Home / Urban / Pasumpahan Tubo / Duka di Rumah Gadang

Share

Duka di Rumah Gadang

Author: Luthfiana
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Kehilangan orang yang dicintai adalah pukulan terberat dalam hidup.”

🌹🌹🌹

“Da,” panggil Mak Saidah, tetapi tidak ada sahutan dari suaminya. 

Mak Saidah bangkit untuk mengecek suaminya, memperhatikan gerakan napas. Namun,  yang dia rasakan hanya kehampaan, tidak ada embusan udara dan dada yang naik turun, hanya sunyi. 

“Uda … Uda ….” Mak Saidah memekik panik. 

Ia mengguncang-guncang tubuh yang sudah kaku, berharap lelaki yang telah mendampinginya lebih dari setengah abad itu membuka mata, melempar  senyum hangat di sudut bibir. Bangun lagi dari kematian adalah sebuah keniscayaan, tak akan mungkin.

“Jagolah, Uda ….” Mak Saidah meraung-raung membangunkan sang suami. Keinginannya sehidup semati menjadi muskil sang kekasih telah dahulu keharibaan-Nya.

Tinggal-lah Mak Saidah sendiri sebagai tulang rusuk kenangan yang akan mengingat Abak Jalal, sampai dia juga menyusul kepangkuan yang abadi. 

Sementara Maiza yang sedang duduk santai di kursi rotan lagi menikmati teh manis dan sepotong kue gabin, kunyahnya terhenti ketika mendengar raungan dari bilik. Apa yang terjadi? pikirnya. Sekelebat pikiran negatif melintas di benak Maiza, lalu dia pun berlari menyusul amaknya.

“Abak,” gumam Maiza.

Beberapa langkah lagi sampai di dipan. Maiza melihat amaknya yang terkulai di kepala ranjang, sedangkan abaknya terbaring dengan tatapan layu.

“Abak … Maaak, Abak lah dulu …,” ujar Maiza dengan serak sambil melihat pada amaknya. 

Kemudian ditutupnya mata Abak Jalal yang masih terbuka. Tubuhnya bergetar, lutut pun lunglai, serta merta tubuhnya roboh juga terhenyak disamping amaknya. Ikut menangisi kepergian Abak Jalal.

Tak dapat akal melakukan yang lain seperti berdoa mengirimkan bacaan surat Al Fatihah, sebab Mak Saidah seorang buta huruf hingga tidak bisa mengaji. Pendidikannya hanya sampai kelas 2 di Sekolah Rakyat (SD pada zaman penjajahan-red). Sehingga beribadah juga jarang, ada alasan lainnya bukan hanya tak pandai, tetapi juga karena sebuah pantangan.

Sedangkan Maiza lebih baik sedikit dari amaknya, sekolah sampai kelas 1 SMA. Ia putus sekolah karena manja karena keluarganya kaya tak perlu tinggi-tinggi sekolah. Tidak ingin bersusah-susah untuk menjadi orang dengan uang keluarganya sudah disegani. Sehingga pada saat  abaknya terbujur, tak terpikir untuk mengirimkan bacaan Yasin, mereka berdua hanya duduk nelangsa meratapi kematian.

Bagi Maiza, Abak Jalal adalah sosok ayah yang baik tidak pernah memarahinya. Maiza adalah anak satu-satunya perempuan yang menjadi limpahan kasihnya. Tak sekalipun Abak Jalal pernah mencubit anaknya.  Begitupun bagi Mak Saidah, Jalal adalah suami pilihan terbaik pemberian Tuhan.

Meskipun mereka dulunya dijodohkan, bunga-bunga cinta mereka tumbuh dan bersemi, mati hanya karena maut memisahkan. Pasang surut perasaan pastilah ada, tetapi Jalal tak pernah mengabaikan Mak Saidah karena ia istri penurut. Senantiasa tabah mendampingi Mak Saidah meskipun dasas-desus mengenai keluarga istrinya kerap melanda.

Kini Abak Jalal tak dapat lagi menemani sang istri. Ada beban yang ia bawa pergi. Menurut agama, jasad yang telah mati, arwahnya masih menyaksikan bagaimana sanak keluarga melepasnya,  hingga tertanam di pandam pakuburan.  

Barulah arwah berpulang ke alam barzakh. Alamat arwah Abak Jalal penuh dengan penyesalan, menonton anak dan bininya menangisi jasadnya dengan penuh kepiluan, semakin beratlah siksa untuknya sebelum kiamat tiba.

Makanya Nabi yang Mulia melarang meratapi kematian orang yang tersayang, akan menambah berat beban yang akan dibawa menuju shirat. Ikhlas melepas kepergian dan bersabar pada ujian lebih diutamakan.

***

Rumah gadang bagonjong tinggi dan megah terlihat goyah, salah satu sandinya hilang setelah berpulangnya Abak Jalal. Kabar disiarkan melalui corong  surau.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah. Urang tuo kito, urang sumando di rumah gadang nan banamo Muhammad Jalal, baumua 70 tahun. Mohon mauh sagalo salah yang dibuek salamo almarhum hiduik di dunia. Jiko ado hutang piutang tamui ahli waris, supayo dak do baban di kemudian hari.” 

(Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Telah kembali ke Rahmatullah. Orang tua kita, menantu di rumah gadang yang bernama Muhammad Jalal. Umur 70 tahun. Maafkan segala salah yang dibuat almarhum selama beliau hidup. Jika ada hutang piutang, temui ahli waris agar tidak ada masalah di kemudian hari.)

Kabarnya tersiar dengan cepat. Orang kampung pergi melayat meskipun mereka mengetahui isu keluarga Mak Saidah, tetap pergi untuk menjaga etika dalam bermasyarakat.

Ketika ada kemalangan yang menimpa salah satu keluarga. Se-nagari penduduk datang membawa bingkisan beras tanda duka. Terlebih lagi keluarga Mak Saidah adalah orang berada. Tak sedikit orang ingin menebus tanah ladang atau sawah, berhutang emas padanya.

Pakiah Iskandar, suami maiza pergi menjemput orang Siak  untuk mengurus jenazah.  Para keluarga dekat sudah datang, membacakan Yasin dan berdoa, termasuk adik bungsu si Mak Saidah sebagai mamak rumah. Yaitu Mukhtar Palindih Kayo.

Tiba saatnya, almarhum pun mulai diurus. Orang Siak memimpin upacara, mulai dari memandikan dan mengkafani sekaligus menyalatkan. Setelah selesai dengan isak tangis Mak Saidah dan Maiza mengiringi keranda jenazah ke tempat peristirahatan.

Sudah diingatkan oleh suaminya untuk berhenti menangisi, tetapi apa daya air mata mereka tidak mau kompromi. Tak mau berhenti membasahi pipi duka kehilangan mereka sangat besar.

Prosesi penyelenggaraan jenazah pun selesai, para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggal keluarga berkubang sunyi, larut dalam kesedihan, tak ada tawa. Hanya celoteh Rayya yang menghibur mereka, juga Anton yang sedang nyinyir bertanya tentang apa yang sedang terjadi.

***

Sebulan seusai kepergian Abak Jalal, Mak Saidah semakin kurus, tidak selera untuk makan, hingga sering lemas dan kelelahan, aktifitas yang dilakukannya hanyalah tidur, menutupi tubuh dengan selimut yang dulu digunakan sang suami.

Semenjak itu, Mak Saidah juga sering demam. Jika sedang tubuhnya panas, ia sering mengigau memanggil nama Jalal. Pikirannya menjadi kacau, lesu dan tidak bergairah.

“Makanlah, Mak! Nanti bisa sakit, jangan Abak diingat terus. Beliau dah tenang di sarugo,” bujuk Maiza sambil menyuapkan sesendok bubur putih berkuah saka.  Mendengar Maiza mengatakan kalau abaknya sudah di surga, Mak Saidah merasa terhibur dan mau memakannya hanya sanggup tiga sendok.

Ketika hati Mak Saidah sedang ingin, ia berjalan-jalan di ruang tamu. Kemudian duduk termenung di tepi pintu, menatap tempat peristirahatan suaminya. Malang tiba-tiba dia pusing lalu pingsan setelah jatuh dari kursi. Maiza dan Pakiah bersegera membawa Mak Saidah ke rumah Bidan.

Untung tidak parah jadi tak perlu dibawa ke rumah sakit. Setelah mendapat perawatan dan obat mereka kembali ke rumah. Beberapa hari berlalu kesehatan Mak Saidah sudah mulai membaik, tetapi karena pikirannya masih gundah nafsu makannya kembali hilang. 

Saban hari, Mak Uwo Tini datang menjenguk. Ia menyuruh Maiza membawa amaknya untuk berobat ke dukun kampung. Menurutnya, Mak Saidah perlu ramuan untuk melupakan almarhum suaminya. Namun, Maiza belum sepakat dengan suaminya. Ia lebih memilih ke rumah sakit dulu daripada ke dukun. 

Bukan tanpa alasan, mereka punya prinsip masing-masing dengan keyakinan. Apalagi bagi Pakiah sendiri, ia seorang lelaki yang tidak mau terpengaruh dengan takhayul. Namun, tidak pula kuat dasar pada pemikirannya untuk berpegang teguh karena ia bukan pula ahli dalam agama. 

Sementara Maiza, ia lebih menurut pada suaminya. Kenyataan bahwa keluarganya adalah pemelihara barang haram itu sudah membuatnya kecewa. Hingga tak ingin lagi berhubungan dengan benda tersebut.

Akan tetapi, sikap mereka membuat ibunya menderita. Kondisi Mak Saidah tak kunjung sehat kian hari semakin parah. Duka di rumah gadang itu belum juga usai. Entah cobaan atau bala yang mereka dapatkan.

Suatu malam, menjelang tidur. Maiza menatap suaminya penuh iba.

"Uda, gimana dengan Amak. Tak tahu lagi caranya, Da?"

"Kita bawa saja ke rumah sakit atau ke tempat Bidan Pen, biar Amak dapat obat untuk meringankan sakitnya."

"Mak Uwo Tini bilang Amak tasapo aruah, Da."

"Entahlah, Uda kadang masih enggan mempercayainya."

"Apa salahnya kita coba?"

"Jangan. Janganlah." 

"Lalu bagaimana lagi, Uda?"

Pakiah terdiam mendengar desakan tanya dari istrinya. Ia pun tak bisa memberi solusi apa-apa. Memang kepercayaan yang mengakar di kampungnya. Setiap kematian suami atau istri, harus diputuskan dengan doa, supaya tidak berlarut perasaan kehilangan orang yang dicintai. 

Akan tetapi, setelah kepergian Abak Jalal, tidak ada doa semacam itu yang dilakukan di rumahnya. Pesan Mak Uwo Tini tidak didengarkan, sebab hanya menambah dosa.

Bersambung.

🌹🌹🌹

Terima kasih yang sudah ikutan baca. 

Related chapters

  • Pasumpahan Tubo   Riwayat Niniak kalimo

    “Musuh pantang dicari, ketemu musuh pantang lari.”🌹🌹🌹“Maiza,” panggil Mak Saidah.“Maiza, kemarilah.” Mak Saidah melambai-lambaikan tangan pada Maiza yang sedang memasak di dapur. Ia tidak mendengar panggilan dari amaknya tersebut.“Anton, panggilkan Ibu kamulah!” perintah Mak Saidah pada cucunya yang sedang bermain kelereng di dekatnya."Yo, Nek," jawab bocah lelaki itu lalu berlari ke dapur menemui ibunya yang sedang mengaduk santan gulai.“Bu, Nenek imbau,” panggil Anton pada ibunya.“Eh yo. Ibu naik lai,” sahut Maiza, lantas dia menaiki anak tangga yang menghubungkan rumah gadang dengan dapur.Sesampainya di rumah Maiza duduk di dekat amaknya. Ia memijit-mijit lengan yang kurus hanya kulit berbalut tulang.“Maiza, saya bermimpi, Abak kamu datang berpakaian sarugo, mancaliak ka amak, mukan

  • Pasumpahan Tubo   Lingkaran Malapetaka

    “Apa yang engkau tanam hari ini, itulah yang dituai di kemudian hari.”🌹🌹🌹Mendengar cerita yang dituturkan oleh amaknya, ada rasa bangga yang tumbuh di hati Maiza. Betapa tidak? Keluarganya adalah keturunan orang baik dan berada. Nenek moyang mereka juga pejuag sekaligus tokoh masyarakat.Sampai saat ini nama baik itu sering diceritakan dari orang tua ke anak-anak.Ia ingin ketika Anton dan Rayya sudah besar kelak dapat meniru semangat pendahulunya. Ia ingin sekali menceritakan kisah yang sama supaya anak-anaknya mengenal nenek moyang mereka. “Hebat ya, Nek. Kakek kita seorang pejuang. Dengar tuh, Anton … Rayya. Kita contoh semangat kakek kita,” ujar Maiza mengajari anaknya.

  • Pasumpahan Tubo   Saat Rahasia Terkuak

    “ Langgengnya sebuah hubungan disebabkan karena saling jujur dan terbuka”Hari-hari Maiza tidak seperti sebelumnya, ia seperti orang yang sedang kalimpasingan, tidur gelisah duduk resah berjalan pun gundah hatinya, wajahnya yang elok berubah murung, sudah seminggu larut dalam pikirannya sendiri. Sampah bekas makanan anak-anak belum dibersihkan. Dapur juga diabaikannya tidak sekali dua kali piring kotor menumpuk dalam panci.Pakaiannya tampak lusuh karena sudah dari kemarin dikenakan, kodek bermotif batik yang membentuk di pinggangnya juga sudah kotor oleh tumpahan minum Rayya. Hal yang dilakukan Maiza hanyalah berkurung diri dalam bilik atau bercengkerama dengan kedua anaknya. Pakiah yang melihat perubahan mood

  • Pasumpahan Tubo   Perseteruan Keluarga

    “Berbaiklah saat ini dengan saudarakarena mereka adalah tempat kamu mengadu di masa depan.”🌹🌹🌹“Pakiah …,” ujar Mak Uwo Tini, Mak Saidah dan Mak Palindih serempak berdiri.“U--da, dah lama U--da di sana?” tanya Maiza gagap, ia menelan saliva membasahi tenggorokan yang kering.Sementara Pakiah masuk ke dalam rumah, duduk dengan tenangnya lalu bersikap bijaksana padahal amarah membara dalam jiwa. Wajahnya memerah dari biasanya, sorot mata yang tajam seakan akan memotong-motong lawan bicara. Melihat suaminya tidak menanggapi, ia beranggapan kalau suaminya tidak mendengar pembicaraan mereka. Kemudian Maiza beranjak ke dapur, membuatkan secangkir teh.

  • Pasumpahan Tubo   Rayya

    “Akar penyakit adalah hati yang kurang bersyukur."🌹🌹🌹Usai perdebatan yang terjadi tempo hari dengan Mak Palindih dan Mak Uwo Tini, Pakiah mengajak Maiza pergi jalan-jalan, tujuannya ke Pakan Rabaa. Tiga lembar uang bergambar monyet berjuntai diberikan pada istrinya untuk belanja. Maiza sangat bahagia dengan sikap Pakiah yang kembali ramah, tidak kaku seperti sebelumnya.“Uda, adik minta maaf soal kejadian kemarin.” Maiza menyalami punggung tangan Pakiah.“Sudah uda maafkan. Sekarang ayo kita bawa anak bermain. Biar dapat angin segar. Cepatlah berkemas.” Pakiah menyuruh Maiza bersiap-siap.Kemud

  • Pasumpahan Tubo   Diagnosa

    “Kasih orang tua sepanjang masa, Kasih anak sepanjang jalan ke surgayaitu doa anak yang saleh” 🌹🌹🌹Perawat membawa Rayya ke ruang penanganan. Maiza dan Pakiah juga ikut serta. Maiza sangat tersiksa melihat Rayya terbaring di kasur yang beralaskan perlak selebar satu meter itu. Tubuh mungil yang tergolek lemas karena suhu tubuhnya masih panas, jari-jarinya yang kecil terkulai di tepi ranjang. Ibu siapa yang tidak teriris melihat putrinya yang semakin pucat. Naluri keibuan mengatakan, biarlah ia menjadi pengganti, tidak tahan melihat Rayya yang menderita.Perawat datang bersama seorang dokter muda. Langkah mereka cepat sehingga hentakan sepatu yang keras membuat lantai semen itu mengeluarkan lengkingan.&ld

  • Pasumpahan Tubo   Muslihat Cinta Tak Bermuara

    “Orang munafik, manis di luar, busuk di dalam.”🌹🌹🌹Mendekati waktu senja Maiza dan Anton telah sampai di Pakan Rabaa. Tidak ada lagi oto cigak baruak yang mangkal. Alamat ia dan anaknya berjalan sejauh tiga kilometer. Ketika azan Maghrib berkumandang, Maiza dan anaknya masih melatih kaki untuk kuat berjalan. Ketika seperempat jalan sudah ditempuh mereka berpapasan dengan Tukang Angkat yang mengendarai becak, si Tukang Angkat menawarkan Maiza dan Anton pulang bersama. Maiza menjadi lega dia tidak sendiri di kegelapan yang hanya ditemani remang-remang cahaya bintang.Sesampainya di rumah, disambut oleh Mak Saidah. Perempuan tua itu tidak melihat keberadaan menantu dan c

  • Pasumpahan Tubo   Misteri Kematian Pak Wali

    “Harta yang didapatkan dengan jalan menzalimi tidak akan berkah”---Di Batu Gading, nagari yang terletak di kaki gunung dekat ke Pakan Rabaa. Nagari Batu Gading menjadi perlintasan, jika mau ke kampung Rayya mesti melalui nagari ini dulu. Di sana tepat di pinggir jalan terdapat kantor urusan Nagari. Sekarang sedang ramai dikunjungi oleh penduduk, mereka menanti keputusan sidang tentang siapa yang akan menjabat sebagai Pak wali berikutnya.Sidang yang sedang digelar dalam gedung sederhana Balai Kerapatan Adat Nagari (KAN) berlangsung dengan alot, setelah lima calon peserta PILWANA[1] yang berkompetisi, hanya dua orang yang lolos dalam seleksi. Mereka adalah Syaiful Tuanku Labai, putra asli Batu Gading, sosok yang cerdas tamatan Pondok Pesantren ternama di Agam, setelah tamat Diploma, ia menetap di kampung sebagai guru mengaji dan baru menikah setahun yang lalu dengan anak bako.[2] Bernama Santi, yang saat ini

Latest chapter

  • Pasumpahan Tubo   Hati Ibu

    Tidak Dapat Dibohongi"Hati seorang Ibu tidak dapat dibohongi, walaupun sepintar apa kamu menyembodohi."🌹🌹🌹Akhirnya Lela sampai di rumah sakit, badannya sakit-sakit karena terdesak, penumpang sungguh padat sekali. Kepalanya juga bertambah pusing karena semalam tidak dapat tidur dengan nyenyak.Saat melewati lorong, ia terhuyung. Hingga membentur tonggak. Masih untuk benturannya tidak keras. Membuat sakit hilang dalam sekejap. Lantas ia duduk di bangku untuk menenangkan diri."Astagfirullah." Ia mengucap istigfar berkali-kali, setelah merasa baikan Lela melanjutkan jalannya.Sesampainya di ruangan kamar rawat ICU. Ia mendapati Fikar sedang ti

  • Pasumpahan Tubo   Praduga

    "Praduga yang tidak benar hanya akan menyiksa batin."🌹🌹🌹"Anak gadisnya itu menolak Juki. Padahal anakku sudah menjadi pemuda yang baik. Hanya Juki yang paham keluarga mereka. Namun, ia sudah membuat Juki patah hati." Jawaban singkat dari Rena membuat Lela mengelus dada."Karena itu kamu memendam marah juga sampai kini?""Tentu, Kak. Kalau si Rayya itu mau. Juki tidak akan seperti ini!""Itulah, gimana lagi. Rayya pasti tahu kelakuan kamu itu pada orang tuanya.""Jadi … Kak Lela menyalahkanku?""Sedikit. Jangan kamu kira aku tidak tahu kebenarannya. Jangan kira aku mudah dihasut!" Lela berkata sinis.&

  • Pasumpahan Tubo   Percakapan Nostalgia

    "Tak mungkin saja jatuh," gumam Lela gelisah di angkot. Hatinya tidak tenang, masih berprasangka, kasak-kusuk duduk. Berharap segera sampai di rumah.Sesampainya di tempat penurunan angkot, ia membayar sewa, lalu pergi dengan terburu-buru. Ketika sudah di halaman ia membuka pintu rumah. Lalu beberes hal-hal yang perlu.Ketika sedang memasak di dapur, ada orang yang memanggil-manggil. Dari suaranya ciri khas perempuan."Assalamualaikum. Lai ado orang di rumah?""Waalaikumsalam, lai."Lela menjawab, ia bergegas membuka pintu. Tampak Rena, ibunya Juki

  • Pasumpahan Tubo   Bogem Juki

    Gerakan Fikar terhenti, sorot matanya tajam ke arah Juki. Begitu juga juki, tatapannya seolah-olah hendak mengunyah-ngunyah tubuh Fikar. "Aaaaanggg." Juki melompat ke arah Fikar, tangannya menggenggam bogem mentah yang siap menghancurkan Fikar. "Da Juki, berhenti. Kalau kamu pukul saya. Nanti saya laporkan kepada pihak berwajib." Bangkit sakit ketakutan dalam hati Fikar. "Haaa? Apaa? Takut juga rupanya kamu?" Juki mempelintir tangan Fikar. Namun pemuda berhasil lepas dan melompat ke samping hingga terhuyung ke belakang. "Tak akan berhasil kamu menakut-nakuti saya. Rasain kamu!" Juki mengambil

  • Pasumpahan Tubo   Tandingan Juki

    "Musuh jangan dicari ketemu musuh jangan lari" *** Fikar pun pulang ke rumahnya, ia tidak cemas lagi meninggalkan sang ayah karena ada ibunya menjaga di sana. Kemudian ia menaiki angkutan desa, sampai di kampungnya hampir waktu zuhur. Namun, ketika sampai ia tidak langsung pulang. Fikar menemui Juki yang sedang bersantai di rumahnya. "Da Juki … Da Juki." Fikar memanggil preman kampung itu dengan berani. Juki yang sedang tiduran karena begadang semalaman itu kaget. Ia merungut memukul lantai rumah gadang. "Siapa yang mengganggu saya siang ini? Kurang ajar!" Juki langsung bangun, menyibak sarung yang menutupi tubuhnya. Kain

  • Pasumpahan Tubo   Sakit Orang Kaya

    "Termakan, Bu?"Fikar mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan perkataan sang ibu. Namun, hatinya berkata-kata kalau ada hal yang amat mengerikan."Iya, Fikar. Entah di manaaalah ayahmu makan. Entah siapa yang iri padanya. Setahu Ibu tidak pernah ayahmu bermusuhan dengan orang." Lela memelas dengan suara lemah.Fikar seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya, bagaimana mungkin orang masih memakai benda menakutkan itu.Sejak kecil ia dihantui dengan tubo yang diyakini bisa membuat nyawa orang melayang dengan cara mengenaskan. Apabila termakan makanan yang bercampur dengan benda itu, tidak akan

  • Pasumpahan Tubo   Prasangka

    "Prasangka menjadikan mata buta, telinga tuli, dan hati tertutupi. Jauhilah." 🌹🌹🌹 Pagi harinya, tepat pukul enam. Embusan hawa dingin masih terasa, embun pun masih melekat di dedaunan. Di rumah gadang, Lela sedang bersiap-siap mengemasi bekal yang akan dibawa nanti ke rumah sakit. Raut wajahnya terlihat pucat karena semalaman tidak bisa tidur, dini hari juga sudah terbangun. Pikirannya jadi tidak tenang, mengingat sang suami yang dirawat. Ia mengalami mimpi buruk dua kali. Dalam bunga tidurnya itu, Lela melihat suaminya muntah darah. Sontak ia terkejut, langsung terjaga. Lalu tidur lagi, ternyata mimpinya masih bersambung, ia melihat suaminya meregang nyawa dalam p

  • Pasumpahan Tubo   Kambuh

    "Setiap penyakit ada obatnya kecuali mati.(kutipan) *** "Gimana kabar, Pak Bandaro?" Juki duduk di samping Bandaro yang sedang tak enak hati. "Saat ini sudah mulai baik. Kenapa kamu ke sini bersama anakku?" tanya Bandaro dengan ketus. "Jangan kayak gitulah, Tuan. Aku hanya berniat baik saja. Si Fikar itu, sudah tau hari sudah gelap. Dikeraskannya juga hati pergi rumah sakit. Angkutan umum sudah tidak ada. Untunglah ada aku," ujar Juki berbesar hati. "Heemmmh." Bandaro menarik napas. Kalau tidak karena anaknya ada di sana, sudah diusirnya si Juki dari hadapannya.

  • Pasumpahan Tubo   Bersama Juki

    Sore hari setelah salat Ashar, Fikar melihat ayahnya sedang tidur. Nafasnya yang sesak sudah mulai teratur. Lama ia menatap, ada hal yang mengganggu pikirannya. Lalu Fikar menemui perawat di lobby rumah sakit. "Sus, saya mau pulang ke kampung. Ibu saya belum tahu kalau Ayah dirawat." "Kalau kamu pulang, siap yang menjaga ayahmu? Apakah kamu yakin akan segera datang?" tanya perawat yang cantik itu. "Saya pasti balik, Sus. Paling sebelum senja saya sudah sampai di sini." Fikar bersikeras. "Baiklah. Jangan sampai lama datang, ya!" Perawat yang lebih tua melihat Fikar dengan ketus. "Terima kasih, Sus." Fikar berlalu, ia menyayangkan

DMCA.com Protection Status