Ainsley turun dari mobil. Mereka sudah sampai. Perjalanan yang mereka tempuh dari Jakarta sampai Bogor kira-kira dua jam setengah. Hanya Austin dan Ainsley berdua dalam mobil. Austin yang menyetir pastinya.Austin sengaja menyetir sendiri hari ini karena seperti yang di katakan oleh Narrel kemarin kalau kemungkinan mereka akan menginap. Pria itu tidak mau merepotkan sopirnya. Ia juga ingin berdua saja di mobil dengan Ainsley.Ketika mereka sampai di Vila, Narrel, Iren dan yang lain belum terlihat sama sekali. Kelihatannya mereka memang belum ada. Meski begitu, penjaga Vila sudah mengenal Austin jadi mudah saja bagi keduanya masuk ke dalam.Ainsley memandang ke sekeliling. Vila itu berada di tempat yang cukup terpencil dekat hutan. Berada di sini suasananya beneran terasa super sunyi.Ainsley pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya tapi tidak semewah tempat milik Narrel ini. Hanya suasananya yang mirip. Kalau malam hari kalau hanya sendirian, yang akan menemanimu hanyalah suara
Narrel mengetuk pintu kamar Austin dan Ainsley. Ia tidak tahu keduanya sedang berbuat apa didalam sana. Kalau pun mereka sedang melakukan sesuatu yang berbau-bau dewasa Narrel akan tetap mengetuk. Meski ia tidak yakin mereka sedang melakukan apa yang dia pikirkan itu di siang hari begini.Ketika pintu terbuka, yang pertama kali dilihat Narrel adalah Ainsley. Ia menatap kedalam kamar tapi tidak melihat Austin."Kemana Austin?" tanyanya."Lagi mandi." jawab Ainsley."Kau perlu sesuatu?" gadis itu balik bertanya. Narrel tersenyum tipis."Aku hanya ingin bilang kalau kalian bersedia aku ingin mengajak kalian naik perahu." ucap pria itu.Ainsley tampak tertarik. Sudah lama dia tidak naik perahu."Baiklah. Aku akan bilang ke Austin nanti." katanya kemudian. Setelah itu Narrel berbalik pergi dan Ainsley kembali mengunci pintu."Siapa?"Ainsley berbalik menatap Austin yang kini berdiri hanya dengan handuk yang
Entah sudah berapa lama mereka di atas perahu. Ainsley mulai merasa panas tak karuan. Ia mengelap kening dengan saputangan milik Austin. "Aku bisa mendayung ke tepi sungai yang teduh. Kau mau?" tawar Austin. Ainsley mengangguk. Ia memang merasa kepanasan karena berada langsung di bawah matahari. Angin yang bertiup tadi mulai berkurang jadi tidak mampu menghadang matahari terik untuknya. "Apa yang kau suka ketika naik perahu?" tanya Austin sambil mengangkat dayung dari air dan membiarkan mereka meluncur ke bawah bayang-bayang teduh. "Aku tak tahu, hanya suka saja." sahut Ainsley mengangkat bahu. Tangannya menelusuri permukaan air dan melirik Austin lagi. "Kau tidak kepanasan dengan setelanmu itu?" tanyanya. Austin melirik sebentar penampilannya yang memakai kemeja panjang biru dan menatap Ainsley. "Bukannya kau yang menyiapkan pakaian ini untukku?" katanya dengan senyum menggoda.
"Dia kenapa?"Narrel berjalan cepat pada Austin yang masuk ke dalam Villa dengan menggendong Ainsley. Pria itu menatap penampilan keduanya yang basah dan kotor dengan lumpur."Jatuh di air," sahut Austin terus melanjutkan langkah menuju kamar. Narrel hanya termangu melihat mereka sampai keduanya menghilang dari hadapannya.Ada-ada saja. Pikir Narrel. Apa yang mereka lakukan sampai jatuh ke dalam air. Jangan bilang kalau mereka berdebat lagi. Lelaki itu menggeleng tidak habis pikir."Tuan Austin dan istrinya kenapa?"pandangan Narrel berpindah pada Iren yang sudah berdiri di belakangnya. Entah muncul darimana. Bukannya wanita itu tadi ada di taman belakang, lagi sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun kecil-kecilan untuk pacarnya bersama yang lain."Jatuh di air katanya," sahut Narrel."Persiapan buat nanti malam sudah selesai?" tanya pria itu. Iren menggeleng."Hampir," jawabnya."Anda istirahat dulu saja, tua
Malam ini rumah keluarga Pratama dihadiri oleh begitu banyak tamu undangan. Putri bungsu mereka, Quella Pratama sedang merayakan ulang tahunnya yang ke lima belas. Pesta ulang tahun dibuat dengan sangat meriah. Banyak teman-teman sekolah Quella yang hadir, dan tentu saja kerabat keluarga mereka pun ada. Quella sangat senang, karena semua orang memperlakukannya bak putri raja. Apalagi keluarganya. Ini adalah kebahagiaan yang tidak akan pernah ia lupakan.Namun di malam pesta yang meriah itu, petir tiba-tiba menyambar, hujan deras turun dan guntur berbunyi berulang-kali. Seperti menandakan sesuatu, entah apa itu. Perasaan Quella menjadi tidak enak. Entah kenapa ia merasa cuaca ekstrem tersebut membawa pertanda buruk. Entah untuknya, atau orang-orang yang dia sayang. "Kamu kenapa dek?" seorang laki-laki tampan, bertubuh jangkung menghampiri Quella seolah menyadari ketidaknyamanan gadis itu.Laki-laki itu adalah Parkin, kakaknya. Kakak yang selalu memanjakannya tiap hari. Quella tersenyum
Malam ini rumah keluarga Pratama dihadiri oleh begitu banyak tamu undangan. Putri bungsu mereka, Quella Pratama sedang merayakan ulang tahunnya yang ke lima belas. Pesta ulang tahun dibuat dengan sangat meriah. Banyak teman-teman sekolah Quella yang hadir, dan tentu saja kerabat keluarga mereka pun ada. Quella sangat senang, karena semua orang memperlakukannya bak putri raja. Apalagi keluarganya. Ini adalah kebahagiaan yang tidak akan pernah ia lupakan.Namun di malam pesta yang meriah itu, petir tiba-tiba menyambar, hujan deras turun dan guntur berbunyi berulang-kali. Seperti menandakan sesuatu, entah apa itu. Perasaan Quella menjadi tidak enak. Entah kenapa ia merasa cuaca ekstrem tersebut membawa pertanda buruk. Entah untuknya, atau orang-orang yang dia sayang. "Kamu kenapa dek?" seorang laki-laki tampan, bertubuh jangkung menghampiri Quella seolah menyadari ketidaknyamanan gadis itu.Laki-laki itu adalah Parkin, kakaknya. Kakak yang selalu memanjakannya tiap hari. Quella tersenyum
Quilla menangis sejadi-jadinya dalam kamarnya. Hasil tes DNA itu sudah keluar. Nuri benar-benar putri kandung mama dan papanya. Itu artinya dia bukan putri kandung mereka. Gadis itu menepuk-nepuk dadanya yang terasa begitu sesak. Kenapa, kenapa takdir mempermainkan hidupnya seperti ini? Saat mengamati mereka diam-diam tadi dari lantai atas, hatinya makin pedih melihat keakraban Nuri dengan orangtuanya. Ia sungguh tidak tahu harus bagaimana. Sekarang dia harus bagaimana? Tiba-tiba saja rumah ini terasa asing. Orang-orangnya juga. Ia tidak tahan melihat gadis bernama Nuri itu bahagia dengan orangtuanya. Sungguh tidak mampu. Bagaimana kalau dia pergi saja dari rumah ini? Balik ke keluarga kandungnya. "Non Quella?" itu suara bi Mira. Quella cepat-cepat mengusap airmatanya."Kenapa bi?" sahutnya berusaha terdengar biasa."Nyonya sama tuan manggil non. Mau makan katanya," "Iya bi. Bentar lagi aku turun." "Ya udah, jangan lama-lama ya non.""Iya!" lalu tak terdengar lagi suara bi Mira.
Quilla menangis sejadi-jadinya dalam kamarnya. Hasil tes DNA itu sudah keluar. Nuri benar-benar putri kandung mama dan papanya. Itu artinya dia bukan putri kandung mereka. Gadis itu menepuk-nepuk dadanya yang terasa begitu sesak. Kenapa, kenapa takdir mempermainkan hidupnya seperti ini? Saat mengamati mereka diam-diam tadi dari lantai atas, hatinya makin pedih melihat keakraban Nuri dengan orangtuanya. Ia sungguh tidak tahu harus bagaimana. Sekarang dia harus bagaimana? Tiba-tiba saja rumah ini terasa asing. Orang-orangnya juga. Ia tidak tahan melihat gadis bernama Nuri itu bahagia dengan orangtuanya. Sungguh tidak mampu. Bagaimana kalau dia pergi saja dari rumah ini? Balik ke keluarga kandungnya. "Non Quella?" itu suara bi Mira. Quella cepat-cepat mengusap airmatanya."Kenapa bi?" sahutnya berusaha terdengar biasa."Nyonya sama tuan manggil non. Mau makan katanya," "Iya bi. Bentar lagi aku turun." "Ya udah, jangan lama-lama ya non.""Iya!" lalu tak terdengar lagi suara bi Mira.
"Dia kenapa?"Narrel berjalan cepat pada Austin yang masuk ke dalam Villa dengan menggendong Ainsley. Pria itu menatap penampilan keduanya yang basah dan kotor dengan lumpur."Jatuh di air," sahut Austin terus melanjutkan langkah menuju kamar. Narrel hanya termangu melihat mereka sampai keduanya menghilang dari hadapannya.Ada-ada saja. Pikir Narrel. Apa yang mereka lakukan sampai jatuh ke dalam air. Jangan bilang kalau mereka berdebat lagi. Lelaki itu menggeleng tidak habis pikir."Tuan Austin dan istrinya kenapa?"pandangan Narrel berpindah pada Iren yang sudah berdiri di belakangnya. Entah muncul darimana. Bukannya wanita itu tadi ada di taman belakang, lagi sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun kecil-kecilan untuk pacarnya bersama yang lain."Jatuh di air katanya," sahut Narrel."Persiapan buat nanti malam sudah selesai?" tanya pria itu. Iren menggeleng."Hampir," jawabnya."Anda istirahat dulu saja, tua
Entah sudah berapa lama mereka di atas perahu. Ainsley mulai merasa panas tak karuan. Ia mengelap kening dengan saputangan milik Austin. "Aku bisa mendayung ke tepi sungai yang teduh. Kau mau?" tawar Austin. Ainsley mengangguk. Ia memang merasa kepanasan karena berada langsung di bawah matahari. Angin yang bertiup tadi mulai berkurang jadi tidak mampu menghadang matahari terik untuknya. "Apa yang kau suka ketika naik perahu?" tanya Austin sambil mengangkat dayung dari air dan membiarkan mereka meluncur ke bawah bayang-bayang teduh. "Aku tak tahu, hanya suka saja." sahut Ainsley mengangkat bahu. Tangannya menelusuri permukaan air dan melirik Austin lagi. "Kau tidak kepanasan dengan setelanmu itu?" tanyanya. Austin melirik sebentar penampilannya yang memakai kemeja panjang biru dan menatap Ainsley. "Bukannya kau yang menyiapkan pakaian ini untukku?" katanya dengan senyum menggoda.
Narrel mengetuk pintu kamar Austin dan Ainsley. Ia tidak tahu keduanya sedang berbuat apa didalam sana. Kalau pun mereka sedang melakukan sesuatu yang berbau-bau dewasa Narrel akan tetap mengetuk. Meski ia tidak yakin mereka sedang melakukan apa yang dia pikirkan itu di siang hari begini.Ketika pintu terbuka, yang pertama kali dilihat Narrel adalah Ainsley. Ia menatap kedalam kamar tapi tidak melihat Austin."Kemana Austin?" tanyanya."Lagi mandi." jawab Ainsley."Kau perlu sesuatu?" gadis itu balik bertanya. Narrel tersenyum tipis."Aku hanya ingin bilang kalau kalian bersedia aku ingin mengajak kalian naik perahu." ucap pria itu.Ainsley tampak tertarik. Sudah lama dia tidak naik perahu."Baiklah. Aku akan bilang ke Austin nanti." katanya kemudian. Setelah itu Narrel berbalik pergi dan Ainsley kembali mengunci pintu."Siapa?"Ainsley berbalik menatap Austin yang kini berdiri hanya dengan handuk yang
Ainsley turun dari mobil. Mereka sudah sampai. Perjalanan yang mereka tempuh dari Jakarta sampai Bogor kira-kira dua jam setengah. Hanya Austin dan Ainsley berdua dalam mobil. Austin yang menyetir pastinya.Austin sengaja menyetir sendiri hari ini karena seperti yang di katakan oleh Narrel kemarin kalau kemungkinan mereka akan menginap. Pria itu tidak mau merepotkan sopirnya. Ia juga ingin berdua saja di mobil dengan Ainsley.Ketika mereka sampai di Vila, Narrel, Iren dan yang lain belum terlihat sama sekali. Kelihatannya mereka memang belum ada. Meski begitu, penjaga Vila sudah mengenal Austin jadi mudah saja bagi keduanya masuk ke dalam.Ainsley memandang ke sekeliling. Vila itu berada di tempat yang cukup terpencil dekat hutan. Berada di sini suasananya beneran terasa super sunyi.Ainsley pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya tapi tidak semewah tempat milik Narrel ini. Hanya suasananya yang mirip. Kalau malam hari kalau hanya sendirian, yang akan menemanimu hanyalah suara
Setelah selesai makan siang bersama dan berbincang-bincang sambil membicarakan bisnis, Austin kembali ke kantor.Pria itu masuk ke ruang kerjanya dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia merasa sangat lelah. Bagaimana tidak lelah, habis rapat di kantor, ia makan dengan kakek Fu, menemani lelaki tua itu ngobrol. Belum lagi pria itu tambah bad mood karena melihat istrinya makan siang dengan pria lain selain dirinya."Kenapa lagi denganmu?"Suara itu sontak membuat Austin yang hampir ketiduran membuka matanya. Narrel sudah duduk di depannya. Austin menatap sekretarisnya itu yg tanpa bersemangat."Kau tahu, menyukai wanita hanya akan membuatmu merasa lelah." ucap Narrel lagi seolah tahu apa yang ada di pikiran Austin.Ia memang mengakui Ainsley yang bisa membuat sahabatnya itu menyukainya tanpa usaha keras seperti yang di lakukan wanita-wanita yang lain. Tapi kalau ia jadi Austin, ia tidak akan bersikeras mendapatkan gadis itu. Apalagi menikahinya. Belum tentu juga kan Ainsley gadis yang bai
Mereka masuk ke restoran kecil yang sudah sering mereka datangi dulu, waktu keduanya masih sering bersama. Sebelum Alfa bertunangan.Mereka baru saja duduk di meja kosong ketika Ainsley mendengar ponselnya berbunyi. Ia menataplayar ponselnya. Austin yang menelpon. Kenapa pria itu menelpon?"Halo?""Kau di mana?""Tempat makan.""Dengan siapa?"Dalam kebingungan Ainsley menatap ponselnya, lalu menempelkannyakembali di telinga. Kenapa denganLaki-laki itu? Nada suaranya terdengar dingin tidak seperti tadi pagi. Dasar labil."Teman," jawab Ainsley berusaha menetralkan intonasinya. Ia tidak mau Alfa melihatnya berdebat dengan sih penelpon yang adalah suaminya sendiri itu.di ujung sana Austin mendengus kesal."Ada ada menelponku?" tanya Ainsley lagi. Sepi sebentar, lalu suara itu berkata dengan nada datar,"Hanya ingin bertanya saja," setelah berkata begitu telpon langsung terputus. Austin menutupnya sepihak. Tanpa pamit dan bilang-bilang dulu. Ainsley yang kesal sontak mematikan ponse
Austin menuju dapur karena mendengar suara-suara ribut seperti ada yang memasak. Pelayan rumahnya biasanya datang jam tujuh untuk menyiapkan sarapan.Sekarang belum jam tujuh. Austin yakin sekali itu pasti Ainsley. Apa yang di lakukan gadis itu?"Kau bisa masak?"suara Austin yang berat membuat Ainsley hampir melompat. Ia kaget bukan main. Gadis itu menatap Austin yang tengah berdiri di ambang pintu masuk dapur dengan kesal. Ingin sekali ia melempar sendok sop di tangannya ke arah Austin yang sekarang malah menertawainya. Menyebalkan sekali."Kau membuatku kaget, tuan Austin." ucapnya ketus dengan kesal.Austin tertawa. Ia melanjutkan langkahnya ke dekat Ainsley berada."Aku tidak tahu kalau kau bisa masak," ucap pria itu. Matanya melirik ke panci kaldu di atas kompor.Sepertinya istrinya itu memasak sop. Sebuah senyuman tipis terpampang di wajah Austin. Apa Ainsley memasak untuknya? Kan dia semalam mabuk berat.Dulu sebelum menikah dengan Ainsley, ketika ia mabuk berat Narrel akan me
Ainsley kembali ke kamar usai mengantar Narrel di depan. Rumah ini tidak ada pembantu kalau sudah malam begini. Mereka sudah pulang dan akan kembali di jam kerja besok. Hanya ada dua satpam yang berjaga di gerbang depan.Berbeda dengan rumah Austin di Hawaii yang memiliki banyak pelayannya. Mungkin karena rumah itu jarang di tinggali, hanya sesekali kalau Austin datang ke sana dengan urusan pekerjaan.Ainsley sendiri mau tak mau harus mengantar Narrel sampai depan karena ia juga harus mengunci pintu.Setelah semua pintu terkunci ia kembali ke kamar. Mengunci kamar itu juga dan melangkah ke dekat kasur. Menatap pria yang tidur di sana. Bau alkohol yang cukup kuat itu mengganggu Indra penciuman Ainsley. Ia menutup hidungnya sambil terus menatap Austin.Cukup lama Ainsley memandangi wajah Austin. Satu kata yang ada dalam benaknya, tampan. Sudah berkali-kali ia melihat Austin dari jarak dekat, tapi ia tetap mengagumi ketampanan pria itu. Entah apa yang di makannya hingga kulitnya sangat b
Saat Narrel menawarkan minum pada Austin, pria itu tidak bilang apa-apa, hanya menunduk lesuh.Narrel menghela nafas. Dengan kondisi Austin sekarang ini, ia yakin pria itu butuh minum. Tanpa bertanya lagi Narrel membawa Austin di sebuah bar tak jauh dari kantor mereka.Austin minum banyak. Ia menghabiskan hampir enam botol red wine. Narrel sampai garuk-garuk kepala melihatnya. Ia sendiri tidak berencana untuk minum. Ia takut mabuk. Bagaimana caranya mengantar Austin coba kalau mereka sama-sama mabuk."Kau tahu, baru kali ini aku merasa frustasi karena seorang wanita," racau Austin dengan gaya mabuknya. Pria itu jarang mabuk, jadi Narrel merasa lucu.Ia tiba-tiba terpikir sebuah ide. Pria itu lalu merogoh ponsel di saku Austin, mencari kontak Ainsley kemudian menelpon gadis itu. Membiarkan Ainsley mendengar semua perkataan Austin. Ketika setelah menelpon, Narrel menarik Austin turun dari meja bar dan membawanya ke ruang kedap suara biar suaranya bisa kedengaran di telpon.Di seberang