Pembantu. Ah, sompret! Perempuan itu jadi mengingatkan Nuning soal taruhannya, tepat di saat ia kepingin rebahan. Mau nggak mau, Nuning kudu melakoni taruhannya mulai sekarang. Untung sarapannya sudah kelar. Sudah minum obat dan vitamin, juga asam folat yang sangat penting bagi janinnya. Sesuai nasihat dokter Viona.
"Selamat pagi." Nuning menyapa tamunya. Memaksa bibirnya tersenyum meski sebenarnya ogah. Apalagi perempuan cantik di depannya itu malah membalasnya dengan tatapan mencela.
"Tolong bikinin aku lemon tea, tanpa gula. Aku sedang diet," jawab perempuan itu tanpa benar-benar menatapnya. Sebab rumah Vincent lebih indah untuk dikagumi dan dilihat-lihat daripada repot-repot memperhatikan seorang pembantu.
"Baik. Lalu, Anda ingin minum apa, ... Pak?" tanya Nuning kepada Vincent yang lekas mengalihkan tatapannya saat pandangan mereka beradu. 'Sombong amat!' pikir Nuning yang cuma bisa mencebik dalam hatinya.
"Ayo," ajak
Nuning menguap panjang lalu melirik jam digital di atas nakas yang menunjukkan angka dua belas. "Wah, aku tertidur dua jam. Lumayanlah," gumamnya sambil menendang selimut yang menutup tubuhnya. "Eh, kayaknya aku tadi tidur nggak pakai selimut deh," gumamnya lagi dengan kening berkerut. Tapi, kalau bukan dia sendiri, memang siapa yang kurang kerjaan menyelimutinya? Vincent? Ah, nggak mungkin! Lalu mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Pasti dia tak sadar menyelimuti dirinya sendiri di tengah tidurnya tadi.Nuning menuruni tangga dengan hati-hati, nggak bisa pecicilan kayak dulu lagi. Sebab, ada janin yang harus dilindunginya sekarang. "Vin?" panggilnya saat merasakan suasana rumah yang sepi. Ia pikir, Vincent masih sibuk di ruang kerjanya. Jadi dia tak memanggil lagi, takut mengganggu."Ah, capek-capek masak malah nggak dihabisin. Dasar, ngerjain orang hamil aja," gerutunya sambil membawa dua piring nasi goreng yang cuma disentuh sedikit saja. "Bikin mubazir aj
Nuning garuk-garuk kepala. Duh, ternyata inisiatifnya keliru! Dia ingin menjelaskannya kepada Vincent, tapi pria itu keburu menelepon Siska. Dan dari caranya menatap, Nuning lekas tahu kalau Siska pasti sudah mengadukan soal pengusirannya tadi."Maaf, ... aku salah." Nuning bicara sebelum Vincent sempat menegurnya."Mestinya kau telepon aku dulu sebelum melakukannya. Dia rekan kerjaku. Kami sedang ada pekerjaan yang sangat penting. Mulai hari ini, dia akan sering-sering ke sini.""Apakah, ... memangku perempuan yang menjadi rekan kerjamu itu hal yang biasa? Gara-gara itu, kupikir dia perempuan nakal yang hanya ingin menggodamu demi tujuan dan keuntungan pribadi. Memangnya kamu nggak lihat, tatapannya tadi yang melihat isi rumahmu seperti rujak segar yang sangat nikmat disantap siang-siang begini?" ujar Nuning begitu tiba-tiba dan membuat Vincent menyipitkan mata memandanginya."Kamu ... ingin makan rujak?" sahut Vincent terdengar antara meneba
Nuning keluar dari komplek perumahannya, menuju sebuah pusat kuliner yang cukup jauh dari rumah Vincent. Di tempat itu tersedia aneka kuliner legendaris khas peranakan. Tempatnya luas dan ramai. Semacam Chinatown, yang berdiri di lahan sekitar lima ribuan hektare. Ada puluhan tenant yang mengisi tempat ini. Nuning pun menyusuri setiap tempat dengan tatapan kagum. Melupakan misi utamanya mencari es kelapa. Terlebih karena suasana khas negeri Tiongkok yang semakin terasa dengan adanya banyak ornamen, mural, dan diorama yang sangat kental oleh sentuhan budayanya. Kawasan ini juga menyuguhkan hiburan khas, seperti barongsai, tarian seribu tangan, musik Guzheng, dan masih banyak lagi. Membuat Nuning terperangah senang dan tak bisa berhenti tersenyum."Hoek!" Nuning menutup hidung. Tak tahan mencium aroma makanan yang memenuhi udara. Jika dalam kondisi normal, pasti selera makannya yang terangsang. Berhubung sedang hamil muda, aroma itu justru merangsang rasa mualnya.
Nuning lekas mengganti baju Cheongsam dengan bajunya begitu waktu sewa sudah habis. Lalu melanjutkan pencariannya yang belum pasti dengan tatapan bingung, sambil menutupi hidungnya dengan satu tangan. Menghalau aroma di sekitarnya yang bisa kembali merangsang mual. Tanpa menyadari Vincent selalu mengikutinya di belakang, sambil memperhatikan semua yang dia lakukan. Saat bahu Nuning bersenggolan keras dengan seorang pengunjung, tangan Vincent refleks terulur, namun ditariknya kembali saat Nuning terlihat tak bermasalah dengan itu. Wanita itu melanjutkan jalan-jalannya dengan santai. Sesekali Nuning melipir ke pinggir hanya untuk memijiti kakinya. Vincent menghela napas mengawasinya.Langkah Nuning terhenti begitu mendengar musik Ghuzeng sedang diputar di sebuah tenant. Dia tersenyum seraya bersedekap. Lalu matanya terpejam, seakan begitu menikmati alunan musiknya yang terasa syahdu. Sambil mengelusi perutnya dengan sepenuh sayang. Melihatnya, hati Vincent terasa dicubit-cubit.
Sesuai dugaannya, Siska terbelalak melihat Nuning memasuki kamar Vincent seperti memasuki kamarnya sendiri. Setelah Nuning keluar dengan membawa kunci, perempuan itu lekas memepetnya ke tembok dengan setengah mendorongnya. Secara refleks, Nuning memegangi perutnya. Menjaganya dari benturan yang tak diinginkan. "Memangnya Vincent mengizinkanmu sampai seperti ini?" desak Siska dengan sorot ketidaksukaan yang kian menyala."Saya cuma disuruh, kok. Nggak percaya, tanya langsung Pak Vincent aja," sahut Nuning enggan diintimidasi.Siska bisa melihat sorot melawan dalam tatapan Nuning. Dia mulai sadar, Nuning tak selugu yang ia pikir. Entah kenapa ia sudah tak menyukai pembantu Vincent satu ini sejak awal bertemu. Mungkin ia tak suka terhadap cara Nuning menatapnya, seakan si pembantu ini bisa begitu jelas menangkap maksud terselubungnya mendekati Vincent. Ya, selain untuk bekerja sama, Siska memang ingin menjadikan Vincent sebagai kekasih. Apa salahnya, mereka kan sama-sama
Jaka turun dari mobilnya dan menatap rumah Nuning dengan jantung berdegup hebat. Kilasan masa lalu tiba-tiba muncul memenuhi benaknya. Janur kuning yang melengkung dan sebuah tenda biru pernah berdiri dengan cantik di halaman rumah ini, sekitar dua belas tahun lalu, saat pernikahannya dengan Nuning. Hatinya seketika dicubit-cubit sakit oleh kenangan yang masih saja terus mengganjal. Sulit baginya untuk menerima kenyataan pahit harus kehilangan Nuning pada akhirnya, tepat saat Jaka mulai menyadari betapa berartinya dia. 'Aku mencintaimu, Ning,' bisiknya dalam hati. Kalimat yang belakangan ini kerap diucapkannya bagai sebuah mantra penyembuh luka, setiap kali hatinya tengah dicabik sesal. "Permisi ...," sapanya sambil melongok ke dalam rumah yang pintunya tak ditutup rapat. Jaka mendorongnya, menemukan sosok Bu Parmi yang sedang menonton televisi. Namun dengan sorot mata kosong. Seakan pikirannya sedang terbang ke tempat lain. Jaka melepas sepatu, lalu melangkah masuk un
Nuning tak menampakkan batang hidungnya saat tiba makan malam. "Ning ...!" panggil Vincent seraya melirik ke lantai atas. Ditunggunya beberapa menit, tapi tak ada tanda-tanda kemunculan wanita itu sehingga Vincent menaiki tangga dan mengetuki pintu kamarnya yang tak dikunci. Vincent memang melarang Nuning menguncinya, kecuali saat sedang butuh privasi seperti sedang mandi atau ganti baju. "Buat jaga-jaga kalau ada kondisi darurat, misalnya aku sedang membutuhkanmu untuk menyetrika bajuku, padahal kamu sedang tertidur pulas dan sulit dibangunkan hanya melalui ketukan di pintu," katanya dulu. Alasannya tentu saja sukses bikin Nuning mengerutkan kening. Contoh kondisi darurat yang sungguh aneh, seorang Vincent kan punya lusinan stok pakaian yang sudah rapi di lemarinya?"Ning ...?" Vincent seketika menelan kembali suaranya demi melihat wanita itu sudah tidur dengan posisi meringkuk seperti bayi. Lalu menggelengkan kepala melihat tirai jendela yang belum juga ditutup, padah
Nuning mendorong pintu ruang kerja Vincent. "Bu Siska, pesan bakso ya? Sudah datang nih," katanya memberi tahu Siska yang terlihat asyik dengan pekerjaannya. "Iya, kamu panasin lagi ya kuahnya," jawab Siska tanpa menoleh. Nuning menghela napas sabarnya sambil menutup pintu. Aroma kuah bakso itu amat menyiksanya, tapi ia tak punya alasan yang cukup untuk menolaknya. Mau tak mau, Nuning menahan napasnya kuat-kuat selama proses memanaskan kuah. Tak butuh waktu lama mendidihkannya, tapi bagi Nuning rasanya seperti setahun! Nuning menuangnya ke mangkuk lalu menghidangkannya di meja makan. "Banyak amat sih yang dia beli," gerutunya melihat tiga bungkus bakso yang dibeli Siska. Lalu diam-diam nyengir ..., kalau dalam kondisi normal, dia sanggup menyikat habis semua bakso ini. Sayangnya dia sedang hamil muda sekarang, kondisi bisa berbalik drastis. Hanya mencium aromanya saja, justru isi lambung Nuning yang bisa-bisa disikat habis. "Bu Siska, baks
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m