Mungkin tunangannya sedang sibuk mempersiapkan banyak hal sehingga pikirannya melayang. Ya benar, Axel pasti sedang terlalu fokus memikirkan pekerjaan.
Mysha berusaha untuk menyemangati diri, namun setiap kali dia melihat ponsel yang sunyi, membuat hatinya kembali merasa gelisah. Tabel dan angka yang berada di depannya menuntut diperhatikan tapi hatinya menolak. Kejadian tadi siang berputar berulang kali dalam kepalanya. Tidak pernah sejak mereka memulai hubungan mereka, Axel mengabaikan dirinya. Mysha berusaha memasukkan perhitungan pada program komputer. Tapi saat ini, bahkan pesan-pesan Mysha tidak dibalas oleh pria itu.
General Manager itu menghela napas. Dia bimbang, apa yang harus dilakukan. Saat keadaan menekannya dari berbagai sisi, tenggat waktu perusahaan dan persiapan pernikahan, Mysha hanya berharap bisa mendengar suara Axel, memberikan semangat dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Jari lentik Mysha meraih ponsel pintar dan menekan tombol di
Suara tamparan kembali terdengar. Mysha tanpa sadar melayangkan tangan kanannya ke pipi Axel sekuat tenaga hingga meninggalkan bekas kemerahan di sana. Tak menunggu reaksi berikutnya, Mysha langsung berlari meninggalkan semua sumber dukanya di belakang.Mysha tak mampu lagi berpikir. Semua yang ada di kepalanya seperti kepingan kaca penyimpan kenangan. Tak ada lagi yang tersisa utuh di sana.Napasnya memburu ketika membanting pintu mobil dan mengempaskan tubuhnya ke jok. Dadanya bergemuruh dengan gabungan rasa pedih yang tak bisa dijelaskan. Kepalanya berdentam dan Mysha tak bisa lagi menahan setiap bulir air mata yang mengalir keluar. Setidaknya ia tak menangis di hadapan mereka. Mysha berusaha sekuatnya untuk tidak terlihat lemah di hadapan wanita itu apalagi Axel."Why?" bisiknya lirih pada diri sendiri.Dengan semua pusaran yang meruntuhkan semua pertahanan hatinya, Mysha butuh waktu untuk menenangkan diri. Namun, di manakah tempat yang nyama
William mengambil langkah panjang, mengejar Mysha yang berlari menjauhi apartemen Axel. Sebelum pergi direktur itu sempat melayangkan pandangan menusuk ke arah Axel. Dia bisa saja menghajar Axel saat itu juga, tetapi Mysha jauh lebih membutuhkan pertolongan."Mysha, wait!" seru William begitu dirinya hanya berjarak beberapa langkah dari general manager yang terlihat sangat kacau itu.Mysha menghentikan langkahnya di depan pintu lift. Ia menekan tombol turun, dan menunggu pintu kotak besi itu membuka.William berhasil menjajari Mysha dan masuk ke dalam tepat ketika pintu lift itu akan ditutup. Hanya ada mereka berdua di dalam lift. Mysha tak mampu lagi membendung air mata yang sejak tadi berusaha ditahannya. Tangisnya pecah, bulir-bulir air mata tumpah bagaikan air bah.Wajah pria dengan mata sewarna emerald itu mengeras, ia tak tahan melihat air mata yang mengalir dari seorang wanita. Apalagi wanita itu Mysha. Axel benar-benar h
Mysha menahan semua gejolak dalam dada. Memejamkan mata selama dua detik untuk mengumpulkan emosinya yang tercecer akibat Axel.Tidak boleh menangis di hadapan pria yang sudah menghancurkannya.General manager muda itu melangkah mantap menuju podium, menghilangkan jejak-jejak patah hati yang membayangi wajah. Dia sudah mempersiapkan segalanya, flashdisc berisi data sudah diserahkan kepada operator dan materinya lengkap.Mysha menarik napas sebelum mulai berbicara, "Good morning, ladies and gentleman. My name is Mysha Natasha, Crown Land Development's general manager. I would like to ...."Selanjutnya berjalan lancar. Mysha berbicara tentang kondisi perusahaan, merangkum hal-hal penting yang terjadi selama setahun di CLD serta mengajukan beberapa perubahan sistem kerja agar lebih efektif. Pandangan mata berwarna emas itu menyapu setiap undangan, memastikan poin-poinnya tersampaikan dengan baik. Mysha dapat melihat kekaguman di pa
Tanpa bisa dicegah, kali ini Michael mengarahkan pukulannya ke rahang Axel tanpa ampun.Axel terhuyung ke samping, tapi ia langsung mampu kembali tegak. Belum sempat Axel melakukan apa pun, kali ini tangan kiri Mike menyerang ke ulu hati.Kembali Axel terdorong mundur dengan rasa sakit hebat menyergap.Michael seolah tak mendengar Mysha terus memanggil namanya histeris, berusaha mencegah pria berkacamata itu melampiaskan seluruh amarah tertahan di balik senyum manis yang sedari tadi ia pancangkan di wajahnya. Michael ingin menghajar Axel sampai wajah yang selalu lelaki itu banggakan hancur.Beraninya ia melanggar janjinya! Beraninya Axel menyakiti adik angkatnya.Baru saja Michael hendak melancarkan serangan berikutnya, seseorang menahan tubuh dan menariknya ke belakang."Lepaskan, Wil!" Michael meraung.William bergeming dan mengencangkan seluruh ototnya guna menahan Michael yang masih meronta. Harus William akui, pria berkacamata it
Mysha terdiam menatap pemandangan dari balik kaca jendela taksi yang berganti cepat. Pohon-pohon yang memutih karena salju, gedung-gedung bertingkat, mall, serta jalan-jalan yang dulu selalu dilewatinya. Semua masih tetap sama. Seolah menyambut kedatangan Mysha kembali ke kota tempat ia dibesarkan. Kepulangan yang sama sekali tidak direncanakannya. Hanya ibunya yang sanggup memaksanya pulang.Mysha teringat pembicaraan telepon terakhir mereka, mom masih saja menanyakan apakah ia masih memegang teguh nasehatnya agar tidak melakukan hubungan seks pranikah, walau dirinya dan Axel sudah berencana akan menikah?Mom juga tidak terdengar begitu sedih saat Mysha mengatakan hubungannya dan Axel telah berakhir. Sejak dulu ibunya memang tak pernah memaksa, apalagi soal pernikahan. Mom selalu berprinsip menikah harus didasari oleh cinta dan komitmen untuk setia seumur hidup. Jika tidak ada kesetiaan, untuk apa pernikahan dipertahankan.
Michael menghela napas panjang sebelum melanjutkan. Genggaman tangannya tidak pernah lepas dari Mysha, memberikan ketenangan sementara suara rendahnya mulai terdengar, "Aku yang pertama kali memberikan ide pada Mysha supaya dia menggantikan ayahnya. Waktu itu aku berharap Mysha dapat mengelola aset dan hal-hal yang sudah dibangun oleh beliau."Mary melipat tangannya di dada, mengeratkan sifat defensif setiap kali Eric disinggung. Dari matanya Michael dapat melihat rasa tidak suka yang nyata. Untung saja, wanita setengah baya itu menahan lidahnya dari menyela."Mysha tidak ingin langsung mendapatkan jabatan sebagai direktur utama. Karena itu, dia minta diizinkan bekerja sebagai general manager agar dapat lebih mengenal kondisi perusahaan," lanjut Michael dengan menyunggingkan senyum ramah. "Anda sudah membesarkan seorang gadis yang luar biasa, Ma'am. Ia meminta agar tidak ada seorang pun yang tahu siapa dirinya agar bisa bergerak bebas, mengetahui seti
William masih tak mengucap sepatah kata pun menghadapi cecaran pertanyaan Mysha. Pria itu tetap menyetir tanpa ada perubahan mimik wajah yang berarti, meski Mysha sempat menaikkan nada kepadanya karena kesal. Toh pada akhirnya ketenangan William yang menjadi pemenang. Mysha pun menyerah dan memutuskan diam seraya membuang pandangan ke luar jendela. Mobil yang ditumpangi mereka menerobos lalu lintas padat New York entah menuju ke mana.Sepanjang perjalanan yang ternyata memakan cukup banyak waktu itu, Mysha tak henti berpikir tentang bagaimana ia harus bersikap jika bertemu Axel. Apa dia akan mengamuk? Apa ia akan bahagia? Atau justru dirinya akan jatuh dalam tangis tak berkesudahan?Namun dari semuanya, ada satu pertanyaan yang menggantung di kepala. Mysha ingin memastikan perasaannya. Apakah ia masih mencintai Axel seperti dulu?Satu tahun sudah ia berjuang--sangat keras--untuk melupakan eksistensi seorang Axel Delacroix. Menghilangkan semua kepahitan
Mysha terperanjat, tak menyangka jika Axel akan langsung menolak permintaan tulusnya. Bagaimanapun Axel adalah orang yang pernah ia sayangi dan cintai. Tak mungkin ia bisa meninggalkan orang yang pernah begitu berharga dalam hidupnya berjuang seorang diri."Why?" tanya Mysha getir."Aku tak ingin waktu hidupmu dihabiskan untuk merawat dan melihatku menderita." Axel terbatuk lagi. Ia membuang wajah dari iris keemasan yang terpaku menatapnya."Kau pengecut!" ucap Mysha tegas.Ucapannya terbukti mampu membuat Axel kembali berpaling ke arah Mysha."Kau bahkan memilih lari dariku daripada membicarakan masalahmu. Membuatku berkubang dalam kesalahpahaman yang sengaja kauciptakan. Kepura-puraanmu adalah bentuk kepengecutanmu karena kau tidak mau aku melihat kelemahanmu! Egomu yang membuat kita berpisah." Mysha membiarkan kalimatnya menggantung. Ia tak mampu membendung air mata yang tertumpah akibat gumpalan emosi yang begitu menyesakkan dadanya. "