Michael mendorong pintu ruang kerja Mysha, kemudian masuk dan menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di depan meja kerja General Manager itu, bahkan sebelum dipersilakan.
"Ini, minumlah!" Michael menyodorkan segelas hot espresso yang dibawanya. Aroma nikmat kopi menguar, menggelitik saraf-saraf indera penciuman Mysha.
"Untukku?" tanya Mysha. Pertanyaan bodoh, pikir Mysha. Jelas tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain mereka berdua. Lagi pula jika bukan untuknya, mengapa Michael menyuruhnya minum. "Eh-maksudku, kau tak perlu repot-repot." Mysha tergagap.
"Tak masalah. Aku dengar dari security, hari ini kau datang jam empat pagi. Demi Tuhan, Mysh! Kau tak harus bekerja terlalu keras. Aku tak ingin melihat kantung mata yang semakin dalam di sini," ujar Michael sembari menyentuh bagian bawah mata Mysha dengan lembut.
Mysha refleks menarik mundur wajahnya dari jemari kukuh nan lembut itu. Ia tak ingin ada gosip-gosip yang menyangkutpautkan Michael dengan dirinya. Apalagi ia baru dua hari bekerja di kantor ini. Selain itu, ia baru membuat masalah dengan CEO-nya, jangan sampai ia terlibat lagi dengan pengacara kantor. Meskipun keduanya sama-sama tampan, ia tahu sikap mereka berbeda. Michael selalu bersikap manis, lembut, dan pengertian, tidak seperti Axel yang dominan, dingin, dan penuntut.
"Sorry," ucap Michael saat menyadari reaksi Mysha.
"It's okay. Aku hanya tak ingin ada gosip tentang kita," jelas Mysha.
"Ya, kau benar. Bagaimana hari pertamamu? Apa kau sudah bertemu dengan Will?" tanya Michael.
"Everything went well. Lalu ya, kemarin aku bertemu dengan Mr. Davis saat mengantar laporan untuk Mr. Delacroix. Jujur saja aku terkejut, kupikir direktur utama CLD sudah berumur, ternyata masih sangat muda. Beliau ramah, efisien, dan sangat profesional," terang Mysha.
Tentu saja ia menyensor beberapa kejadian yang bisa mempermalukan dirinya, termasuk kejadian bersama Axel tadi malam.
"Kau satu-satunya wanita yang bilang William ramah," ujar Michael mengulum senyum. "Tapi syukurlah jika semua baik-baik saja. Aku sempat mengkhawatirkanmu, apalagi setelah kau tersungkur di ruang Axel." Kali ini Michael tak bisa menahan tawanya.
"Michael...! Please, jangan ingat-ingat lagi kejadian itu," sembur Mysha. "Aku terjatuh karena tak terbiasa memakai high heels."
Michael masih ingin menggoda Mysha saat ponselnya berdering. Ia buru-buru meninggalkan kantor Mysha setelah menjawab telepon itu.
"Mysh, I gotta go. Will sudah menungguku," kata Michael sebelum membuka pintu kantor Mysha.
Mysha mengangguk dan tersenyum sebagai tanda ia mengerti.
*
Begitu Michael meninggalkan ruangan, Mysha bangkit dari kursinya. Kini ia hanya perlu berkonsentrasi untuk menyusun anggaran dana investasi pembangunan apartemen dan hotel di Asia Tenggara seperti yang diminta William.
Gadis berkacamata itu baru saja membaca kembali rangkuman seluruh laporan keuangan yang kemarin ia berikan kepada Axel. Ia juga telah menamatkan seluruh dokumen-dokumen kegiatan internal perusahaan, birokrasi, serta kewajiban-kewajiban perusahaan yang harus dibayarkan setiap bulannya.
Mysha meminta kopi lagi pada office boy. Ini cangkir kopi ketiga yang bakal diteguknya selain kopi yang dibawakan Michael tadi. Saat ini ia benar-benar membutuhkan kafein untuk tetap berkonsentrasi.
Mysha memasang earphone yang disambungkan ke laptop untuk mendengarkan lagu-lagu kesukaannya. Lagu-lagu upbeat yang ceria akan meningkatkan mood-nya. Meskipun, ia tidak bisa mendengar dengan suara keras saat sedang bekerja. Jangan sampai ia tidak menyadari jika ada suara telepon berdering atau pintu diketuk.
Dengan teliti ia mulai menyusun anggaran berdasarkan perhitungan para insinyur sipil dan arsitek yang telah memberikan cetak biru desainnya. Kemudian ia menghitung perkiraan harga jual dan margin keuntungan yang akan didapat, serta break event point.
Mysha memasukkan poin demi poin ke dalam rencana anggarannya, menghitung dengan teliti segala kemungkinan fluktuasi yang bisa terjadi. Dengan asumsi perhitungan divisi Design and Engineering benar, Mysha berani menjamin laporan yang diselesaikannya dalam waktu lima jam itu tepat dengan tingkat akurasi mencapai 95 persen.
Akhirnya selesai! Segera ia mencetak hasil kerjanya dalam tiga rangkap. Setelah ini ia akan memberikannya pada William dan juga Axel.
Menyebut nama Axel mau tak mau membawa pikiran Mysha kembali mengembara. Ia masih ingat aroma maskulin pria itu saat tubuh mereka berimpit di depan kantor Axel tadi pagi. CEO itu tampak gagah dalam balutan jas hitamnya. Meskipun jika boleh meminta, ia lebih suka melihat penampilan Axel dengan kemeja panjang tanpa jas yang lengannya digulung sampai siku. Ah, sepertinya tubuh Axel memang cocok untuk memakai pakaian apa saja atau bahkan bertelanjang dada.
Mysha meremang. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir bayangan Axel dari pikirannya.
*
Mysha mengerjap ketika terdengar suara pintu diketuk. Dengan enggan ia berdiri untuk membukanya. Dan betapa terkejut saat ia mendapati Michael di baliknya.
"Hai! Sudah selesai meeting-nya?"
Senyum Michael mengembang menjawab pertanyaan Mysha. “Apa aku mengganggu pekerjaanmu?”
"Tidak sama sekali,” jawab Mysha cepat. “Anyway, ada perlu apa denganku? Kupikir kau akan langsung kembali ke kantormu."
"Aku ke sini untuk mengajakmu makan siang. Ayolah, temani aku, please!" pinta Michael.
Makan siang?! Mysha melirik jam di sudut laptopnya. Ya Tuhan, ini memang sudah jam makan siang. Ia benar-benar tak sadar. Pantas perutnya mulai memberontak. Namun printer-nya masih menyala, memuntahkan kertas-kertas laporan yang dicetaknya.
"Sorry Michael, aku benar-benar berharap bisa menemanimu. Tapi, aku harus menyelesaikan laporan rencana anggaran yang diminta oleh Mr. Davis. Maybe next time," tolak Mysha halus.
"Please, Mysh. Apa kau tega membiarkanku makan siang sendiri? Kita hanya akan keluar makan siang, tak sampai satu jam kau sudah akan ada di ruangan ini lagi," bujuk Michael. Ia memasang tampang memelas.
"Baiklah, baiklah. Tapi sebentar saja," ujar Mysha. Tak tega juga ia menolak Michael yang selama ini begitu baik padanya.
*
Michael dan Mysha berjalan beriringan menuju tempat parkir VIP. Dengan cekatan ia membukakan pintu mobil Mercedes S Class putihnya untuk Mysha sebelum duduk di balik kemudi. Ia menjalankan mobil perlahan, menembus lalu lintas kota New York.
Restoran yang dituju sebenarnya hanya tiga blok dari CLD Tower di Midtown Manhattan.
Michael memarkir mobilnya di depan Darbar Grill. Sebuah restoran yang nyaman dan tenang, menawarkan cita rasa masakan India yang lezat berempah. Begitu pintu dibuka, deretan meja dengan taplak putih lengkap dengan perlengkapan makan tertata rapi langsung terlihat. Suasana temaram dengan penerangan minim ditambah lilin paraffin di atas meja menambah kesan yang romantis.
Aroma rempah-rempah dan daging panggang menguar dari masakan yang tersaji di meja yang telah ditempati pelanggan. Pada waktu makan siang, restoran ini selalu dipenuhi oleh pelanggan dari berbagai ras dan bangsa.
"Reservasi atas nama Michael Johannson," ujar Michael saat seorang karyawan menyambutnya.
Mereka diantar ke sebuah meja yang cukup memberi privasi. Seorang pramusaji memberikan buku menu dan menjelaskan promo serta rekomendasi menu kepada mereka.
Sambil menunggu hidangan datang, Mysha dan Michael mengobrol ringan tentang pribadi mereka.
"Jadi kau anak tengah dari tiga bersaudara? Pasti menyenangkan punya banyak saudara. Rumah terasa ramai," seru Mysha antusias. Seakan ada lubang di hatinya yang diisi kembali tiap kali mendengar cerita keluarga teman-temannya. Mysha tak pernah merasakan kehangatan keluarga. Sebagai anak dari orang tua bercerai dan tak menikah lagi, Mysha selalu hidup kesepian.
"Ramai memang, tapi tak selalu menyenangkan. Keluargaku bukan kalangan berada. Masa kecilku dihabiskan dengan bekerja untuk sekadar bisa makan dan sekolah. Ayahku pecandu alkohol. Beliau lebih sering menghabiskan waktunya untuk keluar masuk penjara daripada mengurus anaknya. Mungkin itu sebabnya aku memilih sekolah hukum." Michael tertawa pedih mengingat masa lalunya.
Tanpa sadar Mysha menggenggam tangan pengacara tampan di hadapannya. Seolah dengan merengkuh erat jemari itu ia bisa mengangkat sedikit kesedihannya.
Michael tersenyum. Sebelah tangannya yang bebas berada di atas tangan Mysha.
"Nasibku sungguh mujur. Suatu hari aku yang sedang bekerja mengantar susu, hampir membeku di tengah musim salju. Dermawan yang ternyata pemegang saham terbesar CLD menemukan dan menolongku. Beliau pula yang akhirnya mengadopsiku, menyekolahkanku, bahkan memasukkanku ke dalam jajaran staf elit perusahaannya.”
Pramusaji menyajikan pesanan makan siang mereka. Rasmalai dan Chicken Samosa untuk appetizer, Darbar Lamb Biryani Specialty dan Tandoori Lamb Chops untuk main course dan Kulfi Ice Cream untuk dessert.
"Lalu bagaimana dengan keluargamu?" tanya Mysha ingin tahu.
"Ibu membawa mereka setelah bercerai dengan ayahku. Sampai saat ini aku tidak pernah bertemu lagi." Ada nada sedih dalam suara Michael, membuat Mysha mengeratkan genggaman tangannya.
Mereka masih asyik melanjutkan obrolan seputar keluarga sambil menikmati menu yang tersaji. Kali ini giliran Michael yang menanyakan keluarga Mysha.
"Aku hanya hidup berdua dengan Mom. Bagiku Mom adalah segalanya. Saat aku berumur delapan tahun, orang tuaku bercerai, sejak itu aku tak pernah lagi melihat ayahku. Meski kadang tak bisa kumungkiri aku juga merindukan ayahku, tapi Mom tak pernah suka jika aku bertanya tentang Dad." Giliran Mysha bercerita tentang keluarganya.
"Bagaimana kehidupanmu setelah orang tuamu bercerai? Kalian tinggal di mana? Ibumu bekerja di mana?" tanya Michael ingin tahu.
Mysha tertawa mendengar nada penasaran dalam suara seringan kapas itu.
"Mom kembali ke tempat orang tuanya di kota kecil, Oregon. Ia membuka restoran tachos yang selalu ramai. Kehidupan kami sederhana, tapi tidak kekurangan," kenang Mysha.
Obrolan mereka terus berlanjut, suasana akrab makin terasa. Saling tersenyum, melempar canda dan tertawa. Sejenak Mysha lupa pada deadline tugas-tugasnya.
*
Axel sukses menggaet investor asal Arab Saudi. Kontrak kerja sama telah mereka tanda tangani. Saat mendekati waktu makan siang, Axel mengundang koleganya itu makan bersama untuk menjalin keakraban.
Tak banyak restoran halal di sekitar gedung kantor mereka. Salah satu yang Axel tahu ada sebuah restoran India di daerah 55th Street. Bukan restoran mewah, namun menu yang ditawarkan cukup variatif, menggabungkan cita rasa tradisional dan modern dan lezat tentunya. Restoran itu biasanya ramai saat jam makan siang, karena itu Axel telah meminta sekretarisnya melakukan reservasi via telepon.
Sial! Mata birunya terpatri pada pasangan yang sedang asyik berdua. Mereka saling memandang, tersenyum, dan sesekali tertawa.
Kebahagiaan jelas terpampang di wajah keduanya. Mysha dan Michael terlihat begitu akrab. Tangan Michael tampak menggenggam erat tangan Mysha. Kebahagiaan yang justru membuat hati Axel panas. Dadanya bergemuruh menahan amarah.
Tak bisa dibiarkan, ia harus mengambil tindakan! Bergegas Axel meninggalkan mejanya menuju ke tempat Michael dan Mysha.
Wah, Axel ngamok! Kira-kira bakal ngapain, ya?
Tak sampai dua menit Axel sudah berdiri di antara Mysha dan Michael. Sontak wanita berambut panjang yang digelung bawah itu terkejut dan menarik tangannya segera. Mysha bisa merasakan hawa penuh kemarahan ditujukan ke arahnya. Mata biru Axel terasa membekukan. Hanya ada kebisuan yang merebak di antara mereka selama beberapa saat. "Ikut aku!" Tanpa basa-basi Axel menarik tangan Mysha untuk bangkit berdiri. Membuat wanita itu tersentak naik dalam keterkejutan. "What are you doing?!" Michael turut bangkit dan menahan tangan Axel untuk menarik Mysha lebih jauh. "It's my business. Jangan ikut campur!" Masih terus menatap Mysha, Axel memuntahkan ketidaksukaannya. "No, you're not! Mysha sedang makan siang bersamaku, jadi ini urusanku juga!" Meski Michael memiliki suara selembut sutra, baru kali ini Mysha mendengarkan nada tegas melindungi yang begitu kental. Mysha bisa merasakan tangannya bergetar ketika kedua pria di hadapannya berusaha saling posisi dengan sikap yang tetap terlihat e
Mysha menahan napas ketika Axel mengecup tangannya. Seketika getaran aneh menjalar ke seluruh badannya, membuat bulu kuduk meremang sementara jantungnya berdegup kencang. Kaki wanita itu terasa lemas. Ingin sekali dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Axel, tapi dengan cepat dia mengumpulkan kembali tekad dan kekuatan, memaksa logika bergerak mengalahkan dorongan untuk melempar diri dalam pelukan kukuh pria yang kini sedang menggodanya. Bagaimana pun juga, dia memiliki prinsip yang teguh dalam hidup, tidak ingin berakhir sama seperti ibunya yang trauma dengan pria. "Sir," ucap Mysha dengan nada terkendali, tegas dan berwibawa, sambil menarik tangannya dari genggaman Axel. Dia harus tenang walau dadanya berdebar keras dan tubuhnya mendamba sentuhan dari atasannya tersebut. "Anda tidak bisa memaksa saya dan ingat, ruangan ini dipasang CCTV." Sekuat tenaga, Mysha mendorong dada Axel. Tidak diduga, pria itu menurut, walau matanya berkilat menatap Mysha. Pandangan yang membuat sebuah sensas
"Kau akan ikut ke Bangkok besok. Axel," ulang Mysha, sekali lagi membaca secarik kertas di tangannya. Pesan itu begitu singkat. Tanpa basa-basi. Di dalam amplopnya terdapat sebuah tiket pesawat tujuan Bangkok untuk sekali pergi. Netra emasnya melebar, tubuh wanita itu mendadak terasa lemas. Mysha terduduk di kursi. Sebelah tangannya memijat kening yang tiba-tiba terasa pening. Mysha tak mengerti dengan perasaannya sendiri saat ini. Amarah dan gairah melesak di dadanya, membuatnya sesak. "Bagaimana mungkin Axel memutuskan hal ini tanpa bertanya lebih dulu kepadaku?" tanya Mysha geram. Jangan-jangan ini hanya siasat CEO tampan itu untuk menjebakku agar bisa bersamanya, atau mungkin dia benar-benar menyukaiku? Bukankag kemarin dia dengan angkuh menyatakan bahwa aku miliknya? Suara batin Mysha berperang. Jujur ia tak yakin jika sang Penakluk Wanita itu menyukainya. Namun gagasan itu sangat menggoda. Mysha kembali memandangi tiket pesawat di tangannya. Bangkok. Mengeja kata itu membawa
"Damn it!" Axel hendak menggebrak meja dan melangkah tergesa keluar ruangan. Ia nyaris kehilangan kontrol tepat ketika dirinya dan Mysha bersirobok. Axel menarik napas panjang dengan sangat perlahan. Nyaris tak terlihat. Ia berusaha memadamkan semua kemarahan yang sempat berkobar di dadanya. Rahang yang sedari tadi kaku, kini sudah kembali tenang. Axel berjalan dengan tegap keluar ruangan. Pandangan matanya begitu dingin seolah bisa membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Langkahnya begitu cepat tapi tak terlihat terburu-buru. Bulu kuduk Mysha meremang. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Ini baru pertama kali Mysha merasa tekanan yang menakutkan alih-alih pikiran liar mendominasi. Wanita itu berjalan tergesa meski ia bisa merasakan aura mengerikan menguar. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Mysha terus berdoa di dalam hati. Axel bahkan tidak memedulikan larangan sekretaris William ketika menerobos masuk ke ruangan. Membuka pintu lebar-lebar tanpa peduli untuk menutupnya k
Mysha terdiam ketika mobil sedan putih membelah jalanan New York. Wanita itu menenggelamkan dirinya ke dalam lautan warna-warni lampu kota yang berlari dari balik jendela, membiarkan pikirannya melayang, berusaha mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Tangannya tanpa sadar memeluk diri lebih erat. Axel memaksanya untuk ikut ke Bangkok dan Michael membelanya. Perdebatan mereka membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Setiap perkataan yang terlontar membuat Mysha menahan diri untuk tidak berharap lebih. Axel membutuhkan dirinya. Mengulang kata-kata itu dalam kepala membuat desiran di dadanya makin menjadi dan telinganya terasa hangat. Benarkah yang dikatakan oleh Axel? Apakah pria itu membutuhkan dirinya sebagai wanita atau sebagai General Manager? Mysha menutup mata erat, berusaha mengusir ilusi bahwa Axel mencintainya. Dari perlakuan pria itu, lebih tepat bila Axel hanya ingin memiliki tubuhnya. Demi Tuhan! Getaran gairah langsung menjalar ketika Mysha membayangkan dirinya ber
"DAMN!" Axel memaki kebodohannya. Setelah selesai bicara dengan William dan membereskan dokumen-dokumen penting yang diperlukan di Bangkok, Axel buru-buru mengendarai mobilnya. Tentu saja bukan untuk langsung kembali ke apartemen. Entah hal apa yang memicunya, tiba-tiba ia sudah berada di area parkir apartemen Mysha. Buat apa malam-malam ia pergi ke apartemen Mysha? Memintanya menjelaskan detail profit analysis planning jelas hanyalah kamuflase. Axel sedang tidak mood untuk melampiaskan hasratnya dengan wanita lain. Ia mulai bosan dengan tipikal wanita di sekelilingnya yang dengan senang hati melemparkan diri kepadanya. Mysha berbeda. Gadis itu berani menolak, bahkan menamparnya. Padahal sangat jelas gairah yang membara di mata gadis itu, tapi dia mampu memegang kendali dirinya. Dan itulah yang membuat egonya sebagai pria tertantang untuk menaklukkan gadis itu. Sayang kedatangannya di sana benar-benar tidak tepat waktu. Mood yang sudah jatuh akibat pertengkaran di kantor dengan Micha
Mysha tertegun melihat benda yang ada di tangannya. Dalam kotak beledu indah, napasnya tercekat, tidak menyangka akan mendapat benda tersebut. "I-ini untukku?" tanya Mysha, tangannya gemetar menyentuh garis halus anting emas berukiran rumit khas Thailand. Ada giok berbentuk ular melingkar di tengahnya. Ego Axel melambung membuat ujung bibir berkedut menahan senyum. Taktiknya kali ini berhasil. Tidak ada wanita yang tidak menyukai perhiasan, bunga, dan coklat, termasuk Mysha yang selama ini sulit ditaklukkan. Pria itu dapat melihat sorot kagum dan gembira di mata emas Mysha, dalam hati merekam baik-baik ekspresi wanita yang selama beberapa hari terakhir memenuhi pikirannya. Kali ini dia pasti berhasil. Axel tidak menjawab. Dia hanya mendorong kotak itu lebih dalam ke genggaman Mysha, tetap mempertahankan wajah dinginnya. Namun tiba-tiba dia tersentak, ketika Mysha mendorong kembali kotak merah dengan ukiran perak yang menunjukkan pengrajin pembuatnya. "Aku tidak bisa menerimanya," u
Selesai menutup telepon dari William, Axel segera membereskan dokumennya. Slide presentasi telah siap. Profitabilitas, Payback Period, Break Even Point, dan Return on Investment sudah dihitung dengan cermat. Analisis investasi juga telah dibuat selengkap-lengkapnya. Menurutnya kali ini CLD benar-benar mempertaruhkan citranya demi menggaet Nathanael Willoughby. Namun, jika proyek ini berhasil, CLD akan menjadi kekuatan bisnis properti dunia yang lebih disegani. Axel dan William yakin, proyek ini akan sukses. Dokumen-dokumen sudah disalin ke dalam CD yang berisi proposal investasi lengkap, mulai dari company profile, struktur organisasi, produk yang akan dikembangkan, target market, sampai dengan analisis investasi dan profitabilitasnya. Seharusnya Axel merasa lega, karena di balik emosinya yang sedang menggelegak, ia dapat mengendalikan semua pekerjaannya dengan baik. Namun entah mengapa, masih ada ganjalan di hatinya. Sepertinya ia terpengaruh dengan kata-kata William sebelum mengak
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?