Axel merasakan hangat menjalar dari pipi hingga ke hati. Sebuah senyum terkembang ketika dirinya menatap Mysha yang tersenyum malu.
"Axel?" tanya Mysha ketika pria itu mengarah ke pinggir jalan dan menghentikan mobil mewah itu di sana.
Axel memperlebar senyum, membuat Mysha menahan napas, apalagi ketika pria itu meraih jemarinya dan mengecup lama. Rasa hangat merayap di pipi Mysha, setengah berharap kalau bibirnyalah yang dicium Axel dengan penuh damba seperti itu.
"Mysh." Axel menarik napas dalam, seakan apa yang akan dikatakan adalah sebuah hal yang berasal dari perasaannya. "Aku akan melindungi dan menjagamu. Tidak akan kubiarkan seorang pun melukaimu dan seumur hidupku, aku akan membuktikan bahwa aku adalah pria yang layak mendapatkan kepercayaan dan cintamu."
Rasa haru menyeruak dari dada Mysha, membuat matanya berair. Axel membelai pipi wanita itu, menghapus air mata sebelum mengecup kulit putih itu pelan.
"Aku percaya padamu, Axel," bisik My
Axel tak mau mengatakan apa-apa meski Mysha menanyakan berulang kali untuk apa mereka kembali ke Rose Center for Earth and Space. Sejak terakhir kali mereka ke sana, sejujurnya Mysha memang ingin mengajak Axel untuk pergi menikmati indahnya langit sekali lagi. Namun, wanita itu merasa jengah jika Axel menyewa seluruh gedung seperti sebelumnya. Rasa-rasanya Axel terlalu berlebihan. Namun, ia juga tak bisa mengharapkan pria gagah yang kini menyetir di sebelahnya untuk masuk ke planetarium dan berdesakan bersama warga New York lainnya. Ah sudahlah, Mysha tak boleh selalu menuntut supaya Axel mengikuti standar sederhananya. Pria itu terbiasa hidup dalam kemewahan dan melakukan banyak hal penuh dengan privasi. Apakah Axel tak pernah merasa kesepian?"Kita sudah sampai." Axel membuyarkan lamunan Mysha. Pria itu keluar dan membukakan pintu.Mysha menyambut uluran tangan kekasihnya. Genggaman Axel terasa begitu hangat. Apakah ia masih demam? Sejenak Mysha ingin memeriksa kenin
Axel tertunduk, wajah yang tadi semringah mendadak datar. Pria yang paling dikagumi para wanita seantero kota New York itu berusaha mencerna jawaban yang terlontar dari bibir Mysha. Benaknya berputar memikirkan seribu alasan yang mungkin membuat wanita di hadapannya belum sepenuhnya percaya kepadanya.Ia harus meyakinkan wanita berkacamata itu. CEO tampan itu tak bisa membayangkan bagaimana ia akan tahan menjalani hidup, jika tanpa Mysha di sisinya.Axel mengangkat wajah, memandang tepat ke bola mata keemasan yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya."I can't tell you how happy I am." Mysha lebih dulu berkata saat Axel baru saja membuka mulutnya. Senyum manis melengkung di wajahnya.Axel terperangah sekali lagi."Please say it one more time. Aku ... aku tidak salah dengar, kan?" pinta Axel yang tidak dapat menutupi kebahagiaannya."Tidak, kau tidak salah." Mysha menggeleng lalu tersenyum lebar. "Aku hanya sangat terkeju
Mysha memainkan cincin di jari manisnya sambil mengulum senyum. Beberapa kali Mysha mencubit pipinya, memastikan bahwa pertunangan dengan Axel Delacroix bukan mimpi dan untungnya cincin indah itu masih tersemat di sana.Seusai makan malam kemarin, Mysha diantar pulang oleh Axel walaupun Mysha tahu kondisi kesehatan pria itu masih belum pulih. Hari ini pun, tunangannya memaksa masuk walau Mysha meminta beristirahat.Tunangan ....Astaga!Mysha memekik dalam hati sementara rasa panas menjalar di wajahnya. Tinggal menunggu hari sampai dia resmi menjadi Mrs. Delacroix ....Dering telepon membuyarkan lamunan Mysha, membuat GM itu terlonjak dari tempat duduknya. Mengatur napasnya sejenak, dia tersenyum sebelum mengangkat telepon."Miss Natasha, Anda ditunggu Mr. Davis di ruangannya sekarang."Suara sekretaris William membuat Mysha kembali fokus pada pekerjaan. Mungkin William akan menanyakan tentang data
Axel hanya melihat kegelapan, tapi ia masih bisa merasakan lengan kecil berusaha menahan tubuhnya yang terhuyung. Sial! Jika ia sampai jatuh menimpa pemilik tangan yang meneriakkan namanya itu, Mysha pasti bisa terluka. Axel mengerahkan sisa tenaganya untuk mengangkat kaki kirinya lalu memijak cepat dan kuat ke atas lantai. Keseimbangannya pulih. Perlahan tapi pasti, Axel bisa kembali melihat cahaya. Suara lembut itu terus memanggil namanya sembari menepuk pipinya berulang."Axel, are you alright?" Mysha memeriksa dahi Axel, tapi tak dirasakan peningkatan suhu yang signifikan."I'm fine." Axel tersenyum ketika seluruh kesadaraannya kembali. "Sorry for making you worry." Pria itu membelai lembut pipi Mysha yang memucat."Tidak! Kita harus ke dokter sekarang!"Axel menggeleng, tapi Mysha menarik tangan kekar itu paksa sekuat tenaga. Saat itulah Mysha mendengar suara yang tak asing. Mysha menoleh ke arah Axel. Untuk yang pertama ia
William memerhatikan Mysha yang semakin dalam menatap foto masa kecil mereka. Apakah gadis itu masih ingat dengan boneka beruang pemberiannya di hari ulang tahun yang ke-8. Boneka yang dibeli pria itu dari hasil tabungannya. Apakah dia masih suka menonton Yankees?Mysha masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sekali lagi ditatapnya foto itu. Gadis berusia 28 tahun itu memandang lekat-lekat foto anak laki-laki yang berdiri di sampingnya. Jika diperhatikan, wajah anak laki-laki itu sangat mirip dengan William.Mysha mengangkat wajahnya lalu menatap direktur CLD dan foto di tangannya bergantian. Mereka memang orang yang sama, hanya saja lelaki yang di foto itu tubuhnya jauh lebih kurus dan kecil. Lagi pula anak itu tersenyum. Senyum yang begitu hangat dengan sorot mata dan wajah yang juga terlihat bahagia. Ah, jika anak itu memang William, mengapa sama sekali tak tersisa senyum hangatnya? Ke mana ekspresi itu hingga kini hanya wajah datar saja yang selalu ditampak
"Axel!!" jerit Mysha ketika tunangannya memberitahu tanggal pernikahan mereka yang sangat dipercepat. "Bagaimana bisa mempersiapkan pernikahan secepat itu?!"CEO muda itu mengulum senyum dan menarik pinggang Mysha yang ramping dalam pelukan, membenamkan diri pada ceruk leher wanita yang akan menjadi istrinya. "Jika kau memiliki koneksi yang tepat, semuanya tidak akan ada masalah. Tapi bagaimana denganmu, apakah kau siap menjadi Mrs. Delacroix?"Mysha terdiam, merasakan Axel membelai punggungnya yang masih berbalut blazer kerja, membuat bulu kuduknya meremang. Dia menikmati sentuhan memabukkan itu, tapi juga berjaga-jaga agar tidak terlena. Tidak, ketika pernikahan mereka di depan mata. Hanya dua bulan, Mysha mengingatkan dirinya dan semua perjuangannya selesai. Ucapan Axel membuat pipinya menghangat."Semuanya terlalu cepat, Axel," bisik wanita itu, teredam oleh dada Axel yang bidang. "Bagaimana kita bertemu, bagaimana kita memulai, dan kini tiba-tiba s
Belum sempat pramuniaga menekan tombol 911 di ponselnya, Axel langsung membopong Mysha dan tergesa keluar. Akan lebih cepat jika ia mengemudikan mobilnya daripada menunggu ambulans.Mysha sudah aman di kursinya, tertahan sabuk pengaman. Wajahnya masih pucat pasi. Axel tak mau banyak berpikir. Fokusnya hanya segera menuju rumah sakit terdekat agar Mysha segera mendapatkan penanganan secepatnya.Ketika sampai, Axel tak bisa dan tak mau duduk tenang di ruang tunggu. Ia terus mondar-mandir tak keruan di depan ruang IGD. Meskipun wajahnya dipenuhi kekhawatiran, tetap saja pesona Axel Delacroix tak terbantahkan. Itu bisa dilihat dari banyaknya orang yang berbisik membicarakannya. Biasanya, Axel menikmati semua perhatian yang tertuju kepadanya. Mengulang dalam kepala betapa sempurnanya ia. Namun, kali ini otak Axel terkunci. Ia tak bisa memikirkan hal yang lain kecuali tunangannya yang tidur di atas brankar dan didorong masuk ke IGD."Tolong panggilkan dokter terbaik untuknya.
Mysha merebahkan kepala di dada bidang pria yang kini tengah merengkuhnya. Axel begitu mengkhawatirkannya, meski dokter sudah mengatakan bahwa kesehatan Mysha akan pulih dalam satu-dua hari setelah berisitirahat. Sorot mata dan degup jantung CEO tampan itu menjelaskannya. Gadis bernetra keemasan itu tersenyum, ia sungguh menikmati perhatian Axel terhadapnya. Sebuah pelukan yang membuat dirinya merasa begitu dicintai.Kalau saja Mysha tidak melihat tatapan sinis sekaligus iri orang-orang yang lalu lalang di sekitar mereka, tentu ia tidak ingin melepaskan pelukan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Mysha mengangkat kepala, melepaskan kedua tangan yang bergayut di bahu Axel, lalu sedikit mendorong tubuh kekar pria itu.Ketika melihat sekilas pantulan dirinya dari kaca ruang laboratorium, Mysha baru menyadari gaun pengantin yang tadi dicobanya telah berganti dengan baju pasien rumah sakit."Oh, Tuhan. Di mana gaunku? Aku pasti telah menghilangkannya," kat