Share

Bab 2. Pekerjaan atau Uang

Bab 2. Pekerjaan atau Uang?

Label pahlawan brewokan berhati ibu peri seketika terganti dengan label pahlawan tidak berhati. Naomy juga langsung mengubah sikap menjadi lebih awas diri, lantaran khawatir akan dijebak oleh sosok Levin Mahardhi.

“Kau sedang berusaha menjebakku, ya?” tanya Naomy dengan mimik wajah serius. Bahkan, dia berani menatap lekat ke dalam bola mata Levin.

“Siapa yang sedang menjebak? Aku hanya sedang memintamu mengembalikan uangku sekarang,” sahut Levin lantas meneguk jus miliknya.

“Akan aku kembalikan, tapi tidak sekarang.”

“Aku maunya sekarang.”

“Lihat ini!”

Sling bag yang semula menggantung di lengan kiri Naomy, kini diletakkan di atas meja. Perempuan muda berparas tanpa jerawat itu pun membuka slig bag miliknya, lantas mengeluarkan semua isi yang ada di dalam sana. Ada ponsel, bedak, lipstik, permen, dan uang koin seribuan sebanyak tiga keping.

“Beberapa menit lalu aku salah mentransfer uang. Dompetku juga hilang. Hanya ini yang tersisa. Ambillah apa yang ada, kecuali ponsel, bedak, lipstik, dan permen,” ungkap Naomy yang sekarang lebih bisa mengendalikan nada bicara.

“Hm? Kalau begitu yang boleh aku ambil hanya uang koin?”

“Ya … mau bagaimana lagi. Hanya itu yang aku punya. Ini, ambillah!”

Tiga keping uang koin seribuan lekas Naomy ambil, lantas memberikan pada Levin. Sembari mengangkat sebelah alisnya, Levin menerima kepingan-kepingan koin itu.

“Selain baperan, kau juga menggemaskan,” ungkap Levin sembari menampilkan senyuman.

Di balik brewok dan kumis yang tidak terawat, senyuman Levin terlihat cukup menawan di mata Naomy. Akan tetapi, tidak ada waktu bagi Naomy untuk mengagumi. Apa lagi dengan perasaan kesal yang kini meraja dalam hati.

“Dasar om-om genit!” seru Naomy.

“Sst. Tenanglah, Naomy! Kau bisa menarik perhatian pengunjung rumah makan ini.”

“Biarin! Biar sekalian mereka tahu kalau di sini ada Tuan Brewokan yang sedang mencoba memerasku!”

Ketegangan di meja nomor sembilan lekas terganti dengan sebuah tawa ringan. Levinlah yang tertawa, lantas diimbangi dengan gelengan kepala.

“Kenapa kau tertawa? Apanya yang lucu?” tanya Naomy yang kini merasa seperti sedang dipermainkan.

“Baru kali ini aku bertemu dengan perempuan sepertimu, Naomy. Apa kau benar-benar tidak mengenalku? Apa kau tidak pernah mendengar nama Levin Mahardhi?”

Levin Mahardhi, dia bukan lelaki biasa. Garis keturunan, harta dan tahta yang disandang membuat dia banyak dikenal orang. Apa lagi, baru-baru ini dia viral diberitakan media sosial. Sayangnya, berita yang menyebar sama sekali tidak membuat sang ayah maupun sang kakak senang.

“Bagiku semua orang sama. Kalau salah, ya salah. Kalau menjengkelkan, sudah pasti akan aku lawan. Apa lagi jika ada indikasi pemerasan seperti yang kau lakukan sekarang,” terang Naomy panjang lebar tanpa takut-takut.

“Tunggu dulu! Aku tidak seburuk yang kau sangka. Bahkan, uang sebesar tujuh ratus sembilan puluh tiga ribu bisa aku relakan dengan mudah.”

“Lalu, untuk apa kau memintaku mengembalikan uang itu sekarang?”

“Aku hanya sedang menggodamu," ungkap Levin sembari kembali tertawa.

“Dasar genit!” 

Untuk ketiga kalinya tawa Levin pecah, membuat Naomy jadi keheranan sekaligus semakin merasa dipermainkan.

"Apa yang sedang kau tertawakan, ha?"

“Kau benar-benar berbeda dari wanita kebanyakan. Kau sedang berhutang, tapi kau berani melawan,” ungkap Levin lantas kembali meneguk jus miliknya. “Kau yakin tidak ingin memesan jus seperti ini juga? Minum ini bisa membuat pikiranmu lebih tenang,” imbuhnya.”

Naomy mencoba bersabar, lantas tetap bertahan sembari mengetahui lebih dalam maksud Levin membuat obrolan yang berputar-putar.

“Aku memang berhutang, tapi aku tidak terima jika harga diriku sampai direndahkan,” terang Naomy sambil merebut jus yang masih berada dalam genggaman tangan Levin.

Tentu saja Levin kaget dengan sikap Naomy yang tiba-tiba. Apa lagi, jus pesanan Levin langsung habis dalam beberapa kali tegukan.

“Ah! Kau benar. Jus ini enak, dan langsung membuat pikiran tenang. Terima kasih, ya.”

“Em … sama-sama,” jawab Levin yang tak habis pikir dengan sikap Naomy.

“Sudah cukup obrolan yang berputar-putar ini. Coba sampaikan apa yang kau inginkan! Jika kau masih ingin agar aku mengembalikan uangmu sekarang, akan aku usahakan,” tegas Naomy.

Obrolan terjeda. Naomy tidak langsung mendapat sahutan kata. Sebaliknya, dia mendapati Levin yang terus menatap dengan mulut yang setengah menganga.

Brak! Naomy membuat gebrakan meja. Sengaja dia lakukan demi membuat Levin berhenti menatap ke arahnya. Dan, berhasil.

“Fenomena masa kini ternyata sudah terbukti. Yang berhutang akan lebih galak dibanding yang memberi hutang,” celetuk Levin, juga dengan sengaja.

Brak! Naomy kembali menggebrak meja karena merasa tersindir dengan kalimat Levin.

“Apa kau bilang? Aku tidak terima dengan ucapanmu itu!” tegas Naomy sembari menampilkan wajah yang lebih galak.

“Oke, sudah cukup bermainnya. Maaf atas sikapku, Naomy. Kau tidak harus mengembalikan uang itu sekarang. Lagi pula, kau pasti lebih membutuhkan uang untuk kuliahmu.”

“Aku sudah lulus kuliah.”

“Dua puluh tahun sudah lulus kuliah?”

Naomy mengangguk. Meski kurang percaya dengan Levin, tapi akhirnya dia sedikit bercerita tentang status pendidikannya.

Sesungguhnya Naomy adalah perempuan cerdas yang sering beruntung mendapat beasiswa, bahkan berkesempatan merasakan percepatan sekolah karena kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi, enam bulan sejak Naomy lulus kuliah, dia belum juga mendapat pekerjaan yang diimpikan. Dia bermimpi bekerja di perusahaan besar yang sesuai dengan latar belakang pendidikan.

“Salahku juga karena tidak langsung mencari pekerjaan di kota. Aku justru kembali ke desa, membantu nenek mengurus lahan pertanian, kemudian ….”

Cerita Naomy terjeda. Dia mendadak murung. Levin yang peka, dia langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang tengah menjadi rahasia. Sesuatu yang bila diceritakan akan kembali membuat luka ataupun memicu kesedihan dan air mata.

“Naomy, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Levin, sekaligus membuat pengalihan agar Naomy tidak lagi murung.

“Tanya apa?”

“Mana yang lebih kau butuhkan? Pekerjaan atau uang?”

Berbeda dari sebelumnya, kali ini Naomy tidak langsung asal menjawab. Tadinya dia begitu berani menanggapi apa pun yang dikatakan oleh Levin. Kini, dia benar-benar berpikir.

Sesungguhnya dua hal yang disebutkan Levin itulah yang sungguh Naomy butuhkan. Naomy butuh pekerjaan dengan gaji besar. Secara tidak langsung, uang pun tengah dia butuhkan. Bukan untuk berfoya-foya, memanjakan diri, apa lagi membuktikan pada dunia atas pencapaian pendidikan yang selama ini dia dapatkan. Pekerjaan dan uang yang didapatkan akan dia persembahkan untuk sang nenek di desa, yang tengah berjuang merebut kembali apa yang menjadi haknya.

“Aku butuh pekerjaan bergaji besar,” jawab Naomy pada akhirnya.

“Sebesar apa?” tanya Levin.

“Sangat besar, sampai aku bisa kembali merebut sertifikat lahan peninggalan kakek.”

Bibir Naomy sampai bergetar begitu mengungkap keinginan. Levin yang mendengar itu pun sampai tertegun. Ada sebuah ketulusan yang pria itu rasakan ketika Naomy mengucap keinginan.

“Naomy, aku bisa memberimu pekerjaan,” ungkap Levin kemudian.

“Oh ya? Pekerjaan seperti apa?” tanya Naomy dengan bola mata berbinar.

“Jadilah kekasihku selama tiga bulan, lalu aku akan memberimu bayaran mahal sesuai yang kau butuhkan.”

Binar mata Naomy meredup. Dia kira pekerjaan seperti apa yang akan Levin tawarkan. Nyatanya, pria brewokan yang lebih mirip om-om itu justru mencari kekasih bayaran.

Tanpa pikir panjang, satu gebrakan meja kembali dibuat, lantas membuat seisi pengunjung rumah makan sampai melihat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status