Pagi menjelang, Dhea sudah bersiap-siap untuk pindah. Semua barangnya sudah dia kemasi dalam satu koper, Dhea memakai celana kulot ibu hamil dipadukan blus khusus ibu hamil dan jilbab instan pendek, namun menutupi dada. Dengan langkah pasti, dia keluar dari kamar dan menyeret kopernya, tiba-tiba seorang muncul di hadapannya, seorang lelaki dengan tatapan dingin menghujam. "Kamu jadi pergi?" tanya lelaki itu "Iya, Kak." "Baguslah kalau begitu! kamu mau pergi ke mana?" Dhea hanya tersenyum mendengar kata-kata ketus lelaki itu. Dia memang merasa dari awal Viyatan memang tidak menyukainya. "Aku akan kembali ke rumahku sendiri, rumah yang ada di dekat pantai." "Apa? rumahmu sendiri?! itu bukankah rumah adikku Kamelia?" "Iya, tapi ayah dan kak Fathan sudah memberikan rumah itu untukku, mereka bilang rumah itu harua tetap di rawat, makanya aku yang disuruh merawatnya." "Mereka memberikannya? berani benar mereka memberikan milik Kamelia pada orang lain!" gigi Viyatan tampak g
Perjalanan ke rumah tepi pantai, terbilang sangat lancar, lalu lintas di pagi hari sama sekali tidak macet. Dhea duduk di samping pengemudi, di sebelahnya Viyatan dengan lincah memegang setir dan menarik perseling. "Kamu selama ini tinggal di mana?" tanya lelaki bersuara berat tersebut. "Aku besar di kota Palembang. Sekolah dan kuliah di sana." "Ayah ibumu tinggal di sana?" "Ayahku sudah meninggal delapan tahun yang lalu, hampir sembilan tahun. ibuku baru meninggal beberapa bulan yang lalu." "Saudaramu?" "Mereka turut meninggal kecelakaan bersama ayah, dua orang adik laki-laki." Viyatan menoleh menatap Dhea, tetapi tatapannya masih sama, acuh dan sedikit curiga, membuat Dhea sebenarnya tidak terlalu nyaman bersama lelaki ini "Kak Viyatan sendiri selama ini tinggal di mana?" tanya Dhea lagi. "Aku tidak menetap. Kemarin aku tinggal di Singapura dan akan kembali ke sana, pekerjaanku ya mengajar, mengajar dan mengajar. Mengajar di luar negeri gajinya lebih besar daripa
Setelah dua hari Dhea tinggal di rumah tepi pantai, Ibrahim sudah mengunjunginya sebanyak tiga kali. Lelaki paruh itu sepertinya tidak rela jauh dari putrinya. Fathan sendiri malah begitu sibuk mengurusi perusahaannya, hingga pulang hingga larut malam dan pergi pagi-pagi sekali. Kejutannya justru Viyatan yang banyak menemani Dhea di rumah tepi pantai itu. "Kak Viyatan, apa kakak tidak pulang? ini sudah sangat malam," ujar Dhea ketika melihat lelaki itu tengah asyik mengetik di iPad-nya dengan santai duduk di ruang tamu. Viyatan mendongak dan menatap jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, lelaki itu justru menatap Dhea dengan tatapan tajam. "Ini sudah malam, kenapa kau tidak istirahat? wanita hamil tidak boleh terlalu banyak begadang!" "Hanya saja, aku tidak enak tidur duluan sementara masih ada tamu di rumah ini." "Kenapa kamu menganggap aku ini tamu? aku di kota ini tidak punya rumah, bahkan aku hanya menumpang di rumah adik sendiri sudah kena u
Ibrahim hanya terpaku mendengar pertanyaan anak sulungnya, sementara Viyatan sendiri masih setia menunggu jawaban dari ayahnya. "Ayah?" tanya Viyatan lagi tidak sabaran. Lelaki muda itu langsung masuk ke ruangan ayahnya dan menutup pintu dengan cepat. Dia duduk di hadapan ayahnya dengan tatapan serius. "Ayah begitu perhatian dan sayang pada perempuan itu bukan hanya karena dia mirip Kamelia, kan? katakan padaku! apa yang ayah sembunyikan!" Ibrahim ingin mengatakan sejujurnya pada anak sulungnya ini, tetapi sekali lagi dia ingat pesan Dhea. Fathan yang dari awal begitu sayang pada Dhea saja tidak dia kasih tahu, apalagi anak sulungnya yang jelas-jelas anak pembangkang ini. "Iya, karena dia begitu mirip Kamelia, makanya ayah merasa Kamelia hidup kembali. Ayah menyayanginya, tidak ingin dia pergi seperti Kamelia. Apalagi Dhea juga sudah yatim piatu, hubungan kami seperti simbiosis mutualisme." Akhirnya Ibrahim tidak berani untuk jujur. Sepertinya memang bukan waktu yang tepat
"Sebenarnya apa yang kau kuatirkan, Fathan? apa kamu juga menyukai Dhea?" "Apa?" Roti isi yang akan masuk ke mulut Fathan, tertunda begitu mendengar perkataan kakak sulungnya. Fathan jelas tidak menyangka perkataan seperti itu keluar dari mulut lelaki itu, bahkan senyum lelaki itu tampak begitu meremehkan Fathan, jelas saja Fathan menjadi tidak terima. "Kakak, apa yang kau katakan? bagaimana aku bisa menyukai adik sendiri? Dhea bahkan sudah seperti Kamelia bagiku." "Tapi, dia bukan Kamelia, kan?" "Memang bukan, tetapi selama ini aku tidak pernah kepikiran seperti itu. Aku tulus menyayanginya seperti aku menyayangi Kamelia, bahkan aku juga sangat menghormati suaminya." Viyatan yang mendengar perkataan adiknya itu hanya mencebik tidak percaya. Ketika Kamelia hidup dulu, Viyatan memang menyayangi adiknya itu, bahkan tidak ada yang menyayangi Kamelia seperti Viyatan menyayanginya. Jika Ibrahim menyayangi putrinya hanya di hati saja tanpa tindakan nyata, tetapi Viyatan menyayan
"Tidak ada yang berselingkuh, mereka berpisah karena keadaan. Tetapi suaminya itu juga seorang pengecut, hanya memikirkan diri sendiri daripada membela istrinya." "Maksudnya? jelaskan, sejelas-jelasnya!" Fathan tidak tahu harus memulai bicara dari mana, waktu yang sedikit itu sangat tidak efektif untuk bercerita kisah hidup Dhea yang cukup panjang dan rumit itu. "Kisahnya panjang, tidak cukup waktu untuk menceritakannya." "Poin pentingnya saja!" "Begini, intinya ... Mereka berpisah karena keadaan. Ada yang berniat jahat pada mereka sehingga Dhea dituduh membunuh mertuanya dan berakhir di penjara." "Apa?!" Tentu saja kabar tersebut membuat Viyatan terkejut, dia pikir kisah hidup Dhea hanya seputar kisah hidup biasa, hamil dan diselingkuhi suaminya, akhirnya berpisah hingga wanita itu terdampar di sini. "Ssssttt, jangan keras-keras, nanti Dhea dengar!" Tatapan mata Fathan tertuju pada tangga, dia jelas kuatir Dhea mendengar pembicaraannya ini. Telunjuknya menempel di
Perjalanan ke Palembang kali ini benar-benar menguras tenaga. Mungkin karena kehamilan Dhea yang sudah memasuki trimester terakhir. Tetapi keberadaan Viyatan di sebelahnya cukup membantu, tanpa Dhea sangka, lelaki itu terus saja bertindak seperti suami siaga. Hingga pesawat mendarat di bandara Mahmud, Viyatan yang menyeret dua koper miliknya dan milik Dhea, sementara Dhea juga dipaksa untuk memegang lengan atasnya ketika berjalan. "Kita sudah sampai, langsung ke mana?" tanya Viyatan. "Langsung ke rumah Om Muhtar saja. Aku sudah kangen dengan keluarga mereka. Kita naik taksi nanti di depan." Viyatan berjalan santai, bahkan cenderung pelan-pelan, takut jika Dhea terjatuh. Setelah melalui pintu kedatangan, mereka berjalan ke lobi bandara untuk mencari taksi, tanpa diduga Dhea langsung menghentikan langkahnya, tubuh wanita itu bereaksi keras dan terkejut, bahkan tampak gugup. Viyatan yang menyadari perubahan Dhea, mengikuti arah pandang wanita itu, ternyata Dhea tengah memandang ke
Taksi terus melaju membelah jalanan, namun ketika mereka akan melewati the Arista hotel Palembang, Dhea langsung berubah pikiran. "Pak, kita berhenti di hotel itu saja!" perintah Mutia. "Loh, kita ke hotel? gak jadi ke rumah Om kamu?" tanya Viyatan dengan mimik penasaran. "Baik, Bu," jawab supir taksi. "Sebaiknya kita menginap di hotel saja, setelah check in baru kita mengunjungi keluarga Om Muhtar. Aku tidak mau merepotkan mereka dengan tinggal di sana." Sebenarnya jika Dhea sendirian, fine-fine saja tinggal di sana, lah ini dia membawa seorang lelaki yang tidak jelas statusnya apa. Walaupun dia kemungkinan besar adalah kakak kandungnya, keluarga Om Muhtar tahunya kalau Dhea ini adalah anak sepupu mereka Paramitha. Taksi langsung berhenti di lobi hotel, Dhea dan Viyatan langsung turun dari taksi setelah membayar argo, sementara supir taksi berlari ke arah bagasi untuk mengeluarkan dua buah koper sedang yang mereka bawa. Di lobi mereka sudah di sambut oleh pelayan hotel ya
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m