DUAR TEREDUNGTEK!!!!!
Tanpa menjawab apa-apa, Axel memutus sambungan telepon. "Shit!" Ia memukul badan mobil sebagai sasaran kekesalannya. Axel terpaksa kembali ke kantor meski sebenarnya ingin sekali pulang ke apartemen untuk memukul heavy bag sampai hilang semua amarah di dada. Tidak mungkin ia ikut cuti setengah hari seperti Mysha, William tak akan mempercayainya. Axel berusaha menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang sudah menantinya. Semakin sibuk maka semakin sedikit otaknya berpikir hal-hal lain yang memang ingin diabaikan. Sayang, kenyataannya Axel justru menjadi sulit berkonsentrasi. Kalimat terakhir Olivia terus terngiang di kepalanya. Mau tak mau membuat CEO tampan itu mengingat-ingat lagi kebersamaan terakhirnya bersama wanita berkaki jenjang itu. Sejujurnya Axel menikmati saat-saat bersama Olivia. Wanita itu sangat pas dengan seleranya. Penampilan fisiknya bisa dibilang sempurna, 9 dari 10 menurut penilaian Axel, otaknya cukup berisi, dan supel sehingga menyenangkan diajak bicara. Wanita y
Mysha menatap layar ponselnya yang masih juga gelap. Tidak ada tanda-tanda Axel mencoba menghubunginya. Baru kali ini Mysha merasakan sesuatu yang tak bisa ia pahami. Keinginan untuk bicara, berbagi, dan bahkan sekadar melihat sosok Axel Delacroix. Kepala Mysha dipenuhi pikiran buruk. Apa ia melakukan sesuatu yang menyinggung Axel hingga pria itu tak lagi mempedulikannya? Apa Axel kini telah menemukan wanita lain yang lebih baik sehingga Mysha sudah tak lagi berarti baginya? Padahal barusan Axel mengatakan akan membuktikan dirinya. Apakah itu hanya ilusi? Suara denting menyentak wanita itu. Dengan tergesa disambarnya ponsel yang cukup canggih itu mendekat. "Kujemput pukul tujuh besok." Dahi Mysha mengerut. Hanya pesan singkat dari Axel yang mampir ke ponselnya. Padahal biasanya pria itu akan menelepon dan memperdengarkan suara baritonnya yang tetap memukau bahkan dari seberang saluran telepon. Pikira
Dia terlihat bodoh.Mysha tahu hal itu, tapi tidak bisa menghentikan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Matanya buram dan pikirannya hanya satu, kembali ke kantornya secepat mungkin. Bayangan bagaimana Axel mencium wanita itu terputar jelas dalam benak, membuat dadanya berdenyut nyeri. Firasatnya benar, Axel tertarik pada wanita lain.Demi Tuhan, baru beberapa hari yang lalu pria itu berjanji akan membuktikan dirinya adalah orang yang berbeda, tapi hari ini Mysha melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa semua yang diucapkan oleh Axel adalah kebohongan besar. Mysha merasa bodoh karena telah mempercayai Axel.Hatinya hancur berkeping-keping dan kepercayaannya tumbang tak bersisa. Hanya tersisa rasa sakit dan kepedihan yang menggantung sesak. Langkahnya terseok hingga dia tiba di depan pintu ruangan bertuliskan namanya."Mysha?" tanya seseorang, membuat wajah wanita itu terangkat.Dia mengenali suara itu. Suara hangat yang selalu bisa menena
Mysha terkejut sendiri dengan reaksinya. Apa yang telah ia lakukan? Menampar atasannya untuk kali kedua. Wanita itu menarik tangannya, kemudian menatap Axel dengan kecemasan yang berusaha disembunyikan.Axel memegangi pipinya yang terasa pedih. Rasa sakit yang menjalar hingga jauh ke dalam hatinya. Dua kali ia telah merasakan tamparan tangan berjemari lentik itu. Jika yang pertama dulu, kabut dendam memenuhi hatinya, kali ini CEO tampan itu justru merasakan kepedihan.Dia tak mengerti mengapa Mysha berubah begitu cepat. Pagi tadi wanita itu masih menanyakan kabarnya bahkan beberapa kali seperti ingin membuka percakapan yang sayangnya tak ia tanggapi. Sore ini Mysha bukan hanya mengabaikannya, bahkan menampar dan memilih pergi bersama pengacara sialan itu. Namun Axel menangkap sesuatu yang lain di mata keemasan gadis itu, ada kesedihan sekaligus amarah."Mengapa kau menamparku, Mysh? Aku hanya ingin bicara," erang Axel."Dia tak ingin bicara denganmu, Bere
Axel menahan senyum ketika melihat wajah Olivia yang memucat. Ular betina ini sepertinya memang mempermainkan dirinya. Baguslah, ini berarti hubungannya dengan Mysha masih bisa diselamatkan.Pria itu tetap memasang wajah dingin dan datarnya ketika dia berkata, "Ada masalah? Aku hanya mulai menjalankan peranku sebagai ayah yang baik, setelah meyakinkan diri bahwa janin itu memang milikku.""Tidak, tidak ada masalah." Olivia kembali menata wajahnya seakan tidak terjadi apa-apa, bahkan dia sempat menyunggingkan senyum yang dulu pernah membuat Axel ingin mencecap bibirnya.Sayangnya, kini hal yang sama justru membuat Axel ingin menampar pipi bersapu blush-on itu. "Sayang sekali, selama beberapa hari ke depan aku akan sangat sibuk. Kau tahu, aku masih bekerja, ada jadwal pemotretan yang tidak bisa ditunda."Ingin sekali Axel melemparkan piring keramik ke wajah yang pura-pura memelas itu, alih-alih demikian, dia justru mencondongkan tubuh dan berkata p
Axel setengah tak percaya memandangi pesan yang baru saja diterimanya. Benarkah Mysha sudi bicara dengannya? Akhirnya wanita itu mau memberinya kesempatan. Axel tak mau menyia-nyiakan peluang emas yang digulirkan kepadanya.Ia akan kembali meraih kepercayaan Mysha. Pasti!Sayang, impian tak selalu sejalan dengan kenyataan. Michael menempel erat seperti kawat berduri di selusur pagar penjara. Membentengi Mysha sepanjang jam kerja.Bahkan sejak Mysha keluar pintu apartemen, hingga masuk lagi sepulang kerja di waktu malam, pria berengsek itu tetap mengekor setia. Axel sama sekali tak bisa memperpendek jarak."Kapan kita bisa bicara?" Axel berusaha menekan kegundahannya ketika akhirnya Mysha mengangkat teleponnya."Sabtu ini saat makan malam." Mysha mendebas. "Kurasa Mike ada keperluan keluar kota hari itu."Axel sebenarnya ingin protes kenapa Mysha tidak berani meminta Michael menjauh dan membiarkan mereka lebih cepat bicara daripada harus bers
Mysha benar-benar terpana melihat tingkah Axel yang dinilainya berlebihan, meski tak dipungkiri hatinya melambung, juga berbunga-bunga. Lelaki yang terbiasa membuat para wanita bertekuk lutut saat ini justru sedang berlutut di depannya.."Jangan merendahkan diri Anda, Mr. Delacroix. Tolong bangunlah!" pinta Mysha. Ia menguatkan diri agar tetap tegar, menahan kaki untuk tidak beranjak dari posisinya. Berusaha menahan diri agar tidak memeluk bahu Axel yang kini sejajar dengan pinggangnya."Aku tak peduli, Mysh. Aku akan tetap berlutut sampai kau mau mendengarkan penjelasanku," ucap Axel teguh."Berdirilah Axel, kumohon!" Suara Mysha bergetar menahan haru. Seorang Axel Delacroix yang arogan dan mempunyai harga diri selangit, rela berlutut di hadapannya.Pendirian Mysha mulai goyah."Tidak, Mysh! Sebelum kau berjanji akan mendengarkan penjelasanku."Mysha mengedarkan pandangannya. Orang-orang tampak mulai memandangi mereka dengan penuh
"Rupanya seseorang di sini tidak mengerti bahasa Inggris," ucap Michael tajam, menggenggam tangannya erat, siap meluncurkan pukulan kalau pria di hadapannya memaksa untuk bertemu Mysha."Dan seseorang tidak mengerti kapan dia harus mundur," balas Axel dengan sikap yang sama. Setelah kejadian kemarin, Axel tidak akan melepaskan Mysha lagi dan menghadapi Michael hanyalah hal kecil dibandingkan bayangan dia berpisah dari wanita itu."Silakan pergi, Mr. Delacroix. Kehadiranmu tidak diharapkan di sini.""Bukankah harusnya aku yang berkata demikian, Mr. Johann--""Mike!" seru Mysha membuat kedua pria di hadapannya melirik ke arahnya yang sedang berjalan tergopoh.Mysha langsung menempatkan dirinya di hadapan Michael, menatap pengacara itu dengan tatapan memohon. "Kita harus berbicara sebentar."Alis Michael berkerut, menatap bergantian Mysha dan Axel. Firasatnya berkata bahwa sesuatu terjadi selama dia ke Washington D.C. untuk be
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?