“Harta dunia yang paling berharga keluarga”
Maiza belum juga sadar, sudah sepuluh menit ia masih berkelana dalam mimpi mencari suaminya. Anton dan Rayya meraung-raung memanggil ibu mereka karena belum kunjung bangun, mereka tak kuat membopong tubuh sang ibu. Tak lama kemudian, empat orang warga yang menemukan oto Cigak Baruak tersebut datang ke pondok, mereka mendapati Maiza tergolek di halaman lalu memindahkan Maiza ke dalam dan membaringkan di kasur.
Seorang bapak yang berkumis tipis meletakkan irisan bawang putih di hidung Maiza. Sehingga istri Pakiah itu tersedak lantas ia berusaha bangkit dari tidur. Maiza memandang para warga yang datang, hatinya masih menaruh harapan kalau suaminya pasti selamat. Bapak berkumis itu memahami apa yang
“Tanah ulayat adalah tempat dilahirkan, tempat hidup dan tempat dikuburkan.” ***Keinginan Maiza pergi menjauh dari kampung halaman menjadi sia-sia, berapa pun usahanya pergi sekarang dia sudah berada dalam rumah gadang lagi. Takdirnya sudah tersirat di telapak tangan, menjadi penerus suku keluarganya. Semenjak ditinggal mati suami dan ibunya, hidup Maiza kurang bergairah kadang lupa diri kalau sedang hamil. Dipaksa badannya bekerja mencangkul ladang yang sudah banyak semak belukar. Kakinya yang dulu jarang menginjak tanah, kini tak peduli
“Hidup itu butuh proses, bukan instan seperti mi sedap” ***Mukhtar Palindih Kayo, Lena dan Rayya naik oto Cigak Baruak di desa Batu Batuah. Sebelum sampai ke Pakan Rabaa, mereka melewati desa Mudiak terlebih dulu. Rayya sangat bergembira, tak lepas tangannya menggenggam jemari Nek Muda Lena. Perempuan empat puluh tahun itu menatap Rayya iba, sudah sebesar itu belum pernah kemana pun. Bagai katak dalam tempurung, peribahasa tersebut cocok disematka
Pertama Kali Merasa Dihargai “Dihargai membuat seseorang kembali bangkit”&nbs
“Cinta dalam diam membuat haru biru” ***Selama dua semester akhir Rayya sangat aktif dalam kegiatan FSLDK,[1] sebagai sekretaris lembaga dakwah kampus. Ketertarikan Rayya pada dakwah karena pengaruh nenek mudanya yang hanif, ia mengarahkan Rayya mencintai pengajian dan kegiatan keagamaan. Sehingga dalam jiwa Rayya menyampaikan kebenaran harus ada wadahnya, terlebih lagi wajib ada ilmunya agar diterima oleh masyarakat. Bersama dengan Feli juga
"Menjamah Kerinduan" “Obat mujarab kerinduan adalah dengan bertemu langsung”&nbs
“Bersekutu dengan jin, akan menjadi temannya sebagai kayu bakar” ***Tengah asyik mengobrol melepaskan kengen. datanglah remaja berseragam SMA, rupanya Fadil, si bungsu baru pulang dari sekolah.“Assalamualaikum,” ucapnya.Semua serentak menjawab salam. Memandang Fadil dan melemparkan senyuman. Remaja itu langsung bergabung, duduk dekat Anton dan mulai memperkenalkan dirinya.“Atuk, Nek. Kak, kenalka
“Kenyataan tak seindah bunga mimpi” 
“Sebaik-baik pelindung adalah Allah” ***Selama tiga hari Rayya berdiam diri di kamar. Atuk dan neneknya menjadi gerah melihatnya. Pagi hari, Atuk Mukhtar memanggil Rayya untuk duduk bersamanya. Wajah Rayya lesu dan kering, ia tak menyentuh minuman dan makanan.“Rayya, maafkan Atukmu ini.”&ldq