Nuning mendorong pintu ruang kerja Vincent. "Bu Siska, pesan bakso ya? Sudah datang nih," katanya memberi tahu Siska yang terlihat asyik dengan pekerjaannya.
"Iya, kamu panasin lagi ya kuahnya," jawab Siska tanpa menoleh.
Nuning menghela napas sabarnya sambil menutup pintu. Aroma kuah bakso itu amat menyiksanya, tapi ia tak punya alasan yang cukup untuk menolaknya. Mau tak mau, Nuning menahan napasnya kuat-kuat selama proses memanaskan kuah. Tak butuh waktu lama mendidihkannya, tapi bagi Nuning rasanya seperti setahun!
Nuning menuangnya ke mangkuk lalu menghidangkannya di meja makan. "Banyak amat sih yang dia beli," gerutunya melihat tiga bungkus bakso yang dibeli Siska. Lalu diam-diam nyengir ..., kalau dalam kondisi normal, dia sanggup menyikat habis semua bakso ini. Sayangnya dia sedang hamil muda sekarang, kondisi bisa berbalik drastis. Hanya mencium aromanya saja, justru isi lambung Nuning yang bisa-bisa disikat habis.
"Bu Siska, baks
"Vin, aku ...," Nuning tiba-tiba speechles. Lalu menunduk. 'Cukup, Ning. Pembelaan dirimu hanya akan memperburuk keadaan,' dalam hatinya menasihati diri sendiri. Nuning menggigiti bibir, menunggu saja penghakiman dari Vincent."Naiklah ke kamarmu," ujar Vincent datar.Nuning terperangah menatap pria itu, tanpa mampu membaca sorot matanya. Lalu menoleh kepada Siska yang masih memegangi pipinya sambil menunduk. "Aku ..., tak sudi minta maaf padamu," desisnya sambil lalu. Kemarahan dalam suaranya cukup jelas didengar oleh Siska maupun Vincent.Vincent mengekori Nuning yang sedang menaiki anak tangga dengan tatapannya. Setelah memastikan Nuning kembali ke kamar, Vincent menatap Siska. "Sudah kubilang kan, urusi saja apa yang menjadi urusanmu?" tegurnya terlalu to the point."Vin, ... aku tadi menegurnya karena---""Aku saja tak pernah menegur tentang pekerjaannya.""Bukan soal pekerjaan, Vin. Tapi, attitude
"Baiklah! Aku akan membawanya ke Rumah Sakit. Kamu tenanglah ...," ujar Vincent seraya memegangi kedua sisi pundak Nuning dan setengah mengguncangnya untuk mengendalikan emosi wanita itu. "Semua baik-baik saja," bisiknya lembut seraya menatap Nuning dalam-dalam. Saat Nuning balas menatapnya, dia lekas berkata lagi, "Naiklah ke atas, istirahatlah. Aku akan membereskan semuanya," angguknya meyakinkan. Lalu membantu Nuning berdiri dan memapahnya naik tangga. Setiba di lantai atas, Vincent lekas menggendong tubuh lemah wanita itu ke dalam kamar, meletakkannya ke ranjang dengan hati-hati, lalu menyelimutinya.“Istirahatlah dulu, jangan ngapa-ngapain. Biar nanti aku saja yang membereskan kekacauan di dapur,” ucapnya sambil menepuk-nepuk wajah Nuning yang pucat.“Bawa dia ke Rumah Sakit, dia ..., berdarah .... Selamatkan dia,” ujar Nuning sambil terisak.Vincent menghela napas dalam-dalam. Dia tahu, bukan Siska dan darahnya yang mengguncang Nuni
Nuning masih menangis dalam kamarnya. Petaka di hari pernikahannya dengan Jaka hari itu menyulut kembali kegelisahannya yang terdalam. Mengaduk-aduk emosinya. "Vincent kok baik banget sih jadi orang? Aku takut lama-lama jadi suka sama dia. Seperti aku dulu menyukai Jaka, padahal sudah ada Erna di hatinya. Sekarang, Vincent juga sudah punya Siska. Aku nggak boleh suka sama dia! Tapi, kalau dia selalu baik kayak gitu, lama-lama aku bisa ...," Nuning semakin tersedu-sedu dalam tangisnya. "Aku tahu ujungnya bakal gimana. Akulah yang bakal sakit hati. Aku juga yang akan terisiksa kedua kali karena selalu salah mencintai," isaknya terdengar nelangsa."Stop, Ning! Jangan nangis, nanti bayimu bisa dengar dan ikut sedih, nanti bisa mempengaruhi pertumbuhannya," bisiknya kepada diri sendiri sambil mengusapi perutnya. Lalu menyibak selimutnya. Membuka-buka lemari, menyambar baju-bajunya dan dimasukkan ke dalam kopor. "Aku harus menjauhi Vincent, aku nggak boleh lama-lama di sini," gumam
Jimin menggerutu karena Jaka tak jua mengangkat panggilannya, meski sudah berkali-kali dihubungi. Lalu garuk-garuk kepala. Mau tak mau, dia membuka tas Nuning untuk mengambil ponselnya. “Maaf ya, Ning. Kondisi darurat, aku nggak bermaksud lancang membuka-buka barang pribadimu,” gumamnya sambil mencomot sebuah benda pipih dari dalam tas. “Jiaah, hapenya malah modyarr!” Jimin geleng-geleng kepala sambil mencari-cari stop kontak untuk mengisi daya ponsel milik Nuning. Lalu menunggunya sambil mengisi formulir. Sementara Nuning sedang diinfus di dalam.Beberapa menit kemudian, Jimin menyalakan ponsel itu. “Untung nggak dikunci-kunci segala,” desahnya lega sambil mengecek nomor kontaknya. Tertegun melihat cuma ada lima nomor yang tersimpan di sana, “Dokter Jinot, Dokter Viona, Jimin, Mas Bambang, Vincent,” gumamnya saat membaca daftar kontak. Kemudian Jimin mengecek isi aplikasi pesan untuk mendapatkan informasi, dan menemukan puluhan
Vincent membeku di tempatnya. Tangisan Nuning terasa begitu menyakitinya. Tangannya terkepal erat, membayangkan dirinya sedang berhadapan dengan Jaka. Jika pria pengecut itu tak bisa menikahinya, kenapa harus menghamilinya?! Ingin sekali Vincent meninjunya. Bahkan rasanya, pukulan saja tak akan cukup untuk membalas seluruh rasa sakit yang diderita Nuning akibat ulahnya.Tiba-tiba, Vincent direjam rasa bersalah yang mencekik. Teringat akan sikapnya yang sudah tak adil kepada Nuning. Yang terang-terangan memperlihatkan sikap ketus dan rasa jijiknya begitu mendengar berita kehamilannya. Padahal, Nuning pun tak mengharap dirinya seperti itu. Masih teringat olehnya, tatapan sedih sekaligus tegar wanita itu kala memohon kepadanya, "Vin, maafin aku. Aku nggak tahu tentang ini, sungguh. Apa kau akan mengusirku? Kumohon jangan, demi bayi ini. Izinkan aku tinggal. Aku, ... tidak punya tempat lain lagi."‘Demi bayinya’ ..., bahkan wanita itu tak lagi memikirk
Tiada pesta meriah untuk merayakan pernikahan itu. Sebab kedua mempelainya sendiri menolak. Namun Nyonya Rose tetap saja menggelar pesta kecil-kecilan bagi keluarga inti saja, yang diadakan di rumah Vincent. Yuna turut hadir bersama Alex dan ketiga anaknya, jauh-jauh datang dari New Zealand demi memberi ucapan secara langsung kepada adik semata wayangnya. Bagi Nyonya Rose, hal ini sudah lebih dari cukup."Ini menjadi mewah karena Alex sendiri yang memasak semua hidangan ini. Kurang spesial apa lagi coba, yang memasak seorang International Chef," ujar Nyonya Rose dengan senyum bahagia lahir batin. Terlebih melihat pertumbuhan ketiga cucu perempuannya yang terlihat semakin besar dan cantik-cantik, juga pintar."Ayo, Ning ... dimakan, biasanya kan kamu lahap banget? Mama kangen meihat kamu makan," tegur Nyonya Rose melihat Nuning kalem-kalem saja memandangi meja yang dipenuhi aneka makanan yang menggiurkan. Tapi, tentu saja menggiurkan bagi orang norm
Bu Parmi tersenyum melihat Nuning dan suaminya terlihat begitu mesra, lengket seperti amplop dan perangko. Vincent merangkul pundak Nuning bagai memberi perlindungan, sementara satu tangannya diletakkan di perut istrinya sambil mengusapinya dengan sayang. Untuk sejenak, jantung Bu Parmi berdetak lebih cepat. Curiga kalau anaknya sudah hamil duluan. Lalu menyipit memandangi perut Nuning yang sejak kemarin selalu memakai baju model baby doll sehingga menyamarkan bentuk perutnya. Kemudian ia menggelengkan kepala, tak ingin berpikir rumit lagi. Toh mereka sudah resmi menikah. Cuma agak heran, kok bisa-bisanya puterinya menikah secepat ini setelah baru putus dari Jaka? Benarkah Nuning mencintai suaminya ..., atau hanya memanfaatkan kesempatan yang kebetulan lewat saja sebagai pelarian dari patah hatinya?"Nak Vincent nggak kepingin ikut jalan-jalan ke pantai sama yang lain?" tegurnya sambil berjalan mendekat dengan membawa baki berisi secangir kopi untuk menantunya dan se
Nyonya Rose tersenyum puas usai menengok ketiga cucunya yang tertidur pulas di sebuah kamar hotel terbaik di Bandar Lampung. "Kayaknya mereka capek banget, tapi puas dan senang," katanya kepada Yuna."Iyalah, Ma. Sudah lama banget mereka nggak main ke pantai, apalagi pantainya masih terasa alami. Ternyata pantai di sini cantik-cantik juga ya, Ma? Sayang sekali masih minim fasilitasnya. Suruh aja Papa bikin resort di sini, Ma. Selain untuk investasi, bisa buat destinasi kita juga tiap liburan ke sini.""Tadi Mama juga udah sempat ngobrol soal itu ke papamu. Katanya, ada beberapa aspek yang yang masih jadi pertimbangan. Infrastruktur misalnya.""Sayang sekali," sahut Yuna sambil manyun. "Oya, Ma. Jadi, Vincent nggak ikut menginap di hotel nih?""Biarin aja, biar dia merasakan hidup di kampung sama Nuning." Lalu Nyonya Rose tiba-tiba tertawa. "Tapi, barusan Mama dengar dari Helda," Nyonya Rose menyebut nama asisten pribadinya, "katanya Vincent minta di
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m