“Kalau boleh tahu Kak Aan ada maksud apa datang kemari?” tanyaku langsung pada intinya. Aku tak ingin membuat Mas Fahmi menunggu terlalu lama sampai mengira ada apa-apa di antara aku dan Kak Aan.
Bila ada yang penasaran dengan siapa Kak Aan? Dia adalah anak dari sahabat baik Ibuku. Laki-laki yang berprofesi sebagai polisi itu adalah pria yang sempat digadang-gadang menjadi jodohku.
Selain karena memang orang tuaku dan Kak Aan menginginkan kami menjadi sepasang suami-istri, aku juga pernah menaruh hati padanya.
Kalau boleh jujur, kami dulu cukup dekat, bahkan sampai pernah menjalani ta’aruf dan Kak Aan sendiri berjanji akan melamarku.
Namun, entah karena apa alasannya, Kak Aan tiba-tiba menghilang tanpa kabar, meninggalkanku tepat sehari sebelum proses lamaran dilakukan. Bahkan sampai sekarang laki-laki di depanku ini belum juga menjelaskan alasan sebenarnya.
Namun, bukan berarti aku mengharapkan penjelasan. Tidak. Terserah apa pun yang kemungkinan menjadi penyebabnya, aku sudah tak ingin tahu karena hubunganku dengan Kak Aan sudah berakhir tepat di hari laki-laki itu membatalkan lamaran kami.
Dan sekarang aku sudah bersuami. Telah ada Mas Fahmi yang sangat amat menyayangiku. Pun halnya denganku. Aku sangat mencintainya.
“Kamu apa kabar, Va?” tanya Kak Aan sendu. Sorot matanya tak sedikit pun terlihat bahagia. Namun, itu bukanlah urusanku. Jadi, aku tak harus mengkhawatirkannya bukan?
“Baik, alhamdulillah,” jawabku singkat.
“Maaf, Kak. Aku bukannya bermaksud gimana-gimana, tapi ini sudah terlalu larut untuk mengobrol. Aku juga sudah mengantuk. Jadi, apa Kak Aan bisa langsung ke intinya saja?” sambungku kemudian.
“Va..., apa besok aku boleh antar kamu kerja. Ada hal yang harus aku jelaskan. Tentang alasan kenapa aku membatalkan acara lamaran kita.”
Padahal baru tadi aku membatin untuk tak ingin berurusan lagi dengan alasannya yang entah apa itu.
“Maaf, Kak. Aku tak---“
“Silakan kopinya diminum dulu,” kata Mas Fahmi yang tiba-tiba datang sambil membawa secangkir kopi untuk Kak Aan sehingga ucapanku pun terpotong.
“Mas kenapa nggak suruh Adek aja? Kan itu tugas Adek, bukan tugas Mas,” ucapku sedikit merajuk. Merasa kesal karena telah merepotkan suami.
Mendapati aku yang seperti itu membuat Mas Fahmi duduk di sampingku.
“Hei, Sayang..., nggak papa. Mas cuma buat kopi. Mas nggak merasa direpotin. Kan Adek lagi ngobrol tadi. Masak Mas harus minta Adek yang buatin kopinya. Sudah ya jangan ngambek lagi.”
Dengan pelan, Mas Fahmi membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. Akh, Mas Fahmi memang suami idaman, aku sangat amat beruntung menikah dengannya. Ia selalu tahu caranya melenyapkan emosiku.
“Ekhm...”
Mas Fahmi dan aku seketika tersadar kalau di depan kami ternyata masih ada Kak Aan. Dengan malu-malu, kulepaskan pelukan Mas Fahmi dan kutundukkan wajah.
Aduh, apa sekarang wajahku tengah memerah? Karena bisa kurasakan hawa panas di seluruh pipiku.
“Va, apa Kakak boleh minta nomor ponselmu? Supaya kapan-kapan Kakak bisa menghubungimu,” ucap Kak Aan dengan santainya.
‘Hah? Ini laki-laki berani banget. Minta nomorku di depan Mas Fahmi? Lagi pula, Kak Aan nggak sadar atau emang dia pura-pura amnesia kalau aku sudah menikah. Benar-benar heran dah. Jangan bilang kalau dia tetap mau berusaha dekatin aku lagi? Pasti nggak kan?’
“Mana ponselmu?” tanya Mas Fahmi tiba-tiba.
Sekilas aku melirik suamiku, bahkan sampai kugenggam tangannya erat-erat seolah meminta penjelasan.
Mas Fahmi enggak mungkin kasih nomorku sama Kak Aan kan? Akh, lagi-lagi aku hanya bisa bertanya pada diri sendiri.
“Mas, jangan dikasih!” bisikku pelan dan semoga saja, Kak Aan tak mendengar apa yang aku katakan.
“Ini,” ucap Kak Aan lantas menyodorkan ponselnya kepada Mas Fahmi.
Mas Fahmi meraih gawai Kak Aan dan langsung mengetikkan urutan angka-angka. Aku berdoa semoga Mas Fahmi tidak menuliskan nomorku.
“Itu nomor saya. Saya sudah menyimpannya. Kalau ada hal yang ingin kamu bicarakan dengan Eva kamu hubungi saja saya. Kamu tak perlu khawatir, insyaallah saya amanah. Saya akan sampaikan semua yang ingin kamu katakan kepada istri saya,” terang Mas Fahmi sambil menyerahkan kembali ponsel Kak Aan kepada empunya.
Tanpa diminta seulas senyum langsung merekah di sudut-sudut bibirku. Kutatap Mas Fahmi kemudian kuucap kata makasih tanpa bersuara.
Mas Fahmi hanya mengangguk kecil dan ikut tersenyum lebar.
“Baiklah. Tak masalah. Segini saja sudah cukup,” ucap Kak Aan.
Kak Aan melirik arlojinya dan tanpa basa-basi lagi ia berucap, “Va, aku pulang dulu ya,” katanya sambil menatapku.
Memang cari gara-gara ni orang, padahal jelas-jelas di sampingku ada Mas Fahmi, tetapi kenapa cuma aku tempat dia berpamitan. Semestinya sama Mas Fahmi juga, kan? Seolah-olah Mas Fahmi tak dia akui keberadaannya.
“Iya, silakan. Lagi pula, bukannya tak elok bila bertamu di rumah orang selarut ini? Apalagi dengan maksud yang belum jelas,” timpal Mas Fahmi sedikit ketus.
Aku pikir, Kak Aan akan malu sehingga jera dengan tingkah gilanya itu, tetapi buktinya tidak.
Laki-laki itu hanya tersenyum tipis dan kembali mengangkat suaranya sembari menatapku, “ Ya udah, Va. Aku pamit. Selamat tidur. Semoga kita ketemu besok pagi,” ucapnya, lantas bangkit dari sofa dan tanpa mengucap salam, Kak Aan langsung pergi begitu saja. Tentu tanpa menoleh atau pun berpamitan kepada Mas Fahmi.
“Apa dia benar seorang polisi, Dek?” tanya Mas Fahmi seraya menatap punggung Kak Aan yang kini sudah mulai tak terlihat lagi.
“Mungkin dulu iya, Mas, tapi sekarang entah. Adek nggak yakin,” jawabku asal.
Kulihat suamiku menghela napasnya sambil menatapku intens.
“Mas kenapa? Kok natap Adek segitunya?”
“Emang nggak boleh? Giliran sama laki-laki lain aja boleh. Masak sama suami sendiri nggak boleh?”
Sejenak aku melongo, tetapi kemudian sudut bibirku terangkat membentuk senyuman.
“Mas cemburu ya?” ledekku sambil terus senyum-senyum.
“Enggak. Mas nggak cemburu,” elaknya sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Jangan bohong, Mas. Adek tahu, Mas pasti cemburu kan?"
“Udah, Dek! Mending kita ke kamar. Mas masih ada perlu sama kamu,” ucapnya pelan yang entah mengapa terdengar begitu merdu di telingaku.
“Akh.., ih, Mas kebiasaan deh. Sukanya gendong-gendong Adek terus. Adek kan punya kaki buat jalan! Turu---“
“Ud-ah, nurut aja sama su-ami. Ja-ngan cerewet. Kalau Adek ngelawan lagi. Adek akan Mas c*um lagi. Paham?” bisik Mas Fahmi tepat di telinga kananku.
“Iya, Adek pah.....”
Drt...Drt...Drt...
Belum sempat kutuntaskan kalimatku. Ponsel Mas Fahmi berdering.
“Dek sebentar, ya. Mas terima telepon dulu,” katanya sambil menurunkanku dari gendongannya.
Mas Fahmi melihat layar ponselnya dan kembali menatap ke arahku.
“Adek ke kamar aja dulu, ya. Ntar Mas nyusul. Mas harus angkat telefonnya dulu. Nggak lama kok. Paling cuma lima belas menitan,” katanya kemudian berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban dariku.
‘Siapa yang telefon Mas Fahmi malam-malam begini? Enggak mungkin Kak Aan kan? Ya Allah, perasaan apa ini, kenapa dadaku langsung sesak?’
Next....
🌻Nah, lho. Kira-kira siapa ya yang telefon Fahmi? Mmmm, bikin penasaran aja...🌻
Semalam setelah menerima telepon yang entah dari siapa, Mas Fahmi langsung berpamitan kepadaku. Sudah kutanya, ia akan ke mana, tetapi hanya dijawab ke tempat saudara. Awalnya aku keberatan ditinggal sendirian, tetapi karena Mas Fahmi berjanji akan segera kembali, aku pun mengizinkan. Namun kenyataannya, sampai hari berganti pun, Mas Fahmi tak kunjung pulang. Telah kuhubungi nomornya berkali-kali, tetapi lagi-lagi seperti seorang yang melarikan diri, ponselnya mendadak tak dapat dihubungi. “Sudah, Va! Mungkin Mas Fahmi masih ada urusan. Paling nanti juga pulang,” kataku, mencoba berpositif thinking. Mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang sempat hilir mudik dalam pikiran. Dengan cepat, lekas kupakai kerudung berwarna khaki seperti warna seragamku. Aku harus segera berangkat karena hari ini hari Senin dan itu artinya akan dilaksanakan upacara, seperti biasanya. Selepas memastikan semua barang-barang telah kubawa, pun buku-buku telah kumasukkan ke dalam tas, kuberjalan ke arah
Tiga hari berlalu semenjak Mas Fahmi menjelaskan tentang wanita yang bernama Safna itu. Selama itu juga aku mendiami Mas Fahmi. Mendiami maksudku ialah dengan tak banyak bicara padanya. Paling hanya bicara secukupnya, bila menyangkut perkara penting saja. “Dek, Mas antar, ya?”“Nggak usah. Adek bisa berangkat sendiri," ucapku ketus sambil memalingkan muka darinya.Setelah menolak tawaran Mas Fahmi, aku lantas mengambil tasku. Bersikap-siap berangkat. Hari ini aku ada jam pertama. Jadi, harus cepat.“Adek mau salim,” kataku datar sambil mengulurkan tangan kepada Mas Fahmi yang masih berkutat dengan sarapannya.Yah, meski tengah kesal, aku masih tahu norma. Mas Fahmi tetaplah suamiku yang harus kuhormati baik saat aku tengah marah atau tidak.Setelah mencium tangan Mas Fahmi, aku langsung bergegas menuju pintu keluar. Tak lupa kuucapkan salam padanya.“Adek kan udah bilang Mas, Adek nggak mau diantar.”Aku berucap demikian karena kulihat Mas Fahmi kini mengekor di belakangku, padahal
Kudorong gerbang rumah pelan lalu menutupnya rapat kembali. Mengangkat kaki sampai ke pintu rumah yang masih tertutup. “Assalamualaikum. Mas..., Mas Fahmi...” panggilku setelah membuka pintu. Namun hening. Tak kudapati balasan. “Mungkin Mas lagi di kamar,” kataku sambil mangut-mangut dan melangkahkan kaki menuju kamar. Akan tetapi, lagi-lagi tak kutemukan siapa pun di sana. “Ya Allah Mas Fahmi ke mana? Apa jangan-jangan dia pergi karena kesal sama aku?” Dengan segera, aku berlari ke arah lemari baju Mas Fahmi. Aku berniat mengecek apakah pakaian Mas Fahmi masih tertata di sana ataukah tidak. “Alhamdulillah, masih,” ucapku setelah membuka lemari pakaian milik suamiku. “Kalau Mas Fahmi nggak pergi, terus dia ke mana?” Kembali kulangkahkan kaki menuju bagasi. Aku ingin melihat apakah mobil masih berada di sana. “Kosong.” Ya, bisa kulihat. Bagasi sempit yang hanya memuat mobil kami itu kini terlihat lenggang karena si mobil telah entah ke mana dibawa. “Berati Mas Fahmi lagi pe
Berulang kali kutengok jam dinding yang ada di atas TV. Malam semakin larut, tetapi Mas Fahmi tak kunjung pulang. Kini, ponselnya bahkan tak lagi aktif. “Mas, kamu di mana? Kenapa sampai sekarang nggak pulang? Apa Mas lupa kalau kamu sudah janji sama Adek akan segera pulang?”Aku terus saja berbicara. Padahal tak ada seorang pun di sekitarku. Kecuali daripada siaran televisi yang sudah kuputar sejak beberapa jam lalu. Hanya untuk mengusir sepi dan kebosanan karena ditinggal suami tersayang.“YA ALLAH....” pekikku saat lampu tiba-tiba mati. Seketika ruangan berubah gelap.Meski takut, aku mencoba berdiri dari tempat duduk. Pelan-pelan kulangkahkan kaki. Aku harus mencari senter atau apa pun itu yang bisa dijadikan sumber penerangan.Drt..., Drt..., Drt...Ponsel yang ada di atas meja bergetar. Sejurus, aku lupa kalau ternyata aku memiliki gawai yang bisa kujadikan sebagai lampu.Kuraih gadget-ku dan dengan cepat kuangkat telefon yang masuk.“Waalaikumussalam, Mas. Mas Fahmi kapan pula
“Aku kakak iparmu, Fahmi. Kamu tak boleh seperti ini terus. Lupakan aku! Kamu sudah punya Eva di sisimu.” “Kamu tak berhak memaksaku, Na. Hatiku hanya mau kamu. Bukan yang lain.”“Fahmi cukup! Kamu sudah menikah dan aku sudah memiliki anak. Hubungan kita telah berakhir!”“Aku akan ceraikan Eva bila itu bisa membuatmu kembali padaku, Na. Lagi pula, Mas Farhan sudah meninggal. Kita bisa menikah dan hidup bahagia mulai sekarang.”“Gila kamu Fahmi. Kamu kira menikah hanya untuk main-main? Apa kamu tak peduli sedikit pun dengan perasaan istrimu? Berhenti sakiti dia Fahmi. Dia mencintaimu.”“Menikahlah denganku, Na. Maka Eva tak akan menderita lagi. Dia akan aku ceraikan. Dia bisa menikah kembali karena seperti katamu dia tipe istri idaman yang bisa dengan mudah mencari penggantiku. Dan aku yakin, dia tak tulus mencintaiku karena kami hanya baru menikah beberapa bulan. Aku yakin, cepat atau lambat Eva akan bisa melupakanku.”“Sungguh gila kamu Fahmi. Benar-benar tak waras.”“Aku gila karen
“Mas Fahmi tak perlu repot-repot mengantarku balik. Karena aku bisa pulang sendiri ke rumah orang tuaku. Aku yang akan jelaskan semuanya. Mas juga nggak usah susah-susah memberi orang tuaku uang karena aku masih bisa menafkahi mereka. Alhamdulillah, gajiku yang sedikit itu masih bisa kuberikan kepada mereka. Mas gunakan saja uang Mas untuk keperluan pernikahan kalian. Semoga bahagia dengan keluarga baru, Mas. Aku pamit.”Tanpa menunggu jawaban apa pun dari mereka, segera kupaksa langkahku keluar ruangan. Tak peduli dengan kakiku yang semakin melemas, takpeduli dengan kepalaku yang bertambah pusing, tak peduli dengan demamku yang kian tinggi, dan tak peduli dengan air mata yang terus bersimbah, aku terus dan terus memacu laju kakiku.Sesekali aku berhenti. Bukan karena lelah atau apa. Tetapi karena berharap barang kali Mas Fahmi akan mengejar dan menghentikanku. Namun, lagi-lagi aku harus kembali mengubur khayalanku dalam-dalam karena sampai aku keluar dari pintu utama rumah sakit pun,
Satu tahun kemudian....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”Khuk...Khuk...Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga...”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku. Aku aka
Satu tahun kemudian ....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”uhuk ... uhuk ....Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga ....”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku.
“Sa-saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu kemari. Ini kucing saya lagi rewel,” ucap Pak Dion setelah menghadap mahasiswanya. Laki-laki itu tidak langsung berdiri karena sepertinya dia sengaja ingin menyembunyikan tubuhku. Ya, punggung lebarnya yang kokoh itu memang sangat cukup menutupi tubuhku yang mungil ini. Meskipun orang berdiri tepat di hadapan kami sekali pun, mereka tetap tak akan melihat apa pun. Karena seperti kataku tadi, tubuh tegap Pak Dion menghalangi pandangan mereka untuk melihatku. “Ba-ik kalau begitu, Pak. Saya pikir Pak Dion kenapa-kenapa.” “Saya baik-baik saja. Jadi, kamu bisa duduk kembali. Saya masih harus menenangkan kucing saya dulu. Dari tadi dia rewel terus.” Kali ini Pak Dion telah bangkit dari duduknya, tetapi laki-laki itu masih berdiri tepat di depanku. Mungkin, dosen gila itu masih menunggu mahasiswanya kembali ke tempat duduknya baru kemudian dia akan berlalu dari hadapanku. “Pak, kucingnya perlu dipeluk kali. Makanya rewel gitu. Soalnya, saya jug
Mataku masih ingin terus terpejam, tetapi telingaku terusik oleh suara-suara yang begitu berisik. Aw ... pinggangku terasa nyeri. Begitu pun dengan punggungku. Rasanya, seluruh badanku hampir remuk redam. “Baik, mahasiswa sekalian. Hari ini, kita lanjutkan materi kita pada pertemuan sebelumnya. Coba sekarang perhatikan di layar ....”Langsung membekap mulutku setelah sadar akan apa yang terjadi. Aku baru ingat jika kemarin aku bersembunyi di kolong meja dosen untuk menghindar dari laki-laki gila itu. Dan sekarang aku masih terjebak di sini. Astaga ... bagaimana caranya aku keluar dari sini? Aku nggak mungkin menunggu sampai jam kuliah selesai, kan? Serius. Itu sama sekali nggak lucu. Badanku sudah pegal-pegal. Perutku juga sudah meronta-ronta minta diisi. Tapi, kalau tiba-tiba aku keluar dari bawah meja ini, pasti akan langsung geger seisi kelas. Jadi, mau tak mau, dengan penuh rasa terpaksa aku harus menunggu sampai kelas ini bubar. Melirik jam tangan yang masih melingkar di tan
"Akh ... rasanya benar-benar mau gila. Kepalaku hampir pecah dibuatnya."“Sudahlah, Va. Jangan marah terus. Toh, niatnya Pak Dion juga baik.”Iya. Apa yang dikatakan Ara benar. Pak Dion sengaja membawaku ke ruangan semacam UKS itu hanya karena ingin memberiku beberapa obat dan vitamin. Orang yang menabrakku di depan toilet waktu itu adalah Pak Dion sehingga ia tahu bahwa hari ini aku sedang tak enak badan.“Tapi, tetap aja caranya nggak ke gitu juga, Ar. Padahal dia tahu kalau aku sakit, tetapi kenapa dia malah ngusir aku dari kelasnya? Bikin kesal aja.”“Ya mungkin ... biar kamu nggak pusing-pusing mikirin pelajaran, Va. Makanya, Pak Dion nyuruh kamu keluar dan bawa kamu ke UKS.”“Tapi, tetap aja sal—“Drt ... drt ... drt ....“Sebentar, Ar. Aku terima telepon dulu,” ucapku setelah melihat ponsel di meja berdering.“Dari siapa?” tanya Ara. Mungkin penasaran karena melihat keningku yang mengerut.“Dari, Ibu. Bentar, ya.”Aku langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan menjauh beb
Satu tahun kemudian ....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”uhuk ... uhuk ....Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga ....”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku.
Satu tahun kemudian....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”Khuk...Khuk...Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga...”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku. Aku aka
“Mas Fahmi tak perlu repot-repot mengantarku balik. Karena aku bisa pulang sendiri ke rumah orang tuaku. Aku yang akan jelaskan semuanya. Mas juga nggak usah susah-susah memberi orang tuaku uang karena aku masih bisa menafkahi mereka. Alhamdulillah, gajiku yang sedikit itu masih bisa kuberikan kepada mereka. Mas gunakan saja uang Mas untuk keperluan pernikahan kalian. Semoga bahagia dengan keluarga baru, Mas. Aku pamit.”Tanpa menunggu jawaban apa pun dari mereka, segera kupaksa langkahku keluar ruangan. Tak peduli dengan kakiku yang semakin melemas, takpeduli dengan kepalaku yang bertambah pusing, tak peduli dengan demamku yang kian tinggi, dan tak peduli dengan air mata yang terus bersimbah, aku terus dan terus memacu laju kakiku.Sesekali aku berhenti. Bukan karena lelah atau apa. Tetapi karena berharap barang kali Mas Fahmi akan mengejar dan menghentikanku. Namun, lagi-lagi aku harus kembali mengubur khayalanku dalam-dalam karena sampai aku keluar dari pintu utama rumah sakit pun,
“Aku kakak iparmu, Fahmi. Kamu tak boleh seperti ini terus. Lupakan aku! Kamu sudah punya Eva di sisimu.” “Kamu tak berhak memaksaku, Na. Hatiku hanya mau kamu. Bukan yang lain.”“Fahmi cukup! Kamu sudah menikah dan aku sudah memiliki anak. Hubungan kita telah berakhir!”“Aku akan ceraikan Eva bila itu bisa membuatmu kembali padaku, Na. Lagi pula, Mas Farhan sudah meninggal. Kita bisa menikah dan hidup bahagia mulai sekarang.”“Gila kamu Fahmi. Kamu kira menikah hanya untuk main-main? Apa kamu tak peduli sedikit pun dengan perasaan istrimu? Berhenti sakiti dia Fahmi. Dia mencintaimu.”“Menikahlah denganku, Na. Maka Eva tak akan menderita lagi. Dia akan aku ceraikan. Dia bisa menikah kembali karena seperti katamu dia tipe istri idaman yang bisa dengan mudah mencari penggantiku. Dan aku yakin, dia tak tulus mencintaiku karena kami hanya baru menikah beberapa bulan. Aku yakin, cepat atau lambat Eva akan bisa melupakanku.”“Sungguh gila kamu Fahmi. Benar-benar tak waras.”“Aku gila karen
Berulang kali kutengok jam dinding yang ada di atas TV. Malam semakin larut, tetapi Mas Fahmi tak kunjung pulang. Kini, ponselnya bahkan tak lagi aktif. “Mas, kamu di mana? Kenapa sampai sekarang nggak pulang? Apa Mas lupa kalau kamu sudah janji sama Adek akan segera pulang?”Aku terus saja berbicara. Padahal tak ada seorang pun di sekitarku. Kecuali daripada siaran televisi yang sudah kuputar sejak beberapa jam lalu. Hanya untuk mengusir sepi dan kebosanan karena ditinggal suami tersayang.“YA ALLAH....” pekikku saat lampu tiba-tiba mati. Seketika ruangan berubah gelap.Meski takut, aku mencoba berdiri dari tempat duduk. Pelan-pelan kulangkahkan kaki. Aku harus mencari senter atau apa pun itu yang bisa dijadikan sumber penerangan.Drt..., Drt..., Drt...Ponsel yang ada di atas meja bergetar. Sejurus, aku lupa kalau ternyata aku memiliki gawai yang bisa kujadikan sebagai lampu.Kuraih gadget-ku dan dengan cepat kuangkat telefon yang masuk.“Waalaikumussalam, Mas. Mas Fahmi kapan pula
Kudorong gerbang rumah pelan lalu menutupnya rapat kembali. Mengangkat kaki sampai ke pintu rumah yang masih tertutup. “Assalamualaikum. Mas..., Mas Fahmi...” panggilku setelah membuka pintu. Namun hening. Tak kudapati balasan. “Mungkin Mas lagi di kamar,” kataku sambil mangut-mangut dan melangkahkan kaki menuju kamar. Akan tetapi, lagi-lagi tak kutemukan siapa pun di sana. “Ya Allah Mas Fahmi ke mana? Apa jangan-jangan dia pergi karena kesal sama aku?” Dengan segera, aku berlari ke arah lemari baju Mas Fahmi. Aku berniat mengecek apakah pakaian Mas Fahmi masih tertata di sana ataukah tidak. “Alhamdulillah, masih,” ucapku setelah membuka lemari pakaian milik suamiku. “Kalau Mas Fahmi nggak pergi, terus dia ke mana?” Kembali kulangkahkan kaki menuju bagasi. Aku ingin melihat apakah mobil masih berada di sana. “Kosong.” Ya, bisa kulihat. Bagasi sempit yang hanya memuat mobil kami itu kini terlihat lenggang karena si mobil telah entah ke mana dibawa. “Berati Mas Fahmi lagi pe