“Harapan seorang ibu adalah melihat anaknya
tumbuh sehat dan ceria”🌹🌹🌹🌹
Siang hari tepat jam dua belas, langit biru yang cerah, matahari bersinar dengan semringah membakar atap seng rumah nan gadang, hingga keluar bunyi denting seperti disiram kerikil.
Seorang perempuan berumur tiga puluh tahunan terlihat bergegas menuruni anak tangga. Langkahnya tegap, bunyi sarung yang dikenakan menderap tegap. Jari-jari lentik menahan gendongan kain panjang yang diikatkan ke bahunya.Ada seorang bayi yang meringkuk di sana. Ayun langkah perempuan itu semakin cepat, menyibak rerumputan di pinggiran jalan. Sesekali tikuluak¹ di kepalanya terburai ke dada menutupi kepala bayi itu, lalu dengan cekatan ia meraih kain penutup kepala itu dan mengusapkan keringat di dahi.
“Maiza, mau kemana?” Seorang perempuan paruh baya yang sedang membersihkan rumput halaman tiba-tiba menyapanya. Sehingga ia berhenti sejenak dan menoleh.“Eh, Mak Uwo Tini. Mau pergi ke rumah Bidan Pen. Rayya demam lagi,” jawab perempuan yang dipanggil Maiza itu dengan terengah-engah.“Demam lagi dia tu? E lah, Nak gadih ketek ko.” Mak Uwo Tini menyambangi Maiza, membuka tabir kain panjang yang menutupi wajahnya, lalu mengusap kepala bayi dua tahunan tersebut.“Iyooo, panas badannya. Bersegeralah pergi! Bertambah panas nanti!” ujar Mak Uwo Tini dengan ekspresi wajah yang iba. “Iya, Mak Uwo,” imbuh Maiza menggangguk, lalu beranjak pergi. Belum beberapa meter terlampaui, terdengar lagi suara Mak Uwo Tini memanggil.“Maiza, Pakiah kemana? Tidak ikut mengantar pergi?” “O … Uda cari rumpuik jawi, Mak Uwo. Belum pulang, Rayya menangis terus. Jadi saya pergi sendiri,” jawab Maiza dengan suara memelas, ia menarik nafas dalam untuk melegakan hati.“Saya pergi dulu, Mak Uwo.”“Elok-elok yo!”²Mak Uwo Tini memandangi punggung yang semampai hingga hilang di bengkolan jalan, lalu kembali membersihkan sampah di halaman,. Beberapa kali menelan saliva, gerak-geriknya sangat gelisah.Sementara Maiza, ia telah sampai di rumah Bidan Pen. Meskipun jaraknya dekat hanya 400 meter dari kediamannya, telah membuat Maiza kehabisan nafas. Wajahnya menjadi merah karena terbakar oleh sinar mentari di tengah hari.Saat memasuki puskesmas, Maiza melihat daun pintu yang terbuka lebar, memberi isyarat pada Maiza kalau Bidan Pen ada di sana. Ia membasahi bibir yang mengering dan mengukir senyuman.“Assalamualaikum, Bu Pen, Buuu,” panggil Maiza, karena belum terdengar sahutan, ia mengetuk pintu dengan buku jari sekali lagi.“Waalaikumsalam. Ya ... sebentar.” Suara medok Bidan Pen membuat Maiza senang, lalu memasuki ruangan periksa. Ternyata Bu Bidan sedang memeriksa seorang pasien perempuan. Kemudian Maiza duduk di kursi kecil yang terbuat dari kayu, menunggu dengan sabar. Setelah beberapa menit menunggu, pasien yang sedang hamil tujuh bulan itu sudah keluar, Maiza pun bergegas memasuki ruangan.“Ibu, Rayya demam lagi. Obat kemarin ndak mempan. Tolong anak saya ya, Bu,” pinta Maiza serak, ia tak tahan melihat putri kecilnya menahan sakit.Kemudian Maiza menidurkan Rayya di kasur yang beralaskan perlak biru, mengusap-usap kepala Rayya yang mengeluarkan hawa panas.“Biar Ibu periksa dulu, ya!” Bidan Pen mendengarkan detak jantung Rayya, melihat lidah dan telinganya. Saat tangan Bu Bidan menyibak baju mungilnya, Rayya menjerit dengan histeris.“Nduk … Nduk, tenang, yaaa! Di sini yang sakit, ibu pijitin, kasiaaan.” Bidan Pen berusaha menghibur Rayya dengan mengusap-usap kepalanya.“Bu Maiza, kasih Rayya ASI biar tertidur, nanti kita timbang beratnya!” titah Bidan Pen. Maiza mengiyakan perintah Bu Bidan, lalu meggendong anaknya, berbalik membelakangi Bidan. Maiza gelisah karena rayya masih menolak untuk menyusu, tetapi karena sudah terlalu haus, ia berusaha menyedot sumber energi itu. Beberapa menit kemudian, Rayya yang sudah lelah karena menangis tertidur pulas di pelukan ibunya. Ketika Bidan memeriksa, ia tidak menyadarinya.“Bu, gimana Rayya?”“Badannya memang panas, nanti saat sampai di rumah--dikompres ya, Bu.”“Kalau masih panas gimana, Bu?”“Gini loh, Buuu. Sering-sering saja anak Ibu minum ASI, biar cepat bertambah beratnya. Apalagi Rayya sudah hampir dua tahun beri aja makanan bersayur, serat yang banyak, makanan kita berikan padanya, dengan begitu akan jarang demam. Melihat kondisi sekarang, anak ibu ini sudah kekurangan cairan, berat badannya jauh berkurang,” jelas Bidan Pen dengan gamblang.“Bu, saya sudah berikan minum yang banyak. ASI juga ada walaupun hanya sedikit, tetapi Rayya sering menolak. Mungkin karena nggak kenyang. Haduuuh, makannya pun milih-milih. Gimana caranya lagi, Bu?” keluh Ibunya Rayya tersebut, ia terbebani dengan kondisi putrinya.“Oke, apa Rayya sudah tidur?” tanya Bu Bidan pada Maiza, dia mengangguk sejenak sambil menanti arahan selanjutnya.“Timbang di sini!” suruh Bidan Pen sambil menunjuk timbangan gantung.Kemudian Maiza meletakkan putrinya pelan-pelan ke rajut timbangan. Rayya kecil menggeliat karena tak merasakan hangat lagi, ia mulai meringis-ringis kedinginan. Maiza dengan segera mendekap di balik timbangan dan menina-bobokannya dengan cara menepuk-nepuk bokong kecil tersebut dengan lembut, hanya dengan beberapa menit berlalu Rayya kembali terlelap.Naluri keibuannya membuncah melihat kondisi anaknya yang sakit. Kasih sayang seorang ibu yang sangat besar untuk anaknya. Kehangatan kasih sayangnya mampu menenangkan putrinya yang tengah berjuang melawan sakit. Bidan Pen segera mengatur berat timbangan. Dahinya mengkerut, bibir bawahnya ditekan dengan gigi, sangat bingung karena dalam dua minggu berat anak itu turun drastis sebanyak 5 ons. Berat badannya yang jauh dari ukuran normal untuk anak umur dua tahun. Hanya berkisar 7- 8 kilogram akibatnya daya tahan tubuhnya sering menurun.“Cepat kali berat badannya turun. Bulan lalu sudah naik ke 8.3 kilogram. Minggu kemarin turun 3 ons, sekarang turun lagi 2 ons. Nggak bisa dibiarkan ini, Bu Maiza. Nanti ia menderita gizi buruk.” Bidan Pen memberi penjelasan pada Maiza tentang kondisi putrinya.“Apa jadinya nanti kalau Rayya menderita gizi buruk, Bu?" tanya Maiza ikutan kaget.“Besarlah pengaruhnya, perkembangannya jadi terhambat. Postur badan bisa kecil, nggak tumbuh besar, rentan sakit. Otaknya pun mengecil, nanti sudah besar bisa pandia . Makanya kita obati dari sekarang biar nggak stunting," jelas Bidan Pen.“Sss—stunntiiing?” tanya Maiza gugup.“Iya, Bu. Artinya terhambat tumbuh kembangnya,” tukas Bu Bidan. Semakin bertambahlah kesangsian ibu muda tersebut, raut cemas terlihat dari tatapan matanya. Betapa tidak? Putrinya yang malas minum apalagi makan. Jika dipaksakan dia bisa muntah, semua telah dilsayakan sesuai dengan anjuran Bidan Pen. Namun, Rayya selalu menolak bahkan betah merengek dalam waktu yang lama sampai mengantuk. Akan tetapi hari ini Rayya semakin rewel saja, Maiza hanya bisa berjalan dambil menghibur anaknya di luar puskesmas, mengajak bercerita supaya menghentikan aksinya. Tak hanya itu, kondisi Rayya tak bertahan lama karena tubuhnya yang masih panas. Tubuhnya rentan sakit dan demam. Ketika sakit tiga bulan sebelumnya, Rayya sempat kejang-kejang. Sehingga suami Maiza terpaksa menjemput Bidan Pen larut malam. Sudah sering menjadi langganan ke puskesmas, sampai Bidan Pen yang keturunan Jawa itu sangat hapal wajah dan riwayat perkembangan Rayya. Kemudian Maiza memandang Bidan Pen yang sedang menulis dan menandai grafik perkembangan pada buku Ibu dan Balita milik Maiza. Bu Bidan mulai menyiapkan resep obat yang akan dikonsumsi balita itu.“Berikan obat ini sebanyak tiga kali sehari, setiap selesai makan padanya! Ini lengkap paracetamol, vitamin dan penambah berat badan.” jelas Bidan Pen sambil memberikan plastik kecil berwarna hijau. berisi obat bubuk.“Makasih, Bu.” ucap Maiza yang masih berdiri menimang putrinya.“O, ya. Ini satu lagi. Habiskan ini dalam lima belas hari. Jadikan sebagai camilan. Meskipun sudah makan beri aja terus. Kalau habis boleh jemput lagi ke sini.” Tambah Bidan Pen dan menyerahkan 2 pack biskuit MP-ASI.“Baik, Bu. Saya akan kembali lagi, kalau sudah habis. Tampaknya Rayya suka biskuit ini, yang kemarin habis sama dia,” jawab Maiza sambil memasukkan obat dan kue tersebut ke dalam tasnya.“Ikut Posyandu hari Senin ya. Ada vitamin dan tambahan makanan untuk bayi,” ajak Bu Bidan pada Maiza.“Iya, Bu. Saya akan pergi. Saya pamit dulu, Bu.” Maiza menggangguk, setelah tiga puluh menit berlalu, Maiza hendak membawa putrinya pulang. Sementara Maiza masih tercenung mengingat kesehatan anaknya, ia menggendong Rayya ke luar dan duduk di teras, lalu rengekan Rayya mengembalikan kejernihan pikirannya. Kemudian dipangkunya Rayya kecil itu dan memasukkannya ke dalam kain panjang, ikatannya dililitkan ke bahu.Panas masih terik. Maiza mengembangkan payung yang baru saja dibelinya di kedai samping Puskesmas. Langkahnya sedikit tertatih, fisik dan psikisnya letih. Beruntung Rayya sedang tidur hingga Maiza tidak begitu kesulitan membawanya pulang.Penjelasan Bidan Pen masih terngiang-ngiang, ia tidak dapat menerima keadaan, gimana kalau putrinya benar-benar menderita penyakit seperti yang dijelaskan. Padahal sudah memberi makan anaknya dengan baik.Ketika sehat Rayya pun makan dengan lahap. Tapi anehnya makanan hanya numpang lewat ke organ pencernaannya, serat gizi dan vitamin seperti tidak terserap dengan baik oleh tubuh Rayya tetaplah kecil mungil.
¹. Salendang perempuan Minang zaman dulu
². Hati-hati.
Next ....
“Simpanan terbaik adalah amal saleh.”🌹🌹🌹Batu Batuah, sebuah Nagari yang terletak di pinggang gunung Marapi yang menjulang, karena struktur tanah yang tidak beraturan. Nagari Batu Batuah terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi dan lurah yang landai.Saat siang hari hawanya sejuk serta berawan, tetapi sangat dingin kala malam hari. Di tengah pemukiman, terletak surau bagonjong.Orang sekitar menyebutnya bagonjong karena surau tersebut atapnya yang lancip dan runcing seolah akan membelah langit. Di depan tempat itu ada kolam air yang berisi ikan mas dan mujair.Gemericik air yang mengalir deras mengairi sawah dan ladang. Tidak perlu irigasi karena kekayaan air sudah dilimpahkan Sang Pencipta melalui sarasah dari puncak merpati yang tertinggi di Gunung Marapi, sumber air pegunungan yang sangat jernih.Rumah gadang Maiza berada di dataran rendah yang cukup luas. Berbatas dengan Nagari Batu Ga
“Perasaan terhina adalah obat manjur untuk melecut diri dan bangkit kembali.”🍓🍓🍓Mak Saidah memiliki tujuh bersaudara. Ia anak yang kedua, uda sulungnya sudah meninggal dunia begitu juga dengan saudara yang ketiga sampai kelima adalah perempuan, juga telah wafat semua saat balita. Tinggal Mak Saidah dan adik bungsunya yang masih hidup. Selisih umur mereka terpaut jauh yaitu dua puluh lima tahun karena Mukhtar adalah buah salek yang dilahirkan ketika ibunya sudah berusia kepala empat.Mukhtar menikah tidak lama setelah putrinya melahirkan cucunya Rayya, memperistri anak tengkulak di nagari tetangga, lalu mendapatkan gala adat Palindih Kayo. Setelah sekian bulan tidak pulang, ia kembali bertandang ke rumah gadang.***Sementara di halaman, si pemilik suara bas tersebut masih tetap memanggil-manggil. Memastikan keberadaannya di rumah.“Ni … o, Uni. Lai di rumah?”
“Kehilangan orang yang dicintai adalah pukulan terberat dalam hidup.”🌹🌹🌹“Da,” panggil Mak Saidah, tetapi tidak ada sahutan dari suaminya.Mak Saidah bangkit untuk mengecek suaminya, memperhatikan gerakan napas. Namun, yang dia rasakan hanya kehampaan, tidak ada embusan udara dan dada yang naik turun, hanya sunyi.“Uda … Uda ….” Mak Saidah memekik panik.Ia mengguncang-guncang tubuh yang sudah kaku, berharap lelaki yang telah mendampinginya lebih dari setengah abad itu membuka mata, melempar senyum hangat di sudut bibir. Bangun lagi dari kematian adalah sebuah keniscayaan, tak akan mungkin.“Jagolah, Uda ….” Mak Saidah meraung-raung membangunkan sang suami. Keinginannya sehidup semati menjadi muskil sang kekasih telah dahulu keharibaan-Nya.Tinggal-lah Mak Saidah sendiri sebagai tulang rusuk kenangan yang akan m
“Musuh pantang dicari, ketemu musuh pantang lari.”🌹🌹🌹“Maiza,” panggil Mak Saidah.“Maiza, kemarilah.” Mak Saidah melambai-lambaikan tangan pada Maiza yang sedang memasak di dapur. Ia tidak mendengar panggilan dari amaknya tersebut.“Anton, panggilkan Ibu kamulah!” perintah Mak Saidah pada cucunya yang sedang bermain kelereng di dekatnya."Yo, Nek," jawab bocah lelaki itu lalu berlari ke dapur menemui ibunya yang sedang mengaduk santan gulai.“Bu, Nenek imbau,” panggil Anton pada ibunya.“Eh yo. Ibu naik lai,” sahut Maiza, lantas dia menaiki anak tangga yang menghubungkan rumah gadang dengan dapur.Sesampainya di rumah Maiza duduk di dekat amaknya. Ia memijit-mijit lengan yang kurus hanya kulit berbalut tulang.“Maiza, saya bermimpi, Abak kamu datang berpakaian sarugo, mancaliak ka amak, mukan
“Apa yang engkau tanam hari ini, itulah yang dituai di kemudian hari.”🌹🌹🌹Mendengar cerita yang dituturkan oleh amaknya, ada rasa bangga yang tumbuh di hati Maiza. Betapa tidak? Keluarganya adalah keturunan orang baik dan berada. Nenek moyang mereka juga pejuag sekaligus tokoh masyarakat.Sampai saat ini nama baik itu sering diceritakan dari orang tua ke anak-anak.Ia ingin ketika Anton dan Rayya sudah besar kelak dapat meniru semangat pendahulunya. Ia ingin sekali menceritakan kisah yang sama supaya anak-anaknya mengenal nenek moyang mereka. “Hebat ya, Nek. Kakek kita seorang pejuang. Dengar tuh, Anton … Rayya. Kita contoh semangat kakek kita,” ujar Maiza mengajari anaknya.
“ Langgengnya sebuah hubungan disebabkan karena saling jujur dan terbuka”Hari-hari Maiza tidak seperti sebelumnya, ia seperti orang yang sedang kalimpasingan, tidur gelisah duduk resah berjalan pun gundah hatinya, wajahnya yang elok berubah murung, sudah seminggu larut dalam pikirannya sendiri. Sampah bekas makanan anak-anak belum dibersihkan. Dapur juga diabaikannya tidak sekali dua kali piring kotor menumpuk dalam panci.Pakaiannya tampak lusuh karena sudah dari kemarin dikenakan, kodek bermotif batik yang membentuk di pinggangnya juga sudah kotor oleh tumpahan minum Rayya. Hal yang dilakukan Maiza hanyalah berkurung diri dalam bilik atau bercengkerama dengan kedua anaknya. Pakiah yang melihat perubahan mood
“Berbaiklah saat ini dengan saudarakarena mereka adalah tempat kamu mengadu di masa depan.”🌹🌹🌹“Pakiah …,” ujar Mak Uwo Tini, Mak Saidah dan Mak Palindih serempak berdiri.“U--da, dah lama U--da di sana?” tanya Maiza gagap, ia menelan saliva membasahi tenggorokan yang kering.Sementara Pakiah masuk ke dalam rumah, duduk dengan tenangnya lalu bersikap bijaksana padahal amarah membara dalam jiwa. Wajahnya memerah dari biasanya, sorot mata yang tajam seakan akan memotong-motong lawan bicara. Melihat suaminya tidak menanggapi, ia beranggapan kalau suaminya tidak mendengar pembicaraan mereka. Kemudian Maiza beranjak ke dapur, membuatkan secangkir teh.
“Akar penyakit adalah hati yang kurang bersyukur."🌹🌹🌹Usai perdebatan yang terjadi tempo hari dengan Mak Palindih dan Mak Uwo Tini, Pakiah mengajak Maiza pergi jalan-jalan, tujuannya ke Pakan Rabaa. Tiga lembar uang bergambar monyet berjuntai diberikan pada istrinya untuk belanja. Maiza sangat bahagia dengan sikap Pakiah yang kembali ramah, tidak kaku seperti sebelumnya.“Uda, adik minta maaf soal kejadian kemarin.” Maiza menyalami punggung tangan Pakiah.“Sudah uda maafkan. Sekarang ayo kita bawa anak bermain. Biar dapat angin segar. Cepatlah berkemas.” Pakiah menyuruh Maiza bersiap-siap.Kemud
Tidak Dapat Dibohongi"Hati seorang Ibu tidak dapat dibohongi, walaupun sepintar apa kamu menyembodohi."🌹🌹🌹Akhirnya Lela sampai di rumah sakit, badannya sakit-sakit karena terdesak, penumpang sungguh padat sekali. Kepalanya juga bertambah pusing karena semalam tidak dapat tidur dengan nyenyak.Saat melewati lorong, ia terhuyung. Hingga membentur tonggak. Masih untuk benturannya tidak keras. Membuat sakit hilang dalam sekejap. Lantas ia duduk di bangku untuk menenangkan diri."Astagfirullah." Ia mengucap istigfar berkali-kali, setelah merasa baikan Lela melanjutkan jalannya.Sesampainya di ruangan kamar rawat ICU. Ia mendapati Fikar sedang ti
"Praduga yang tidak benar hanya akan menyiksa batin."🌹🌹🌹"Anak gadisnya itu menolak Juki. Padahal anakku sudah menjadi pemuda yang baik. Hanya Juki yang paham keluarga mereka. Namun, ia sudah membuat Juki patah hati." Jawaban singkat dari Rena membuat Lela mengelus dada."Karena itu kamu memendam marah juga sampai kini?""Tentu, Kak. Kalau si Rayya itu mau. Juki tidak akan seperti ini!""Itulah, gimana lagi. Rayya pasti tahu kelakuan kamu itu pada orang tuanya.""Jadi … Kak Lela menyalahkanku?""Sedikit. Jangan kamu kira aku tidak tahu kebenarannya. Jangan kira aku mudah dihasut!" Lela berkata sinis.&
"Tak mungkin saja jatuh," gumam Lela gelisah di angkot. Hatinya tidak tenang, masih berprasangka, kasak-kusuk duduk. Berharap segera sampai di rumah.Sesampainya di tempat penurunan angkot, ia membayar sewa, lalu pergi dengan terburu-buru. Ketika sudah di halaman ia membuka pintu rumah. Lalu beberes hal-hal yang perlu.Ketika sedang memasak di dapur, ada orang yang memanggil-manggil. Dari suaranya ciri khas perempuan."Assalamualaikum. Lai ado orang di rumah?""Waalaikumsalam, lai."Lela menjawab, ia bergegas membuka pintu. Tampak Rena, ibunya Juki
Gerakan Fikar terhenti, sorot matanya tajam ke arah Juki. Begitu juga juki, tatapannya seolah-olah hendak mengunyah-ngunyah tubuh Fikar. "Aaaaanggg." Juki melompat ke arah Fikar, tangannya menggenggam bogem mentah yang siap menghancurkan Fikar. "Da Juki, berhenti. Kalau kamu pukul saya. Nanti saya laporkan kepada pihak berwajib." Bangkit sakit ketakutan dalam hati Fikar. "Haaa? Apaa? Takut juga rupanya kamu?" Juki mempelintir tangan Fikar. Namun pemuda berhasil lepas dan melompat ke samping hingga terhuyung ke belakang. "Tak akan berhasil kamu menakut-nakuti saya. Rasain kamu!" Juki mengambil
"Musuh jangan dicari ketemu musuh jangan lari" *** Fikar pun pulang ke rumahnya, ia tidak cemas lagi meninggalkan sang ayah karena ada ibunya menjaga di sana. Kemudian ia menaiki angkutan desa, sampai di kampungnya hampir waktu zuhur. Namun, ketika sampai ia tidak langsung pulang. Fikar menemui Juki yang sedang bersantai di rumahnya. "Da Juki … Da Juki." Fikar memanggil preman kampung itu dengan berani. Juki yang sedang tiduran karena begadang semalaman itu kaget. Ia merungut memukul lantai rumah gadang. "Siapa yang mengganggu saya siang ini? Kurang ajar!" Juki langsung bangun, menyibak sarung yang menutupi tubuhnya. Kain
"Termakan, Bu?"Fikar mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan perkataan sang ibu. Namun, hatinya berkata-kata kalau ada hal yang amat mengerikan."Iya, Fikar. Entah di manaaalah ayahmu makan. Entah siapa yang iri padanya. Setahu Ibu tidak pernah ayahmu bermusuhan dengan orang." Lela memelas dengan suara lemah.Fikar seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya, bagaimana mungkin orang masih memakai benda menakutkan itu.Sejak kecil ia dihantui dengan tubo yang diyakini bisa membuat nyawa orang melayang dengan cara mengenaskan. Apabila termakan makanan yang bercampur dengan benda itu, tidak akan
"Prasangka menjadikan mata buta, telinga tuli, dan hati tertutupi. Jauhilah." 🌹🌹🌹 Pagi harinya, tepat pukul enam. Embusan hawa dingin masih terasa, embun pun masih melekat di dedaunan. Di rumah gadang, Lela sedang bersiap-siap mengemasi bekal yang akan dibawa nanti ke rumah sakit. Raut wajahnya terlihat pucat karena semalaman tidak bisa tidur, dini hari juga sudah terbangun. Pikirannya jadi tidak tenang, mengingat sang suami yang dirawat. Ia mengalami mimpi buruk dua kali. Dalam bunga tidurnya itu, Lela melihat suaminya muntah darah. Sontak ia terkejut, langsung terjaga. Lalu tidur lagi, ternyata mimpinya masih bersambung, ia melihat suaminya meregang nyawa dalam p
"Setiap penyakit ada obatnya kecuali mati.(kutipan) *** "Gimana kabar, Pak Bandaro?" Juki duduk di samping Bandaro yang sedang tak enak hati. "Saat ini sudah mulai baik. Kenapa kamu ke sini bersama anakku?" tanya Bandaro dengan ketus. "Jangan kayak gitulah, Tuan. Aku hanya berniat baik saja. Si Fikar itu, sudah tau hari sudah gelap. Dikeraskannya juga hati pergi rumah sakit. Angkutan umum sudah tidak ada. Untunglah ada aku," ujar Juki berbesar hati. "Heemmmh." Bandaro menarik napas. Kalau tidak karena anaknya ada di sana, sudah diusirnya si Juki dari hadapannya.
Sore hari setelah salat Ashar, Fikar melihat ayahnya sedang tidur. Nafasnya yang sesak sudah mulai teratur. Lama ia menatap, ada hal yang mengganggu pikirannya. Lalu Fikar menemui perawat di lobby rumah sakit. "Sus, saya mau pulang ke kampung. Ibu saya belum tahu kalau Ayah dirawat." "Kalau kamu pulang, siap yang menjaga ayahmu? Apakah kamu yakin akan segera datang?" tanya perawat yang cantik itu. "Saya pasti balik, Sus. Paling sebelum senja saya sudah sampai di sini." Fikar bersikeras. "Baiklah. Jangan sampai lama datang, ya!" Perawat yang lebih tua melihat Fikar dengan ketus. "Terima kasih, Sus." Fikar berlalu, ia menyayangkan