Share

Bab 2 - Suara yang Menggoda

Penulis: Shireishou
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Mysha mengutuki kecerobohannya sambil kembali mengaitkan jari-jari tangan di depan tubuh. Napasnya masih menderu, akibat aksinya tak sampai semenit lalu. Tanpa sadar, dia mengaitkan anak rambut yang terjatuh pada telinga. Dalam hati dia menyalahkan keberadaan Axel yang membuat fokusnya beralih. Mysha masih berusaha mengusir getaran yang memenuhi seluruh tubuh ketika mendengar suara bariton milik Axel.

"Kau tidak apa-apa?"

Mysha tersentak dari pikiran liarnya ketika mata abu-abu Michael menatapnya khawatir, membuat jantungnya melompat-lompat. Berada di antara dua pria tampan ini tidak baik untuk kesehatan. Michael jelas tidak memiliki aura otoritas yang membuat semua wanita bertekuk lutut, tapi dia punya kehangatan yang membuat para perempuan meleleh.

Apa yang kupikirkan?!

Mysha buru-buru mengembalikan kesadarannya ke kantor beraroma musk maskulin yang sepertinya berasal dari tubuh Axel. Ototnya memang tertutup oleh jas dan kemeja tapi dia dapat membayangkan betapa–

Cukup!

"A-aku ba-baik saja," balasnya menelan ludah sambil mundur selangkah, menjauhkan diri dari sumber khayalan.

“Untunglah.”

Mysha melihat Michael tersenyum, dan membuat tubuh wanita itu kembali meremang.

Terdengar suara dehaman yang memaksa semua perhatian kembali kepada Axel. Mata sewarna batu safir itu berkilat dingin membuat Mysha kembali berdiri tegak dan merapikan baju. Bayangkan, dia baru saja mempermalukan diri sendiri di hadapan bos besarnya.

"Nama," perintah Axel kembali membersihkan kerongkongannya. Wajahnya sedikit mendongak dan kedua telapak tangan tersembunyi di balik saku celana, menatap Mysha seakan gadis itu tak lebih penting dari serangga.

Tidak ada waktu untuk merasa rendah diri, Mysha berusaha tetap tenang. Dia sudah kehilangan kesempatan untuk menjaga image ketika dia terjatuh.

"My-Mysha Na-Natasha."

Michael menahan senyum ketika mendengar cicitan wanita di sampingnya. Axel keterlaluan memang, setelah menahannya untuk tidak membantu Mysha berdiri, kini dia membuat pegawai baru itu menggigil. Dalam hati, pria itu merasa sedikit lega, setidaknya Mysha lebih terlihat takut daripada terpesona seperti wanita-wanita lain yang jatuh dalam pelukan sang CEO.

"Seperti yang sudah saya beritahukan, Mr. Delacroix." Michael menyelamatkan Mysha yang seolah akan diterkam oleh serigala bernama Axel. "Miss Natasha adalah General Manager yang baru. Beliau akan membantu Anda mengatur seluruh aspek di perusahaan ini termasuk menyajikan data-data yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan untuk Anda melakukan deal dengan pihak luar."

Axel menatap Mysha dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bila wanita lain akan tersenyum menggoda, Mysha berdiri tegak dan kaku sambil menelan ludah. Pria itu memberi pandangan menilai dan seakan-akan menelanjanginya, membuat Mysha menggerakkan kaki dengan tidak nyaman. Meski begitu, wanita itu merasa begitu penasaran.

"Bawa dia ke ruangannya." Axel memutus tatapan intens dan membalikkan badan. Pria itu berjalan santai ke arah meja kayu berwarna mahoni, sebelum duduk di kursi hitam berlengan.

Mysha tertegun. Dia sudah siap bila pria itu melontarkan kata-kata tajam memprotes penampilannya yang biasa. Gadis itu menarik napas lega sambil memandang punggung bidang yang menjauhinya. Mungkin saja, atasannya tidak semenakutkan yang dia kira.

Menakutkan, tapi seksi dan menggoda.

"Sa-saya permisi, Sir." Mysha membungkam pikiran nakal yang menari-nari. Dia menoleh ke arah Michael dengan senyum teduhnya, seperti oase di padang gurun. Pria itu menganggukkan kepala dan bersiap membalikkan badan.

"Siapa bilang sekarang?" Suara dalam itu membuat Mysha tersentak, begitu pula dengan Michael. "Aku belum selesai berbicara."

Mysha menelan ludah sementara Michael hanya menghela napas. Mereka berdua kembali menghadap ke arah Axel yang menatap mereka tajam.

"Segera rangkum data keuangan Crown Land selama dua kuartal terakhir, aku mau sebelum makan siang sudah ada di mejaku."

Mysha mengingat-ingat perintah Axel sampai ke titik koma. Akhirnya ada hal yang mengalihkan perhatiannya dari keinginan untuk dikecup oleh bibir menawan itu.

"Berikan juga analisis karena aku akan meeting dengan pengembang yang menangani proyek di Asia Tenggara." Suara Axel membuat Mysha tersadar dari lamunan singkat. Untung saja, dia masih mendengar perintah itu dengan baik.

"Baik," jawab Mysha tegas dan sigap. "Ada lagi, Sir?"

Alis Axel berkerut singkat sebelum dia kembali fokus pada tumpukan dokumen di hadapannya. "Tidak ada."

Mysha mengembuskan napas lega dan mengekor Michael yang keluar dari ruangan berperedam suara itu. Pengacara itu berjalan mantap tapi tetap memastikan Mysha bisa mengikuti langkahnya hingga mereka tiba di depan pintu cokelat dengan papan emas bertuliskan namanya.

"Ini adalah ruangan Anda." Pria gentleman itu membukakan pintu, membuat Mysha menahan napas.

Ruang kerjanya berukuran 4 x 5 meter, jauh lebih besar dari ruangan di kantor lama. Sebuah meja yang dilengkapi oleh layar komputer tipis berlogo apel dan kursi berwarna cokelat muda yang nyaman menyambutnya, sementara di tembok bagian belakang berderet buku-buku keuangan tertata rapi di sebuah lemari kayu, berselingan dengan vas bunga berwarna putih. Mysha berjanji akan mengisinya dengan bunga segar setiap hari agar dirinya makin semangat bekerja. Tak jauh dari meja kerjanya, ada satu set sofa mungil berwarna krem dan meja rendah dari kaca berdesain minimalis sebagai tempat untuk menerima tamu. Yang membuat Mysha tersenyum adalah adanya kulkas kecil di ujung ruangan tempatnya bisa meletakkan bekal atau minuman.

"Apakah Anda menyukainya?" tanya Michael basa-basi mengikuti Mysha masuk.

Wanita berambut perak itu mengangguk sambil memperbaiki letak kacamata dengan menyentuh gagangnya sekilas. Seulas senyum akhirnya muncul di wajah manisnya.

"Terima kasih atas bantuannya." Mysha mengulurkan tangan.

"My pleasure." Michael menyambutnya dan menggenggam hangat. "Semoga kau betah di sini dan selamat bekerja."

Pengacara manis itu segera menghilang di balik pintu, sementara Mysha menikmati bokongnya disambut bantalan empuk kursi. Dia merenggangkan tangannya sebelum menyalakan komputer.

"Waktunya bekerja!"

*

Mysha menunggu printer bekerja sambil membagi dokumen yang akan diserahkan kepada si Tam--Axel. Satu untuk arsip pribadi, satu untuk bosnya, dan yang satu lagi untuk diarsip oleh bagian keuangan. Wanita itu tersenyum puas, analisisnya sudah ditulis detail dan lengkap. Lima halaman A4 ditambah dengan grafik tentang perkembangan usaha Crown Land di Asia Tenggara selama lima tahun terakhir. Dia punya kebanggaan dalam melakukan pekerjaannya melebihi ekspetasi atasan dan berniat mempertahankan posisinya di perusahaan itu.

Lembar terakhir keluar dari mesin pencetak, Mysha segera mengambil dan memasukkannya ke dalam map, sebelum menatap dirinya sejenak di bayang-bayang kaca, memastikan sanggulnya tetap rapi sebelum berjalan keluar dari kantor, bersiap menghadapi serigala yang akan menerkamnya.

Dia melewati seorang sekretaris yang memandangnya sinis karena mengira bahwa Mysha akan menjadi saingan cinta. Demi Tuhan, sekretaris itu bahkan sudah beranak dua, dilihat dari foto yang terpajang di mejanya. Mysha hanya tersenyum singkat basa-basi ketika diberitahu kalau Axel berada di ruang direktur, lima puluh langkah dari tempatnya berdiri.

Mysha menimbang cepat dan memutuskan untuk menunggu. Namun ketika jarum jam menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit, GM baru itu kehilangan kesabaran. Axel meminta dokumen ini sebelum makan siang, maka Mysha memilih berjalan ke ruang direktur. Heels-nya terketuk lembut pada keramik buatan Spanyol berbalut karpet di sepanjang perjalanan hingga dirinya tiba di depan sebuah pintu berdesain avant garde dengan plakat bertuliskan William Davis, Direktur Utama.

Mysha menelan ludah dan menarik napas dalam. Tangannya terangkat, tapi tiba-tiba dia meragu. Bagaimana kalau mereka sedang berbicara hal penting? Beberapa detik terbuang sebelum dia memutuskan untuk mengetuk pintu.

"Ya."

Terdengar suara dari balik pintu, membuat Mysha menelan ludah. Suara itu berotoritas seperti Axel, tapi lebih dalam dan datar. Nada rendahnya membuat bulu kuduk Mysha meremang dengan sensasi yang membuat lututnya lemas. Dia berusaha menenangkan diri sebelum membuka pintu dan mendapati Axel sedang berhadapan dengan seorang pria yang duduk di balik meja kayu mahal dengan berbagai berkas berserakan di sana.

Mysha langsung membeku ketika dua pria itu menoleh ke arahnya. Mengapa tidak ada yang bilang kalau direkturnya masih muda? Lebih penting lagi, apakah seluruh stok pria mapan, berkharisma dan luar biasa tampan dikumpulkan di perusahaan tempatnya bekerja?

Bab terkait

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 3 - Tawaran yang Menakjubkan

    Axel masih berbincang serius dengan William, direktur CLD sekaligus teman baik selain Michael di perusahaan yang telah melesatkan kariernya. Jika Axel menduduki posisi CEO dengan susah payah mengikuti berbagai rangkaian tes, maka William sebaliknya. Jabatan Direktur Utama ia miliki karena ayahnya salah satu pemegang saham.Axel atau William mungkin sama-sama tak pernah habis pikir bagaimana mereka bisa menjadi teman akrab. Sifat mereka bagai bumi dan langit. Axel yang selalu santai, William yang serius. Kesamaan diantara mereka, tentu ketampanan dan daya pikatnya yang membuat para wanita rela berbaris dan mengejar-ngejar untuk diajak kencan.William memiliki postur tubuh jangkung dan atletis, hasil latihan di gym selama bertahun-tahun, rambut cokelat yang selalu terpangkas rapi, iris mata hijau yang mengingatkan pada warna air di Pantai Green Bay, serta kedua lesung pipi yang terlihat bukan hanya saat tersenyum tapi juga ketika dia bicara. Sorot mata tajam membuat dirinya semakin memi

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 4 - Makan Malam yang Memukau

    Axel masih berbincang serius dengan William, direktur CLD sekaligus teman baik selain Michael di perusahaan yang telah melesatkan kariernya. Jika Axel menduduki posisi CEO dengan susah payah mengikuti berbagai rangkaian tes, maka William sebaliknya. Jabatan Direktur Utama ia miliki karena ayahnya salah satu pemegang saham.Axel atau William mungkin sama-sama tak pernah habis pikir bagaimana mereka bisa menjadi teman akrab. Sifat mereka bagai bumi dan langit. Axel yang selalu santai, William yang serius. Kesamaan diantara mereka, tentu ketampanan dan daya pikatnya yang membuat para wanita rela berbaris dan mengejar-ngejar untuk diajak kencan.William memiliki postur tubuh jangkung dan atletis, hasil latihan di gym selama bertahun-tahun, rambut cokelat yang selalu terpangkas rapi, iris mata hijau yang mengingatkan pada warna air di Pantai Green Bay, serta kedua lesung pipi yang terlihat bukan hanya saat tersenyum tapi juga ketika dia bicara. Sorot mata tajam membuat dirinya semakin memi

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 5 - Permainan yang Berbahaya

    Mysha melangkah masuk ke kantornya gontai dan menghempaskan dirinya di atas kursi kerja yang nyaman, mengistirahatkan kepala dan pundaknya yang pegal. Oh, seandainya saja ada pria tampan yang memijatnya….Stop!Pikiran liar membuat wanita itu mengingat kembali alasan mengapa dia tiba di kantor pagi buta, sebelum semua orang yang cukup waras bangun. Ia bahkan melihat wajah terkejut satpam ketika dia meminta kunci gedung. Ugh! Mysha tidak bisa tidur semalaman, memikirkan hal yang nyaris saja dia lakukan bersama Axel, pimpinannya. Tanpa sadar Mysha menyentuh bibirnya yang dipulas lipgloss dan pelembab, apa harusnya dia menerima saja ciuman Axel?Tidak!Mysha menggelengkan kepalanya keras-keras, mengusir bayangan keluar dari otak. Dia punya alasan mengapa dia harus bertahan dari pesona Axel bagaimana pun caranya, salah satunya adalah ajaran keras dari ibunya untuk menjaga harta paling berharga seorang wanita dan hal lain adalah karena dia belum pernah berciuman. Bagaimana kalau Axel tahu

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 6 - She's Mine!

    Michael mendorong pintu ruang kerja Mysha, kemudian masuk dan menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di depan meja kerja General Manager itu, bahkan sebelum dipersilakan. "Ini, minumlah!" Michael menyodorkan segelas hot espresso yang dibawanya. Aroma nikmat kopi menguar, menggelitik saraf-saraf indera penciuman Mysha. "Untukku?" tanya Mysha. Pertanyaan bodoh, pikir Mysha. Jelas tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain mereka berdua. Lagi pula jika bukan untuknya, mengapa Michael menyuruhnya minum. "Eh-maksudku, kau tak perlu repot-repot." Mysha tergagap. "Tak masalah. Aku dengar dari security, hari ini kau datang jam empat pagi. Demi Tuhan, Mysh! Kau tak harus bekerja terlalu keras. Aku tak ingin melihat kantung mata yang semakin dalam di sini," ujar Michael sembari menyentuh bagian bawah mata Mysha dengan lembut. Mysha refleks menarik mundur wajahnya dari jemari kukuh nan lembut itu. Ia tak ingin ada gosip-gosip yang menyangkutpautkan Michael dengan dirinya. Apalagi ia baru

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 7 - Sentuh Tepat di Sana

    Tak sampai dua menit Axel sudah berdiri di antara Mysha dan Michael. Sontak wanita berambut panjang yang digelung bawah itu terkejut dan menarik tangannya segera. Mysha bisa merasakan hawa penuh kemarahan ditujukan ke arahnya. Mata biru Axel terasa membekukan. Hanya ada kebisuan yang merebak di antara mereka selama beberapa saat. "Ikut aku!" Tanpa basa-basi Axel menarik tangan Mysha untuk bangkit berdiri. Membuat wanita itu tersentak naik dalam keterkejutan. "What are you doing?!" Michael turut bangkit dan menahan tangan Axel untuk menarik Mysha lebih jauh. "It's my business. Jangan ikut campur!" Masih terus menatap Mysha, Axel memuntahkan ketidaksukaannya. "No, you're not! Mysha sedang makan siang bersamaku, jadi ini urusanku juga!" Meski Michael memiliki suara selembut sutra, baru kali ini Mysha mendengarkan nada tegas melindungi yang begitu kental. Mysha bisa merasakan tangannya bergetar ketika kedua pria di hadapannya berusaha saling posisi dengan sikap yang tetap terlihat e

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 8 - Hasrat yang Bergelora

    Mysha menahan napas ketika Axel mengecup tangannya. Seketika getaran aneh menjalar ke seluruh badannya, membuat bulu kuduk meremang sementara jantungnya berdegup kencang. Kaki wanita itu terasa lemas. Ingin sekali dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Axel, tapi dengan cepat dia mengumpulkan kembali tekad dan kekuatan, memaksa logika bergerak mengalahkan dorongan untuk melempar diri dalam pelukan kukuh pria yang kini sedang menggodanya. Bagaimana pun juga, dia memiliki prinsip yang teguh dalam hidup, tidak ingin berakhir sama seperti ibunya yang trauma dengan pria. "Sir," ucap Mysha dengan nada terkendali, tegas dan berwibawa, sambil menarik tangannya dari genggaman Axel. Dia harus tenang walau dadanya berdebar keras dan tubuhnya mendamba sentuhan dari atasannya tersebut. "Anda tidak bisa memaksa saya dan ingat, ruangan ini dipasang CCTV." Sekuat tenaga, Mysha mendorong dada Axel. Tidak diduga, pria itu menurut, walau matanya berkilat menatap Mysha. Pandangan yang membuat sebuah sensas

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 9 - Hasrat yang Terpendam

    "Kau akan ikut ke Bangkok besok. Axel," ulang Mysha, sekali lagi membaca secarik kertas di tangannya. Pesan itu begitu singkat. Tanpa basa-basi. Di dalam amplopnya terdapat sebuah tiket pesawat tujuan Bangkok untuk sekali pergi. Netra emasnya melebar, tubuh wanita itu mendadak terasa lemas. Mysha terduduk di kursi. Sebelah tangannya memijat kening yang tiba-tiba terasa pening. Mysha tak mengerti dengan perasaannya sendiri saat ini. Amarah dan gairah melesak di dadanya, membuatnya sesak. "Bagaimana mungkin Axel memutuskan hal ini tanpa bertanya lebih dulu kepadaku?" tanya Mysha geram. Jangan-jangan ini hanya siasat CEO tampan itu untuk menjebakku agar bisa bersamanya, atau mungkin dia benar-benar menyukaiku? Bukankag kemarin dia dengan angkuh menyatakan bahwa aku miliknya? Suara batin Mysha berperang. Jujur ia tak yakin jika sang Penakluk Wanita itu menyukainya. Namun gagasan itu sangat menggoda. Mysha kembali memandangi tiket pesawat di tangannya. Bangkok. Mengeja kata itu membawa

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 10 - Geliat Panas dalam Dada

    "Damn it!" Axel hendak menggebrak meja dan melangkah tergesa keluar ruangan. Ia nyaris kehilangan kontrol tepat ketika dirinya dan Mysha bersirobok. Axel menarik napas panjang dengan sangat perlahan. Nyaris tak terlihat. Ia berusaha memadamkan semua kemarahan yang sempat berkobar di dadanya. Rahang yang sedari tadi kaku, kini sudah kembali tenang. Axel berjalan dengan tegap keluar ruangan. Pandangan matanya begitu dingin seolah bisa membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Langkahnya begitu cepat tapi tak terlihat terburu-buru. Bulu kuduk Mysha meremang. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Ini baru pertama kali Mysha merasa tekanan yang menakutkan alih-alih pikiran liar mendominasi. Wanita itu berjalan tergesa meski ia bisa merasakan aura mengerikan menguar. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Mysha terus berdoa di dalam hati. Axel bahkan tidak memedulikan larangan sekretaris William ketika menerobos masuk ke ruangan. Membuka pintu lebar-lebar tanpa peduli untuk menutupnya k

Bab terbaru

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   EPILOG

    "Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 42 - Akhir

    Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 41 - Janji untuk Ditepat

    Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 40 - Kisah

    "Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 39 - Kepercayaan yang Dibangun

    Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 38 - Canapes Semanis Wajahmu

    Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 37 - Kerinduan yang Tak Terbantahkan

    Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 36 - Pertengkaran Keluarga

    "Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor

  • Passionate CEO - Malam yang Tak Terlupakan   Bab 35 - Kemarahan Sang Ayah

    "Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?

DMCA.com Protection Status