แชร์

Cawan Putih

ผู้แต่ง: Luthfiana
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-10-29 19:42:56

“Simpanan terbaik adalah amal saleh.”

🌹🌹🌹

Batu Batuah, sebuah Nagari  yang terletak di pinggang gunung Marapi yang menjulang, karena struktur tanah yang tidak beraturan. Nagari Batu Batuah terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi dan lurah yang landai.

Saat siang hari hawanya sejuk serta berawan, tetapi sangat dingin kala malam hari. Di tengah pemukiman, terletak surau bagonjong. 

Orang sekitar menyebutnya bagonjong karena surau tersebut atapnya yang lancip dan runcing seolah akan membelah langit. Di depan tempat itu ada kolam air yang berisi ikan mas dan mujair.

Gemericik air yang mengalir deras mengairi sawah dan ladang. Tidak perlu irigasi karena kekayaan air sudah dilimpahkan Sang Pencipta melalui sarasah  dari puncak merpati yang tertinggi di Gunung Marapi, sumber air pegunungan yang sangat jernih. 

Rumah gadang Maiza berada di dataran rendah yang cukup luas. Berbatas dengan Nagari Batu Gading yang teletak di kaki gunung. Ketika hendak mendaki ke bukit terdapat gerbang kampung yang bersebelahan dengan rumahnya. Tidak ada pepohonan yang menghalang pancaran sinar, hingga siang harinya cukup mendapat panas matahari.

Maiza menikah muda, yaitu pada usia tujuh belas tahun karena satu-satunya anak perempuan juga sebagai penerus suku di keluarganya. Suaminya Iskandar Pakiah Bandaro, lima tahun lebih tua darinya.

Setahun sesudahnya dia dikaruniai seorang anak laki-laki, suaminya memberi nama Antoni Iskaniza, artinya Anton anak dari Iskandar dan Maiza. Rumah tangga mereka semakin bahagia setelah kedatangan si putra sulung.

Pakiah, panggilan familiar Iskandar, sangat bersemangat mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Subuh hari sudah bangun, pergi ke parak mencari rumput makan ternak, kembali ke rumah hanya untuk minum kopi dan makan sepotong roti, kadang menyempatkan waktu untuk bermain dengan Anton yang sudah berumur enam bulan itu.

Setelah puas, ia pun kembali bekerja menanam sayur lobak bunga yang mulai bertunas di ladang. Sedangkan Maiza, sang istri tercinta menanak nasi dan menumis sayuran, menyiapkan gulai ayam. Jam sembilan, Pakiah pasti pulang untuk makan pagi.

Bersama Maiza, tinggal abaknya yang bernama Jalal dan amaknya yang bernama Mak Saidah. Hidup mereka berkecukupan, orang tua Maiza memiliki lahan sawah dan ladang yang luas peninggalan Niniak Muyang Samandeh.¹

Maiza sebagai satu-satunya anak perempuan penerus suku, menjadi pewaris harato pusako keluarga tanpa ada gangguan. Ia bersama suaminya Pakiah, hanya tinggal berusaha dan menikmati hasilnya saja. Setiap enam bulan hasil panen sawah memenuhi lumbung padi, dua bulan sekali hasil tanam sayur di ladang juga sudah dipesan oleh toke.  

Tak hanya itu dengan tangan dingin si Pakiah, ternak sapi, ayam dan bebek juga berkembang. Secara ekonomi mereka sudah berkecukupan.

Meskipun begitu, abaknya Maiza tidak lagi kuat, ia sudah uzur dan pikun saat memasuki usia tujuh puluhan. Sehingga tanggung jawab Maiza, selain sebagai seorang istri dan ibu, juga sebagai anak yang ikut membantu mengurus abaknya.

Kekayaan tidak menjamin kebahagiaan. Kehidupan sempurna Maiza berkurang karena putra sulungnya sering sakit-sakitan, dari bayi sudah mengidap sambok,  Bidan kata karena terminum air ketuban. Tidak sedikit pengeluaran untuk membeli obat dengan harapan segera sembuh. Beruntung umur Anton panjang, paik darahnya  kata tetua. 

Saat berusia tiga tahun dan sudah mempunyai adik, yang baru sebulan dilahirkan. Namanya Rayya Iskaniza. Kondisi Rayya mirip seperti udanya,  semenjak dilahirkan juga sering demam. Ia tidak cukup mendapat ASI eksklusif karena sudah diajarkan makan serutan pisang tinalun. Jika sudah panas, Maiza membawa anak keduanya itu ke rumah Bidan, yang terletak di samping SDN Batu Gading lebih kurang setengah kilo dari rumahnya. Hingga sudah berlangganan dengan Bidan Penti, perempuan kepala tiga keturunan Jawa yang sudah lama menetap di Batu Gading.

***

“Assalamualaikum.” Suara Maiza terdengar dari luar, ia sudah pulang dari rumah Bidan.

“Waalaikumussalam. Gimana kabar anakmu?” tanya Mak Saidah padanya anaknya dan langsung mengintip Rayya yang masih tidur dalam pangkuan.

Rasa cemas si nenek itu malah melebihi ibu si bayi, sampai Maiza langsung dicecar dengan pertanyaan.

“Tolong buka ikatnya, Mak. Sudah capek bahu saya,” pinta Maiza dengan raut muka lelah. Mak Saidah langsung membuka ikatan kain panjang yang melilit di bahunya, lalu mengeluarkan cucunya yang sedang tidur meringkuk disana.

Udara menyapu wajah mungil Rayya, sontak membuat gadis kecil itu terbangun, lantas merengek mencari ibunya. Mak Saidah pun menggendong cucunya itu dan membawanya melihat-lihat pemandangan melalui jendela.

“Antoklah antok … cucu enek go. Kulik manih di parak ugang, siap manongih golak godang ….” ²

Sekeras ia berusaha menenangkan bayi itu tetap ibulah yang dibutuhkan. Sementara Maiza yang terkapar karena kelelahan kembali bangkit, mengambil makanan untuk Rayya, tetapi putrinya tidak selera makan, menepis suapan yang diberikan ibunya. Maiza mengganti makanan dengan biskuit yang diberikan Bidan Pen. Rayya segera meraihnya, perlahan ia memakan kue kering itu sampai tandas.

“Biar amak jaga Rayya. Pergilah makan!” perintah Mak Saidah pada Maiza.

Serasa dapat celah, ia langsung bergegas ke dapur lantas membuka tudung hidang, lalu makan dengan lahapnya. Sesudah makan dia tersandar di kursi, keletihannya terbayarkan sudah. 

Beberapa menit kemudian, baru teringat kalau obat yang diberikan Bidan untuk Rayya belum diberikan. Maiza segera mengambil dari tas dan menyuapkan obat tersebut untuk anaknya, Rayya mengedip-ngedipkan mata sambil membuka mulut, salivanya mengalir di sudut bibir yang mengerucut.

Entah bagaimana cara ia mengatakan pada Ibunya kalau serbuk yang diminum terasa pahit. 

Maiza pun membawa Rayya masuk ke biliknya dengan dalih menidurkan putrinya, ia juga ikut merebahkan badan, terlelap bersama. Sementara Mak Saidah kembali melihat Abak Jalal yang terbaring sendiri di bilik.

Kemudian memijit-mijit kaki suaminya itu menatap dengan sayu, bukan kemauannya sang suami menderita. Ia menghela nafas berat mengingat betapa waktu cepat berlalu menelan kuasa manusia. 

“Haus ….” lirih suaminya, Mak Saidah segera mengambil segelas air, memberi sesendok demi sesendok hingga hilang dahaganya. Namun, ketika mendampingi suaminya, tiba-tiba ada hewan kecil yang merayap menyerupai kelabang, kakinya banyak seperti ulat kaki seribu. Abak Jalal yang sadar akan keberadaan binatang tersebut lantas menoleh ke istrinya.

“Dah diberi makan?” tanya Abak Jalal.

“Apa tu?” Mak Saidah balik bertanya.

“Kalimayia,”  rentaknya. Mak Saidah terkejut melihat kedatangan hewan itu lagi. Padahal baru diberi makan minggu lalu kenapa masih berkeliaran, pikirnya.

“A--alah,” jawabnya gugup. 

Abak Jalal mendelik, tubuhnya menggigil, tangannya ditangkupkan ke dada. Ia pejamkan mata, tak ingin melihat hal yang tak mampu dilihat dengan mata telanjang. Kemudian berusaha membalikkan badan menjauhi hewan itu, kecemasan amat sangat menyerangnya.

"Bu--ang ... ba--kar … berghrrr." Abak Jalal menceracau tak sadarkan diri seperti orang kerasukan.

"Tenanglaaah. Iyo dibuang," ujar Mak Saidah serak.

Sepasang lansia itu meringkuk di dipan, seperti balita yang sedang kedinginan. Pikiran mereka melayang-layang, merenungi nasib sial yang tak berkesudahan. Mak Saidah beranjak bangun sambil melihat-lihat ke sudut bilik, seperti mengingat sesuatu. Tangannya meraba di sudut pagu.  Ia berhasil meraih sebuah bingkisan kecil kain putih, ketika dibuka terlihat cawan putih kuno bermerek buatan Cina.

Kemudian ia membuka lemari, tangannya meraba lagi mencari barang yang terselip di antara lipatan baju. Akhirnya Mak Saidah mendapatkan dompet berenda keemasan yang terdapat serbuk berwarna kuning di dalamnya, lalu mengambil serbuk itu seujung jepitan jari dan menaburkannya ke dalam cawan. Ia mengulang sebanyak tiga kali, setelah itu cawan dibungkus lagi dengan kain dan menyimpan di tempat semula. 

Sementara di halaman, seorang pemilik suara bas memanggil-manggil.

“Ni … ooo Uni. Ada di gumah?" 

Berulang-ulang panggilan yang sama, lalu terdengar suara pintu diketuk beberapa kali.

“Ni Mak Saidah, ada di gumah?”

Mak Saidah melongok ke halaman, ternyata ada Mukhtar, adik bungsunya datang bertamu. Tak biasanya begitu, apa yang diinginkannya? Ragam pertanyaan memenuhi kepala perempuan itu.

“Setan apa pula yang merasukinya? Saban hari baru datang!” gumamnya.

🌹🌹🌹

Bersambung.

¹. Nenek moyang seibu

². Tenanglah ... tenang. Kulit manis di kebun orang, siap nangis ketawa lebar. (Pantun Minng).

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Pasumpahan Tubo   Panaruah (Barang Simpanan)

    “Perasaan terhina adalah obat manjur untuk melecut diri dan bangkit kembali.”🍓🍓🍓Mak Saidah memiliki tujuh bersaudara. Ia anak yang kedua, uda sulungnya sudah meninggal dunia begitu juga dengan saudara yang ketiga sampai kelima adalah perempuan, juga telah wafat semua saat balita. Tinggal Mak Saidah dan adik bungsunya yang masih hidup. Selisih umur mereka terpaut jauh yaitu dua puluh lima tahun karena Mukhtar adalah buah salek yang dilahirkan ketika ibunya sudah berusia kepala empat.Mukhtar menikah tidak lama setelah putrinya melahirkan cucunya Rayya, memperistri anak tengkulak di nagari tetangga, lalu mendapatkan gala adat Palindih Kayo. Setelah sekian bulan tidak pulang, ia kembali bertandang ke rumah gadang.***Sementara di halaman, si pemilik suara bas tersebut masih tetap memanggil-manggil. Memastikan keberadaannya di rumah.“Ni … o, Uni. Lai di rumah?”

  • Pasumpahan Tubo   Duka di Rumah Gadang

    “Kehilangan orang yang dicintai adalah pukulan terberat dalam hidup.”🌹🌹🌹“Da,” panggil Mak Saidah, tetapi tidak ada sahutan dari suaminya.Mak Saidah bangkit untuk mengecek suaminya, memperhatikan gerakan napas. Namun, yang dia rasakan hanya kehampaan, tidak ada embusan udara dan dada yang naik turun, hanya sunyi.“Uda … Uda ….” Mak Saidah memekik panik.Ia mengguncang-guncang tubuh yang sudah kaku, berharap lelaki yang telah mendampinginya lebih dari setengah abad itu membuka mata, melempar senyum hangat di sudut bibir. Bangun lagi dari kematian adalah sebuah keniscayaan, tak akan mungkin.“Jagolah, Uda ….” Mak Saidah meraung-raung membangunkan sang suami. Keinginannya sehidup semati menjadi muskil sang kekasih telah dahulu keharibaan-Nya.Tinggal-lah Mak Saidah sendiri sebagai tulang rusuk kenangan yang akan m

  • Pasumpahan Tubo   Riwayat Niniak kalimo

    “Musuh pantang dicari, ketemu musuh pantang lari.”🌹🌹🌹“Maiza,” panggil Mak Saidah.“Maiza, kemarilah.” Mak Saidah melambai-lambaikan tangan pada Maiza yang sedang memasak di dapur. Ia tidak mendengar panggilan dari amaknya tersebut.“Anton, panggilkan Ibu kamulah!” perintah Mak Saidah pada cucunya yang sedang bermain kelereng di dekatnya."Yo, Nek," jawab bocah lelaki itu lalu berlari ke dapur menemui ibunya yang sedang mengaduk santan gulai.“Bu, Nenek imbau,” panggil Anton pada ibunya.“Eh yo. Ibu naik lai,” sahut Maiza, lantas dia menaiki anak tangga yang menghubungkan rumah gadang dengan dapur.Sesampainya di rumah Maiza duduk di dekat amaknya. Ia memijit-mijit lengan yang kurus hanya kulit berbalut tulang.“Maiza, saya bermimpi, Abak kamu datang berpakaian sarugo, mancaliak ka amak, mukan

  • Pasumpahan Tubo   Lingkaran Malapetaka

    “Apa yang engkau tanam hari ini, itulah yang dituai di kemudian hari.”🌹🌹🌹Mendengar cerita yang dituturkan oleh amaknya, ada rasa bangga yang tumbuh di hati Maiza. Betapa tidak? Keluarganya adalah keturunan orang baik dan berada. Nenek moyang mereka juga pejuag sekaligus tokoh masyarakat.Sampai saat ini nama baik itu sering diceritakan dari orang tua ke anak-anak.Ia ingin ketika Anton dan Rayya sudah besar kelak dapat meniru semangat pendahulunya. Ia ingin sekali menceritakan kisah yang sama supaya anak-anaknya mengenal nenek moyang mereka. “Hebat ya, Nek. Kakek kita seorang pejuang. Dengar tuh, Anton … Rayya. Kita contoh semangat kakek kita,” ujar Maiza mengajari anaknya.

  • Pasumpahan Tubo   Saat Rahasia Terkuak

    “ Langgengnya sebuah hubungan disebabkan karena saling jujur dan terbuka”Hari-hari Maiza tidak seperti sebelumnya, ia seperti orang yang sedang kalimpasingan, tidur gelisah duduk resah berjalan pun gundah hatinya, wajahnya yang elok berubah murung, sudah seminggu larut dalam pikirannya sendiri. Sampah bekas makanan anak-anak belum dibersihkan. Dapur juga diabaikannya tidak sekali dua kali piring kotor menumpuk dalam panci.Pakaiannya tampak lusuh karena sudah dari kemarin dikenakan, kodek bermotif batik yang membentuk di pinggangnya juga sudah kotor oleh tumpahan minum Rayya. Hal yang dilakukan Maiza hanyalah berkurung diri dalam bilik atau bercengkerama dengan kedua anaknya. Pakiah yang melihat perubahan mood

  • Pasumpahan Tubo   Perseteruan Keluarga

    “Berbaiklah saat ini dengan saudarakarena mereka adalah tempat kamu mengadu di masa depan.”🌹🌹🌹“Pakiah …,” ujar Mak Uwo Tini, Mak Saidah dan Mak Palindih serempak berdiri.“U--da, dah lama U--da di sana?” tanya Maiza gagap, ia menelan saliva membasahi tenggorokan yang kering.Sementara Pakiah masuk ke dalam rumah, duduk dengan tenangnya lalu bersikap bijaksana padahal amarah membara dalam jiwa. Wajahnya memerah dari biasanya, sorot mata yang tajam seakan akan memotong-motong lawan bicara. Melihat suaminya tidak menanggapi, ia beranggapan kalau suaminya tidak mendengar pembicaraan mereka. Kemudian Maiza beranjak ke dapur, membuatkan secangkir teh.

  • Pasumpahan Tubo   Rayya

    “Akar penyakit adalah hati yang kurang bersyukur."🌹🌹🌹Usai perdebatan yang terjadi tempo hari dengan Mak Palindih dan Mak Uwo Tini, Pakiah mengajak Maiza pergi jalan-jalan, tujuannya ke Pakan Rabaa. Tiga lembar uang bergambar monyet berjuntai diberikan pada istrinya untuk belanja. Maiza sangat bahagia dengan sikap Pakiah yang kembali ramah, tidak kaku seperti sebelumnya.“Uda, adik minta maaf soal kejadian kemarin.” Maiza menyalami punggung tangan Pakiah.“Sudah uda maafkan. Sekarang ayo kita bawa anak bermain. Biar dapat angin segar. Cepatlah berkemas.” Pakiah menyuruh Maiza bersiap-siap.Kemud

  • Pasumpahan Tubo   Diagnosa

    “Kasih orang tua sepanjang masa, Kasih anak sepanjang jalan ke surgayaitu doa anak yang saleh” 🌹🌹🌹Perawat membawa Rayya ke ruang penanganan. Maiza dan Pakiah juga ikut serta. Maiza sangat tersiksa melihat Rayya terbaring di kasur yang beralaskan perlak selebar satu meter itu. Tubuh mungil yang tergolek lemas karena suhu tubuhnya masih panas, jari-jarinya yang kecil terkulai di tepi ranjang. Ibu siapa yang tidak teriris melihat putrinya yang semakin pucat. Naluri keibuan mengatakan, biarlah ia menjadi pengganti, tidak tahan melihat Rayya yang menderita.Perawat datang bersama seorang dokter muda. Langkah mereka cepat sehingga hentakan sepatu yang keras membuat lantai semen itu mengeluarkan lengkingan.&ld

บทล่าสุด

  • Pasumpahan Tubo   Hati Ibu

    Tidak Dapat Dibohongi"Hati seorang Ibu tidak dapat dibohongi, walaupun sepintar apa kamu menyembodohi."🌹🌹🌹Akhirnya Lela sampai di rumah sakit, badannya sakit-sakit karena terdesak, penumpang sungguh padat sekali. Kepalanya juga bertambah pusing karena semalam tidak dapat tidur dengan nyenyak.Saat melewati lorong, ia terhuyung. Hingga membentur tonggak. Masih untuk benturannya tidak keras. Membuat sakit hilang dalam sekejap. Lantas ia duduk di bangku untuk menenangkan diri."Astagfirullah." Ia mengucap istigfar berkali-kali, setelah merasa baikan Lela melanjutkan jalannya.Sesampainya di ruangan kamar rawat ICU. Ia mendapati Fikar sedang ti

  • Pasumpahan Tubo   Praduga

    "Praduga yang tidak benar hanya akan menyiksa batin."🌹🌹🌹"Anak gadisnya itu menolak Juki. Padahal anakku sudah menjadi pemuda yang baik. Hanya Juki yang paham keluarga mereka. Namun, ia sudah membuat Juki patah hati." Jawaban singkat dari Rena membuat Lela mengelus dada."Karena itu kamu memendam marah juga sampai kini?""Tentu, Kak. Kalau si Rayya itu mau. Juki tidak akan seperti ini!""Itulah, gimana lagi. Rayya pasti tahu kelakuan kamu itu pada orang tuanya.""Jadi … Kak Lela menyalahkanku?""Sedikit. Jangan kamu kira aku tidak tahu kebenarannya. Jangan kira aku mudah dihasut!" Lela berkata sinis.&

  • Pasumpahan Tubo   Percakapan Nostalgia

    "Tak mungkin saja jatuh," gumam Lela gelisah di angkot. Hatinya tidak tenang, masih berprasangka, kasak-kusuk duduk. Berharap segera sampai di rumah.Sesampainya di tempat penurunan angkot, ia membayar sewa, lalu pergi dengan terburu-buru. Ketika sudah di halaman ia membuka pintu rumah. Lalu beberes hal-hal yang perlu.Ketika sedang memasak di dapur, ada orang yang memanggil-manggil. Dari suaranya ciri khas perempuan."Assalamualaikum. Lai ado orang di rumah?""Waalaikumsalam, lai."Lela menjawab, ia bergegas membuka pintu. Tampak Rena, ibunya Juki

  • Pasumpahan Tubo   Bogem Juki

    Gerakan Fikar terhenti, sorot matanya tajam ke arah Juki. Begitu juga juki, tatapannya seolah-olah hendak mengunyah-ngunyah tubuh Fikar. "Aaaaanggg." Juki melompat ke arah Fikar, tangannya menggenggam bogem mentah yang siap menghancurkan Fikar. "Da Juki, berhenti. Kalau kamu pukul saya. Nanti saya laporkan kepada pihak berwajib." Bangkit sakit ketakutan dalam hati Fikar. "Haaa? Apaa? Takut juga rupanya kamu?" Juki mempelintir tangan Fikar. Namun pemuda berhasil lepas dan melompat ke samping hingga terhuyung ke belakang. "Tak akan berhasil kamu menakut-nakuti saya. Rasain kamu!" Juki mengambil

  • Pasumpahan Tubo   Tandingan Juki

    "Musuh jangan dicari ketemu musuh jangan lari" *** Fikar pun pulang ke rumahnya, ia tidak cemas lagi meninggalkan sang ayah karena ada ibunya menjaga di sana. Kemudian ia menaiki angkutan desa, sampai di kampungnya hampir waktu zuhur. Namun, ketika sampai ia tidak langsung pulang. Fikar menemui Juki yang sedang bersantai di rumahnya. "Da Juki … Da Juki." Fikar memanggil preman kampung itu dengan berani. Juki yang sedang tiduran karena begadang semalaman itu kaget. Ia merungut memukul lantai rumah gadang. "Siapa yang mengganggu saya siang ini? Kurang ajar!" Juki langsung bangun, menyibak sarung yang menutupi tubuhnya. Kain

  • Pasumpahan Tubo   Sakit Orang Kaya

    "Termakan, Bu?"Fikar mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan perkataan sang ibu. Namun, hatinya berkata-kata kalau ada hal yang amat mengerikan."Iya, Fikar. Entah di manaaalah ayahmu makan. Entah siapa yang iri padanya. Setahu Ibu tidak pernah ayahmu bermusuhan dengan orang." Lela memelas dengan suara lemah.Fikar seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya, bagaimana mungkin orang masih memakai benda menakutkan itu.Sejak kecil ia dihantui dengan tubo yang diyakini bisa membuat nyawa orang melayang dengan cara mengenaskan. Apabila termakan makanan yang bercampur dengan benda itu, tidak akan

  • Pasumpahan Tubo   Prasangka

    "Prasangka menjadikan mata buta, telinga tuli, dan hati tertutupi. Jauhilah." 🌹🌹🌹 Pagi harinya, tepat pukul enam. Embusan hawa dingin masih terasa, embun pun masih melekat di dedaunan. Di rumah gadang, Lela sedang bersiap-siap mengemasi bekal yang akan dibawa nanti ke rumah sakit. Raut wajahnya terlihat pucat karena semalaman tidak bisa tidur, dini hari juga sudah terbangun. Pikirannya jadi tidak tenang, mengingat sang suami yang dirawat. Ia mengalami mimpi buruk dua kali. Dalam bunga tidurnya itu, Lela melihat suaminya muntah darah. Sontak ia terkejut, langsung terjaga. Lalu tidur lagi, ternyata mimpinya masih bersambung, ia melihat suaminya meregang nyawa dalam p

  • Pasumpahan Tubo   Kambuh

    "Setiap penyakit ada obatnya kecuali mati.(kutipan) *** "Gimana kabar, Pak Bandaro?" Juki duduk di samping Bandaro yang sedang tak enak hati. "Saat ini sudah mulai baik. Kenapa kamu ke sini bersama anakku?" tanya Bandaro dengan ketus. "Jangan kayak gitulah, Tuan. Aku hanya berniat baik saja. Si Fikar itu, sudah tau hari sudah gelap. Dikeraskannya juga hati pergi rumah sakit. Angkutan umum sudah tidak ada. Untunglah ada aku," ujar Juki berbesar hati. "Heemmmh." Bandaro menarik napas. Kalau tidak karena anaknya ada di sana, sudah diusirnya si Juki dari hadapannya.

  • Pasumpahan Tubo   Bersama Juki

    Sore hari setelah salat Ashar, Fikar melihat ayahnya sedang tidur. Nafasnya yang sesak sudah mulai teratur. Lama ia menatap, ada hal yang mengganggu pikirannya. Lalu Fikar menemui perawat di lobby rumah sakit. "Sus, saya mau pulang ke kampung. Ibu saya belum tahu kalau Ayah dirawat." "Kalau kamu pulang, siap yang menjaga ayahmu? Apakah kamu yakin akan segera datang?" tanya perawat yang cantik itu. "Saya pasti balik, Sus. Paling sebelum senja saya sudah sampai di sini." Fikar bersikeras. "Baiklah. Jangan sampai lama datang, ya!" Perawat yang lebih tua melihat Fikar dengan ketus. "Terima kasih, Sus." Fikar berlalu, ia menyayangkan

DMCA.com Protection Status