Sudah sejam Nuning nangkring di jendela kamarnya yang terbuka lebar. Menatap bintang-bintang di langit dalam diam. Membiarkan angin sepoi-sepoi mencipoki wajah masamnya.
Emaknya kebingungan. Kalau anak perawannya guling-guling koprol sampai kamarnya mirip kapal pecah sudah malah tak heran. Tapi. Nuning yang hiperaktif bisa anteng mematung seperti itu, bisa dibilang peristiwa langka!
Si emak mondar-mandir di depan pintu kamar Nuning seperti setrika yang sedang meluruskan baju yang kusutnya sudah kronis, sampai-sampai Bu Parmi tak bisa duduk manis.
Kalau anaknya kesambet setan sepertiny atak mungkin. Bah, yang ada juga setannya gumoh duluan melihat Nuning. Lagipula, hobinya yang suka menyamar jadi setan buat menakuti anak-anak pulang mengaji, bikin para setan tak bisa membedakan lagi Nuning itu temannya apa manusia. Salah-salah nanti bukannya Nuning yang kesurupan setan, tapi setannya yang kesurupan Nuning.
“Kenapa lagi tuh anak ya, Pak?” keluh Bu Parmi tak tahan lagi. Akhirnya perlu tempat untuk berbagi uneg-uneg sama suami, kalau berbagi duit sih Bu Parmi ogah banget. Karena duitnya ya duitnya, tapi kalau duit suaminya ya duitnya juga.
“Anaknya pecicilan ... bingung, anaknya anteng ... kok tambah bingung? Maunya Emak nih macam gimana sih? Ya wajarlah namanya manusia yang punya perasaan punya hati, ya bisa berubah-ubahlah sesuai kondisi.”
“Bukannya gitu, Pak. Emak cuma mikir aja. Kok berubahnya drastis? Tiba-tiba nggak pernah bolos lagi. Rajin belajar. Gemar menabung. Cium tangan Emak kalau mau berangkat dan pulang sekolah. Bahkan sudah tiga bulan ini Emak nggak pernah dipanggil ngadep kepala sekolah lagi. Luar biasa kan? Nah, sekarang kok tiba-tiba jadi pemurung begini? Padahal biasanya nyerocos terus sampai bikin burung beo kita mati stres karena gak kebagian jatah ngoceh. Gimana Emak nggak bingung coba? Gimana kalau ntar tiba-tiba bunuh diri? Emak kan takut.”
“Makanya, Mak ..., jangan kebanyakan nonton Patroli. Jadinya parno sendiri tho. Mikir yang nggak-nggak aja. Lagian nggak ada yang namanya tiba-tiba, Mak. Semua pasti ada sebabnya kenapa Nuning jadi gitu, tapi kita aja yang nggak tahu.”
“Nah, menurut Bapak sebabnya opo?”
Pak Priyo nyeruput kopinya yang mulai dingin. “Jaka tadi ke sini nggak?” tanyanya tiba-tiba.
“Bapak iki pye sih? Lah wong diajak ngomongin masalah Nuning kok malah nanyain Ja-” Bu Parmi terdiam sesaat, kemudian mengangguk-angguk paham. “Hmm. Emak tahu sekarang. Jadi gitu tho?” Bibirnya tersenyum selebar pagar.
“Wah ..., rupanya anak kita beneran udah jadi gadis normal ya, Pak! Kayaknya bener dugaan kita kalau diam-diam mereka berdua ada hati.”
“Itu namanya, witing tresno jalaran soko kulino, Mak. Cinta datang karena terbiasa. Wajarlah, sejak kecil kan mereka dah biasa jadi ‘setan’ bareng.”
Bu Parmi mengangguk-angguk dan menyahut, “Jadi gitu tho. Wih, lega sekarang hatiku, Pak! Bener sampean, Pak. Mereka pasti jatuh cinta karena kebiasaan main bareng. Bukan cuma main bareng sih, tapi juga teman ngibrit bareng pas dikejar-kejar pake celurit sama Mbah Surip gegara ketahuan nyolong mangga!” Lalu tertawa sendiri.
Sekarang sih Bu Parmi bisa ketawa, coba dulu? Mules-mules iya. Sampai stres kehilangan nafsu makan, tapi tak juga bikin badannya kurus. Malah tambah gendut iya karena kekenyangan ‘makan hati’, kenyang mengomel, kenyang menelan kenyataan pahit karena kelakuan anak perawannya lebih mirip buto Cakil ketimbang mirip Dewi Shinta yang ayu dan lemah lembut.
“Mungkin mereka lagi marah-marahan kayak umumnya orang lagi pacaran gitu ya, Pak? Tapi marahannya kok lama banget ya? Udah seminggu ini Jaka nggak kelihatan. Biasanya kan mereka kayak kodok gancet, pecicilan sana-sini bareng.”
“Biarin aja, Mak. Ntar juga baikan lagi. Kayak nggak kenal mereka aja.”
Bu Parmi menghela napas lega karena masih ada yang mau sama anak gadisnya. Meskipun itu si Jaka yang rada koplak juga. Tapi mengingat anaknya juga biang koplak, Bu Parmi merestui saja. Mana ada sih pemuda normal yang mau memacari perawan gesrek macam anaknya selain Jaka? Toh Jaka juga nggak jelek. Aslinya anak itu cakep, cuma karena terlalu sering gaul sama Nuning yang kelakukannya mirip monyet lepas kandang, jadinya ya begitulah, Jaka jadi ikut buluk-buluk dikit. Tapi kalau nanti Jaka jadi orang berduit pasti daya tarik aslinya bisa balik. Pokoknya, Bu Parmi mendoakan asmara Nuning dan Jaka bisa sampai pelaminan!
***
Dugaan Bu Parmi tak sepenuhnya salah. Nuning memang sedang marah-marahan sama Jaka. Kecewa karena Jaka menolaknya. Apalagi sejak kejadian waktu Erna menangkap basah mereka berduaan di kamar Jaka. Seketika itu juga Erna berlari pulang sambil menangis. Jaka ingin mengejar Erna, tapi dengan jahat Nuning menjegal kakinya sampai Jaka ndelusur mencium lantai.
"Apa-apan sih, Ning?!" bentak Jaka marah sambil mengelusi dengkulnya yang lecet.
"Ya nggak apa-apa.” Nuning bersedekap acuh tak acuh. Tiada iba dalam hatinya melihat ekspresi Jaka yang nelangsa.
"Ngapain juga kamu ngejar-ngejar dia? Biar apa gitu? Kamu itu calon suamiku!"
Jaka melotot tajam padanya, Nuning justru membalasnya dengan kedipan sebelah mata.
“K-kamu ...,” Jaka menelan ludahnya. Nuning tahu ada banyak kata yang ingin disemburkannya, tapi entah kenapa cowok itu pilih bungkam seribu bahasa.
Jaka berderap memasuki kamarnya. Nuning menyusul, tapi Jaka mengganjal pintu dengan tubuhnya hingga Nuning hanya bisa menggedorinya saja tanpa bisa memasukinya lagi.
Oke. Baiklah!
Nuning bukannya nggak paham kalau dirinya bukanlah tipe cewek yang diinginkan Jaka sebagai kekasih, apalagi sebagai istri! Tapi ... Nuning terlalu sumpek sama kehidupannya di kampung yang monoton dan membosankan. Dan ikut suami menjadi alasan kuat dan satu-satunya, agar dia bisa lekas minggat menciptakan petualangan baru di kota impiannya. Kota yang kebetulan akan ditinggali Jaka usai kelulusan nanti, Jakarta!
Tapi memaksa Jaka demi memenangkan egonya, rasanya kejam juga. Nuning jadi galau. Jaka terlalu baik untuk dimanfaatkan sedemikian rupa. Bisa saja Jaka bersikap keras lalu meninggalkannya. Tapi sahabatnya itu memilih bersabar menghadapinya. Bahkan mengalah saja saat Nuning menikungnya dari Erna dengan sengaja, dari cinta pertamanya.
Jaka pantas marah padanya. Pantas kalau sudah seminggu ini si jangkung itu tak kelihatan batang hidungnya di sekolah. Membolos ke mana dia? Nuning jadi gusar memikirkannya. Lalu dia bersitatap dengan Erna yang juga sedang mencuri lihat ke bangku Jaka yang kosong. Nuning dongkol dan memelototinya, Erna pun lekas memalingkan wajah dan pura-pura membaca buku.
Nuning tak bisa berpikir jernih sepanjang jam pelajaran. Di tengah jam belajar, dia pun pamit ke toilet tapi ternyata membolos dengan memanjat dan melompat pagar. Lalu berlari menuju rumah Jaka, mencari-cari keberadaannya. Nuning ingin bicara dengannya. Tapi, rumah Jaka digembok.
Masih memakai seragam sekolahnya. Nuning menyusuri tegalan. Nyemplung rawa. Masuk-keluar dari kebun ke kebun. Naik-turun dari satu pohon ke pohon. Mencari Jaka sudah seperti mencari monyet lepas saja. Sampai dengkulnya hampir copot kelelahan memutari kampung. Orang-orang yang dia tanyai tentang Jaka malah balik kebingungan. Kalau Nuning teman gancetnya aja nggak tahu, apalagi mereka?
Nuning tiba di halaman rumahnya sudah lewat azan magrib. Seragamnya kucel dan basah oleh keringat dan air rawa. Rambutnya yang panjang diikat asal-asalan. Awut-awutan karena habis nangkring pohon rambutan. Sempat bikin kaget yang punya pohon karena dikira ada lutung masuk kampung. Untung yang punya pohon tak marah saat memergoki Nuning nangkring di pohonnya sambil menggasak banyak buahnya, sementara kulitnya berserakan di bawah. Malah yang punya pohon bingung, “Itu perut apa gentong? Yakin ntar nggak bakal mencret makan rambutan segitu banyak?” tanyanya antara peduli atau nyumpahin.
“Ning!”
Nuning terlonjak dari lamunan. Untung tubuhnya tak sampai terpental ke kampung sebelah saking kagetnya melihat penampakan Jaka yang tiba-tiba datang menyapanya macam jelangkung linglung.
Nuning ingin memeluk Jaka saking senangnya! Tapi ia malah meninju-ninju kecil lengan sahabatnya yang seminggu ini menghilang. “Wedus gembel! Kemana aja kamu?!” pekiknya riang.
Melihat Jaka sehat dan selamat bikin hati Nuning plong bukan main. Dan memaki Jaka memang cara paling nyaman untuk menunjukkan suasana hatinya yang gembira. “Capek aku tuu nyariin gundulmu, tahu?!” omelnya sembari jejingkrakan riang.
“Ning?” Jaka memanggilnya lagi saat Nuning tertawa ramai-ramainya.
Nuning mendongak menatap Jaka. Tiba-tiba ia merasa janggal saat bertemu tatap dengan bola mata gelap Jaka yang penuh rahasia. Jaka belum pernah bersikap seserius ini padanya.
“Kenapa, Jak?”
Jaka menggigiti bibirnya penuh keraguan.
Nuning mendesah. “Jak, maafin aku ya?” Akhirnya dia buka suara lebih dulu. “Ulahku kemarin-kemarin memang kelewatan. Nggak semestinya aku maksa-maksa kamu buat nikahin aku. Aku janji nggak akan gangguin kamu lagi soal itu. Asal kita jangan marah-marahan lagi kayak kemarin. Kamu nggak perlu lagi menghilang selama ini demi menghindariku lagi, Jak”
Nuning pun tertawa getir. Hangus sudah tiketnya ke Jakarta. Nuning mengibarkan bendera putih dalam hatinya, menyerah. Tapi ini lebih baik ketimbang persahabatannya dengan Jaka yang hangus.
Mendengarnya, Jaka ikut tertawa lirih. Lalu cowok itu tiba-tiba terdiam dan menatap Nuning lurus-lurus dan membuat Nuning mematung. “Ning,” ujarnya seraya meraih tangan gadis itu. Lalu Jaka menghela napasnya dalam-dalam dan berkata, “Oke, ... kita nikah!”
DUARRRR.
Nuning pun mencelat keluar dari orbit bumi, lalu nyungsep di planet Bekasi.
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Wahyuning binti Supriyo dengan mas kawin Tiket Damri ke Jakarta dibayar tunai!”Kepingin rasanya Bu Parmi nutupin mukanya pake gentong. Mestinya ikut lega karena Jaka bisa begitu fasih mengucap akad nikahnya dengan sekali tarikan napas. Kedua saksi pun menyatakan kalau pernikahan itu sah! Sah secara hukum dan agama. Tapi... mas kawinnya itu loh! Bikin Bu Parmi minder sama kasak-kusuk dan tawa lirih mengejek di sekitarnya.Bu Parmi menyarankan seperangkat alat salat saja buat mas kawinnya kalau Jaka belum mampu beliin emas meski segram. Maklum, pernikahan ini terlalu mendadak dan nggak banyak persiapan. Begitu kelulusan sekolah, Jaka datang ke rumah sama pamannya. Bikin Pak Priyo dan Bu Parmi melongo anaknya dilamar secara tiba-tiba. Meski senang akhirnya Nuning ‘sold out’, diam-diam Bu Parmi sedih kehilangan secepat ini. Bagaimanapun tetap ingin mempersiapkan pernikahan ini sebaik-baiknya, meski dengan da
Kata siapa sih malam pertama itu enak? Hoax banget. Soalnya, malam pertama Jaka nggak seasyik ledekan teman-temannya yang pas kondangan pada bawel ’cie-cie’in mulu. Malah ada yang iseng ngadoin obat kuat dan kondom sebungkus. Edyann!Entah apa isi otak teman-temannya sampai ngasih kado macem gituan. Memangnya mereka lupa ya, siapa cewek yang dinikahi sama Jaka? Cewek itu tetaplah buto cakil yang kebetulan terperangkap dalam tubuh mungil Nuning!Mana ada sih perawan yang tidurnya macem orang pencak silat? Habislah badan Jaka ditendangin pas lagi tidur bareng, padahal matanya merem. “Sana aaahhh. Sempit akutuu,” omelnya sambil dorong-dorongin bokong Jaka yang lama-lama jatuh juga dari kasur.Sudah tidur di lantai, kedinginan, digigitin nyamuk, masih juga dikentutin. Mana bauuu banget! Kayaknya ampasnya ikut keluar juga tuh. Bikin Jaka sakit perut karena kekenyangan ngirup bau kentut Nuning yang busuk banget.“Hoeeeekkk
“Pokoknya, kamu jangan ngeloyor sendiri tanpa Jaka. Ingat ya Nduk, Jakarta itu kota besar, jangan kamu samain kayak kampung kita yang biasa kamu jajah seenaknya. Hati-hati sama orang berduit. Katanya mereka bisa melakukan apa saja, salah jadi benar dan benar bisa jadi salah, orang kecil macam kita pasti kalah. Jauh-jauhin orang-orang macam gitu ya, Nduk...” cerocos Bu Parmi kasih nasihat saat mengantar Nuning di terminal.“Makanya aku juga mau cari duit yang banyak, biar nggak kalah sama mereka. Emak nyantai aja. Aku kan bukan anak kecil lagi. Selagi bisa baca tulis dan punya mulut buat nanya, nggak bakalan nyasar di sana. Udah ah, jangan mewek. Nganterin orang mau pergi ke Jakarta kok kayak nangisin mayat mau dikubur aja,” cebik Nuning.Bu Parmi geregetan dan menjitak kepalanya. “Dibilangin orang tua kok nyauuut aja! Kualat ntar baru tau rasa!”“Husss, Mak! Anaknya mau nyebrang kok malah nyumpahin&ldquo
Memasuki kamarnya menjelang malam, Nuning memakai lotion nyamuk sampai habis sebungkus. “Nggak kasihan kulitmu ntar keracunan?” komen Jaka sambil geleng-geleng kepala.“Salah sendiri punya rumah kok ndeso banget. Udah di pojokan kebon, jauh dari rumah orang-orang pula. Kuburan aja masih lebih rame dempet-dempetan. Ini sih nggak ada bedanya sama suasana di kampung kita. Masih mending di kampung malah, nggak banyak nyamuk kayak sini. Nyamuk kampung mah masih tahu permisi, kalau gigit satu-satu gantian. Nggak keruyukan ugal-ugalan kayak gini!”“Ya udah, apa mau balik lagi ke kampung? Nggak masalah, besok kuanterin.”Nuning buru-buru nemplok mepetin Jaka. “Ih, kamu mah gituuuu. Nggak bisa selow. Kalem gaess, canda... Sensi amattt?” Sambil main mata macem orang kelilipan. “Cieee... masih marah?” Nuning nyolek dagu Jaka lagi yang cemberut.“Sana, geseran! Husss... husss,” usir Jaka
Sesuai janji, Jaka mengajak Nuning naik KRL dari stasiun Citayem ke Jakarta. “Tapi janji, jangan norak ya! Jangan banyak komen, ojo ndeso...” katanya mewanti-wanti untuk kesekian kali.“IYAAA!”Orang yang berbaris di loket menoleh karena jawaban Nuning yang keras sambil mendelik galak pada Jaka yang kepingin ngacir aja balik ke rumah biar nggak malu. Padahal aja guguk nggak segalak itu kalo dibilangin baek-baek.Sebenarnya Jaka kepingin menggandeng pas mereka nungguin kereta di peron, takut Nuning ketinggalan terus ilang. Nyariin Nuning ilang di kota kan lebih repot ketimbang nyariin anak kutu satu-satu di rambut. Tapi Jaka buru-buru menarik tangannya karena hampir digigit. Buset, galak beutt dah! Jaka jadi tambah repot mesti bolak-balik nengok buat mastiin Nuning tetap ada di sebelahnya. Masa iya mau diiket kayak kambing mau dijual ke pasar? Ini kan manusia. Tapi Jaka sabar-sabarin diri mengingat manusia satu ini seteng
Kalau Jaka mengira Nuning bakal nyasar dan hilang di Jakarta, salah besar! Nuning memang wong ndeso. Gadis kampung. Gadis lugu yang baru pertama sungkeman sama ibukota. Tapi Jaka lupa kalau Nuning nggak selugu itu. Otaknya memang cekak buat menjangkau pelajaran semasa sekolah, apalagi kalau ketemu logaritma dan aneka teori matematika lainnya. Jelas Nuning milih kabur lompat pagar. Mendingan ngitung kebo di sawah. Tapi ada satu yang paling Nuning ingat tentang matematika, yaitu probabilitas. Cabang matematika yang paling tricky. Kelihatan sederhana tapi sebenarnya sulit dipecahkan dan butuh pola pikir strategis memecahkan persoalan. Karena sebenarnya nggak ada pattern matematis yang langsung untuk menyelesaikan tebak-tebakan yang diberikan. Dalam hal ini mirip tebak-tebakan tentang kehidupannya di ibukota dengan berbagai kemungkinan.Nuning telanjur melempar dadu permainan kehidupannya di ibukota, nggak ngarep bisa langsung dapat titik enam dalam sekali lempa
Setelah dapat kerja, meski cuma kuli dan tukang petik buah, Nuning pikir hidupnya bakalan baik-baik saja. Ternyata Jakarta nggak sehoror yang orang-orang bilang. Tingginya pengangguran dan tingkat kriminalitas memang kudu diwaspadai tapi bukan untuk ditakuti. Nuning nggak mau pikirannya diintimidasi sama hal-hal yang belum tentu terjadi. Waspada itu wajib, tapi parnoan jangan. Seringkali kenyataan nggak seangker isi pikiran. Jangan sampai rumor buruk tentang ibukota merusak impiannya.Impian Nuning kepingin menghabiskan masa mudanya dengan senang, kenyang, tapi tetap banyak uang. Gimana caranya? Nggak tau. Nuning masih belum mikirin. Yang ada aja dijalanin dulu. Step by step, kira-kira gitulah bahasa Inggrisnya. Tapi kalau bahasa bapaknya, alon-alon asal kelakon. Sementara bahasa Nuning sendiri, “Selow... santai... santai... jodoh nggak akan kemana,” kayak lagu dangdutnya Via Valen.Omong-omong soal jodoh, baginya jodoh bukan
"Jangan lupa makan ya, Nduk?""Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."Tapi Bu Parmi malah nangis kejer. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur ya? Nggak pantes nangis macem bayi kayak gitu... Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."Bambang yang ikut menyimak percakapan itu ngumpetin air matanya. Diam-diam dalam hatinya ikutan bangga. Nyesel selama ini keseringan memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang kayak ulat bulu yang suka nggerogoti daun sampai bikin gundul tanaman, tapi setelah berubah jadi kupu-kupu, barulah terlihat manfaat dan keindahannya."Ya Allah... Anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagian emaknya bagai menerima tiga juta. Soalnya ini duit dari Nuning! Tapi jelas bakalan beda lagi ceritanya kalau em
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m