“Maafkan atas berita yang kurang berkenan itu, Opa,” ujar Vincent dengan tangan terkepal menahan malu sekaligus rasa tak enak dalam hatinya. Opa Daniel memanggilnya pasti untuk alasan ini, sebab skandal Nuning yang memanas di luar sana turut menyeret-nyeret nama baik kakeknya yang terhormat.
Opa Daniel memandangi Vincent dengan sorot teduhnya. Lalu pria tua itu terkekeh pelan. “Vin, apa kau ingat yang pernah kukatakan dulu? Apa yang membuat orang terpecah belah saling benci, atau memilih bersatu dan saling dukung?”
“Isi pikirannya.”
“Betul, pada dasarnya orang akan dikelompokkan berdasarkan isi pikiran mereka. Dan?”
“Isi pikiran orang bisa mudah berubah-ubah, sesuai informasi yang diterima dan dicernanya.”
“Nah!” Opa Daniel mengangguk-angguk puas karena sang cucu masih mengingat segala petuahnya dengan begitu baik. “Jadi, ini adalah kunci,” ujarnya seraya menunjuk t
Iyem sedang bertransaksi di lapak Parman pagi itu, sedang tawar menawar dengan sengitnya. “Haduh, Mbak Yem! Sampean tuh dikasih duit belanja berapa tho sama Bu Tatik, kok sampai segitu amat nawarnya? ‘Afgan’ betul sampean iki, sungguh ... ‘begitu sadis caramu’ menawar ikanku! Kasihan kan ikan-ikan ini, udah koit masih aja ditawar murah, padahal sudah kehilangan nyawanya yang berharga. Hargai yang banyak dong pengorbanan nyawa mereka demi menyehatkan tubuh manusia,” oceh Parman yang capek menghadapi jurus-jurus akrobatik Iyem dalam hal tawar-menawar.“Makanya aku awet kerja sama Bu Tatik, soalnya aku pinter ngatur duit belanja!” sahut Iyem dengan nada jumawa. Padahal, nggak ngaruh! Lebihnya ya masuk ke kantong pribadi Iyemlah ..., lumayan kan nambah cuan. Sebagai orang kaya, Bu Tatik mana pernah ngasih duit belanja ngepas ke pembantunya, biar bawel gitu, juragannya termasuk royal soal urusan belanja dan sangat mempercaya
Erna meringkuk di ranjangnya dengan mata merah dan bengkak karena semalaman menangisi nasibnya yang sangat malang. Baru juga dia tertawa-tawa puas karena sukses memukul telak Nuning dan Jaka dengan video skandal mereka, kini video syurnya dengan Tristan malah balik mengguncang seisi jagad media sosial dengan tak kalah gemparnya, bahkan seluruh televisi nasional turut ramai membahasnya. Semakin ke sini, berita tentang skandal cinta Nyonya Alessio justru semakin sunyi dari pembahasan, nyaris tak terdengar lagi. Sebab popularitas Tristan sebagai artis papan atas menjadi magnet kuat dalam skandal asmara yang melibatkannya dengan dua wanita cantik sekaligus, di mana Erna menjadi salah satunya.Semua mata media kini beralih tertuju pada Tristan dan dirinya. Meluruhkan kebanggaan Erna terhadap kecantikan dan kemolekannya. Pertama kalinya, Erna membenci dua hal yang sangat berharga bagi dirinya itu. Sebab, wajahnya yang sedang orgasme dan tubuh bugilnya kini terpampang di mana-mana,
“Pantas saja Jaka meninggalkanmu, karena mulut dan tanganmu sangat lancang dan kelewatan!” Bu Tatik menggertak dengan tatapan marah. Jengkel dengan sikap puterinya yang begitu arogan terhadap lelaki sebaik Doni. Bu Tatik juga pernah mendengar Erna memaki Jaka dengan begitu sengit hingga membuat hatinya malu sendiri. Membuat dia sering-sering meminta maaf pada Jaka dan selalu memohon kesabarannya. Bu Tatik kini mulai menyadari, sikapnya sudah tak adil terhadap Jaka selama ini. Dia selalu meminta pengertian Jaka untuk menerima Erna, tanpa berusaha menanamkan pengertian yang sama pada puterinya, agar bisa menerima masa lalu suaminya dengan Nuning.“Jangan sebut-sebut bajingan itu lagi!” ketus Erna tak kalah sengit dari ibunya.Bu Tatik terkesiap mendengar bahasa puterinya yang kasar kepadanya. Seketika dia mengelus dada. “Bajingan kamu bilang? Tapi, bajingan itulah yang sudah bikin kamu nyaris mati dua kali! Bajingan itu pula yang membuatmu t
Liputan gosip selama ini tak pernah menarik bagi Nyonya Rose, tapi kali ini dia justru sangat menunggu jadwal acara itu di semua saluran televisi nasional. Senyumnya pun mengembang lebar setelah memastikan sendiri bahwa Helda sudah mengerjakan tugasnya dengan sangat baik. Semua yang sedang diberitakan, persis sama seperti harapannya. Erna sudah mendapatkan ganjaran yang layak diterimanya. “Itu pelajaran yang sangat bagus untuknya. Berani-beraninya dia mengusik keluarga Alessio,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala.“Bagus sekali, Helda. Aku sangat puas dengan pekerjaanmu yang mulus ini,” katanya sambil tersenyum menatap Helda yang mengangguk hormat kala menerima pujiannya“Maaf, Nyonya ..., baru saja orang saya di lapangan mengabarkan jika Erna sedang hamil. Saat ini sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit karena hyperemesis. Perlukah kita tetap menyeretnya ke penjara?”Nyonya Rose melipat kedua tangannya sambil menyandarka
Sudah setahun Vincent menjabat sebagai CEO. Meski sangat sibuk, tak pernah sekalipun Nuning mendengar suaminya mengeluhkan pekerjaannya. Kesibukan membuatn Vincent harus berangkat pagi dan pulang malam. Banyak hal yang harus dilakukannya sebagai CEO. Relasi adalah pondasi dalam bisnis. Dia pun mulai sering ke luar kota untuk perjalanan bisnis, juga ke luar negeri. Menghadiri acara-acara penting untuk melakukan networking dengan sesama pelaku industri. Nuning pun tak ingin banyak tanya, mengingat Vincent tipikal orang yang sangat serius bekerja dan tak pernah setengah-setengah dalam setiap keputusannya. Tak heran begitu resmi menjadi CEO, dia pun total menjalankan fungsinya. Vincent sadar tanggung jawab besarnya. Ia harus membuat keputusan strategis untuk menentukan misi, visi, dan arah yang ingin dicapai perusahaan. Kemudian memastikan setiap rencana dan pelaksanaannya sesuai dengan strategi secara keseluruhan. Nuning senang melihat Vincent mulai menikmati p
Nyonya Rose syok melihat nilai-nilai Nuning yang dilaporkan oleh Helda sebelum Nuning sempat memberitahunya secara langsung. “Apa-apaan ini?” gumamnya sambil mendelik. Dia belum pernah melihat nilai semengerikan ini. Sebab Yuna dan Vincent sangat cerdas semasa sekolah dan berkuliah, nilai-nilai mereka selalu nyaris mendekati sempurna.Perempuan berperawakan tinggi langsing itu melepas kacamatanya dengan kesal. “Padahal kita sudah memilihkan kampus yang nggak terlalu bergengsi mengingat kemampuan dasar akademiknya. Tapi, masih begini juga hasilnya? Astaga ..., bikin malu saja! Apa yang bisa kuharapkan dari orang seperti ini? Apa kata orang kalau tahu calon penggantiku cuma sebatas ini kemampuannya?” gumam Nyonya Rose terdengar gusar.“Helda, apa saja sih yang sudah kau lakukan untuk membantunya?” Nyonya Rose menatapnya dengan tangan terkepal.“Sebenarnya, Nyonya Vincent sudah cukup disiplin belajar, Nyonya. Beliau tak per
Nuning cemberut mendengar rencana perjalanan bisnis Vincent ke luar negeri menjelang akhir tahun nanti. “Bukannya itu waktu liburan ya?” desahnya sambil menekuk wajahnya, menciptakan guratan kekecewaan yang sangat mengganggu Vincent.“Makanya, ikutlah bersamaku, yuk?” Vincent membungkus tubuh Nuning erat-erat dengan pelukannya yang hangat. Dia sangat memahami kekecewaan istrinya yang sudah sangat menanti-nantikan kebersamaan mereka pada liburan natal dan tahun baru nanti. Tapi apa boleh buat, dia harus ke Eropa untuk urusan bisnis. “Ada investror besar yang harus kutemui langsung di Inggris dan Roma. Kau dan Dennis ikut saja, sementara aku bekerja, kalian bisa berwisata. Pedesaan di Inggris itu cantik-cantik, loh. Kau pasti suka dan ketagihan ke sana. Setelah itu, kita mampir ke Milan. Bertemu keluarga besar Mama, merayakan natal di sana. Papa dan Mama juga nanti menyusul ke sana kok,” bujuknya.Nuning tersenyum kecut. Tahun lalu, di
“Mau sama Uncle Bams aja!” ujar balita tampan itu sambil nemplok erat-erat dalam gendongan pamannya, menggeleng kala Nuning mengulurkan tangan ingin menggendongnya kembali. Ucapan Dennis mengejutkan sekaligus memecah tawa orang-orang yang mendengarnya. “Wah, namamu kekinian jadinya, Mas!” celetuk Nuning. “Wah, iyo! Bisa aja ih, Dennis. Mentang-mentang pakdenya kece, bikin-bikin panggilannya yang kece juga!” sahut Bambang jadi besar kepala. “Kece-bong ..., anaknya kodok!” seloroh Nuning yang langsung disambut jitakan kecil dari Bambang. “Noh ..., kodoknya lagi mewek gara-gara belum bisa gendong cucunya sendiri,” kata Bambang sambil menunjuk Bu Parmi yang lagi nyedot ingus pakai tisu gara-gara kebanyakan menangis bahagia. Dennis menjadi sangat lengket dengan Bambang yang secara tiba-tiba juga berubah menjadi lebih kebapakan. Mungkin karena sudah waktunya menjadi bapak, sayangnya sampai usianya yang sudah sangat matang ini, dia mas
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m