Mysha memainkan cincin di jari manisnya sambil mengulum senyum. Beberapa kali Mysha mencubit pipinya, memastikan bahwa pertunangan dengan Axel Delacroix bukan mimpi dan untungnya cincin indah itu masih tersemat di sana.
Seusai makan malam kemarin, Mysha diantar pulang oleh Axel walaupun Mysha tahu kondisi kesehatan pria itu masih belum pulih. Hari ini pun, tunangannya memaksa masuk walau Mysha meminta beristirahat.
Tunangan ....
Astaga!
Mysha memekik dalam hati sementara rasa panas menjalar di wajahnya. Tinggal menunggu hari sampai dia resmi menjadi Mrs. Delacroix ....
Dering telepon membuyarkan lamunan Mysha, membuat GM itu terlonjak dari tempat duduknya. Mengatur napasnya sejenak, dia tersenyum sebelum mengangkat telepon.
"Miss Natasha, Anda ditunggu Mr. Davis di ruangannya sekarang."
Suara sekretaris William membuat Mysha kembali fokus pada pekerjaan. Mungkin William akan menanyakan tentang data
Axel hanya melihat kegelapan, tapi ia masih bisa merasakan lengan kecil berusaha menahan tubuhnya yang terhuyung. Sial! Jika ia sampai jatuh menimpa pemilik tangan yang meneriakkan namanya itu, Mysha pasti bisa terluka. Axel mengerahkan sisa tenaganya untuk mengangkat kaki kirinya lalu memijak cepat dan kuat ke atas lantai. Keseimbangannya pulih. Perlahan tapi pasti, Axel bisa kembali melihat cahaya. Suara lembut itu terus memanggil namanya sembari menepuk pipinya berulang."Axel, are you alright?" Mysha memeriksa dahi Axel, tapi tak dirasakan peningkatan suhu yang signifikan."I'm fine." Axel tersenyum ketika seluruh kesadaraannya kembali. "Sorry for making you worry." Pria itu membelai lembut pipi Mysha yang memucat."Tidak! Kita harus ke dokter sekarang!"Axel menggeleng, tapi Mysha menarik tangan kekar itu paksa sekuat tenaga. Saat itulah Mysha mendengar suara yang tak asing. Mysha menoleh ke arah Axel. Untuk yang pertama ia
William memerhatikan Mysha yang semakin dalam menatap foto masa kecil mereka. Apakah gadis itu masih ingat dengan boneka beruang pemberiannya di hari ulang tahun yang ke-8. Boneka yang dibeli pria itu dari hasil tabungannya. Apakah dia masih suka menonton Yankees?Mysha masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sekali lagi ditatapnya foto itu. Gadis berusia 28 tahun itu memandang lekat-lekat foto anak laki-laki yang berdiri di sampingnya. Jika diperhatikan, wajah anak laki-laki itu sangat mirip dengan William.Mysha mengangkat wajahnya lalu menatap direktur CLD dan foto di tangannya bergantian. Mereka memang orang yang sama, hanya saja lelaki yang di foto itu tubuhnya jauh lebih kurus dan kecil. Lagi pula anak itu tersenyum. Senyum yang begitu hangat dengan sorot mata dan wajah yang juga terlihat bahagia. Ah, jika anak itu memang William, mengapa sama sekali tak tersisa senyum hangatnya? Ke mana ekspresi itu hingga kini hanya wajah datar saja yang selalu ditampak
"Axel!!" jerit Mysha ketika tunangannya memberitahu tanggal pernikahan mereka yang sangat dipercepat. "Bagaimana bisa mempersiapkan pernikahan secepat itu?!"CEO muda itu mengulum senyum dan menarik pinggang Mysha yang ramping dalam pelukan, membenamkan diri pada ceruk leher wanita yang akan menjadi istrinya. "Jika kau memiliki koneksi yang tepat, semuanya tidak akan ada masalah. Tapi bagaimana denganmu, apakah kau siap menjadi Mrs. Delacroix?"Mysha terdiam, merasakan Axel membelai punggungnya yang masih berbalut blazer kerja, membuat bulu kuduknya meremang. Dia menikmati sentuhan memabukkan itu, tapi juga berjaga-jaga agar tidak terlena. Tidak, ketika pernikahan mereka di depan mata. Hanya dua bulan, Mysha mengingatkan dirinya dan semua perjuangannya selesai. Ucapan Axel membuat pipinya menghangat."Semuanya terlalu cepat, Axel," bisik wanita itu, teredam oleh dada Axel yang bidang. "Bagaimana kita bertemu, bagaimana kita memulai, dan kini tiba-tiba s
Belum sempat pramuniaga menekan tombol 911 di ponselnya, Axel langsung membopong Mysha dan tergesa keluar. Akan lebih cepat jika ia mengemudikan mobilnya daripada menunggu ambulans.Mysha sudah aman di kursinya, tertahan sabuk pengaman. Wajahnya masih pucat pasi. Axel tak mau banyak berpikir. Fokusnya hanya segera menuju rumah sakit terdekat agar Mysha segera mendapatkan penanganan secepatnya.Ketika sampai, Axel tak bisa dan tak mau duduk tenang di ruang tunggu. Ia terus mondar-mandir tak keruan di depan ruang IGD. Meskipun wajahnya dipenuhi kekhawatiran, tetap saja pesona Axel Delacroix tak terbantahkan. Itu bisa dilihat dari banyaknya orang yang berbisik membicarakannya. Biasanya, Axel menikmati semua perhatian yang tertuju kepadanya. Mengulang dalam kepala betapa sempurnanya ia. Namun, kali ini otak Axel terkunci. Ia tak bisa memikirkan hal yang lain kecuali tunangannya yang tidur di atas brankar dan didorong masuk ke IGD."Tolong panggilkan dokter terbaik untuknya.
Mysha merebahkan kepala di dada bidang pria yang kini tengah merengkuhnya. Axel begitu mengkhawatirkannya, meski dokter sudah mengatakan bahwa kesehatan Mysha akan pulih dalam satu-dua hari setelah berisitirahat. Sorot mata dan degup jantung CEO tampan itu menjelaskannya. Gadis bernetra keemasan itu tersenyum, ia sungguh menikmati perhatian Axel terhadapnya. Sebuah pelukan yang membuat dirinya merasa begitu dicintai.Kalau saja Mysha tidak melihat tatapan sinis sekaligus iri orang-orang yang lalu lalang di sekitar mereka, tentu ia tidak ingin melepaskan pelukan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Mysha mengangkat kepala, melepaskan kedua tangan yang bergayut di bahu Axel, lalu sedikit mendorong tubuh kekar pria itu.Ketika melihat sekilas pantulan dirinya dari kaca ruang laboratorium, Mysha baru menyadari gaun pengantin yang tadi dicobanya telah berganti dengan baju pasien rumah sakit."Oh, Tuhan. Di mana gaunku? Aku pasti telah menghilangkannya," kat
Mungkin tunangannya sedang sibuk mempersiapkan banyak hal sehingga pikirannya melayang. Ya benar, Axel pasti sedang terlalu fokus memikirkan pekerjaan.Mysha berusaha untuk menyemangati diri, namun setiap kali dia melihat ponsel yang sunyi, membuat hatinya kembali merasa gelisah. Tabel dan angka yang berada di depannya menuntut diperhatikan tapi hatinya menolak. Kejadian tadi siang berputar berulang kali dalam kepalanya. Tidak pernah sejak mereka memulai hubungan mereka, Axel mengabaikan dirinya. Mysha berusaha memasukkan perhitungan pada program komputer. Tapi saat ini, bahkan pesan-pesan Mysha tidak dibalas oleh pria itu.General Manager itu menghela napas. Dia bimbang, apa yang harus dilakukan. Saat keadaan menekannya dari berbagai sisi, tenggat waktu perusahaan dan persiapan pernikahan, Mysha hanya berharap bisa mendengar suara Axel, memberikan semangat dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Jari lentik Mysha meraih ponsel pintar dan menekan tombol di
Suara tamparan kembali terdengar. Mysha tanpa sadar melayangkan tangan kanannya ke pipi Axel sekuat tenaga hingga meninggalkan bekas kemerahan di sana. Tak menunggu reaksi berikutnya, Mysha langsung berlari meninggalkan semua sumber dukanya di belakang.Mysha tak mampu lagi berpikir. Semua yang ada di kepalanya seperti kepingan kaca penyimpan kenangan. Tak ada lagi yang tersisa utuh di sana.Napasnya memburu ketika membanting pintu mobil dan mengempaskan tubuhnya ke jok. Dadanya bergemuruh dengan gabungan rasa pedih yang tak bisa dijelaskan. Kepalanya berdentam dan Mysha tak bisa lagi menahan setiap bulir air mata yang mengalir keluar. Setidaknya ia tak menangis di hadapan mereka. Mysha berusaha sekuatnya untuk tidak terlihat lemah di hadapan wanita itu apalagi Axel."Why?" bisiknya lirih pada diri sendiri.Dengan semua pusaran yang meruntuhkan semua pertahanan hatinya, Mysha butuh waktu untuk menenangkan diri. Namun, di manakah tempat yang nyama
William mengambil langkah panjang, mengejar Mysha yang berlari menjauhi apartemen Axel. Sebelum pergi direktur itu sempat melayangkan pandangan menusuk ke arah Axel. Dia bisa saja menghajar Axel saat itu juga, tetapi Mysha jauh lebih membutuhkan pertolongan."Mysha, wait!" seru William begitu dirinya hanya berjarak beberapa langkah dari general manager yang terlihat sangat kacau itu.Mysha menghentikan langkahnya di depan pintu lift. Ia menekan tombol turun, dan menunggu pintu kotak besi itu membuka.William berhasil menjajari Mysha dan masuk ke dalam tepat ketika pintu lift itu akan ditutup. Hanya ada mereka berdua di dalam lift. Mysha tak mampu lagi membendung air mata yang sejak tadi berusaha ditahannya. Tangisnya pecah, bulir-bulir air mata tumpah bagaikan air bah.Wajah pria dengan mata sewarna emerald itu mengeras, ia tak tahan melihat air mata yang mengalir dari seorang wanita. Apalagi wanita itu Mysha. Axel benar-benar h