Setelah Dhea berhasil bicara dengan Viyatan dan mengobati luka di tangannya, Dhea langsung ke luar dan bermaksud akan pulang ke rumah tepi pantai. Tetapi di bawah, keluarga yang lain masih berada di sana menunggunya. "Bagian Viyatan?" tanya Ibrahim tidak sabar. "Dia sudah lebih baik, Ayah." "Oh, baguslah!" "Kalau begitu, aku akan kembali ke rumah tepi pantai," ujar Dhea. "Eh, Amel ... Kenapa malah kembali ke sana? kamu sekarang putri pertama keluarga Zahrain, jadi sebaiknya kamu tinggal di rumah besar ini," ujar Sovia. "Ah, maaf Tante. Sepertinya aku belum bisa. Aku lebih nyaman tinggal di sana, dengan kondisi kehamilanku ini, aku ingin Susana yang lebih membuatku nyaman," jawab Dhea "Ya, nggak bisa begitu. Apa kata orang kalau putri keluarga Zahrain tinggal di luar? apalagi dalam keadaan hamil, nanti kami dianggap tidak mengurusi kamu." "Tidak akan ada yang mengatakan apa-apa, Tante. lagi pula selain keluarga kita, tidak ada yang tahu jika Kamelia masih hidup. Jadi b
Hari ini rencananya Bram akan mengosongkan jadwalnya beberapa hari ke depan untuk menjenguk Dhea. Bram sudah menduga jika Dhea di Batam akan tinggal di rumah tepi pantai itu. Jika mengingat rumah itu, tentu Bram akan langsung ingat pada penghuninya, bagaimana dia bisa melupakan sosok ceria yang mengambil hari-harinya delapan tahun lalu. Hanya saja, waktu yang terlalu lama itu membuat Bram tidak mengingat suara gadis itu. Tentu saja bertambahnya usia, suara seseorang akan berubah mengikuti garis kedewasaan. Bram sendiri yakin jika yang merawatnya memang bukalah Adelia. Pasalnya, Bram pernah meminta Adelia memainkan piano pada sebuah cafe yang dikunjungi mereka bersama tetapi dengan alasan dia hilang ingatan, sementara Dhea sendiri yang hilang ingatan masih bisa melakukan ketrampilannya saat belum hilang, bermain piano. Apalagi informasi yang Dhea berikan jika Ibrahim dan Fathan telah mengangkatnya sebagai anak karena Dhea memiliki kemiripan wajah dengan putrinya Kamelia. Siapa yan
Dhea sudah tergeletak dengan posisi terlentang, tubuhnya sudah bersimbah darah dan wanita itu dalam posisi tidak sadarkan diri. Khaidir di bantu Siti meningkat tubuh Dhea dengan cepat membawanya ke mobil. "Siti, segera kau tutup pintu, aku akan mengambil ponsel dulu untuk menghubungi tuan besar nanti!" "iya, Bang!" Khaidir mengendarai mobilnya dengan kecepatan maksimal, lagipula pagi buta begini kendaraan juga begitu sepi di jalan. Dalam waktu lima belas menit, dia sudah memarkirkan mobilnya di rumah sakit Awal Bros Batam. Segera dia memanggil paramedis yang bertugas di lagi itu, dengan secepat kilat, paramedis itu mengangkat tubuh Dhea ke atas blankar dan membawa Dhea ke dalam ruangan tindakan. "Untung saja pasien segera di bawa ke rumah sakit, dia sudah kehilangan banyak darah. Tapi dia harus segera dioperasi cecar untuk mengeluarkan janin dalam kandungannya, kepalanya juga terbentur, ada gumpalan darah di kepala, kemungkinan pasien akan lama sadar dan harus dioperasi kepala
"Paling si Dhea itu merecoki papa karena gak punya uang buat bayar biaya rumah sakit. Benalu emang begitu, entah bagaimana caranya perempuan itu memanfaatkan ayah untuk keuntungannya sendiri, dasar benalu!" "Siapa yang kamu katakan benalu itu, Novi?!" Suara bariton itu menggema dari atas tangga, di sana tampak Ibrahim yang sudah memakai pakaian necis yang kini tengah memasang kancing lengan baju batiknya. "Pak Ibrahim!" pekik Khaidir dengan suara gembira. "Dir? ada apa? Kenapa kamu dibelenggu seperti itu?" tanya Ibrahim dengan mata memicing. "Pak Ibrahim, dari tadi saya menelpon anda tetapi anda tidak mengangkat panggilan saya. Jadi saya langsung ke sini, tetapi Bu Sovia dan Salman melarang saya untuk menemui anda, Pak. Saya hanya ingin mengabari jika nona Dhea sekarang sedang kritis di rumah sakit, kandungannya terancam, Pak." "Astaga! apa yang terjadi, Dir?" tanya Ibrahim dengan terkejut, gerakan tangannya yang tengah membenarkan kancing berhenti seketika. "Tadi subuh
Dalam waktu kurang dari sejam setengah, Viyatan sudah berada di rumah sakit dengan setengah berlari ke ruang operasi. Lelaki itu menaiki kapal yard dari Singapura ke Batam yang hanya ditempuh kurang dari satu jam. Ketika ayahnya menghubungi tadi, dia baru saja bangun tidur, jadi dengan secepat kilat dia bersiap-siap dan menelpon penyewaan kapal dan menelpon taksi. "Viyatan? Sudah datang kamu?" tanya Ibrahim dengan antusias. "Iya." "Cepat nian? Amel baru saja masuk ruang operasi." "Aku nyewa kapal ke sini. Aku siap diambil darahnya, Yah." "Iya, sebentar. Aku hubungi perawatnya dulu." Ibrahim segera berlalu ke arah ruangan perawat jaga, Viyatan yang ditinggal menatap Khaidir dan Siti yang masih setia menunggu dia dengan duduk di bangku tunggu sedikit menjauh dari majikannya. "Bagaimana Dhea bisa seperti ini?!" tanya Viyatan dengan tatapan mengintimidasi. "Jatuh dari tangga, Tuan," jawab Khaidir dengan takut-takut. "Kenapa bisa jatuh dari tangga? apa tangganya licin? ha
Ketika sampai rumah, mereka dikejutkan oleh seseorang yang tengah duduk di teras, karena tadi pagi mereka pergi dengan buru-buru, sehingga tidak sempat mengunci pagar, hanya sempat mengunci rumah. "Tuan, anda sudah lama di sini?!" seru Siti dengan antusias. "Ada mungkin tiga jam, apakah istriku tinggal di sini, Bik?" "Iya, Non Dhea selama ini tinggal di sini, Tapi ...." Bik Siti menelisik penampilan lelaki di hadapannya, wajahnya terlihat begitu lelah. Dia berpakaian casual, celana gunung dengan kaos oblong hitam dan topi tentara Amerika, tangannya memegang tas ransel. Sepatu boot kulit mahal terlihat begitu gagah bertengger di kakinya. Sebenarnya Siti tidak tega mengatakan keadaan Dhea pada lelaki ini. Sudah berbulan-bulan lelaki ini baru kembali, kenapa malah menghadapi kenyataan menyakitkan seperti ini? "Tapi? tapi kenapa, Bik?" tanya Bram dengan tidak sabaran. "Tuan, Bram. Syukurlah anda datang tepat waktunya. Tadi pagi nona Dhea jatuh dari tangga, sehingga harus melak
Dalam waktu lima belas menit Bram sudah tiba di rumah sakit, dia berlari menuju ruang operasi, di sana dia mendapati Ibrahim dan viyatan tengah duduk di bangku tunggu, Viyatan hanya melamun, sementara Ibrahim baru selesai menelpon Fathan. "Memangnya ke mana anak itu?" tanya Viyatan dengan nada datar. "Dia tengah perjalanan bisnis ke pulau Kalimantan, nanti malam dia baru sampai ke sini," Jawab Ibrahim sambil memasukkan ponsel ke saku baju batiknya. "Assalamualaikum," ucap Bram dengan suara rendah Kedua ayah dan anak itu langsung menoleh ke sumber suara, mereka cukup terkejut karena menantu keluarga Zahrain itu sudah nongol saja di sana. "Bram? kamu datang?" tanya Ibrahim dengan cukup antusias, tetapi Viyatan hanya bersikap datar, dia tidak peduli dengan lelaki itu, bahkan tatapan kebencian masih tersirat dari sorot matanya. "Iya, Pak Ibrahim. Sudah dari tiga jam yang lalu, saya menunggu di rumah tepi pantai, baru ketika Bik Siti pulang, saya baru tahu kabar mengejutkan ini.
Tujuh jam lamanya operasi yang dijalani Dhea, setelah selesai, Dhea ditempatkan di ruang ICU dengan dipasangi peralatan medis yang sangat banyak, Bram sendiri juga tidak paham alat apa saja yang terpasang di tubuh istrinya. Selama dua puluh empat jam masih dalam pantauan dokter, sehingga siapapun tidak boleh masuk ke ruang ICU tersebut, hanya bisa melihat dari jendela kaca. "Pak Ibrahim, kenapa makanan yang kami beli belum di makan? anda juga harus menjaga kesehatan," ujar Khaidir yang telah kembali bersama istrinya. "Oh, iya. Saya sampai lupa makan. Maklumlah, situasi seperti ini bagaimana saya bisa menelan makanan. Sebaiknya kalian makan saja yang kalian bawa tadi, saya akan makan di luar saja bersama putra dan menantu saya," ujar Ibrahim. "Kamu jaga di sini ya, Dir? jaga juga ruang instalasi anak, cucuku ada di sana." "Baik, Pak." "Ayo, Vi ... Bram, kita cari makan dulu," ajak Ibrahim. Dua lelaki yang lebih muda dari Ibrahim itu hanya mengangguk dan mengikutinya, hari s
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar