Selamat hari senin ^^ Adakah yang setia sampai sini? Yuk yuk semangatin author dan dukung buku ini dengan komentar, gems dan ulasan. Dukungan akak-akak sangat sangat berarti ⊂((・▽・))⊃
“Argh … Pandu, siapkan helikopter! Mobil ini terlalu lamban!” bentak Dewa setelah membaca pesan singkat Anna di ponsel Pandu.“I-iya Pak.” Sigap Pandu menghubungi pilot untuk menjemput Dewa di landasan terdekat.Setelah menunggu lebih dari lima belas menit akhirnya Dewa pergi menggunakan helikopter. Sepanjang perjalanan menuju pinggiran kota, hatinya gelisah dan ia mengepalkan tangan di atas paha.“Theo Bradley, berani menyentuh Rosalyn sama saja cari mati!” desisnya.Setibanya di hotel tempat Rosalyn diculik, Dewa melangkah lebar dengan aura dingin mencekam menguasai wajah tampannya. Pria itu menyeret resepsionis untuk menunjukkan di mana kamar Tuan Bradley.Sekarang Dewa bersama staf dan manajer hotel berada di depan pintu. Ia tidak sabar kala manajer menempelkan kunci akses pada sensor. “Lama sekali!” sentaknya.Ketika pintu terbuka, Dewa mendengar lenguhan manja dan suara itu milik … pujaan hatinya. Pria itu terbela
“Tapi aku—”Sebelum Rosalyn menyelesaikan kalimat bantahan, Dewa langsung menyesap bibir ranum candunya. Sebelah tangan lebar pria itu menahan tengkuk Rosalyn dan menekan hingga wajah mereka saling menempel.Dewa benar-benar lepas kendali hari ini. Ia tidak memedulikan status ‘cerai’ di antara mereka, baginya Rosalyn hanya milik seorang Antakadewa Caldwell.Bahkan saat ini tangan satunya lagi menyusup ke dalam gaun dan menurunkan stocking hitam. Tanpa buang waktu jemari pria itu menari-nari di dalam lapisan kain tipis yang melekat pada kulit.Rosalyn melenguh, “Uh …”Ia tidak bisa menolak lantaran tubuhnya telah dikuasai hasrat yang menggebu. Meskipun saat ini Rosalyn ada di atas pangkuan Dewa, tetap saja seluruh persendiannya berubah lemas.Terlena dan terbuai oleh sentuhan yang telah lama tidak dirasakan, Rosalyn juga membalas pagutan Dewa. Seketika rasa malu menguap entah ke mana.“Dewa … pelan-pelan, uh.” Rosalyn meremas kuat pundak kokoh sang mantan.“Aku tidak akan menyakiti ana
“Kenapa kepalanya menunduk? Memangnya tidak pegal?” bisik Dewa—bibir pria itu menempel pada daun telinga Rosalyn.Dewa menjulurkan satu tangan ke depan dan meraih salah satu aset sensitif milik Rosalyn. Jemarinya berputar halus seringan bulu pada kulit mulus padat berisi. Rosalyn menggigit bibir bawahnya dan melenguh kecil. Sehingga Dewa yang duduk di belakangnya mengulum senyum.Rosalyn bergerak gelisah. “Dewa … uh, kita sudah dua kali.”“Oke, sekarang kita mandi saja. Lagi pula aku tidak mau kamu kelelahan,” kata Dewa menyudahi gerakan tangannya.Pria itu menggeser posisi tubuh semakin maju. Alhasil kulit dada bidang yang ditumbuhi rambut halus melekat tanpa jarak dengan punggung mulus seputih susu. Rosalyn sempat tersentak tetapi merasa nyaman, ditambah berendam air hangat di jacuzzi membuatnya lepas dari kepenatan masalah.Bahkan Rosalyn menyandarkan kepala pada bahu kokoh sang mantan. Ia membiar
“Bukankah Anda tahu Rosalyn itu istriku?!” Dewa menggeram kala menatap wajah yang berekspresi tak berdosa. Hanya saja ia tidak bisa memberi hukuman pada lelaki itu.“Dengar ya Dewa, aku tidak melakukan apa pun. Malahan aku korban kekerasan mantan istrimu!”Saat ini Dewa sengaja menemui Theo Bradley di salah satu hotel milik pria itu. Ia menginterogasi dengan melontarkan pertanyaan.Mata elang Dewa mengamati luka lebam pada sudut mata pria itu.“Aku bersumpah belum menyentuh Rosalyn. Kalau tidak percaya ya visum saja,” ceteluk Theo dengan mudahnya.Amarah masih bergelayut pada rongga dada, Dewa merangsek maju meraih kerah kemeja Theo dan menyudutkannya pada dinding.“Tapi kamu memaksa istriku berhubungan intim denganmu!” Sepasang manik kelabu berkilat.“Iya tadinya tapi dia tidak mudah ditaklukan!” seru Theo menunjuk sudut mata yang membiru. Pria Casanova itu melanjutkan, “Ngomong-ngomong dia bukan istrimu lagi, kalian sudah bercerai. Sebaiknya kamu jangan posesif padanya. Wanita mandir
Fabian mengepalkan tangan mendengar saran Dewa. Pria itu mengingat peristiwa sore hari tadi di mana Fabian melihat siluet aktivitas panas yang dilakukan Dewa dan Rosalyn. Saat itu juga ia merasa hatinya semakin hancur.“Tidak ada wanita yang seperti Rosalyn,” keluh Fabian.“Ya memang tidak ada. Makanya aku tidak akan pernah melepasnya!” Dewa tersenyum.Semakin lama kedua pria itu tenggelam dalam buaian alkohol. Sebelum mereka hilang kendali, Pandu membawa para tuan muda pulang.Sesampainya di mansion, kedua pria itu menimbulkan kegaduhan. Pandu meminta petugas keamanan membantunya membawa Fabian dan Dewa ke dalam. Tatkala pintu terbuka, semuanya tersentak melihat Rosalyn tengah duduk sambil bersedekap dada.Tadi Rosalyn sempat terbangun dan mencari-cari Dewa. Setelah satu jam, ia tidak menemukan mantan suaminya dan Fabian. Menurut pelayan, keduanya pergi tetapi hingga larut malam belum kembali.“Kompak sekali. P
Demi memuaskan rasa haus akan jawaban yang sebenarnya, Dewa bergegas menghampiri sang ayah dan Rosalyn di ruang keluarga. Ia melihat wanita pujaan hati tengah duduk santai sembari menyesap teh.“Ayah? Rosalyn?” kata Dewa, tetapi bola matanya tertuju pada Rosalyn seorang.“Duduklah!” titah Arjuna.Dewa memilih mendaratkan bokong di samping Rosalyn. Pria itu tersenyum tetapi Rosalyn memalingkan muka, seolah-olah jijik melihat Dewa. Ia menghela napas, menyakini bahwa wanita di sebelahnya salah sangka perihal noda make up pada kemeja.Alih-alih berbincang berduaan, justru Dewa mengkonfirmasi status pernikahannya pada sang ayah.“Ayah sengaja memalsukan akta cerai? Kenapa?”Raut wajah Arjuna sama sekali tidak terkejut, pria paruh baya itu menyeringai tipis sambil memperhatikan menantu serta putra sulungnya.“Bagaimana perasaanmu setelah bercerai?” Arjuna menatap tajam pada Dewa.“I-tu aku ….” Bibir sensual Dewa terlalu gengsi mengungkapkan kebenaran, bukannya memberikan jawaban, ekor matany
Sekarang mereka telah tiba di Luxury Hotel Jenewa.“Kenapa pisah kamar? Kita masih suami istri!” Dewa terbelalak kala mengetahui Rosalyn telah memesan dua kamar sebelumnya.Tak menanggapi ocehan keterkejutan sang suami, Rosalyn berjalan menuju lift. Ia meninggalkan Dewa sendirian di lobi.“Rosalyn tunggu!” Dewa berlari, beruntung lift terbuka lagi.Saat ini Dewa ingin melayangkan protes, tetapi tidak bisa. Sebab terlalu banyak orang dalam lift. Ia tidak mungkin mengumbar masalah rumah tangganya.Beberapa saat kemudian pintu lift terbuka, Rosalyn keluar lebih dulu. Dewa mengejar istrinya yang diam tanpa kata.“Ini punyamu,” kata Rosalyn sembari menempelkan kartu akses pada dada bidang.“Aku mau tidur satu ranjang denganmu!” sergah Dewa.“Tapi aku tidak mau,” tolak Rosalyn sambil tersenyum manis.Ekspresi wajahnya itu sangatlah manis sekaligus menggoda di mata Dewa. Membuat pria itu bagai tersengat aliran listrik.“
“Apa kubilang, dia bukan kakak yang baik.” Dewa memandang bengis pada punggung Kevin.Pria itu hendak meraih tangan Rosalyn tetapi ditepis. Rosalyn malah memandang penuh harap pada Dewa. Sepasang netra hazelnya seakan mengiba pertolongan.“Ah baiklah. Kamu tunggu di sini. Aku membujuk Kevin.” Dewa berlalu dari hadapan sang istri lalu mengejar kakak ipar. “Tunggu! Kevin Keller!” Suara bariton Dewa menggema di lobi.Namun Kevin tak berniat menghentikan langkah atau menoleh pada sumber suara. Bahkan Kevin berdecih sinis kala mendengar langkah kaki Dewa semakin dekat.Sedangkan Dewa menambah kecepatannya, lalu memegang pundak kakak ipar. Seketika lelaki itu membalik sambil melayangkan kepalan tinju pada Dewa.“Berengsek! Apa maumu, hah? Tidak bisakah kalian membiarkan hidupku tenang?!” seru Kevin mengundang perhatian dari pengunjung lain yang hendak masuk hotel.“Turunkan nada bicaramu?” Sebagai seorang presdir tentu saja Dewa geram tidak dihargai oleh lelaki tanpa status seperti kakak ipa
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh