"Ayah, aku bilang haram rumahku dipijak oleh perempuan itu." Itu adalah suara Kamelia yang nyalang, selama mereka mengenal siapa Dhea, baru kali ini mereka mendengar Dhea berteriak penuh emosi seperti itu. Ingatan Kamelia memang kembali ke masa delapan belas tahun, jadi secara naluri emosi anak seusia itu memang tidak stabil dan mudah meledak-ledak. Ketiga orang itu hanya terpaku menatap apa yang terjadi di depannya. Dhea yang mereka kenal memng sedikit berbeda, dari cara bicaranya yang meledak-ledak dan berani menantang orang di depannya. "Kamu lihat kan, Bang? dari dulu anak kedatangan kamu ini memang tidak pernah menghargai aku sebagai istri keduamu. Kalau dia tidak menganggap aku sebagai ibu tirinya tidak masalah, tetapi aku hanya minta dihargai sebagai istrimu. Kalau aku tidak dihargai, itu sama aja dia tidak menghargai mu, kan?" sungut Sovia dengan suara yang tak kalah ketus. "Kamu mau dihargai? hello .... bagaimana orang modelan kayak kamu mau dihargai?!" "Amel!" ben
"Viyatan, cepat kamu cari Novita, dia ada di Singapura. ambil sampel darahnya dan lakukan tes DNA!" perintah Ibrahim lewat telpon, karena sekarang Viyatan ada di Singapura. Setelah mendengar jawaban dari Viyatan di seberang sana, Ibrahim bergegas menutup telepon, tangan lelaki itu bergetar hebat menerima kenyataan seperti ini. Bukan, ini belum kenyataan, siapa tahu perkataan Kamelia ini masih keliru berdasarkan asumsinya saja, kan? kalau memang benar, perempuan seperti apa yang sudah dia pelihara selama dua puluh tahun lebih ini? "Bukan hanya itu ayah, saat itu usiaku empat belas tahun, saat itu aku baru pulang sekolah, di rumah dalam keadaan sepi. Semua pelayan dikerahkan ke acara kampanye ayah sebagai anggota dewan, di rumah hanya ada Bik Ijah untuk melayani ibuku. Saat itu aku datang mengendap-endap karena akan memberi kejutan pada bik Ijah karena dia ulang tahun hari itu, tetapi aku tidak mendapati Bik Ijah, tetapi aku melihat wanita itu dan anaknya yang baru berusia tujuh tah
Setelah dari rumah Kamelia, Sovia langsung bergegas menyetir mobilnya sendiri untuk menghindar sejauh mungkin dari gadis itu. Tidak disangka ternyata ingatan Kamelia sudah pulih, harusnya dia sudah bahagia karena sembilan tahun yang lalu Kamelia sudah mati. Kamelia menjadi momok tersendiri buat Sovia, Karen gadis itulah yang selama ini menyaksikan kelakuannya, saksi hidup yang sebenarnya tidak bisa dibiarkan hidup jika dia masih ingin aman hidup di dunia ini. "Andreano! aku ingin bertemu denganmu sekarang juga, aku tunggu di dekat dermaga!" ujar wanita itu ditelepon secepat mungkin ketika telepon sudah tersambung. "Mana bisa begitu, aku sedang dinas malam ini. Bagaimana kalau besok pagi?" "Aku bilang sekarang ya, sekarang!" bentak Sovia dengan tidak sabaran. "Ya, sebentar! aku akan ijin atasanku dulu, susah itu ijin sama biniku." "Kau tak perlu berlagak seperti itu, hidup binimu pun aku yang membiayai, kenapa kau tidak segera datang selagi ku butuhkan!" "Iya, sabar, Saya
"Aku bahkan telah membawa orangnya langsung, Yah. Sudah aku amankan di hotel!" "Kamu kasih pengawal nggak?" "Ya, dikasih lah. Nanti setelah acara ini kita langsung ke sana." "Iya, ayah lagi menunggu kabar dari Fathan ini, dari semalam tidak ada kabar." Kedua ayah dan anak itu akhirnya mencari tempat yang agak sedikit jauh dari keramaian untuk membicarakan masalah mereka. "Setelah acara selamatan ini, Abang akan memboyong kamu dan anak kita ke Jakarta," ujar Bram. "Loh, apa ayah setuju?" jawab Kamelia dengan wajah terkejut. "Bagaimana tidak setuju? kamu itu sudah tanggung jawab Abang, jadi di manapun Abang berada, kamu harus berada di dekat Abang." "Yah, baiklah. Aku juga tidak bisa jauh dari Abang," jawab Kamelia dengan tersenyum. Acara selamatan dan cukuran bayi ini termasuk sangat meriah, dihibur dengan grup marawis dan sholawatan dari grup ternama di kota tanjung pinang, semakin menyemarakkan acara dengan musik-musik Melayu dan islami. Bram yang mengenakan baju
Deburan ombak membangunkan sepasang manusia yang bangun dari tidurnya. Sang wanita melepas pelukan dan menatap ke arah jendela kamar yang terbuka, angin sepoi-sepoi masuk ke arah kamar mereka. "Sudah bangun?" tanya sang lelaki yang kembali memeluk wanita itu "Sampai kapan kita di sini?" "Aku sudah menyewa pulau ini selama sebulan." "Kamu banyak uang rupanya sekarang." "Lumayan, tambang batu baraku di Kalimantan cukup untuk hidup kita selama delapan puluh tahun dengan kehidupan yang cukup mewah. Makanya aku heran sama kamu masih bertahan saja sama Ibrahim yang sudah tua bangka itu." "Rusli, berkat dia hidup kamu sekarang seperti ini. Sekarang kamu juga bisa apa, kamu sudah memiliki istri dan anak, apa kamu akan meninggalkan mereka?" "Aku akan tetap menjadikan perempuan itu istriku, tetapi kekasih di dalam hatiku hanya kamu. Mana bisa perempuan itu menyampaikan kedudukan kamu. Kalau kamu mau melepaskan Ibrahim, mati pun aku rela untukmu." "Jangan bicara begitu, sekarang
Penjaga di tepi pantai itu juga bukan orang bodoh, mereka mana percaya begitu saja ucapan Niko. Mereka juga sudah meneropong helicopter itu sebelum mendarat, mereka melihat ada lebih dari dua orang berada di dalam sana, tetapi yang ada di sana hanya dua orang. Rusli sendiri tidak sempat melihat helikopter itu mendarat karena dia langsung membawa Sovia ke ruangan bawah tanah, dia juga enggan kembali, tetap ketukan di pintu bawah tahan membuat lelaki itu segera membukanya. "Siapa mereka?" tanya Rusli setelah melihat beberapa anak buahnya di depan pintu. "Mereka mengaku lembaga observasi pelestarian lingkungan dan terpaksa mendarat darurat karena terjadi kerusakan mesin." "Apa kamu percaya, Zal?" "Tidak, mereka ada dua orang di dalam heli, padahal saya melihat pakai teropong mereka ada lebih dari lima orang." "Siapkan senjata dan habisi saja mereka, jasadnya buang ke laut. Helikopternya kita bajak, antarkan Sovia ke pulau nikoi, setelah itu tinggalkan helikopternya di sana,
"Alex, sudah berhenti! kalau dia mati di sini, enak sekali dia. Kita harus menghancurkan reputasinya, sehingga dia sendiri yang tidak ingin hidup lagi, bukan kita yang mengotori tangan kita," cegah Bahtiar. Alex yang mendengar suara tegas Bahtiar berhenti melayangkan tinju ke wajah lelaki di hadapannya, tangannya bergetar dan bibirnya bahkan mengatup dengan tatapan tajam namun tampak memendam kebencian yang begitu dalam. "Sudah, kita tidak perlu mengotori tangan kita," cegah Bahtiar. "Setelah sekian lama aku menggung derita karena ulahnya, bagaimana aku bisa menahan diri sekarang?" "Aku tahu apa yang kau rasakan, orang ini memang tidak bisa diberi ampun, tetapi menghukum dia secara fisik tidak akan membuatnya jera, hanya hukuman psikologis yang bisa membuatnya tidak bisa bernapas walaupun banyak udara." "Bang, sudah berapa lama orang ini membuat kejahatan, padahal dia adalah aparat yang seharusnya menegakkan keadilan dan hukum? dia sudah menjebakku, memenjarakan aku, dan mem
Bagaiman tidak viral berita yang diunggah oleh Niko di internet, warga kota Batam bahkan warga Negera Indonesia membicarakan kasus ini hampir selama seminggu dan menempati berita teratas paling dicari. Kasus Kombes pol Rusli Andreano bahkan merembet kemana-mana setelah perselingkuhan itu, Ibrahim benar-benar tidak melepaskan begitu saja. Semua kejahatan Rusli dikuliti habis-habisan, dari mulai kasus pemerasan, gratifikasi dan narkoba. Bahkan korban fitnah dan orang-orang yang dikambing hitamkan oleh dia juga mulai speak up di media sosial. Adi sendiri terkejut ternyata kasusnya dua belas tahun yang lalu juga melibatkan gerombolan Rusli ini. "Harus dikorek sampai ke akar-akarnya, saya tidak akan puas hanya sampai di sini," dendam Ibrahim. Ibrahim lah yang telah menolong Rusli dua puluh lima tahun yang lalu ketika pemuda itu baru lulus SMA, dia hanya sebagai anak sopir keluarga Zahrain. Ibrahim juga yang menjadi dekengannya ketika anak itu masuk Bintara polri, walaupun ketika d
"Pak!" panggilan itu tidak kuat, tetapi juga tidak terdengar lemah. Bram dan Dhea yang tengah bersembunyi saling memandang, walaupun Bram buta, tetapi gerakan wajahnya menoleh ke arah Dhea yang tengah memeluknya, suara itu terasa sangat familiar. "Pak Bram!" Dhea segera berdiri melihat siapa yang datang, di bawah batu, sekitar lima belas orang tengah berdiri, tetapi pria paling depan adalah pria yang sangat dia tunggu-tunggu sejak semalam. "Pak Adi!" pekik Dhea dengan suara yang sangat gembira. Bram yang mendengar Dhea memanggil nama tangan kirinya, bergegas berdiri juga. "Apakah sejak tadi malam anda berada di sana? Ayo, Bu. Segera turun." "Iya. Aku bisa turun sendiri, tetapi suamiku, tolong bantu dia." "Tentu saja." Dhea dengan hati-hati menuruni batu yang tingginya hampir enam meter, permukaan batu yang kadang kasar dan licin, membuatnya sedikit kesulitan, padahal dia sudah melemparkan sepatu hak rendahnya ke bawah terlebih dahulu. Setelah Dhea turun, beberapa
Rasa sakit itu tidak tertahan, Dhea terus memegangi kepalanya dan mengeluh kesakitan. Bram yang kuatir juga meraba kepala istrinya dan mendapati tangan istrinya di sana tengah memegang kepala dengan erat. "Apa kepalamu sakit?" "Iya, sakit banget!" "Sini, berbaring. Tumpukan kepalamu di paha Abang, biar Abang pijat." Dhea segera merebahkan kepalanya di paha Bram yang kakinya sudah berselonjor, tubuh Bram bersandar pada dinding batu yang sebenarnya tidak rata. Lelaki itu langsung meraba kepala dan pelipis istrinya memijat daerah itu dengan tekanan secara perlahan-lahan. "Masih sakit?" "Iya, sakitnya berdenyut-denyut." "Coba pejamkan tubuhmu." Ketika Bram menekan bagian bawah telinga Dhea rasa sakit terasa begitu menyengat dan kuat membuat wanita itu hilang kesadaran. "Dhea?!" panggil Bram. Dhea yang hilang kesadaran itu seperti halnya orang yang tengah tertidur, terdengar juga napasnya begitu teratur. Siapa yang menyangka jika sebenarnya wanita itu pingsan karena ras
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga