“Amak sudah pergi, Ayah juga tiada. Kemana lagi badan hendak ditumpangkan?”
Sangat terasa bagi Pakiah menjadi orang terasing, pergi minum ke lepau seperti seorang sendiri, padahal banyak bapak-bapak yang hadir, tetapi Pakiah tak dibawa serta dalam obrolan mereka. Hanya sekali dia pergi ke sana, setelah itu lebih banyak santai di rumah.
Begitu pula dengan Maiza lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Malas bertemu orang sebab enggan digunjingkan, ia menjadi tipis telinga, setiap amak-amak berkumpul membicarakan masalah anak atau keluarga Maiza hanya lewat saja. Dia merasa mereka sedang membicarakan dirinya. Akibatnya tetangga sudah menjauh tidak ada siapa pun yang datang bertamu.
Penghasilan ladang mereka merosot tajam sebab tak tertangani oleh Pakiah sendiri, tidak ada orang yang mau diupah untuk mengolahnya, masyarakat nagari mengasingkan mereka. Ladang sudah rimbun menjadi parak ilalang, rumput saruik
“Ikuti kata hati. Jadilah diri sendiri”Pada malam hari, Pakiah dan Maiza setuju meninggalkan rumah. Jika berangkat siang hari maka akan banyak orang yang melihat. Mereka menganggap inilah yang terbaik untuk dia dan anak-anaknya.Pakiah membawa istri dan anaknya pergi ke rumah orang tua terlebih dulu, jaraknya lumayan jauh memakan waktu dua puluh menit perjalanan karena dipisahkan oleh dua lereng bukit sudah dekat ke Sarasah di pinggang gunung. Pakiah menyandang tas merk Puma ukuran sedang yang berisi beberapa helai baju. Rayya, putrinya juga berdukung di punggung sedang tertidur karena seperti diayun-ayun.Sementara Maiza menggandeng Anton yang sudah besar sedikit dari Rayya tidak perlu digendong lagi. Kaki Maiza terasa berat dilangkahkan, sesekali dia menoleh ke belakang, seakan-akan Ia mendengar suara ibunya memanggil dari kejauhan. Hati Maiza sakit tak tertahan lalu berhenti sambil terengah-engah. Tangan kirin
“Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang, kata yang cocok untuk orang yang tak mendapat hasil apapun sesudah berselisih.” ***Sementara di rumah gadang, sudah dua hari suasana hening, jendela rumah tertutup, cahaya lampu juga sudah padam. Biasanya Maiza sudah memasak pagi sekali, asap mengepul di ruang dapur, tetapi kini tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada suara anak-anak yang berlari di halaman.Keadaan tersebut membuat Mak Uwo Tini penasaran. Ada apa gerangan yang terjadi di dalam rumah. Ia naik ke jenjang dan mengetuk pintu, tetapi tidak ada sahutan.
“Lelaki ibarat permata sangat dibutuhkan diranah Minang” ***Di nagari Ngalau, petak-petak sawah sedang banyak genangan air, bekas pembajakan kerbau masih tampak jelas di lumpur yang mengendap. Bulan Juli ini musim menanam, hamparan permadani hijau membentang luas dari bagian arah gerbang sampai ke dekat perbukitan karena Ngalau adalah daerah yang datar dan jauh dari kaki gunung, tetapi jika s
“Harta dunia yang paling berharga keluarga”Maiza belum juga sadar, sudah sepuluh menit ia masih berkelana dalam mimpi mencari suaminya. Anton dan Rayya meraung-raung memanggil ibu mereka karena belum kunjung bangun, mereka tak kuat membopong tubuh sang ibu. Tak lama kemudian, empat orang warga yang menemukan oto Cigak Baruak tersebut datang ke pondok, mereka mendapati Maiza tergolek di halaman lalu memindahkan Maiza ke dalam dan membaringkan di kasur.Seorang bapak yang berkumis tipis meletakkan irisan bawang putih di hidung Maiza. Sehingga istri Pakiah itu tersedak lantas ia berusaha bangkit dari tidur. Maiza memandang para warga yang datang, hatinya masih menaruh harapan kalau suaminya pasti selamat. Bapak berkumis itu memahami apa yang
“Tanah ulayat adalah tempat dilahirkan, tempat hidup dan tempat dikuburkan.” ***Keinginan Maiza pergi menjauh dari kampung halaman menjadi sia-sia, berapa pun usahanya pergi sekarang dia sudah berada dalam rumah gadang lagi. Takdirnya sudah tersirat di telapak tangan, menjadi penerus suku keluarganya. Semenjak ditinggal mati suami dan ibunya, hidup Maiza kurang bergairah kadang lupa diri kalau sedang hamil. Dipaksa badannya bekerja mencangkul ladang yang sudah banyak semak belukar. Kakinya yang dulu jarang menginjak tanah, kini tak peduli
“Hidup itu butuh proses, bukan instan seperti mi sedap” ***Mukhtar Palindih Kayo, Lena dan Rayya naik oto Cigak Baruak di desa Batu Batuah. Sebelum sampai ke Pakan Rabaa, mereka melewati desa Mudiak terlebih dulu. Rayya sangat bergembira, tak lepas tangannya menggenggam jemari Nek Muda Lena. Perempuan empat puluh tahun itu menatap Rayya iba, sudah sebesar itu belum pernah kemana pun. Bagai katak dalam tempurung, peribahasa tersebut cocok disematka
Pertama Kali Merasa Dihargai “Dihargai membuat seseorang kembali bangkit”&nbs
“Cinta dalam diam membuat haru biru” ***Selama dua semester akhir Rayya sangat aktif dalam kegiatan FSLDK,[1] sebagai sekretaris lembaga dakwah kampus. Ketertarikan Rayya pada dakwah karena pengaruh nenek mudanya yang hanif, ia mengarahkan Rayya mencintai pengajian dan kegiatan keagamaan. Sehingga dalam jiwa Rayya menyampaikan kebenaran harus ada wadahnya, terlebih lagi wajib ada ilmunya agar diterima oleh masyarakat. Bersama dengan Feli juga
Tidak Dapat Dibohongi"Hati seorang Ibu tidak dapat dibohongi, walaupun sepintar apa kamu menyembodohi."🌹🌹🌹Akhirnya Lela sampai di rumah sakit, badannya sakit-sakit karena terdesak, penumpang sungguh padat sekali. Kepalanya juga bertambah pusing karena semalam tidak dapat tidur dengan nyenyak.Saat melewati lorong, ia terhuyung. Hingga membentur tonggak. Masih untuk benturannya tidak keras. Membuat sakit hilang dalam sekejap. Lantas ia duduk di bangku untuk menenangkan diri."Astagfirullah." Ia mengucap istigfar berkali-kali, setelah merasa baikan Lela melanjutkan jalannya.Sesampainya di ruangan kamar rawat ICU. Ia mendapati Fikar sedang ti
"Praduga yang tidak benar hanya akan menyiksa batin."🌹🌹🌹"Anak gadisnya itu menolak Juki. Padahal anakku sudah menjadi pemuda yang baik. Hanya Juki yang paham keluarga mereka. Namun, ia sudah membuat Juki patah hati." Jawaban singkat dari Rena membuat Lela mengelus dada."Karena itu kamu memendam marah juga sampai kini?""Tentu, Kak. Kalau si Rayya itu mau. Juki tidak akan seperti ini!""Itulah, gimana lagi. Rayya pasti tahu kelakuan kamu itu pada orang tuanya.""Jadi … Kak Lela menyalahkanku?""Sedikit. Jangan kamu kira aku tidak tahu kebenarannya. Jangan kira aku mudah dihasut!" Lela berkata sinis.&
"Tak mungkin saja jatuh," gumam Lela gelisah di angkot. Hatinya tidak tenang, masih berprasangka, kasak-kusuk duduk. Berharap segera sampai di rumah.Sesampainya di tempat penurunan angkot, ia membayar sewa, lalu pergi dengan terburu-buru. Ketika sudah di halaman ia membuka pintu rumah. Lalu beberes hal-hal yang perlu.Ketika sedang memasak di dapur, ada orang yang memanggil-manggil. Dari suaranya ciri khas perempuan."Assalamualaikum. Lai ado orang di rumah?""Waalaikumsalam, lai."Lela menjawab, ia bergegas membuka pintu. Tampak Rena, ibunya Juki
Gerakan Fikar terhenti, sorot matanya tajam ke arah Juki. Begitu juga juki, tatapannya seolah-olah hendak mengunyah-ngunyah tubuh Fikar. "Aaaaanggg." Juki melompat ke arah Fikar, tangannya menggenggam bogem mentah yang siap menghancurkan Fikar. "Da Juki, berhenti. Kalau kamu pukul saya. Nanti saya laporkan kepada pihak berwajib." Bangkit sakit ketakutan dalam hati Fikar. "Haaa? Apaa? Takut juga rupanya kamu?" Juki mempelintir tangan Fikar. Namun pemuda berhasil lepas dan melompat ke samping hingga terhuyung ke belakang. "Tak akan berhasil kamu menakut-nakuti saya. Rasain kamu!" Juki mengambil
"Musuh jangan dicari ketemu musuh jangan lari" *** Fikar pun pulang ke rumahnya, ia tidak cemas lagi meninggalkan sang ayah karena ada ibunya menjaga di sana. Kemudian ia menaiki angkutan desa, sampai di kampungnya hampir waktu zuhur. Namun, ketika sampai ia tidak langsung pulang. Fikar menemui Juki yang sedang bersantai di rumahnya. "Da Juki … Da Juki." Fikar memanggil preman kampung itu dengan berani. Juki yang sedang tiduran karena begadang semalaman itu kaget. Ia merungut memukul lantai rumah gadang. "Siapa yang mengganggu saya siang ini? Kurang ajar!" Juki langsung bangun, menyibak sarung yang menutupi tubuhnya. Kain
"Termakan, Bu?"Fikar mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan perkataan sang ibu. Namun, hatinya berkata-kata kalau ada hal yang amat mengerikan."Iya, Fikar. Entah di manaaalah ayahmu makan. Entah siapa yang iri padanya. Setahu Ibu tidak pernah ayahmu bermusuhan dengan orang." Lela memelas dengan suara lemah.Fikar seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya, bagaimana mungkin orang masih memakai benda menakutkan itu.Sejak kecil ia dihantui dengan tubo yang diyakini bisa membuat nyawa orang melayang dengan cara mengenaskan. Apabila termakan makanan yang bercampur dengan benda itu, tidak akan
"Prasangka menjadikan mata buta, telinga tuli, dan hati tertutupi. Jauhilah." 🌹🌹🌹 Pagi harinya, tepat pukul enam. Embusan hawa dingin masih terasa, embun pun masih melekat di dedaunan. Di rumah gadang, Lela sedang bersiap-siap mengemasi bekal yang akan dibawa nanti ke rumah sakit. Raut wajahnya terlihat pucat karena semalaman tidak bisa tidur, dini hari juga sudah terbangun. Pikirannya jadi tidak tenang, mengingat sang suami yang dirawat. Ia mengalami mimpi buruk dua kali. Dalam bunga tidurnya itu, Lela melihat suaminya muntah darah. Sontak ia terkejut, langsung terjaga. Lalu tidur lagi, ternyata mimpinya masih bersambung, ia melihat suaminya meregang nyawa dalam p
"Setiap penyakit ada obatnya kecuali mati.(kutipan) *** "Gimana kabar, Pak Bandaro?" Juki duduk di samping Bandaro yang sedang tak enak hati. "Saat ini sudah mulai baik. Kenapa kamu ke sini bersama anakku?" tanya Bandaro dengan ketus. "Jangan kayak gitulah, Tuan. Aku hanya berniat baik saja. Si Fikar itu, sudah tau hari sudah gelap. Dikeraskannya juga hati pergi rumah sakit. Angkutan umum sudah tidak ada. Untunglah ada aku," ujar Juki berbesar hati. "Heemmmh." Bandaro menarik napas. Kalau tidak karena anaknya ada di sana, sudah diusirnya si Juki dari hadapannya.
Sore hari setelah salat Ashar, Fikar melihat ayahnya sedang tidur. Nafasnya yang sesak sudah mulai teratur. Lama ia menatap, ada hal yang mengganggu pikirannya. Lalu Fikar menemui perawat di lobby rumah sakit. "Sus, saya mau pulang ke kampung. Ibu saya belum tahu kalau Ayah dirawat." "Kalau kamu pulang, siap yang menjaga ayahmu? Apakah kamu yakin akan segera datang?" tanya perawat yang cantik itu. "Saya pasti balik, Sus. Paling sebelum senja saya sudah sampai di sini." Fikar bersikeras. "Baiklah. Jangan sampai lama datang, ya!" Perawat yang lebih tua melihat Fikar dengan ketus. "Terima kasih, Sus." Fikar berlalu, ia menyayangkan