"Sania, apa kau baik-baik saja?" tanya Bram dengan kuatir. "Aku baik, Kak. Kenapa kak Bram tanya begitu?" "Aku dengar akhir-akhir ini kamu menemui psikiater lagi." "Oh, aku hanya ingat beberapa kejadian masa lalu, jadi aku ingin kembali mengingat kejadian seluruhnya." "Maafkan kakak yang tidak memperhatikan kamu selama ini," ucap Bram dengan penuh penyesalan "Ini bukan salah kakak, kak Bram juga punya masalah yang tidak kalah berat, masalahku uni hanya sepele. Kak Bram jangan kuatir, ada lingga yang selalu ada disampingku." "Tolong berikan teleponnya pada Lingga." "Halo, ada apa, Bram?" suara lelaki terdengar menggantikan Sania. "Lingga, terima kasih sudah menemani Sania selama ini," ujar Bram dengan tulus. "Nggak perlu terima kasih lah, aku melakukannya karena memang peduli dan cinta padanya. Kamu tidak perlu kuatir." "Kuserahkan penjagaan Sania kepadamu, terima kasih sekali lagi." Bram menutup teleponnya dengan menghela napas lega. Dulu Lingga ini sahabatnya y
Suasana rumah sakit pagi ini lenggang, semalam Ibrahim berjaga di rumah sakit menunggui putrinya. Tadi malam sewaktu dia menjenguk Dhea, dia cukup terkejut dan bahagia mendengar kabar dari dokter James jika putrinya sempat sadar walupun hanya beberapa detik. Saat itu juga dia mengabari Fathan dan Viyatan. kedua putra mereka sedang tidak berada di kota ini, jadi harus mendengar kabar bahagia ini. Namun ada yang berbeda dengan situasi rumah sakit saat ini, sebelum Bram pergi ke jakarta, lelaki itu sempat mengabari keluarga Muhtar di Palembang, sehingga Muhtar dan Maria sekarang berada di Batam, ditemani oleh putra ketiganya Candra. Candra sengaja mengambil cuti seminggu demi menemani kedua orang tuanya yang sudah sering sakit-sakitan itu. Pertama mendengar kabar dari Bram, tentu saja Muhtar dan seluruh keluarganya marah, keadaan Dhea yang sudah seperti ini kenapa baru mengabari mereka? mereka pikir Dhea ikut suaminya ke jakarta dan kehidupannya baik-baik saja, karena selema ini mer
Setelah berapa menit menunggu, para perawat dan dokter itu belum juga keluar, sekarang malah dokter Azis dan dokter James datang ke arah menuju kamar ICU Dhea. "Dokter Aziz, ada apa? kenapa kalian tampak cemas?" tanya Ibrahim kepada dokter Aziz, karena bertanya pada dokter James juga harus mengunakan bahasa asing. "Sebentar ya, Pak Ibrahim. Kami periksa dulu keadaan pasien," jawab dokter Aziz mereka dengan cepat memasuki ruang pasien sementara itu beberapa perawat keluar dari ruang perawatan juga tidak berani menjawab pertanyaan yang sama dari Ibrahim. Suasana semakin tegang, Ibrahim bolak balik menelpon anak-anaknya yang tadi bilang dalam perjalanan. belum ada sepuluh menit Viyatan sudah datang duluan, dia langsung memberondong pertanyaan pada ayahnya. "Bagaimana keadaan Amel, yah? Amel sudah koma selama sebulan kenapa ayah tidak memberikan kabar?" Ibrahim memahami kemarahan putra sulungnya ini, sebenarnya dia tidak memberi kabar karena tahu situasi kepergian anak sulungn
"Bu Dhea ...," panggil dokter Aziz dengan lembut Dhea yang mendengar ada suara, menegang seketika, tubuhnya membeku, tatapannya masih terpaku pada langit-langit kamar. Ketiga orang yang berada di ruangan perlahan mendekat, mereka serentak mengelilingi Dhea, saat itu Dhea baru melirik ke arah samping. Siapa mereka? mereka berpakaian putih-putih, apakah mereka malaikat? "Anda sudah sadar, Bu?" tanya dokter Aziz lagi. Bu? apakah mereka memanggilnya 'Bu'? Dhea menjadi semakin takut untuk menoleh. Matanya kembali terpejam dengan kuat, tetapi semua orang menyadari jika dia masih tersadar. "Panggilkan orang tuanya, atau orang yang dia kenali. Takutnya karena benturan di kepalanya, dia terkena amnesia," ujar James. Aziz kembali memerintah perawat satu-satunya di ruangan itu, perawat itu bergegas keluar untuk memanggil orang tuanya. Setelah di luar, dia melihat semua orang sedang berkumpul dengan wajah yang harap-harap cemas, karena mereka ada banyak, tentu tidak bisa memanggil mereka
"Tyo ... Tyo ... kamu di sini, Tyo?" ujar Dhea dengan suara lemah, air mata kebahagiaan tak kuasa untuk dia bendung. Sekarang giliran Bram yang membeku. Tidak ada yang memanggilnya dengan nama Tyo kecuali dia .... Mata Bram terbelalak mendengar kenyataan itu, mulutnya bahkan membeku tidak bisa mengatakan apapun dalam waktu beberapa detik, selama ini dia memang sudah menduga jika gadis yang bersamanya dulu adalah Dhea, istrinya. Tetapi sampai saat ini dia juga belum bisa mendapatkan bukti yang kongkrit, karena dia sama sekali belum pernah mengenali wajahnya Lia, sedangkan Lia yang seharusnya mengenali wajahnya juga telah hilang ingatannya. Dan setelah sebulan lebih istrinya bangun dari koma, apakah ingatannya kembali? tetapi ini sudah sembilan tahun berlalu dan suasana juga sudah jauh berbeda. "Sayang? kamu memanggilku Tyo?" tanya Bram dengan tidak percaya. "Iya, bukankah kamu memang Tyo? kenapa baru sebulan tidak bertemu kenapa kamu semakin tua?" ujar istrinya dengan senyum
"Kamu tenang saja, Bram. kita akan memberitahunya dengan perlahan, jangan sekarang dia baru saja sadar. Jangan terburu-buru, ayah tidak ingin mengambil resiko jika terjadi sesuatu lagi. Yang penting dia sepertinya tidak keberatan jika kamu menjadi suaminya, sepertinya kalian sudah saling mengenal sembilan tahun yang lalu, kapan kalian saling mengenal?" Di sini semua orang setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ibrahim, Kamelia baru saja siuman setelah sebulan lebih terbaring tak sadarkan diri, jadi tidak perlu terburu-buru untuk mengingatkan kondisinya dengan keadaan sekarang. Setelah ditempatkan di ruang perawatan yang cukup luas, ada fasilitas ruang tamu, dapur dan kamar mandi yang sangat bagus ini, semua orang yang ada sekarang bisa masuk ke dalam ruang perawatan Kamelia. Bram yang begitu senang karena istrinya sudah sadarkan diri tak pernah mau jauh dari istrinya, lelaki itu selalu duduk disamping istrinya, menyuapi makan dan mengupaskan buah-buahan. "Kami akan menemui D
Kondisi Kamelia pulih dengan cepat, walaupun wanita itu sedikit heran dengan luka yang ada di perutnya. Tetapi ingatan Kamelia sekarang seperti anak ABG yang baru saja lulus SMA, jadi dia tidak kepikiran dan belum berpengalaman tentang luka habis operasi sesar tersebut. Lima hari setelah habis siuman, dokter membolehkan Kamelia pulang ke rumah. Hasil observasi menunjukan jika wanita itu sudah menunjukkan kemajuan, luka operasi juga sudah pulih dengan cepat, hanya saja ingatan wanita itu yang sudah kembali ke masa sembilan tahun yang lalu membuat masalah baru buat seluruh keluarganya. Makam Dhea yang asli juga sudah dipindahkan ke kota metro, kini Bram berada di kamar perawatan Kamelia untuk bersiap-siap check out dari rumah sakit. "Ayah belum datang, Bang?" tanya Kamelia yang kini sudah bisa duduk, tetapi untuk berjalan masih perlu dilatih lagi. Setelah berbaring selama sebulan lebih, otot kaki wanita itu menjadi sangat kaku dan perlu dilatih agar bisa lancar berjalan. "Mu
"Ini rumahku!" pekik Kamelia menatap rumah di tepi pantai. Rumah ini masih seperti yang dulu, bahkan cat temboknya masih cerah seperti dulu, hal itu karena Fathan merawat rumah itu dengan baik. "Rasanya ini masih seperti dulu, Bang. Abang ingat bangku kayu itu? jika sore tiba, Abang akan selalu duduk di sana, Abang bilang ingin mendengarkan deburan ombak." Bram menatap bangku di dekat taman samping, dibawah pohon Ketapang yang rindang, di sana memang sembilan tahun yang lalu menjadi tempat favoritnya. "Iya, tentu saja Abang ingat." Bram mendorong kursi roda yang diduduki Kamelia, semntara Ibrahim dan Fathan sibuk mengambil barang-barang di mobil. "Tetapi pohon ketapang itu terlihat semakin besar, dulu tidak sebesar itu," ujar Kamelia menyadari bahwa ada yang berubah di rumah ini. "Ya, tentu saja semakin besar. Usia pohon itu sudah lebih dari sebelas tahun sekarang." "Benarkah aku sudah memiliki anak? rasanya benar-benar tidak percaya. Bagaimana jika aku tidak mengenal
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar