Ketika kenikmatan membutakan, apa yang menjadi rantai pengingat bahwa semua hanya ilusi semata?
Ada desahan terhenti kala suara ketukan terdengar bergema di sepanjang koridor pagi itu. Lipstik yang dipulas tergesa, rambut yang ditata sekenanya, juga baju yang dirapikan sebisanya, selesai tepat sebelum pintu ruangan diketuk untuk yang kedua kali.
Axel Delacroix bangkit tak acuh dari kursi malas menuju meja kerja. Tubuh pria itu dihempaskan ke kursi putar bersandaran tinggi yang empuk. Mata biru cerahnya berkilat memerintahkan wanita yang telah dibuat berantakan sejak pukul tujuh pagi itu untuk segera pergi sekaligus membukakan pintu untuk tamunya.
"Sampai jumpa lagi." Wanita itu mengerling manja sebelum membuka pintu dan mempersilakan seorang pria dengan setelan jas abu-abu tua untuk masuk ke dalam.
Sang wanita mengangguk sopan dan bergegas meninggalkan ruangan, meski ia heran mengapa pria itu datang ke kantor pagi-pagi sekali.
"Siapa wanita itu?"
Suara seringan kapas menyapa Axel yang kini bersedekap.
Axel hanya mengangkat bahu tak peduli. "Ada perlu apa ke sini, Michael?"
Michael Johannson menyodorkan map berwarna cokelat ke arah Axel. Namun tanpa menunggu, ia langsung meletakkannya ke meja. Mata berlensa abu-abu cerah itu menatap Axel penuh selidik.
Axel terlihat baru saja memperbaiki posisi dasinya. Jas yang sedikit kusut, serta sisa lipstik di kerah baju, membuat Michael bisa membayangkan apa yang baru saja terjadi pada CEO di hadapannya.
"Akan ada General Manager baru hari ini," ujar Michael tenang. Pria berkacamata itu sama sekali tak terusik dengan fakta yang baru saja didapatnya.
Dengan jemari kukuh, Axel membuka map di hadapannya. Alisnya mengerut ketika melihat foto yang tertempel di sudut kertas.
"Kenapa dia?" Axel seolah tak percaya melihat ada wanita dengan paras biasa-biasa saja bisa menjadi seorang GM. Yah, bukannya diskriminasi pada wanita berwajah pas-pasan di luar sana, tapi bagi Axel, paras cantik adalah salah satu syarat utama agar bisa bekerja dekat dengannya.
Axel sudah cukup muak dengan para manajer yang rata-rata sudah memiliki banyak kerutan di wajah.
GM di CLD adalah jabatan yang akan sering berhubungan dengannya. Sosok yang akan selalu hadir untuk memutuskan berbagai pertimbangan perusahaan. Mengganggu pemandangan!
"Kau tidak bisa mengelak." Tanpa mengindahkan wajah Axel yang terlihat tidak suka, Michael melanjutkan pembelaannya. "Sudah tidak terhitung banyaknya kandidat yang diajukan oleh HRD kau tolak."
"Karena mereka tidak kompeten!" Axel makin terlihat tidak sabar.
"Bukan!" Michael menumpukan kedua tangannya di atas meja. Menatap lekat-lekat orang yang sudah ia kenal sejak mereka masih duduk di bangku kuliah. "Kau hanya mengincar yang cantik."
Axel lagi-lagi mengedik tak acuh. "Ini bukan urusanmu. Kenapa ikut campur?"
Axel mencondongkan tubuhnya ke arah Michael dan menatap lawan bicaranya lekat-lekat.
Sungguh, Axel tidak suka pengacara kantornya ini. Selalu saja turut campur sejak salah satu pemegang saham terbesar meninggal sebulan yang lalu. Michael seperti kelimpahan banyak pekerjaan baru bahkan yang bukan merupakan tangung jawabnya. Termasuk mengurusinya.
"HRD sampai mengeluh padaku bahwa kau menolak semua kandidat yang mereka ajukan." Michael mengamati lawan bicaranya yang masih terlihat tak mau menggubris.
Tarikan napas panjang terdengar. "Saat ini kita sedang melakukan ekspansi besar-besaran. Tanpa GM, pendataan dan pengambilan keputusan kita berantakan. Kita butuh orang yang mampu mengakomodir seluruh manajer dari berbagai cabang. Kau terlalu sibuk untuk itu bukan?!"
Kali ini Michael menekankan setiap kata kuat-kuat. Berusaha menunjukkan pada Axel bahwa dialah biang kerok ketidakteraturan pendataan kantor. Kesibukan seperti yang barusan ia lakukan dengan wanita itu kadang bisa memicu keributan.
Belum sempat Axel membuka mulutnya, Michael memotong. "Kita tidak sempat menyeleksi lagi." Michael semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Axel. "Dia adalah kandidat termuda dan tercantik yang bisa aku temukan. Kemampuan manajerial wanita itu di kantor sebelumnya juga hebat. Jangan minta macam-macam!" desisnya.
Axel menelan kembali kalimat yang hendak ia lontarkan. Pria itu sedang malas berdebat. Ia hanya berdecak dan mengempaskan tubuhnya ke sandaran.
"Terserah."
"Terima kasih. Aku pergi dulu. Siang nanti akan kuperkenalkan di hadapan seluruh manajer Crown Land Developer." Michael mengangguk dan berbalik. Meninggalkan Axel yang memandang jijik ke atas map.
*
Semilir angin musim panas tak membuat jemari yang saling bertaut itu menghangat. Rasa gugup membuat tangan Mysha Natasha sedikit bergetar. Untuk yang pertama ia akan melangkahkan kaki ke sebuah perusahaan multinasional yang menjadi incaran banyak orang.
Crown Land Developer. Sebuah perusahaan real estate raksasa yang menguasai benua Amerika dan Eropa. Bahkan terakhir ia dengar, mereka sedang melakukan ekspansi besar-besaran ke Asia Tenggara.
Mysha merapikan rambut keperakannya yang digulung ketat di bawah leher. Hanya poni tipis yang menutupi dahinya. Kaca mata berbingkai tembaga menghias mata keemasan yang ia miliki. Meredupkan kilaunya.
Resepsionis memintanya menunggu di lantai sepuluh Mysha terkagum-kagum kala mengetahui bahwa gedung yang memiliki 30 lantai ini dimiliki Crown Land. Mysha duduk dengan gestur kaku di tengah sofa melingkar yang sangat empuk di lantai sepuluh. Bantalan beledu menyangga duduknya, tapi ia sama sekali tak merasa santai.
"Miss Natasha?"
Mysha tersentak mendengar sapaan mendadak itu. Seorang pria dengan rambut hitam pekat tersenyum tipis ke arahnya. Ia mengenakan kacamata berbingkai perak melingkari mata abu-abu.
"I-iya," balasnya gugup.
"Aku Michael Johannson."
Mysha berusaha tersenyum seramah mungkin. Namun ia tahu, rasa gugupnya melebihi apa pun. Senyum yang ia berikan pasti terlihat konyol dan memalukan. Ia berharap tak ada yang terlalu memerhatikan dirinya meski ada beberapa pegawai di sekitar mereka.
"Salam kenal, Mr. Johannson."
Uluran tangan dibalas dengan segera sebelum akhirnya Michael mempersilakan Mysha mengikutinya menuju lantai teratas gedung ini. Mereka beriringan dalam diam. Mysha memilih menjaga jarak dan berjalan beberapa langkah di belakang pria tegap itu.
Lift karyawan kosong pada pukul 10 pagi. Hanya ada Michael dan Mysha yang masih saling berdiri diam. Elevator berlapis kaca ini terlihat memantulkan bayangan mereka berdua.
Ada kekhawatiran mendasar dalam diri Mysha pada tempat kerja barunya. Kecemasan itu bergumul di kepala dan membuat debar jantungnya seakan tak pernah mengenal kata lambat.
Sepanjang perjalanan menuju lift, ia sempat melirik ke sekeliling. Setiap karyawan wanita yang ia lihat dalam ruang-ruang kaca terlihat begitu fashionable dan trendi. Bahkan sekadar penerima telepon pun terlihat sangat cantik dengan riasan penuh. Mysha memandangi pantulannya di kaca. Blazer hitam menutupi kemeja putih, rok sepan pendek tepat di atas lutut, sepatu heels lima senti, terlihat begitu tak menarik. Tidak ada yang mencolok dari penampilannya yang hanya membawa tas selempang berwarna hitam.
Mysha masih berusaha menenangkan dirinya. Menarik napas panjang berulang dengan perlahan. Suara helaannya terdengar beberapa kali lipat dalam ruangan sempit ini.
Michael menyadarinya. "Kau cukup pintar untuk bekerja di sini. Tidak perlu cemas."
Mysha menoleh ke pria di sampingnya yang masih memandang pintu lift. Ya ... mungkin Michael benar. Dirinya tak perlu berpikir macam-macam. Ia harus fokus pada apa yang menjadi tujuannya. Tidak usah memikirkan sesuatu yang hanya merupakan asumsi. Bukankah itu yang selalu ia ingat dalam membuat keputusan?
Ini kesempatan emas. Baru dua tahun lalu ia diangkat jadi manajer di kantor lamanya. Kini ia bisa menjabat menjadi seorang GM di usianya yang masih sangat belia. Mungkin Mysha yang baru genap berusia 28 tahun merupakan GM termuda sepanjang sejarah Crown Land Developer.
Suara denting menandakan pintu lift akan terbuka lebar di lantai teratas. Michael mempersilakan Mysha untuk keluar lebih dulu. Satu tarikan napas panjang, Mysha melangkahkan kaki keluar dengan mantap.
Karpet berbulu terasa lembut di bawah sepatunya. Wanita itu benar-benar khawatir di saat-saat seperti ini, ia bisa kehilangan keseimbangan akibat sepatunya. Sejujurnya Mysha tidak terbiasa dengan sepatu heels lima sentimeter. Namun, ibu pernah berkata, penampilan adalah hal terpenting di hari pertama bekerja. Ini adalah penampilan terbaik yang bisa ia berikan.
Beberapa orang tampak duduk mengelilingi meja besar yang terlihat di sebelah kanan. Tampaknya itu adalah sebuah ruang meeting. Lantai 19 terlihat begitu luas. Sepanjang mata memandang, hamparan meja kerja yang dibatasi penyekat setinggi dada berderet rapi berkelompok. Seperti memang disusun per departemen. Di sisi kanan dan kiri berjajar ruang-ruang kecil berpintu dengan tulisan nama dan jabatan terpampang di sana.
Melihat kedatangan Mysha dan Michael, mereka bangkit dari duduk dan langsung bergerak menghampirinya. Mysha menaksir ada sekitar sepuluh orang yang kini memandang ke arahnya.
"Perkenalkan, ini Mysha Natasha. GM kita yang baru."
Michael menyebutkan nama lengkap masing-masing manajer yang kini tersenyum ke arahnya. Kebanyakan usianya sudah lewat empat puluh tahun.
Ada sedikit rasa tertekan karena berarti dirinyalah yang paling junior dalam segi pengalaman dan usia. Namun wanita itu tidak boleh gentar. Toh tampaknya para manajer itu tidak ada yang berniat mencelakakannya meski Mysha kini menjadi atasan mereka.
Ah, mengapa ia bisa berpikiran buruk seperti itu? Perasaan tidak enak ini terus menganggu sejak pagi dan menambah kegugupannya.
Mysha berusaha mengingat nama-nama rekan kerjanya. Menghafal sepuluh orang sekaligus jelas bukan perkara mudah. Namun, Mysha diberkati otak cemerlang sehingga hanya membutuhkan waktu lima menit saja untuk mengingat semua pada saat mereka berbasa-basi sejenak.
"Saya akan memperkenalkannya pada Mr. Delacroix." Michael mengangguk dan kembali membimbing Mysha menuju ke sebuah ruangan tertutup di ujung koridor.
Michael mengetuk tiga kali sebelum berujar dengan suara sedikit lantang, "Miss Natasha sudah datang."
"Masuk."
Suara rendah yang mampu membuat hati siapa pun berdesir. Suara pria yang memiliki alunan tegas tapi sensual. Mysha berusaha menentramkan degup jantungnya.
Ketika pintu ruangan terbuka lebar, Mysha bisa melihat mahkluk Tuhan paling menakjubkan yang pernah dilihatnya. Ia berdiri gagah di tengah ruangan dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Wajah pria itu memancarkankan wibawa serta kharisma yang memukau. Tak ada senyum, tapi ada pesona tak terbantahkan. Untuk sesaat Mysha tertegun, menikmati pemandangan di hadapannya.
Michael mempersilakan, membuatnya tersadar. Mysha memasuki ruangan.
Sayangnya wanita itu tak melihat jikalau ruangan Axel memiliki karpet bulu yang lebih tebal dan empuk. Perbedaan ketinggian lantai yang mendadak membuat Mysha tersentak. Sepatu heels-nya tak mampu menahan berat tubuh yang limbung tiba-tiba. Mysha tersuruk ke depan tanpa Michael sempat menangkapnya.
Kacamata Mysha terlontar ke atas kaki kanan Axel yang masih diam di posisinya. Memandang anak buah barunya dengan mata menyipit meremehkan.
Di tengah kepanikan untuk bangkit, Mysha berusaha mencari kacamatanya. Minus wanita itu tidak terlalu besar. Hanya minus tiga. Samar-samar ia melihat kacamatanya. Masih bisa dijangkau jika ia maju sedikit.
Baru saja Michael hendak membantu, Axel memberi gelengan, tanda agar pria itu tidak ikut campur.
Mysha segera merangkak ke arah kacamatanya. Baru saja tangannya menjulur meraih kacamata, ia dikejutkan dengan sebuah teguran.
"Apa yang kau lakukan?"
Suara sensual itu kembali terdengar. Refleks membuat Mysha mendongak dalam posisinya yang masih merangkak persis di depan kaki Axel.
Axel terpana.
Pancaran bola mata semurni emas milik wanita itu terlihat khawatir. Axel bisa melihat dengan jelas rona pipi merah akibat rasa malu, keringat dingin yang membasahi pelipis, bibir merah mengilap yang sedikit terbuka kaget, juga anak rambut yang terlepas di tengkuk jenjangnya, memberi kesan berbeda. Napas wanita yang masih mendongak ke arahnya itu memburu, membuat pikiran CEO muda itu melayang ke hal yang tidak seharusnya.
"Ma-maaf." Mysha bergegas memakai kacamatanya dan beringsut menjauh. Ia kembali berdiri dan menjaga jarak. Berusaha merapikan dirinya
Axel masih tak berkedip menatap wanita di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menggerakkan keinginannya untuk mengecup leher gadis pucat itu lembut.
Sial! Apa-apaan?! Axel Delacroix tidak mungkin lebih dulu menginginkan wanita. Selama ini wanitalah yang selalu mengejar, bukan sebaliknya! Selamanya ia akan tetap membuatnya seperti itu.
Mysha mengutuki kecerobohannya sambil kembali mengaitkan jari-jari tangan di depan tubuh. Napasnya masih menderu, akibat aksinya tak sampai semenit lalu. Tanpa sadar, dia mengaitkan anak rambut yang terjatuh pada telinga. Dalam hati dia menyalahkan keberadaan Axel yang membuat fokusnya beralih. Mysha masih berusaha mengusir getaran yang memenuhi seluruh tubuh ketika mendengar suara bariton milik Axel. "Kau tidak apa-apa?" Mysha tersentak dari pikiran liarnya ketika mata abu-abu Michael menatapnya khawatir, membuat jantungnya melompat-lompat. Berada di antara dua pria tampan ini tidak baik untuk kesehatan. Michael jelas tidak memiliki aura otoritas yang membuat semua wanita bertekuk lutut, tapi dia punya kehangatan yang membuat para perempuan meleleh. Apa yang kupikirkan?! Mysha buru-buru mengembalikan kesadarannya ke kantor beraroma musk maskulin yang sepertinya berasal dari tubuh Axel. Ototnya memang tertutup oleh jas dan kemeja tapi dia dapat membayangkan betapa– Cukup! "A-aku
Axel masih berbincang serius dengan William, direktur CLD sekaligus teman baik selain Michael di perusahaan yang telah melesatkan kariernya. Jika Axel menduduki posisi CEO dengan susah payah mengikuti berbagai rangkaian tes, maka William sebaliknya. Jabatan Direktur Utama ia miliki karena ayahnya salah satu pemegang saham.Axel atau William mungkin sama-sama tak pernah habis pikir bagaimana mereka bisa menjadi teman akrab. Sifat mereka bagai bumi dan langit. Axel yang selalu santai, William yang serius. Kesamaan diantara mereka, tentu ketampanan dan daya pikatnya yang membuat para wanita rela berbaris dan mengejar-ngejar untuk diajak kencan.William memiliki postur tubuh jangkung dan atletis, hasil latihan di gym selama bertahun-tahun, rambut cokelat yang selalu terpangkas rapi, iris mata hijau yang mengingatkan pada warna air di Pantai Green Bay, serta kedua lesung pipi yang terlihat bukan hanya saat tersenyum tapi juga ketika dia bicara. Sorot mata tajam membuat dirinya semakin memi
Axel masih berbincang serius dengan William, direktur CLD sekaligus teman baik selain Michael di perusahaan yang telah melesatkan kariernya. Jika Axel menduduki posisi CEO dengan susah payah mengikuti berbagai rangkaian tes, maka William sebaliknya. Jabatan Direktur Utama ia miliki karena ayahnya salah satu pemegang saham.Axel atau William mungkin sama-sama tak pernah habis pikir bagaimana mereka bisa menjadi teman akrab. Sifat mereka bagai bumi dan langit. Axel yang selalu santai, William yang serius. Kesamaan diantara mereka, tentu ketampanan dan daya pikatnya yang membuat para wanita rela berbaris dan mengejar-ngejar untuk diajak kencan.William memiliki postur tubuh jangkung dan atletis, hasil latihan di gym selama bertahun-tahun, rambut cokelat yang selalu terpangkas rapi, iris mata hijau yang mengingatkan pada warna air di Pantai Green Bay, serta kedua lesung pipi yang terlihat bukan hanya saat tersenyum tapi juga ketika dia bicara. Sorot mata tajam membuat dirinya semakin memi
Mysha melangkah masuk ke kantornya gontai dan menghempaskan dirinya di atas kursi kerja yang nyaman, mengistirahatkan kepala dan pundaknya yang pegal. Oh, seandainya saja ada pria tampan yang memijatnya….Stop!Pikiran liar membuat wanita itu mengingat kembali alasan mengapa dia tiba di kantor pagi buta, sebelum semua orang yang cukup waras bangun. Ia bahkan melihat wajah terkejut satpam ketika dia meminta kunci gedung. Ugh! Mysha tidak bisa tidur semalaman, memikirkan hal yang nyaris saja dia lakukan bersama Axel, pimpinannya. Tanpa sadar Mysha menyentuh bibirnya yang dipulas lipgloss dan pelembab, apa harusnya dia menerima saja ciuman Axel?Tidak!Mysha menggelengkan kepalanya keras-keras, mengusir bayangan keluar dari otak. Dia punya alasan mengapa dia harus bertahan dari pesona Axel bagaimana pun caranya, salah satunya adalah ajaran keras dari ibunya untuk menjaga harta paling berharga seorang wanita dan hal lain adalah karena dia belum pernah berciuman. Bagaimana kalau Axel tahu
Michael mendorong pintu ruang kerja Mysha, kemudian masuk dan menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di depan meja kerja General Manager itu, bahkan sebelum dipersilakan. "Ini, minumlah!" Michael menyodorkan segelas hot espresso yang dibawanya. Aroma nikmat kopi menguar, menggelitik saraf-saraf indera penciuman Mysha. "Untukku?" tanya Mysha. Pertanyaan bodoh, pikir Mysha. Jelas tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain mereka berdua. Lagi pula jika bukan untuknya, mengapa Michael menyuruhnya minum. "Eh-maksudku, kau tak perlu repot-repot." Mysha tergagap. "Tak masalah. Aku dengar dari security, hari ini kau datang jam empat pagi. Demi Tuhan, Mysh! Kau tak harus bekerja terlalu keras. Aku tak ingin melihat kantung mata yang semakin dalam di sini," ujar Michael sembari menyentuh bagian bawah mata Mysha dengan lembut. Mysha refleks menarik mundur wajahnya dari jemari kukuh nan lembut itu. Ia tak ingin ada gosip-gosip yang menyangkutpautkan Michael dengan dirinya. Apalagi ia baru
Tak sampai dua menit Axel sudah berdiri di antara Mysha dan Michael. Sontak wanita berambut panjang yang digelung bawah itu terkejut dan menarik tangannya segera. Mysha bisa merasakan hawa penuh kemarahan ditujukan ke arahnya. Mata biru Axel terasa membekukan. Hanya ada kebisuan yang merebak di antara mereka selama beberapa saat. "Ikut aku!" Tanpa basa-basi Axel menarik tangan Mysha untuk bangkit berdiri. Membuat wanita itu tersentak naik dalam keterkejutan. "What are you doing?!" Michael turut bangkit dan menahan tangan Axel untuk menarik Mysha lebih jauh. "It's my business. Jangan ikut campur!" Masih terus menatap Mysha, Axel memuntahkan ketidaksukaannya. "No, you're not! Mysha sedang makan siang bersamaku, jadi ini urusanku juga!" Meski Michael memiliki suara selembut sutra, baru kali ini Mysha mendengarkan nada tegas melindungi yang begitu kental. Mysha bisa merasakan tangannya bergetar ketika kedua pria di hadapannya berusaha saling posisi dengan sikap yang tetap terlihat e
Mysha menahan napas ketika Axel mengecup tangannya. Seketika getaran aneh menjalar ke seluruh badannya, membuat bulu kuduk meremang sementara jantungnya berdegup kencang. Kaki wanita itu terasa lemas. Ingin sekali dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Axel, tapi dengan cepat dia mengumpulkan kembali tekad dan kekuatan, memaksa logika bergerak mengalahkan dorongan untuk melempar diri dalam pelukan kukuh pria yang kini sedang menggodanya. Bagaimana pun juga, dia memiliki prinsip yang teguh dalam hidup, tidak ingin berakhir sama seperti ibunya yang trauma dengan pria. "Sir," ucap Mysha dengan nada terkendali, tegas dan berwibawa, sambil menarik tangannya dari genggaman Axel. Dia harus tenang walau dadanya berdebar keras dan tubuhnya mendamba sentuhan dari atasannya tersebut. "Anda tidak bisa memaksa saya dan ingat, ruangan ini dipasang CCTV." Sekuat tenaga, Mysha mendorong dada Axel. Tidak diduga, pria itu menurut, walau matanya berkilat menatap Mysha. Pandangan yang membuat sebuah sensas
"Kau akan ikut ke Bangkok besok. Axel," ulang Mysha, sekali lagi membaca secarik kertas di tangannya. Pesan itu begitu singkat. Tanpa basa-basi. Di dalam amplopnya terdapat sebuah tiket pesawat tujuan Bangkok untuk sekali pergi. Netra emasnya melebar, tubuh wanita itu mendadak terasa lemas. Mysha terduduk di kursi. Sebelah tangannya memijat kening yang tiba-tiba terasa pening. Mysha tak mengerti dengan perasaannya sendiri saat ini. Amarah dan gairah melesak di dadanya, membuatnya sesak. "Bagaimana mungkin Axel memutuskan hal ini tanpa bertanya lebih dulu kepadaku?" tanya Mysha geram. Jangan-jangan ini hanya siasat CEO tampan itu untuk menjebakku agar bisa bersamanya, atau mungkin dia benar-benar menyukaiku? Bukankag kemarin dia dengan angkuh menyatakan bahwa aku miliknya? Suara batin Mysha berperang. Jujur ia tak yakin jika sang Penakluk Wanita itu menyukainya. Namun gagasan itu sangat menggoda. Mysha kembali memandangi tiket pesawat di tangannya. Bangkok. Mengeja kata itu membawa
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?