Axel setengah tak percaya memandangi pesan yang baru saja diterimanya. Benarkah Mysha sudi bicara dengannya? Akhirnya wanita itu mau memberinya kesempatan. Axel tak mau menyia-nyiakan peluang emas yang digulirkan kepadanya.
Ia akan kembali meraih kepercayaan Mysha. Pasti!
Sayang, impian tak selalu sejalan dengan kenyataan. Michael menempel erat seperti kawat berduri di selusur pagar penjara. Membentengi Mysha sepanjang jam kerja.
Bahkan sejak Mysha keluar pintu apartemen, hingga masuk lagi sepulang kerja di waktu malam, pria berengsek itu tetap mengekor setia. Axel sama sekali tak bisa memperpendek jarak.
"Kapan kita bisa bicara?" Axel berusaha menekan kegundahannya ketika akhirnya Mysha mengangkat teleponnya.
"Sabtu ini saat makan malam." Mysha mendebas. "Kurasa Mike ada keperluan keluar kota hari itu."
Axel sebenarnya ingin protes kenapa Mysha tidak berani meminta Michael menjauh dan membiarkan mereka lebih cepat bicara daripada harus bers
Mysha benar-benar terpana melihat tingkah Axel yang dinilainya berlebihan, meski tak dipungkiri hatinya melambung, juga berbunga-bunga. Lelaki yang terbiasa membuat para wanita bertekuk lutut saat ini justru sedang berlutut di depannya.."Jangan merendahkan diri Anda, Mr. Delacroix. Tolong bangunlah!" pinta Mysha. Ia menguatkan diri agar tetap tegar, menahan kaki untuk tidak beranjak dari posisinya. Berusaha menahan diri agar tidak memeluk bahu Axel yang kini sejajar dengan pinggangnya."Aku tak peduli, Mysh. Aku akan tetap berlutut sampai kau mau mendengarkan penjelasanku," ucap Axel teguh."Berdirilah Axel, kumohon!" Suara Mysha bergetar menahan haru. Seorang Axel Delacroix yang arogan dan mempunyai harga diri selangit, rela berlutut di hadapannya.Pendirian Mysha mulai goyah."Tidak, Mysh! Sebelum kau berjanji akan mendengarkan penjelasanku."Mysha mengedarkan pandangannya. Orang-orang tampak mulai memandangi mereka dengan penuh
"Rupanya seseorang di sini tidak mengerti bahasa Inggris," ucap Michael tajam, menggenggam tangannya erat, siap meluncurkan pukulan kalau pria di hadapannya memaksa untuk bertemu Mysha."Dan seseorang tidak mengerti kapan dia harus mundur," balas Axel dengan sikap yang sama. Setelah kejadian kemarin, Axel tidak akan melepaskan Mysha lagi dan menghadapi Michael hanyalah hal kecil dibandingkan bayangan dia berpisah dari wanita itu."Silakan pergi, Mr. Delacroix. Kehadiranmu tidak diharapkan di sini.""Bukankah harusnya aku yang berkata demikian, Mr. Johann--""Mike!" seru Mysha membuat kedua pria di hadapannya melirik ke arahnya yang sedang berjalan tergopoh.Mysha langsung menempatkan dirinya di hadapan Michael, menatap pengacara itu dengan tatapan memohon. "Kita harus berbicara sebentar."Alis Michael berkerut, menatap bergantian Mysha dan Axel. Firasatnya berkata bahwa sesuatu terjadi selama dia ke Washington D.C. untuk be
Mysha tak berkedip menatap wanita tinggi semampai yang berjalan ke arahnya. Pintu apartemen masih terbuka lebar, tapi Olivia memilih hanya berdiri di anak tangga teratas.Mysha tahu, model papan atas itu tidak akan mau memasuki apartemen yang mungkin dinilainya kumuh. Selintas Mysha menoleh ke deretan jendela yang memantulkan bayangannya. Sial! Ia sama sekali tidak tampil maksimal. Rambutnya tak tertata sempurna dan riasannya juga sudah mulai luntur.Tidak ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Ia harus menguatkan hati untuk menghadapi makhluk yang sempat membuat Axel bergairah itu. Dengan dada bergemuruh lebih karena kesal, Mysha menghampiri Olivia."Jadi kau wanita yang merayu Axel?" Olivia tersenyum sangat manis ketika mereka sudah berhadapan.Semilir angin musim gugur yang cukup menggigit sama sekali tak menggoyahkan sikap anggun Olivia. Tampaknya dingin tak mengganggu meski Olivia mengenakan gaun yang memamerkan kaki jenjang indahnya.Nyaris ta
Mysha merasakan kelegaan yang luar biasa mendengar penjelasan dokter. Jika Olivia tidak hamil seperti yang dikatakan dokter, artinya jatuh dari tangga bukanlah masalah berarti. Tidak ada bayi yang mungkin mati karenanya."Oh Tuhan, syukurlah... syukurlah," bisiknya berulang-ulang.Axel mempererat dekapan tangannya di bahu Mysha, menenangkan dan meyakinkan gadis itu bahwa semuanya baik-baik saja. Semua sudah berakhir. Kekalutan, ketakutan, dan keraguan yang sempat ada di antara mereka telah lenyap.Axel berusaha tetap tenang di depan Mysha, agar wanita berkacamata itu merasa aman di sisinya. Padahal amarah di dalam dadanya begitu menggelegak. CEO yang selalu bersikap analitis itu mencoba mengambil sisi positifnya. Paling tidak masalah kehamilan Olivia sudah selesai tanpa harus ia bersusah payah. Meski begitu, Axel harus mengadakan perhitungan dengan Olivia agar wanita ular itu benar-benar menyingkir dari hidupnya. Axel sadar, wanita seperti Olivia bisa saja mengg
Axel merasakan hangat menjalar dari pipi hingga ke hati. Sebuah senyum terkembang ketika dirinya menatap Mysha yang tersenyum malu."Axel?" tanya Mysha ketika pria itu mengarah ke pinggir jalan dan menghentikan mobil mewah itu di sana.Axel memperlebar senyum, membuat Mysha menahan napas, apalagi ketika pria itu meraih jemarinya dan mengecup lama. Rasa hangat merayap di pipi Mysha, setengah berharap kalau bibirnyalah yang dicium Axel dengan penuh damba seperti itu."Mysh." Axel menarik napas dalam, seakan apa yang akan dikatakan adalah sebuah hal yang berasal dari perasaannya. "Aku akan melindungi dan menjagamu. Tidak akan kubiarkan seorang pun melukaimu dan seumur hidupku, aku akan membuktikan bahwa aku adalah pria yang layak mendapatkan kepercayaan dan cintamu."Rasa haru menyeruak dari dada Mysha, membuat matanya berair. Axel membelai pipi wanita itu, menghapus air mata sebelum mengecup kulit putih itu pelan."Aku percaya padamu, Axel," bisik My
Axel tak mau mengatakan apa-apa meski Mysha menanyakan berulang kali untuk apa mereka kembali ke Rose Center for Earth and Space. Sejak terakhir kali mereka ke sana, sejujurnya Mysha memang ingin mengajak Axel untuk pergi menikmati indahnya langit sekali lagi. Namun, wanita itu merasa jengah jika Axel menyewa seluruh gedung seperti sebelumnya. Rasa-rasanya Axel terlalu berlebihan. Namun, ia juga tak bisa mengharapkan pria gagah yang kini menyetir di sebelahnya untuk masuk ke planetarium dan berdesakan bersama warga New York lainnya. Ah sudahlah, Mysha tak boleh selalu menuntut supaya Axel mengikuti standar sederhananya. Pria itu terbiasa hidup dalam kemewahan dan melakukan banyak hal penuh dengan privasi. Apakah Axel tak pernah merasa kesepian?"Kita sudah sampai." Axel membuyarkan lamunan Mysha. Pria itu keluar dan membukakan pintu.Mysha menyambut uluran tangan kekasihnya. Genggaman Axel terasa begitu hangat. Apakah ia masih demam? Sejenak Mysha ingin memeriksa kenin
Axel tertunduk, wajah yang tadi semringah mendadak datar. Pria yang paling dikagumi para wanita seantero kota New York itu berusaha mencerna jawaban yang terlontar dari bibir Mysha. Benaknya berputar memikirkan seribu alasan yang mungkin membuat wanita di hadapannya belum sepenuhnya percaya kepadanya.Ia harus meyakinkan wanita berkacamata itu. CEO tampan itu tak bisa membayangkan bagaimana ia akan tahan menjalani hidup, jika tanpa Mysha di sisinya.Axel mengangkat wajah, memandang tepat ke bola mata keemasan yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya."I can't tell you how happy I am." Mysha lebih dulu berkata saat Axel baru saja membuka mulutnya. Senyum manis melengkung di wajahnya.Axel terperangah sekali lagi."Please say it one more time. Aku ... aku tidak salah dengar, kan?" pinta Axel yang tidak dapat menutupi kebahagiaannya."Tidak, kau tidak salah." Mysha menggeleng lalu tersenyum lebar. "Aku hanya sangat terkeju
Mysha memainkan cincin di jari manisnya sambil mengulum senyum. Beberapa kali Mysha mencubit pipinya, memastikan bahwa pertunangan dengan Axel Delacroix bukan mimpi dan untungnya cincin indah itu masih tersemat di sana.Seusai makan malam kemarin, Mysha diantar pulang oleh Axel walaupun Mysha tahu kondisi kesehatan pria itu masih belum pulih. Hari ini pun, tunangannya memaksa masuk walau Mysha meminta beristirahat.Tunangan ....Astaga!Mysha memekik dalam hati sementara rasa panas menjalar di wajahnya. Tinggal menunggu hari sampai dia resmi menjadi Mrs. Delacroix ....Dering telepon membuyarkan lamunan Mysha, membuat GM itu terlonjak dari tempat duduknya. Mengatur napasnya sejenak, dia tersenyum sebelum mengangkat telepon."Miss Natasha, Anda ditunggu Mr. Davis di ruangannya sekarang."Suara sekretaris William membuat Mysha kembali fokus pada pekerjaan. Mungkin William akan menanyakan tentang data
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?