampu.Kuraih gadget-ku dan dengan cepat kuangkat telefon yang masuk.“Waalaikumussalam, Mas. Mas Fahmi kapan pula
Kudorong gerbang rumah pelan lalu menutupnya rapat kembali. Mengangkat kaki sampai ke pintu rumah yang masih tertutup. “Assalamualaikum. Mas..., Mas Fahmi...” panggilku setelah membuka pintu. Namun hening. Tak kudapati balasan. “Mungkin Mas lagi di kamar,” kataku sambil mangut-mangut dan melangkahkan kaki menuju kamar. Akan tetapi, lagi-lagi tak kutemukan siapa pun di sana. “Ya Allah Mas Fahmi ke mana? Apa jangan-jangan dia pergi karena kesal sama aku?” Dengan segera, aku berlari ke arah lemari baju Mas Fahmi. Aku berniat mengecek apakah pakaian Mas Fahmi masih tertata di sana ataukah tidak. “Alhamdulillah, masih,” ucapku setelah membuka lemari pakaian milik suamiku. “Kalau Mas Fahmi nggak pergi, terus dia ke mana?” Kembali kulangkahkan kaki menuju bagasi. Aku ingin melihat apakah mobil masih berada di sana. “Kosong.” Ya, bisa kulihat. Bagasi sempit yang hanya memuat mobil kami itu kini terlihat lenggang karena si mobil telah entah ke mana dibawa. “Berati Mas Fahmi lagi pe