Bag 6
.
Seperti biasa saat senja menyapa, Dara akan kembali ke rumahnya. Ia akan pulang bersama Ayu karena gadis itu menawarkan akan mengantarkannya ke rumah. Hanya Ayu satu-satunya teman yang paling mengerti keadaan Dara. Gadis itu tak ikut menghakimi hidup Dara seperti yang orang lain lakukan. Saat Dara mengeluh tak ada uang, ia bersedia mengantar jemput agar temannya itu tak harus jalan kaki untuk pulang. Padahal rumah mereka berbeda arah. Bahkan Ayu sering menjadi tempat Dara meminjam uang, tanpa batas kapan harus mengembalikan.
Ayu hanya merasa lebih beruntung dari Dara, jadi ia hanya ingin berbaik hati dengan gadis itu untuk rasa syukurnya.
Saat Dara keluar dari cafe, ia melihat Rayyan sudah tercekat di depan pintu. Dara menatapnya dengan tatapan bertanya, melihat wajahnya kembali ia mengingat perlakuan ibu Rayyan waktu itu. Merendahkan harga dirinya dengan begitu ke ji.
"Aku tunggu di motor, ya," ucap Ayu yang langsung meninggalkan Dara dan Rayyan untuk berbicara berdua.
Dara menghela napas lelah. Entah kenapa Rayyan masih saja mencari-carinya padahal jelas sekali keadaan mereka berbeda, yang membuat peluang untuk bersatu sangat kecil.
"Ada apa, Dok?" tanya Dara.
"Kamu kembali memanggil dengan sebutan itu, ada sesuatu yang terjadi yang mengganggu suasana hatimu?" tanya Rayyan yang menatap Dara. Ia sudah meminta Dara untuk tidak perlu terlalu formal dengan memanggil dokter. Cukup memanggil nama atau dengan embel-embel Mas.
Ingin sekali Dara berkata jujur, bahwa kemarin ibu dari lelaki itu menemuinya, dan dengan tegas mengatakan tidak merestui hubungan keduanya.
"Oke, maaf. Biasa lah, suka lupa." Dara masih tak acuh.
Rayyan mengangguk mengerti. Ia mengajak Dara untuk mengobrol sebentar di kursi memanjang di dekat cafe.
"Mama ngundang kamu makan malam di rumah." Rayyan tersenyum seolah undangan itu menyiratkan lampu hijau dari sang mama. Lampu pertanda akan mendapat restu dari Yasmin selaku orang yang paling kerasa menentang hubungan Rayyan dan Dara.
Dara mengerutkan kening, ia menahan tawa, lalu mulutnya hampir terbuka untuk mengatakan bahwa ia tak datang hanya untuk mempermalukan diri sendiri, hanya untuk direndahkan di depan keluarga Rayyan. Dara tak ingin itu terjadi.
Namun, mulutnya kembali terkatup, sejenak ia menatap Rayyan yang menaruh harapan di wajahnya. Lalu, Dara mengangguk setuju untuk memenuhi undangan Yasmin ke rumahnya. Dara penasaran dengan apa yang akan Yasmin katakan saat mereka bertemu satu keluarga. Apa pun itu, Dara akan mempersiapkan diri.
Sementara Rayyan, ia tersenyum bersamaan dengan anggukan Dara.
*
Esoknya, di sore yang sama, Dara pulang ke rumah Ayu, karena rumah Rayyan dan Ayu sama arahnya. Ia mandi dan berganti baju di sana. Dara awalnya menolak saat Rayyan yang menawarkan diri untuk menjemput karena ia akan datang setelah magrib, tapi akhirnya Dara setuju karena tak tega dengan Ayu yang terlihat kelelahan dan harus mengantarkannya ke rumah Rayyan.
Dalam perjalanan, tak banyak yang mereka bicarakan. Entah mengapa Dara yang biasanya banyak bicara lebih memilih diam dan memikirkan apa dan bagaimana saat ia sampai di rumah itu. Ia memang pernah berkali-kali datang ke rumah calon suaminya dulu, saat mereka mengenalkannya ke orangtua. Dara dengan begitu polos dan percaya diri datang dengan senang hati, lalu saat pulang ia akan menangis karena hinaan mereka. Hinaan dari orang-orang yang merasa terlalu suci, dan menatap Dara seperti kotoran.
Dara pikir, statusnya sebagai anak diluar nikah tak masalah bagi orang lain, karena itu bukan salah ibunya. Bukan karena buta nafsu dan terjerumus dalam pergaulan bebas, tapi ia lahir karena musibah yang semua orang tak bisa menerimanya.
Lama kelamaan, seiring dengan pengalaman pahit yang membuatnya sedikit dewasa, Dara baru mengerti. Bahkan kelahiran, nasab, harta adalah tentang kasta. Kasta tinggi rendah yang direkayasa oleh manusia, standar yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan. Karena Tuhan tak pernah memandang kasta.
Setelah menempuh setengah jam perjalanan, Dara tiba di rumah Ray.
Dara terpana melihat semua keindahan di sekeliling. Rumah mewah dan megah berdiri kokoh dengan segala ornamen yang menghibur mata. Lalu, Dara tersenyum miris mengingat keadaannya di rumah. Jauh berbeda.
Dara menggeleng pelan. Perbedaan yang bahkan bisa dirasakan dengan menutup mata. Lalu, Rayyan mengatakan akan menikahinya?
Nonsense!
"Jangan bengong, Dara. Yuk masuk!" ajak Rayyan yang langsung melangkah membuka pintu.
Dara mengikuti, hingga saat pintu itu terbuka, Dara sedikit menganga melihat isi di dalamnya. Namun, tentu saja ia tak menampakkan kenorakannya. Ia tahu ciri khas rumah orang kaya layaknya di televisi, tapi ini untuk pertama kali ia melihat secara langsung.
Rayyan mengajak Dara masuk, di dalam sana terlihat Yasmin dan Fahira sedang menunggunya.
Dara duduk setelah dipersilakan. "Oh ini yang namanya Adara? Cantik, kayaknya namanya." Yasmin memuji, diikuti anggukan Fahira yang membenarkan ucapan mamanya.
Sementara Dara sendiri tersenyum geli, dalam hati berkali-kali mencurigai Yasmin. Namun, ia tetap berusaha menyembunyikan senyum sinisnya, hingga yang terlihat hanya senyum manis yang terkembang.
Setelah sedikit mengobrol, Yasmin menyuruh Fahira untuk membantu Simbok yang sedang menyiapkan makan malam. Sedangkan Rayyan disuruh untuk memanggil papa yang sedang sibuk di ruang kerja untuk segera turun dan makan malam.
Tinggallah Dara seorang diri di ruang tamu. Ia ingin membantu Fahira di dapur, tapi sungkan. Sejenak ia hanya mengamati sekeliling interior rumah mewah itu. Lalu, ia pamit sebentar ke toilet untuk sekadar membuang rasa gugupnya.
Beberapa saat kemudian, Dara kembali dari toilet dan ia dipanggil oleh Fahira karena hidangan sudah siap untuk dinikmati. Semua orang berkumpul di sana, kecuali Yasmin.
Kemudian wanita paruh baya itu keluar dari kamarnya yang terletak di lantai bawah, ia memanggil Fahira yang baru saja akan duduk di kursi meja makan dekat Dara.
"Kenapa, Ma?" tanya Fahira menatap bingung mamanya.
"Kamu liat cincin berlian mama, nggak? Yang minggu lalu mama beli itu." Yasmin terlihat resah karena ia sudah mencari cincin itu di semua kotak perhiasan, tapi sama sekali tak ditemukan.
Fahira ingat, cincin berlian berwarna putih mengkilat yang mamanya bilang seharga ratusan juta. Namun, ia sama sekali tak melihatnya.
"Lupa kali naruhnya di mana, Ma!" sahut Rayyan.
"Enggak Ray. Setiap pulang dari suatu tempat, mama pasti masukin ke kotak perhiasan lagi."
Dara hanya diam. Ia bahkan belum duduk di kursi mewah itu, tapi sudah disambut dengan drama kehilangan.
"Bantu mama cariin ya, bisa stress mama kalau cincin itu hilang."
Fahira dan Rayyan mengehal napas lelah. Rasa lapar terpaksa harus ditahan karena harus mencari cincin mama yang hilang. Sementara Damar, masuk ke kamar, bisa jadi istrinya yang lengah dan lupa di mana menaruhnya.
Dara ikut mencari, entahlah. Ia pun tak tahu bagaimana bentuk cincin itu.
Lalu, semuanya berkumpul di ruang tamu. Yasmin bertanya pada semua orang tentang hasilnya, tapi semuanya menggeleng. Hingga wajah itu terlihat makin stress.
Ponsel Dara berbunyi, ia membuka tas dan mengambilnya. Bersamaan dengan ponsel yang terambil, sebuah benda kecil jatuh berdentung di atas lantai mengkilap itu.
Semua orang di sana menatap Dara penuh selidik. Itu cincin milik Yasmin
Up dengan komentar ya 💞
Bag 7.Semua menatap curiga pada Dara karena cincin itu terjatuh dari dalam tasnya. Dara sendiri, wajahnya tampak pias karena ketakutan. Tak mungkin cincin itu ada dengan sendirinya di tas Dara.Yasmin mendekat dan menatap tak suka pada Dara, lalu ia berjongkok untuk mengambil cincin yang terpelanting tak jauh dari kaki Dara."Tolong jelasin kenapa ini ada di kamu?" tanya Yasmin penuh penekanan.Dara diam, ia tak mampu berkata. Wajahnya mendadak pucat disertai degup jantung yang bertalu. Sejenak ia menggeleng menatap Rayyan yang berdiri di sampingnya, tapi lelaki itu malah menatapnya meminta penjelasan."Begini ya kelakuan kamu yang sebenarnya. Datang ke rumah orang dan merasa punya kesempatan untuk mencuri." Yasmin mencerca semakin menjadi-jadi. Sementara yang lain hanya menatap Dara dan menunggu penjelasannya."Perempuan pencuri tak layak menjadi menantu di rumah ini! Ray terlalu berharga untuk bersanding dengan pencuri seperti kamu!" Yasmin melayangkan telunjui tepat di depan mata
Bab 8 Setelah pertemuan malam itu, Rayyan tak berani menemui Dara. Ia malu pada gadis itu, juga malu pada diri sendiri karena sempat tersirat prasangka buruk untuk Dara. Gadis cantik itu juga tampak sangat menghindari Rayyan, karena tahu persis posisi mereka jauh berbeda. Jangankan untuk menikah dan hidup bersama, untuk menjalin hubungan pertemanan saja, Dara merasa memiliki sekat yang tak bisa ditembus. Rayyan merupakan seorang dokter spesialis penyakit dalam, anak dari pengusaha terkenal yang keluarganya juga memiliki rumah sakit swasta di Jakarta pusat, tempat Rayyan bekerja. Bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan Dara. "Kusut amat wajahnya, kenapa Ray?" tanya Sandra yang baru saja selesai memeriksa pasien yang baru saja melahirkan. Ia melewati ruang kerja Rayyan dan melihat temannya sedang melamun. Sandra langsung duduk di depan Rayyan, karena melihat wajah yang tampak tertekuk itu. Rayyan meletakkan kembali ponselnya. Wajah itu terlihat kusut karena beberapa kali ia
Bab 9."Li, balikin ya. Itu punya anak Bu Asih, kasian besok dia sekolah."Seorang lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu membujuk. Sementara Liana yang dibujuk hanya tersenyum mengelus seragam SMA yang kini ada di tangannya. Herman, abang Liana duduk berdekatan dengan adik satu-satunya itu, ia ingin memberi pengertian bahwa seragam itu bukan miliknya. Herman ingin membangunkan kesadaran Liana, bahwa kini sudah berpuluh tahun berlalu, dan ia tak layak lagi mengenakan seragam SMA seperti dulu."Bu Asih, sabar dulu ya. Saya akan coba minta baik-baik." Herman berkata pada pemilik seragam itu.Suryadi dan Halimah ikut membujuk Liana, tapi mereka tak tahu caranya agar perempuan itu mengerti. Biasanya saat Halimah membujuk, wanita itu akan diam dan menurut, karena satu-satunya orang yang bisa ia kenali hanyalah Halimah, ibunya.Liana akan merasa aman jika Halimah berada di sampingnya, dan akan menjerit jika disentuh oleh lelaki termasuk ayah dan abangnya. Trauma yang ia alami telah me
Bab 10.Malam terasa menggigil karena langit begitu mendung dan gelap. Angin malam juga memberi hawa menyejukkan bagi tubuh Dara yang tak mengenakan jaket. Gadis itu kembali melirik jam di tangan, hampir pukul sembilan malam dan belum ada satupun angkutan umum yang lewat. Ia bangun dari halte dan memandang ke arah jalanan, hanya mobil-mobil pribadi yang lewat, selebihnya sepi."Bawa motorku aja, Ra. Besok kalau aku udah sehat, aku hubungi, dan kamu jemput ke sini. Pakek aja nggak apa-apa," kata Ayu sambil tetap menahan sakit di bagian perutnya."Aku naik angkutan umum aja," ucap Dara menolak. Ia tak suka menggunakan barang milik orang lain, apalagi motor yang harganya mungkin tak bisa ia jangkau. Ia hanya tak ingin terbiasa memakai milik orang lain, juga khawatir tak bisa menjaganya dengan baik, karena malam di Jakarta terkadang menjadi surga bagi penjahat.Sore tadi, Dara harus mengantarkan Ayu ke rumahnya, karena gadis itu naik pitam dan pingsan di cafe saat sedang bekerja. Ayu mem
Bab 11.Dara membuka mata, ia dibawa oleh lelaki itu ke sebuah bar yang cukup terkenal di Jakarta. Gadis itu ditidurkan di sebuah ranjang, di kamar khusus bagi pelanggan yang biasanya menikmati kesenangan dunia. Menghisap madu dari para gadis yang menjajakan diri demi kebutuhan, entah uang atau memang kehausan.Dara melenguh karena baru sadar dari pingsan akibat pengaruh obat bius. Dengan hati-hati ia meraba pakaian dan merasakan perubahan tubuhnya yang ternyata masih utuh. Baju dan jilbabnya masih seperti semula, itu artinya lelaki itu belum melakukan apa-apa padanya."Hai, cantik!" sapa lelaki yang sejak tadi memperhatikannya. Ia sudah lama menunggu Dara bangun dari pingsannya.Lelaki itu bangun dari sofa yang ia duduki, laku mendekat pada Dara dengan tatapan buas yang menjijikkan. Lelaki berwajah tampan yang umurnya sekitar tiga puluh dua tahun itu naik ke ranjang.Debar di dada Dara makin mengencang. Ia ketakutan saat lelaki itu semakin tak berjarak dengannya. Lelaki yang tak dik
Bab 12.Dara berhasil kabur dari tempat itu. Saat ia keluar beberapa orang melihatnya, mungkin merasa aneh dengan pakaiannya tak tak seksi seperti yang mereka kenakan. Juga aneh karena seharusnya semakin larut malam, maka gemerlap malam akan semakin indah di sana, tapi Dara malah keluar dari bar itu.Gadis itu tak peduli dengan tatapan beberapa orang itu, ia terus mengayunkan langkah dan menjauh. Sekilas Dara melihat area tempat itu. Terlalu jauh dengan rumah Dara, bahkan sangat jauh. Dara berjalan kaki untuk pulang ke rumah, meskipun ia terlalu lemah, dan tak tahu kapan akan tiba. Tak ada satupun angkutan umum yang lewat, persis seperti beberapa jam yang lalu saat ia menunggu di halte sebelum kejadian buruk itu menimpa dirinya. Ia mengeluarkan ponsel di saku celananya, ia coba untuk hidupkan dan sialnya ponsel itu mati karena kehabisan daya. Dara baru ingat, sejak tadi daya ponselnya memang tinggal sedikit. Saat akan pulang dari rumah Ayu, ia sempat memberitahu Omnya bahwa ia akan
Bab 13."Kamu perlu ngucapin selamat pada Bu Yasmin, karena sudah berhasil membuatku trauma." Dengan lantang Dara berbicara, tapi sayangnya semakin ia banyak berbicara, tetesan air di matanya tak ingin berhenti mengalir, seperti hujan yang semakin deras.Rayyan menatap nanar pada Dara, mendengar apa yang baru saja terjadi padanya membuat lelaki itu ikut hancur. Ia tak menyangka mamanya sanggup melakukan itu semua hanya karena tak suka pada Dara. Hati Rayyan terasa panas membara karena kemarahan, sekaligus remuk terluka karena melihat Dara.Sejenak keduanya saling menatap dalam kesenduan di bola mata masing-masing. Kemudian Dara merebut kembali ponsel di tangan Rayyan setelah ia membaca semuanya.Dara beranjak pergi, ia kembali berjalan menuju jalan pulang ke rumahnya. Wajah itu terlihat sudah sangat pucat, karena terlalu lama di bawah air hujan. Terlalu lemah karena sejak pagi disibukkan dengan pekerjaan dan di belum sempat beristirahat, bahkan saat jam sudah menunjukkan pukul sebela
Bab 14*Dara meregangkan otot-ototnya, ia membuka mata saat matahari mulai menembus lewat kaca jendela di kamar. Perlahan ia mengamati sekeliling kamar dan seketika ingatannya kembali pada kejadian semalam. Ia tak tahu sedang berada di mana, suasana kamar ini sama sekali tak pernah dilihatnya. Ia mengecek tubuh sendiri dari atas hingga ke bawah. Terbangun di atas ranjang menjadi suatu hal yang menakutkan baginya, alam bawah sadarnya kembali mengingatkan pada lelaki yang ia gores nadinya semalam.Gadis itu masih mengenakan jilbab saat bangun tidur. Ia kembali mengumpulkan kesadaran, terakhir kali ia bertemu dengan Rayyan semalam. Mereka singgah di sebuah toko untuk membeli pakaian, setelah itu tak ada yang ia ingat.Dara terperanjat dan segera bangun dari tidurnya saat ia melirik jam di nakas sudah menunjukkan pukul enam lewat. Ia belum menunaikan subuh. Entah di mana sekarang ia berada. Ia membuka pintu kamar untuk melihat keberadaanya.Saat membuka pintu, ia malah berhadapan dengan
Bab 41“Apa kabar, Liana?” tanya Damar sesaat setelah ia duduk bersama mereka.Liana yang ditanya seperti itu malah diam. Perempuan itu diam cukup lama dengan wajah masih menatap cinta masa lalunya. Menatap lelaki itu dalam-dalam seolah sadar bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya.Lalu, meneteslah air mata di pipinya. Ia tak berkedip, seolah membiarkan air matanya mengalir begitu saja hingga berkumpul di ujung dagunya yang indah itu.Dara dan Rayyan saling menatap. Entahlah, satu sisi mereka merasa bersalah karena telah mempertemukan dua orang yang saling mencintai tapi tak bisa saling memiliki.Itu menyiksa!Namun, dibiarkan tetap jaga jarak dengan pertanyaan yang belum selesai di masa lalu, itu juga lebih menyiksa.Keduanya hanya berharap bahwa orangtua mereka bisa lebih bijaksana layaknya orang dewasa. Ia berharap mereka bisa move on dengan cintanya.Takdir. Ya, ini tentang takdir yang tak membiarkan mereka bersama.Ditatap seperti itu pun, Damar hanya bisa sekuat tenaga meredam
Bab 40Mereka sedang memesan makanan, Liana ikut saja pada Dara terserah mau pesan apa, yang penting bisa dimakan untuk perbaikan gizinya.Lalu, suara Liana mengalihkan pandangan Dara dan Rayyan yang tengah sibuk memilih menu.“Mas Damar …?” lirih Liana sambil menatap lelaki yang berjalan ke arahnya.Damar tersenyum perih melihat cinta masa lalunya yang menatapnya dengan masih penuh cinta seperti waktu dulu. Masih tampak binar itu di matanya.Wajahnya masih sebersih dulu. Matanya, hidungnya. Hanya pipinya terlihat lebih kurus dari yang dulu. Ah, Damar bahkan masih bisa membayangkan indahnya rambut lurus Liana meski saat ini ia sudah memakai jilbab.Dara dan Rayyan juga tersenyum menyambut lelaki itu.“Silakan, duduk, Pa!” kata Rayyan.Selama ini Damar selalu bertanya tentang keadaan Liana pada Ray, karena tak ingin menemuinya secara langsung. Ia tak ingin membuat suasana lebih rumit akan kehadirannya.Namun, hatiny selalu ingin tahu kabarnya.“Gimana keadaan ibunya Dara?” tanyanya wak
Bab 39.Rayyan dan Dara semakin sering bertemu karena pengobatan Liana. Seperti hari ini, mereka kembali lagi ke rumah sakit untuk membawa Liana berobat jalan.Dokter bilang agar Liana sebaiknya jangan putus obat dulu meskipun sudah terlihat tenang. Karena yang namanya penyakit bisa saja kambuh lagi kapan saja, seperti penyakit fisik lainnya.Antara merasa sedih atau senang karena Dara dan Rayyan sering bertemu. Saling melepas rindu dalam diam, tapi di lain kesempatan mereka juga saling bersiap-siap untuk berpisah.Rayyan seringkali mengirimkan pesan untuk Dara, hanya sekadar menanyakan kabar ibunya. Meskipun sebenarnya bukan hanya itu yang ingin ditanyakan. Namun, keduanya paham dan saling menjaga batasan. Batasan untuk semakin mencintai satu sama lain.Dara bahkan sering menolak saat Rayyan minta mengantar ke rumah sakit. Sadar diri, bahwa semakin hari ia semakin jatuh dalam rasa cinta dan pesona seorang Rayyan. Jatuh cinta lagi pada kebaikan dan ketulusan Ray.Sementara Rayyan, te
Bab 38“Maunya kamu apa, Ray?” tanya Yasmin saat mereka hampir selesai sarapan pagi.Ray menautkan alis sejenak, terlihat bingung.“Maksudnya apa, Ma?” Rayyan balik bertanya.“Kamu apakan Sandra sampai dia nangis?” Rayyan tersenyum miris dan sinis. Yasmin yang melihat itu, merasa putranya sudah sama seperti Dara saja. Yasmin masih selalu terbayang tawa sumbang dan senyum sinis gadis itu.Sangat memuakkan baginya. Gadis miskin yang sombong!“Sandra ngadu ke mama?” tanya Rayyan.“Kebetulan mama ketemu dia lagi nangis,”“Berarti mama udah tau dong jawabannya.”Damar yang saat itu juga sedang berada di meja makan, menatap Rayyan agar tak membuat keributan dengan mamanya pagi-pagi seperti ini.Rayyan paham. Yang ia tak habis pikir adalah kenapa Sandra terkesan malah menjadi-jadi. Ini ulah mama, atau memang Sandra yang terlalu menginginkan pernikahan itu.Padahal terang-terangan Sandra tahu bahwa Ray tak bisa mencintainya.Itu bukan seperti Sandra yang dia kenal.“Aku mulai risih sama dia,
Bab 37“Gimana kabar ibumu, Dara?” tanya Damar saat Dara mengajaknya bertemu di suatu tempat.Mereka duduk di dekat taman yang jauh dari pusat kota, agar tak tertangkap oleh mata-mata Yasmin.“Alhamdulillah, Pak. Jauh lebih baik,” jawab Dara.Damar mengangguk-anggukan kepala, bahagia mendengar kabar Liana. Mendengar namanya saja disebutkan, seolah kembali menggetarkan cinta lamanya.Namun, Damar berusaha untuk tetap pada komitmen yang telah dibangunnya bersama Yasmin. Ia bukan lagi anak muda yang masih mengedepankan ego. Ini tentang harga diri, janji dan tanggung jawab.Dara mengamati raut wajah lelaki paruh baya di depannya. Ia mengerti betapa cinta itu masih menyala dalam binar mata itu. Namun, kembali ke konsep semesta, bahwa adakalanya pertemuan bukan untuk penyatuan, tapi untuk sekadar berkenalan dengan rasa, jatuh cinta, lalu rindu, dan kemudian terpisahkan oleh banyak sebab.Dara jadi sedikit meringis mengingat perasaannya untuk Rayyan. Mungkin akan berakhir seperti itu juga.
Bab 36“Kondisi Liana makin membaik, tapi saya lihat dia masih suka nangis kadang-kadang, mungkin mengingat kejadian yang menimpanya di masa lalu,” kata Dokter saat Dara dan Rayyan menemuinya sore ini.“Kalau memang tidak memungkinkan untuk ditanyai tentang itu, jangan ditanya, jangan diungkit, karena itu bisa menyebabkan mentalnya down lagi.”“Apalagi bertanya tentang pelaku, sebaiknya jangan dulu, tunggu keadaannya benar-benar pilih,” tambah dokter paruh baya itu.Dara mengangguk mengerti. Memang kebenciannya untuk pelaku sangat memuncak sejak dulu. Ia ingin sekali ibunya membuka mulut tentang siapa pelakunya, dan Dara akan memberikan hukuman untuknya.Hanya Liana sebagai korban yang tahu siapa pelakunya, sementara orang lain, orang di desa mereka dulu, tidak ada yang tahu.Herman sudah mencari tahu itu, ia pernah mengumpulkan warga desa dan bertanya satu persatu. Juga mencari tahu dengan cara lain, takut jika warga ada yang berbohong.Namun, sepertinya mereka jujur, karena rata-rat
Bab 35Rayyan kembali pulang ke rumah orangtuanya atas saran sang papa. Ia juga tak mau jika mamanya makin curiga dengan apa yang ia lakukan di luar sana. Ray sadar bahwa selama ini tinggal di rumah sendiri, ia kerap diawasi oleh seseorang. Beruntung papanya sigap lebih jeli dari mama, hingga ia bisa mengelabui.“Pa, aku gak cinta sama Sandra. Ya, hubungan kami memang baik. Dia gadis yang baik, cerdas, dan attitudenya bagus. Kuakui! Tapi itu semua gak bisa memaksa harus cinta, kan, Pa?”Rayyan mengeluh pada papanya saat Yasmin bilang bahwa malam ini ia mengajak Sandra untuk makan malam di rumah. Ray tak tahu apa rencana mamanya itu.Padahal hubungan ia dan mama pun masih tampak dingin, tapi Yasmin malah mengundang Sandra makan malam seolah memang ada rencana lain.“Papa paham, Ray! Sebagai lelaki papa paham,” kata Damar.Rayyan sejenak menarik napas dalam. Cukup berat baginya memberi keyakinan pada mama bahwa ia tak bisa menerima perjodohan dengan Sandra.“Santai, Ray!” kata papanya.
ADARABab 34.Kondisi Liana semakin membaik, meskipun sesekali wanita itu masih tampak murung dan melamun, tapi setidaknya perkembangan mentalnya sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Lebih tenang.Liana ikut kegiatan olahraga, sebagai salah satu aktivitas terapi untuk pasien gangguan jiwa. Karena dengan olahraga, tubuh mereka tentu akan lebih sehat dan pikiran menjadi lebih baik.Liana juga diarahkan ikut kegiatan membuat kerajinan tangan, yang diarahkan oleh perawat di rumah sakit itu. Terapi ini dimaksudkan agar saat pasien jiwa kembali normal dan hidup sebagai manusia normal, setidaknya meminimalkan sematan mantan pasien gangguan jiwa pada mereka.Artinya jika mereka dulunya memang berbakat, mereka akan dikenal dengan bakatnya, bukan hanya sekadar sematan gangguan jiwanya.Ada banyak yang mengalami penyakit seperti Liana di sana. Berbagai macam penyebabnya, ada yang memang persis seperti kasus Liana, ada juga yang karena perpisahan orangtua, dan ada juga kasus ditinggalkan s
ADARABab 33.Ingatan Liana perlahan mengingat-ingat tentang namanya sendiri. Si al nya hanya kenangan buruk yang bisa ia ingat dari nama Liana. Kepalanya terasa sakit, hingga berkali-kali ia memukul kepala dan menjambak rambutnya.Ia bahkan mengacak-acak barang di kamar saking kacaunya.Liana hamil.Liana gi la.Liana di p e r k o s a.Ingatan-ingatan yang membuat kepalanya terasa begitu berdentam, ingin sekali ia masuk dan mencabut semua pikiran buruk itu, tapi tak bisa ia lakukan. Liana belum bisa mengontrol dan menenangkan diri sendiri.Meskipun sedikit kualahan, tapi perawat dan dokter profesional itu tetap merawat dengan baik. Menenangkan dan memberinya obat-obatan. Bahkan memandikannya sehari sekali agar Liana tetap bersih dan wangi.Entah karena uang yang berperan, atau pada sumpah tugas, atau memang hati mereka yang baik. Liana mendapatkan dokter dan perawat yang sabar.Sore itu perwat kembali membuka pintu kamar Liana, ia tetap menyapa dengan menyebut nama itu, juga menamba