Bab 14*Dara meregangkan otot-ototnya, ia membuka mata saat matahari mulai menembus lewat kaca jendela di kamar. Perlahan ia mengamati sekeliling kamar dan seketika ingatannya kembali pada kejadian semalam. Ia tak tahu sedang berada di mana, suasana kamar ini sama sekali tak pernah dilihatnya. Ia mengecek tubuh sendiri dari atas hingga ke bawah. Terbangun di atas ranjang menjadi suatu hal yang menakutkan baginya, alam bawah sadarnya kembali mengingatkan pada lelaki yang ia gores nadinya semalam.Gadis itu masih mengenakan jilbab saat bangun tidur. Ia kembali mengumpulkan kesadaran, terakhir kali ia bertemu dengan Rayyan semalam. Mereka singgah di sebuah toko untuk membeli pakaian, setelah itu tak ada yang ia ingat.Dara terperanjat dan segera bangun dari tidurnya saat ia melirik jam di nakas sudah menunjukkan pukul enam lewat. Ia belum menunaikan subuh. Entah di mana sekarang ia berada. Ia membuka pintu kamar untuk melihat keberadaanya.Saat membuka pintu, ia malah berhadapan dengan
Bab 15."Aaargh!" Napas Herman memburu. Tangannya terkepal kuat seraya berteriak dengan menatap tajam pada dinding rumah ibunya. Seolah di sana ada perempuan yang diceritakan Dara.Darahnya seketika seperti mendidih saat mendengar cerita Dara atas sebab kenapa ia tak pulang semalam. Dara bercerita semuanya, tentang bagaimana ia dibius, dibawa ke bar dan hampir dile ceh kan oleh seorang lelaki. Bahkan ia juga bercerita siapa dalang di balik semua itu.Herman marah, sekaligus merasa lega karena Dara gadis yang cerdas. Selain bisa membela diri ia juga selalu ingin tahu dan harus menyelesaikan setiap masalah yang ia hadapi dengan cara apa pun. Setidaknya Herman merasa lega karena Dara tahu pelakunya, jadi Herman bisa memutuskan untuk membalas perbuatan itu. Bukan seperti kejadian yang menimpa Liana, tak ada jejak sedikit pun. Meski saat itu Herman menyuruh kepala desa untuk mengumpulkan semua orang, dan bertanya satu persatu. Namun, tak ada hasil dari semua itu, yang membuat Herman semak
Bab 16."Ma …," panggil Rayyan begitu sampai di pintu masuk."Mama …," panggilnya lagi.Tak ada jawaban, hingga Rayyan tetap mengayunkan langkah dan masuk ke dalam. Ia mencari sang mama di ruang keluarga, tapi tak ada. Itu artinya mama sedang di kamar. Kembali Rayyan melirik jam di pergelangan tangan. Pukul delapan malam, biasanya mama sudah berada di rumah setelah seharian bekerja.Setelah mengantarkan Dara, Rayyan pergi ke rumah sakit, tapi ia memutar kemudi ingin pulang ke rumah dan langsung bertemu dengan mama. Namun, ia seperti lupa kebiasaan mamanya, perempuan itu sejak pagi buta sudah tiba di perusahaan miliknya.Rayyan kembali mengemudi ke rumah sakit. Ia datang dengan semangat yang lunglai, karena setiap menit pikirannya dipenuhi oleh Dara dan mamanya. Ia ingin waktu berlalu dengan cepat dan pulang meminta penjelasan."Apa sih teriak-teriak?" tanya Yasmin yang turun dari kamar, karena mendengar suara Rayyan."Mama masih bertanya ada apa?" sarkas Rayyan seolah lupa dengan si
Bab 17."Apa karena kami pasien BPJS?" sindir Dara pada para petugas yang duduk di meja sudut ruangan.Ruang IGD terlihat cukup luas dengan segala alat medis yang dibutuhkan untuk pertolongan pertama. Di suatu sudut dekat pintu ada beberapa brankar kosong yang sengaja diletakkan di situ untuk mempermudah saat ada pasien. Sementara di sudut lainnya, ada meja memanjang dan beberapa kursi tempat para perawat yang bertugas piket di IGD.Lelaki berseragam putih yang beberapa tahun lebih tua dari usia Dara itu menatap teman di sampingnya, tampak ia tak suka dengan sindiran Dara.Halimah tak berhenti muntah karena penyakit lambungnya kambuh. Malam itu Dara membawanya ke sebuah rumah sakit umum di daerah terdekat. Awalnya Dara hanya Diam saat dalam jangka waktu sehari semalam, nenek tak kunjung mendapat ruang rawat.Namun, kali ini ia tak bisa tinggal diam. Prasangka buruk tentang permainan orang dalam di beberapa rumah sakit umum semakin menguatkan hatinya. Malam ini, untuk malam kedua Dara
Bab 18.Rayyan balik ke ruangan setelah itu, rencana untuk segera pulang mendadak berubah. Ada beberapa hal yang harus ia kerjakan di dalam ruangannya, kepalang tanggung jika dibawa pulang ke rumah, karena laporannya hampir selesai. Lelaki yang hampir genap tiga puluh tahun itu menatap layar komputer dan terus mengetikkan sesuatu dengan fokus. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki di luar. Suasana yang sunyi membuat derap langkah itu semakin nyata. Ray melihat jam di ponselnya, sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Biasanya hanya keluarga pasien yang menunggu operasi yang masih berkeliaran di luar, atau para perawat yang bertugas menjaga.Rayyan membuka gorden dan melihat keluar jendela. Ia tersenyum saat melihat seorang gadis berdiri dengan ragu di dekat ruangannya.Adara.Gadis itu melihat lorong yang gelap ke ujung sana. Ia sedang mencari mushalla rumah sakit untuk menunaikan isya yang sudah terlewat waktu. Namun, gadis itu ragu, karena kesunyian begitu kentara.Ia ta
Bab 19.Dara duduk di atas hamparan pasir di tepi pantai, matanya menatap kosong pada laut luas dengan deburan ombak yang menyapu membasahi ujung kakinya. Perlahan hujan rintik-rintik mulai turun membasahi jilbab warna mint yang ia kenakan. Gadis itu tampak tak peduli, meski di sekelilingnya para pengunjung mulai mencari tempat berteduh.Harusnya di waktu seperti itu, para pengunjung sudah ramai mengunjungi pantai di hari Minggu. Namun, cuaca sedang hujan, jadi pantai tampak sepi. Sementara Dara menyukai susasana itu, karena ketika hujan turun, ia bisa menangis sepuasnya tanpa takut pada tatapan iba dan pertanyaan mengapa dari orang lain.Gadis itu menatap jauh pada laut yang tak berbatas di hadapannya, lalu mata sembabnya kembali meneteskan air mata yang mengalir di pipi. Kembali Dara membayang wajah ibunya, dan perlahan tanpa diminta, memorinya membuat bayangan-bayangan kejadian yang menimpa ibunya puluhan tahun yang lalu, seperti yang diceritakan keluarganya. Dara terluka amat dal
Bab 20.Dara berjalan lesu menapaki gang untuk sampai di rumah. Sesekali ia pejamkan mata sejenak dan mengusap matanya untuk menghalau rasa hangat di matanya, agar sisa sembab tak begitu kentara.Di depan rumah, ia melihat Om Herman sedang duduk di depan pintu seperti sedang menunggunya.Dara langsung mendekat, dan Herman juga melihatnya. Lelaki itu keluar dari rumah dan mendekat kada motor yang diparkir di depan rumah semi permanen itu."Ikut, Om!" ujar Herman tanpa peduli pada ekspresi bingung Dara."Ke mana?" tanya Dara masih tak mengerti."Jangan ke kantor polisi, Om, please!" pinta Dara mengiba. Baru saja ia dengar kalimat dari Rayyan yang ikut melukai hatinya. Lelaki itu akan menolongnya melaporkan Yasmin ke polisi. Namun, keputusan Dara sudah bulat, ia tak ingin ada banyak hati yang terluka lagi. Ada Rayyan, Fahira dan suami Yasmin. Dara sungguh tak sanggup jika itu terjadi.Herman menarik tangan Dara dan menuntunnya untuk segera naik ke atas motor. Sementara nenek dan kakek h
Bab 21.Gone.Semua yang tersisa terpaksa harus pergi karena perbedaan. Semua yang ia perkirakan terjadi begitu saja seperti sebelumnya, bahwa ia tak layak untuk jatuh cinta pada sembarang hati, Dara harus tahu diri.Pukul dua belas malam, Dara masih belum bisa terpejam karena pikirannya masih tertinggal pada setiap kejadian yang menimpanya. Pikiran gadis itu tetap serabut, meski berkali ia mencoba untuk memejamkan mata dan melupakan semuanya. Berkali-kali ia coba untuk istirahatkan pikirannya."Aku harap kamu menyerah, Tuan Dokter!" gumam Dara seorang diri. Di kamar yang gelap itu, ia merintih perih atas cinta yang ia inginkan tetap berjalan, tapi tak bisa.Dara seolah dipaksa berhenti atas hak mencintai dan dicintai yang seharusnya bisa dirasakan setiap manusia.Gadis itu akan mencoba untuk bangkit dan menata hatinya kembali. Ia berharap Rayyan akan melupakannya, karena ia bukan gadis istimewa untuk diperjuangkan. Rasa rendah diri yang kerap kali menyelimuti pikiran Dara itu terlal
Bab 41“Apa kabar, Liana?” tanya Damar sesaat setelah ia duduk bersama mereka.Liana yang ditanya seperti itu malah diam. Perempuan itu diam cukup lama dengan wajah masih menatap cinta masa lalunya. Menatap lelaki itu dalam-dalam seolah sadar bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya.Lalu, meneteslah air mata di pipinya. Ia tak berkedip, seolah membiarkan air matanya mengalir begitu saja hingga berkumpul di ujung dagunya yang indah itu.Dara dan Rayyan saling menatap. Entahlah, satu sisi mereka merasa bersalah karena telah mempertemukan dua orang yang saling mencintai tapi tak bisa saling memiliki.Itu menyiksa!Namun, dibiarkan tetap jaga jarak dengan pertanyaan yang belum selesai di masa lalu, itu juga lebih menyiksa.Keduanya hanya berharap bahwa orangtua mereka bisa lebih bijaksana layaknya orang dewasa. Ia berharap mereka bisa move on dengan cintanya.Takdir. Ya, ini tentang takdir yang tak membiarkan mereka bersama.Ditatap seperti itu pun, Damar hanya bisa sekuat tenaga meredam
Bab 40Mereka sedang memesan makanan, Liana ikut saja pada Dara terserah mau pesan apa, yang penting bisa dimakan untuk perbaikan gizinya.Lalu, suara Liana mengalihkan pandangan Dara dan Rayyan yang tengah sibuk memilih menu.“Mas Damar …?” lirih Liana sambil menatap lelaki yang berjalan ke arahnya.Damar tersenyum perih melihat cinta masa lalunya yang menatapnya dengan masih penuh cinta seperti waktu dulu. Masih tampak binar itu di matanya.Wajahnya masih sebersih dulu. Matanya, hidungnya. Hanya pipinya terlihat lebih kurus dari yang dulu. Ah, Damar bahkan masih bisa membayangkan indahnya rambut lurus Liana meski saat ini ia sudah memakai jilbab.Dara dan Rayyan juga tersenyum menyambut lelaki itu.“Silakan, duduk, Pa!” kata Rayyan.Selama ini Damar selalu bertanya tentang keadaan Liana pada Ray, karena tak ingin menemuinya secara langsung. Ia tak ingin membuat suasana lebih rumit akan kehadirannya.Namun, hatiny selalu ingin tahu kabarnya.“Gimana keadaan ibunya Dara?” tanyanya wak
Bab 39.Rayyan dan Dara semakin sering bertemu karena pengobatan Liana. Seperti hari ini, mereka kembali lagi ke rumah sakit untuk membawa Liana berobat jalan.Dokter bilang agar Liana sebaiknya jangan putus obat dulu meskipun sudah terlihat tenang. Karena yang namanya penyakit bisa saja kambuh lagi kapan saja, seperti penyakit fisik lainnya.Antara merasa sedih atau senang karena Dara dan Rayyan sering bertemu. Saling melepas rindu dalam diam, tapi di lain kesempatan mereka juga saling bersiap-siap untuk berpisah.Rayyan seringkali mengirimkan pesan untuk Dara, hanya sekadar menanyakan kabar ibunya. Meskipun sebenarnya bukan hanya itu yang ingin ditanyakan. Namun, keduanya paham dan saling menjaga batasan. Batasan untuk semakin mencintai satu sama lain.Dara bahkan sering menolak saat Rayyan minta mengantar ke rumah sakit. Sadar diri, bahwa semakin hari ia semakin jatuh dalam rasa cinta dan pesona seorang Rayyan. Jatuh cinta lagi pada kebaikan dan ketulusan Ray.Sementara Rayyan, te
Bab 38“Maunya kamu apa, Ray?” tanya Yasmin saat mereka hampir selesai sarapan pagi.Ray menautkan alis sejenak, terlihat bingung.“Maksudnya apa, Ma?” Rayyan balik bertanya.“Kamu apakan Sandra sampai dia nangis?” Rayyan tersenyum miris dan sinis. Yasmin yang melihat itu, merasa putranya sudah sama seperti Dara saja. Yasmin masih selalu terbayang tawa sumbang dan senyum sinis gadis itu.Sangat memuakkan baginya. Gadis miskin yang sombong!“Sandra ngadu ke mama?” tanya Rayyan.“Kebetulan mama ketemu dia lagi nangis,”“Berarti mama udah tau dong jawabannya.”Damar yang saat itu juga sedang berada di meja makan, menatap Rayyan agar tak membuat keributan dengan mamanya pagi-pagi seperti ini.Rayyan paham. Yang ia tak habis pikir adalah kenapa Sandra terkesan malah menjadi-jadi. Ini ulah mama, atau memang Sandra yang terlalu menginginkan pernikahan itu.Padahal terang-terangan Sandra tahu bahwa Ray tak bisa mencintainya.Itu bukan seperti Sandra yang dia kenal.“Aku mulai risih sama dia,
Bab 37“Gimana kabar ibumu, Dara?” tanya Damar saat Dara mengajaknya bertemu di suatu tempat.Mereka duduk di dekat taman yang jauh dari pusat kota, agar tak tertangkap oleh mata-mata Yasmin.“Alhamdulillah, Pak. Jauh lebih baik,” jawab Dara.Damar mengangguk-anggukan kepala, bahagia mendengar kabar Liana. Mendengar namanya saja disebutkan, seolah kembali menggetarkan cinta lamanya.Namun, Damar berusaha untuk tetap pada komitmen yang telah dibangunnya bersama Yasmin. Ia bukan lagi anak muda yang masih mengedepankan ego. Ini tentang harga diri, janji dan tanggung jawab.Dara mengamati raut wajah lelaki paruh baya di depannya. Ia mengerti betapa cinta itu masih menyala dalam binar mata itu. Namun, kembali ke konsep semesta, bahwa adakalanya pertemuan bukan untuk penyatuan, tapi untuk sekadar berkenalan dengan rasa, jatuh cinta, lalu rindu, dan kemudian terpisahkan oleh banyak sebab.Dara jadi sedikit meringis mengingat perasaannya untuk Rayyan. Mungkin akan berakhir seperti itu juga.
Bab 36“Kondisi Liana makin membaik, tapi saya lihat dia masih suka nangis kadang-kadang, mungkin mengingat kejadian yang menimpanya di masa lalu,” kata Dokter saat Dara dan Rayyan menemuinya sore ini.“Kalau memang tidak memungkinkan untuk ditanyai tentang itu, jangan ditanya, jangan diungkit, karena itu bisa menyebabkan mentalnya down lagi.”“Apalagi bertanya tentang pelaku, sebaiknya jangan dulu, tunggu keadaannya benar-benar pilih,” tambah dokter paruh baya itu.Dara mengangguk mengerti. Memang kebenciannya untuk pelaku sangat memuncak sejak dulu. Ia ingin sekali ibunya membuka mulut tentang siapa pelakunya, dan Dara akan memberikan hukuman untuknya.Hanya Liana sebagai korban yang tahu siapa pelakunya, sementara orang lain, orang di desa mereka dulu, tidak ada yang tahu.Herman sudah mencari tahu itu, ia pernah mengumpulkan warga desa dan bertanya satu persatu. Juga mencari tahu dengan cara lain, takut jika warga ada yang berbohong.Namun, sepertinya mereka jujur, karena rata-rat
Bab 35Rayyan kembali pulang ke rumah orangtuanya atas saran sang papa. Ia juga tak mau jika mamanya makin curiga dengan apa yang ia lakukan di luar sana. Ray sadar bahwa selama ini tinggal di rumah sendiri, ia kerap diawasi oleh seseorang. Beruntung papanya sigap lebih jeli dari mama, hingga ia bisa mengelabui.“Pa, aku gak cinta sama Sandra. Ya, hubungan kami memang baik. Dia gadis yang baik, cerdas, dan attitudenya bagus. Kuakui! Tapi itu semua gak bisa memaksa harus cinta, kan, Pa?”Rayyan mengeluh pada papanya saat Yasmin bilang bahwa malam ini ia mengajak Sandra untuk makan malam di rumah. Ray tak tahu apa rencana mamanya itu.Padahal hubungan ia dan mama pun masih tampak dingin, tapi Yasmin malah mengundang Sandra makan malam seolah memang ada rencana lain.“Papa paham, Ray! Sebagai lelaki papa paham,” kata Damar.Rayyan sejenak menarik napas dalam. Cukup berat baginya memberi keyakinan pada mama bahwa ia tak bisa menerima perjodohan dengan Sandra.“Santai, Ray!” kata papanya.
ADARABab 34.Kondisi Liana semakin membaik, meskipun sesekali wanita itu masih tampak murung dan melamun, tapi setidaknya perkembangan mentalnya sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Lebih tenang.Liana ikut kegiatan olahraga, sebagai salah satu aktivitas terapi untuk pasien gangguan jiwa. Karena dengan olahraga, tubuh mereka tentu akan lebih sehat dan pikiran menjadi lebih baik.Liana juga diarahkan ikut kegiatan membuat kerajinan tangan, yang diarahkan oleh perawat di rumah sakit itu. Terapi ini dimaksudkan agar saat pasien jiwa kembali normal dan hidup sebagai manusia normal, setidaknya meminimalkan sematan mantan pasien gangguan jiwa pada mereka.Artinya jika mereka dulunya memang berbakat, mereka akan dikenal dengan bakatnya, bukan hanya sekadar sematan gangguan jiwanya.Ada banyak yang mengalami penyakit seperti Liana di sana. Berbagai macam penyebabnya, ada yang memang persis seperti kasus Liana, ada juga yang karena perpisahan orangtua, dan ada juga kasus ditinggalkan s
ADARABab 33.Ingatan Liana perlahan mengingat-ingat tentang namanya sendiri. Si al nya hanya kenangan buruk yang bisa ia ingat dari nama Liana. Kepalanya terasa sakit, hingga berkali-kali ia memukul kepala dan menjambak rambutnya.Ia bahkan mengacak-acak barang di kamar saking kacaunya.Liana hamil.Liana gi la.Liana di p e r k o s a.Ingatan-ingatan yang membuat kepalanya terasa begitu berdentam, ingin sekali ia masuk dan mencabut semua pikiran buruk itu, tapi tak bisa ia lakukan. Liana belum bisa mengontrol dan menenangkan diri sendiri.Meskipun sedikit kualahan, tapi perawat dan dokter profesional itu tetap merawat dengan baik. Menenangkan dan memberinya obat-obatan. Bahkan memandikannya sehari sekali agar Liana tetap bersih dan wangi.Entah karena uang yang berperan, atau pada sumpah tugas, atau memang hati mereka yang baik. Liana mendapatkan dokter dan perawat yang sabar.Sore itu perwat kembali membuka pintu kamar Liana, ia tetap menyapa dengan menyebut nama itu, juga menamba