Vincent membuang napas kesal. Perjalanan terkutuk hari ini sukses menambah buruk suasana hatinya. Pikirannya sudah terasa kusut setelah mendengar tangisan Dennis yang memanggil-manggil dirinya dalam video call kemarin. Jantung Vincent terasa diremas-remas melihat putera tercintanya menangis sampai sedemikian rupa. Membuatnya merasa buruk sebagai seorang ayah.
“Vin, kau mendengarku?”
Vincent menoleh, mendapati Carla sedang menatapnya dengan kesal. “Sepertinya kita terjebak salju,” kata wanita itu.
Vincent pun menoleh ke luar jendela dan melihat senja yang semakin gelap. Pusaran salju menutupi seluruh pandangan di luar mobil yang membuat segalanya menjadi tampak putih buram. “Di mana kita?” tanyanya.
“Masih di pedesaan, Tuan, sepertinya kita di tepi Dartmoor. Saya tidak bisa memastikannya karena sinyal GPS mulai hilang,” sahut sopir limusin yang mengantarnya menemui Tuan Alfred, calon investor besarnya,
“Apakah sama sekali tak ada kamar kosong?” Vincent mencoba bernegosiasi.Wanita gemuk di depannya mengangkat bahu sambil menggeleng. “Maaf, tapi kalian bisa beristirahat di sofa itu,” katanya sambil menunjuk sofa butut di mata Vincent, apalagi Carla yang seketika terbelalak ngeri.‘Sofa seperti itu mestinya sudah masuk ke pembuangan sampah!’ batin Carla dongkol sekaligus bergidik geli membayangkan tubuhnya harus bersentuhan dengan kain kasar sofa murahan di sana.Andai tubuh Vincent tak selelah ini, dia bakal setuju saja tidur di manapun. Tapi tubuhnya terasa remuk redam karena agenda perjalanan bisnisnya yang sangat padat dalam minggu ini. Ditambah perjalanan menembus badai tadi. Bisa merebahkan diri di kasur yang empuk, menjadi harapan mahalnya malam ini.“Saya rasa, ... pasti ada. Tolong Anda ingat-ingat lagi.” Vincent mengeluarkan kartu kreditnya. “Akan saya bayar sepuluh kali lipat, atau ...
Selesai mengeringkan tubuh dan rambutnya dengan handuk, Carla memakai sweter krem Vincent melalui atas kepalanya. Terasa hangat dan lembut membalut kulitnya. Carla bercermin. Sweter itu tampak kebesaran, tapi justru terlihat seksi karena menutupi setengah pahanya yang mulus. Carla menyukainya. Dia pun kembali ke dalam kamar dengan penuh percaya diri.Carla membuka pintu, menemukan Vincent yang sedang membelakanginya. Pria itu sedang menatap ke luar jendela, memandangi cuaca bersalju sambil bersedekap. Membuat Carla menelan ludah menatap keindahan punggungnya yang begitu tegap, terlihat sangat pas untuk dipeluknya dari belakang, lalu menyandarkan kepalanya yang berat di sana.Tiba-tiba saja Vincent berbalik dan menatapnya. Carla tertegun, sekilas ia sempat melihat sorot yang berbeda dalam bola mata Vincent yang tampak berkedip-kedip begitu menatapnya. Semacam ekspresi seorang pria yang terpana kala melihat sesuatu yang luar biasa dalam diri seorang wanita, yang membuat
Jaka tersenyum melihat Dennis aktif berlarian mengejar bola di halaman berumput yang dirawat rapi. Sementara si baby sitter yang menemaninya bermain terlihat menyeka keringat di keningnya, kelelahan mengawasi balita aktif itu.“Halo, Dennis!” sapa Jaka begitu turun dari mobilnya.Balita itu terdiam sejenak, tatapannya melebar melihat kedatangan sosok yang kurang familiar di matanya.“Mau main layangan nggak?” Jaka melambaikan layangan berekor panjang yang baru dibuatnya tadi pagi.Mata Dennis membesar, dia mulai teringat sosok uncle yang menjanjikannya bermain layangan semalam, juga berjanji akan membuat layangan bersamanya. “Mauuuu!” jawabnya seraya berlari menujunya. Dia memang sudah menunggu-nunggu layangannya.Jaka lekas menangkap dan mengangkat tinggi-tinggi tubuh balita itu. Membuat Dennis tergelak senang saat Jaka mengayun-ayunkan tubuhnya, mengingatkan Dennis kepada ayahnya yang juga sering melak
Sebenarnya, angin bulan Desember tak cukup baik untuk menerbangkan layangan. Tapi Jaka tak ingin membuat Dennis bersedih. Diajaknya Dennis menerbangkan layangan buatannya di alun-alun. Dennis rupanya tahu tentang alun-alun dari Bambang. Mumpung cuaca hari ini sedang panas, biasanya menjelang sore atau malam, cuaca lekas berubah menjadi mendung. Melihat layangannya akhirnya berhasil mengangkasa setelah berkali-kali gagal terbang, Dennis memekik riang. Menunjuk-nunjuk ekor panjangnya yang menari-nari bersama irama angin. “Uncle Jack, liat... ekornya dancing!” seru Dennis sambil bertepuk tangan. Jaka terkekeh senang sambil menciumi Dennis dengan gemas. Lalu menggenggam tangan kecil Dennis, mengajaknya menarik-ulur benang layangannya, membuat layangan itu meliuk-liuk lincah di angkasa. “Wow ..., beautiful!” pekik Dennis dengan gelak tawanya yang menular. Jaka dipenuhi kebahagiaan yang terasa menenangkan jiwa-raganya. Dipeluknya bal
Bambang begitu menyukai Ririn. Semua yang dilihatnya dari sosok gadis berparas ayu itu hanyalah keindahan. Bahkan saat Ririn memucat malu karena kelepasan kentut di depannya, juga terlihat indah-indah saja baginya. “Nggak perlu malu, Dek Ririn .... Kentut itu kan hal yang normal, bayangin kalau kita nggak bisa kentut? Walah ..., tersiksa loh, Dek!”“I-iya sih, Mas. Tapi kan nggak sopan kalau kentut di depan orang lain.” Ririn jadi salah tingkah di depan kakak majikannya yang ucapannya suka absurd.“Makanya, Dek Ririn jangan anggap aku orang lain. Anggap aja pacar, ... gimana?” tembak Bambang tanpa tedeng aling-aling.“P-pacar?” Ririn jadi semakin memucat ditembak secepat itu oleh seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari.“Kalau nggak mau anggap pacar, ya anggap calon suami juga nggak apa-apa kok, Dek,” cengir Bambang dengan senyum pepsodent.“Cuma dianggap ..., berarti nggak b
“Makanlah dulu, Jak. Emak masak banyak tuh, sekalian mau nitip balikin rantangnya bibimu,” kata Bu Parmi menahan Jaka yang ingin langsung pulang setelah Dennis tertidur pulas. Hubungan Bu Parmi dengan bibinya Jaka memang selalu baik meskipun Jaka dan Nuning bercerai. Justru keduanya semakin dekat karena sering berbagi curhat. Dari sanalah, Bu Parmi mengetahui kondisi rumah tangga Jaka dengan Erna yang ternyata tak seindah kelihatannya.“Mbakyu, Erna itu ternyata kasar bukan main loh mulutnya. Pas saya lagi menginap di rumahnya yang di Jakarta, ndelalah kok mereka lagi ribut di dalam kamar. Saya dengar sendiri Jaka dibentak-bentak. Kalau suaminya nggak sabar-sabar kayak Jaka, mungkin udah kena tangan itu si Erna. Padahal dulu kelihatannya Erna tuh pendiam, malu-malu gitu. Manis banget pas masih pendekatan sama Jaka semasa SMA,” keluh bibinya Jaka dulu kepada Bu Parmi.“Jadi, Erna mirip-mirip Bu Tatik gitu tho kalau sudah ngomel, Jeng?&rdquo
“K-kau ...?” Nuning terbelalak ngeri sambil mengusapi bibirnya, seakan dengan begitu bisa menghapus jejak ciuman Jaka di sana. “Jak!” bentaknya mulai kesal. “Aku tak akan mengizinkanmu bertemu dengan Dennis lagi kalau kau masih seperti ini!” ancamnya sengit.Jaka mengernyitkan keningnya. “Kenapa kau tiba-tiba semarah ini?”“Ya iyalah! Kau tahu aku sudah bersuami, tapi bisa-bisanya kau---“ Nuning menelan ludah. Menggeleng frustrasi. Dia tak ingin bertengkar dengan Jaka. Baru saja dia menemukan kenyamanan bersamanya, tapi pria itu dengan cepat merusaknya.“Karena kamu terlihat lucu di mataku, aku jadi gemas dan menciummu begitu saja,” sahut Jaka dengan entengnya.“Jak, aku ingin kita kembali bersahabat, cuma sahabat. Dan tidak ada yang namanya ciuman antara sahabat. Apa kau bisa? Jika tidak, lebih baik kita hentikan sampai di sini saja. Berarti kita tak akan bisa kembali berteman,
Ririn menarik diri dari pelukan Bambang, lalu menghapus air matanya. Bambang mengulurkan tangan, mengusapi air mata Ririn yang masih menetes. Lalu tertegun saat Ririn mengangkat wajahnya, menatap Bambang dengan sorot mata yang tiba-tiba terasa menyalahkan dengan ketajaman yang menghujam. “Kenapa kau harus sebaik itu kepadaku?” desisnya terdengar membingungkan dan seperti bukan Ririn, ditambah dengan tawanya yang terdengar getir.Bambang sempat berpikir wanita ini kesurupan jin tambak. Tapi bulu kuduknya baik-baik saja, nggak merinding. “Dek, kamu tuh kenapa?” tanyanya dengan nada tenang. Tapi Ririn malah kembali menangis. Bambang menghela napas sabarnya. Melelahkan. Menghadapi wanita itu ternyata melelahkan. Apalagi dengan emosinya yang naik turun kayak gini. Tapi anehnya, Bambang menyukai kelelahannya ini. “Dek, kalau ada masalah ngomong aja, kali aja aku bisa bantuin?”“Kamu nggak bakal bisa bantu, Mas!”“C
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m