Wah Mysha mulai goyah kepercayaannya.... Gawat!
Mysha menatap layar ponselnya yang masih juga gelap. Tidak ada tanda-tanda Axel mencoba menghubunginya. Baru kali ini Mysha merasakan sesuatu yang tak bisa ia pahami. Keinginan untuk bicara, berbagi, dan bahkan sekadar melihat sosok Axel Delacroix. Kepala Mysha dipenuhi pikiran buruk. Apa ia melakukan sesuatu yang menyinggung Axel hingga pria itu tak lagi mempedulikannya? Apa Axel kini telah menemukan wanita lain yang lebih baik sehingga Mysha sudah tak lagi berarti baginya? Padahal barusan Axel mengatakan akan membuktikan dirinya. Apakah itu hanya ilusi? Suara denting menyentak wanita itu. Dengan tergesa disambarnya ponsel yang cukup canggih itu mendekat. "Kujemput pukul tujuh besok." Dahi Mysha mengerut. Hanya pesan singkat dari Axel yang mampir ke ponselnya. Padahal biasanya pria itu akan menelepon dan memperdengarkan suara baritonnya yang tetap memukau bahkan dari seberang saluran telepon. Pikira
Dia terlihat bodoh.Mysha tahu hal itu, tapi tidak bisa menghentikan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Matanya buram dan pikirannya hanya satu, kembali ke kantornya secepat mungkin. Bayangan bagaimana Axel mencium wanita itu terputar jelas dalam benak, membuat dadanya berdenyut nyeri. Firasatnya benar, Axel tertarik pada wanita lain.Demi Tuhan, baru beberapa hari yang lalu pria itu berjanji akan membuktikan dirinya adalah orang yang berbeda, tapi hari ini Mysha melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa semua yang diucapkan oleh Axel adalah kebohongan besar. Mysha merasa bodoh karena telah mempercayai Axel.Hatinya hancur berkeping-keping dan kepercayaannya tumbang tak bersisa. Hanya tersisa rasa sakit dan kepedihan yang menggantung sesak. Langkahnya terseok hingga dia tiba di depan pintu ruangan bertuliskan namanya."Mysha?" tanya seseorang, membuat wajah wanita itu terangkat.Dia mengenali suara itu. Suara hangat yang selalu bisa menena
Mysha terkejut sendiri dengan reaksinya. Apa yang telah ia lakukan? Menampar atasannya untuk kali kedua. Wanita itu menarik tangannya, kemudian menatap Axel dengan kecemasan yang berusaha disembunyikan.Axel memegangi pipinya yang terasa pedih. Rasa sakit yang menjalar hingga jauh ke dalam hatinya. Dua kali ia telah merasakan tamparan tangan berjemari lentik itu. Jika yang pertama dulu, kabut dendam memenuhi hatinya, kali ini CEO tampan itu justru merasakan kepedihan.Dia tak mengerti mengapa Mysha berubah begitu cepat. Pagi tadi wanita itu masih menanyakan kabarnya bahkan beberapa kali seperti ingin membuka percakapan yang sayangnya tak ia tanggapi. Sore ini Mysha bukan hanya mengabaikannya, bahkan menampar dan memilih pergi bersama pengacara sialan itu. Namun Axel menangkap sesuatu yang lain di mata keemasan gadis itu, ada kesedihan sekaligus amarah."Mengapa kau menamparku, Mysh? Aku hanya ingin bicara," erang Axel."Dia tak ingin bicara denganmu, Bere
Axel menahan senyum ketika melihat wajah Olivia yang memucat. Ular betina ini sepertinya memang mempermainkan dirinya. Baguslah, ini berarti hubungannya dengan Mysha masih bisa diselamatkan.Pria itu tetap memasang wajah dingin dan datarnya ketika dia berkata, "Ada masalah? Aku hanya mulai menjalankan peranku sebagai ayah yang baik, setelah meyakinkan diri bahwa janin itu memang milikku.""Tidak, tidak ada masalah." Olivia kembali menata wajahnya seakan tidak terjadi apa-apa, bahkan dia sempat menyunggingkan senyum yang dulu pernah membuat Axel ingin mencecap bibirnya.Sayangnya, kini hal yang sama justru membuat Axel ingin menampar pipi bersapu blush-on itu. "Sayang sekali, selama beberapa hari ke depan aku akan sangat sibuk. Kau tahu, aku masih bekerja, ada jadwal pemotretan yang tidak bisa ditunda."Ingin sekali Axel melemparkan piring keramik ke wajah yang pura-pura memelas itu, alih-alih demikian, dia justru mencondongkan tubuh dan berkata p
Axel setengah tak percaya memandangi pesan yang baru saja diterimanya. Benarkah Mysha sudi bicara dengannya? Akhirnya wanita itu mau memberinya kesempatan. Axel tak mau menyia-nyiakan peluang emas yang digulirkan kepadanya.Ia akan kembali meraih kepercayaan Mysha. Pasti!Sayang, impian tak selalu sejalan dengan kenyataan. Michael menempel erat seperti kawat berduri di selusur pagar penjara. Membentengi Mysha sepanjang jam kerja.Bahkan sejak Mysha keluar pintu apartemen, hingga masuk lagi sepulang kerja di waktu malam, pria berengsek itu tetap mengekor setia. Axel sama sekali tak bisa memperpendek jarak."Kapan kita bisa bicara?" Axel berusaha menekan kegundahannya ketika akhirnya Mysha mengangkat teleponnya."Sabtu ini saat makan malam." Mysha mendebas. "Kurasa Mike ada keperluan keluar kota hari itu."Axel sebenarnya ingin protes kenapa Mysha tidak berani meminta Michael menjauh dan membiarkan mereka lebih cepat bicara daripada harus bers
Mysha benar-benar terpana melihat tingkah Axel yang dinilainya berlebihan, meski tak dipungkiri hatinya melambung, juga berbunga-bunga. Lelaki yang terbiasa membuat para wanita bertekuk lutut saat ini justru sedang berlutut di depannya.."Jangan merendahkan diri Anda, Mr. Delacroix. Tolong bangunlah!" pinta Mysha. Ia menguatkan diri agar tetap tegar, menahan kaki untuk tidak beranjak dari posisinya. Berusaha menahan diri agar tidak memeluk bahu Axel yang kini sejajar dengan pinggangnya."Aku tak peduli, Mysh. Aku akan tetap berlutut sampai kau mau mendengarkan penjelasanku," ucap Axel teguh."Berdirilah Axel, kumohon!" Suara Mysha bergetar menahan haru. Seorang Axel Delacroix yang arogan dan mempunyai harga diri selangit, rela berlutut di hadapannya.Pendirian Mysha mulai goyah."Tidak, Mysh! Sebelum kau berjanji akan mendengarkan penjelasanku."Mysha mengedarkan pandangannya. Orang-orang tampak mulai memandangi mereka dengan penuh
"Rupanya seseorang di sini tidak mengerti bahasa Inggris," ucap Michael tajam, menggenggam tangannya erat, siap meluncurkan pukulan kalau pria di hadapannya memaksa untuk bertemu Mysha."Dan seseorang tidak mengerti kapan dia harus mundur," balas Axel dengan sikap yang sama. Setelah kejadian kemarin, Axel tidak akan melepaskan Mysha lagi dan menghadapi Michael hanyalah hal kecil dibandingkan bayangan dia berpisah dari wanita itu."Silakan pergi, Mr. Delacroix. Kehadiranmu tidak diharapkan di sini.""Bukankah harusnya aku yang berkata demikian, Mr. Johann--""Mike!" seru Mysha membuat kedua pria di hadapannya melirik ke arahnya yang sedang berjalan tergopoh.Mysha langsung menempatkan dirinya di hadapan Michael, menatap pengacara itu dengan tatapan memohon. "Kita harus berbicara sebentar."Alis Michael berkerut, menatap bergantian Mysha dan Axel. Firasatnya berkata bahwa sesuatu terjadi selama dia ke Washington D.C. untuk be
Mysha tak berkedip menatap wanita tinggi semampai yang berjalan ke arahnya. Pintu apartemen masih terbuka lebar, tapi Olivia memilih hanya berdiri di anak tangga teratas.Mysha tahu, model papan atas itu tidak akan mau memasuki apartemen yang mungkin dinilainya kumuh. Selintas Mysha menoleh ke deretan jendela yang memantulkan bayangannya. Sial! Ia sama sekali tidak tampil maksimal. Rambutnya tak tertata sempurna dan riasannya juga sudah mulai luntur.Tidak ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Ia harus menguatkan hati untuk menghadapi makhluk yang sempat membuat Axel bergairah itu. Dengan dada bergemuruh lebih karena kesal, Mysha menghampiri Olivia."Jadi kau wanita yang merayu Axel?" Olivia tersenyum sangat manis ketika mereka sudah berhadapan.Semilir angin musim gugur yang cukup menggigit sama sekali tak menggoyahkan sikap anggun Olivia. Tampaknya dingin tak mengganggu meski Olivia mengenakan gaun yang memamerkan kaki jenjang indahnya.Nyaris ta