Mendengar bentakan keras ayahnya, Novita langsung kaget, dulu walaupun ayahnya ini lebih sayang sama Kamelia, tetapi pria paruh baya ini tidak pernah memperlakukan Novita dengan kasar. Baru kali ini Novita dibentak seperti ini, tentu saja gadis itu sangat sedih sekaligus malu, dibentak seperti itu di depan para saudara lain ibu membuatnya sangat kesal. "Sekarang, Ayah tidak mau kamu melecehkan dan menghina saudaramu, ingat, Dhea ini adalah kakakmu, kamu suka maupun tidak!" Suara ibrahim sedikit melunak, tetapi sorot mata lelaki itu masih tajam menatap anak bungsunya. Melihat hal itu Novita juga matanya sudah berkaca-kaca, rasa sedih dan sakit hati tidak bisa dia sembunyikan dari wajahnya. "Ayah jahat!" pekik gadis itu sambil berlari menaiki tangga, sepertinya dia juga sudah menangis sesenggukan. "Dia hanya gadis remaja, ayah tidak perlu bertindak seperti itu," ujar Viyatan. "Justru dia masih remaja, harus diajarkan sopan santun biar tidak semakin ngelunjak. Ayah menyesal tid
"Kamu hanya seorang penipu, berani benar membuat anakku sedih!" Melihat Dhea yang diam saja dihadapannya, sikap Sovia lebih berani. Bahkan gadis remaja di sebelahnya ikut-ikutan menganggukkan kepala dan berusaha mengintimidasinya. "Bahkan seujung rambutmu itu tidak bisa dibandingkan dengan kedudukan anakku di sini, beraninya kamu mau merebut kasih sayang ayahnya! sebaiknya kau segera enyah dari rumah ini!" perintah Sovia to the poin. "Baik, Saya memang akan pergi dari sini besok pagi. Saya hanya akan menginap malam ini saja," jawab Dhea. "Hei, mentang-mentang wajah kamu mirip Kamelia, kamu itu tetaplah bukan Kamelia. Jadi jangan sok cari perhatian sama ayah aku!" bentak Novita sambil menunjuk-nunjuk wajah Dhea. "Iya, aku akan melakukannya," jawab Dhea dengan kalem. Dhea tidak takut sama sekali dengan intimidasi seperti ini, dia bahkan pernah mendapat intimidasi yang lebih kejam lagi, jadi dia menanggapinya biasa saja. Jika seseorang melakukan kekerasan fisik dia juga sang
Pagi menjelang, Dhea sudah bersiap-siap untuk pindah. Semua barangnya sudah dia kemasi dalam satu koper, Dhea memakai celana kulot ibu hamil dipadukan blus khusus ibu hamil dan jilbab instan pendek, namun menutupi dada. Dengan langkah pasti, dia keluar dari kamar dan menyeret kopernya, tiba-tiba seorang muncul di hadapannya, seorang lelaki dengan tatapan dingin menghujam. "Kamu jadi pergi?" tanya lelaki itu "Iya, Kak." "Baguslah kalau begitu! kamu mau pergi ke mana?" Dhea hanya tersenyum mendengar kata-kata ketus lelaki itu. Dia memang merasa dari awal Viyatan memang tidak menyukainya. "Aku akan kembali ke rumahku sendiri, rumah yang ada di dekat pantai." "Apa? rumahmu sendiri?! itu bukankah rumah adikku Kamelia?" "Iya, tapi ayah dan kak Fathan sudah memberikan rumah itu untukku, mereka bilang rumah itu harua tetap di rawat, makanya aku yang disuruh merawatnya." "Mereka memberikannya? berani benar mereka memberikan milik Kamelia pada orang lain!" gigi Viyatan tampak g
Perjalanan ke rumah tepi pantai, terbilang sangat lancar, lalu lintas di pagi hari sama sekali tidak macet. Dhea duduk di samping pengemudi, di sebelahnya Viyatan dengan lincah memegang setir dan menarik perseling. "Kamu selama ini tinggal di mana?" tanya lelaki bersuara berat tersebut. "Aku besar di kota Palembang. Sekolah dan kuliah di sana." "Ayah ibumu tinggal di sana?" "Ayahku sudah meninggal delapan tahun yang lalu, hampir sembilan tahun. ibuku baru meninggal beberapa bulan yang lalu." "Saudaramu?" "Mereka turut meninggal kecelakaan bersama ayah, dua orang adik laki-laki." Viyatan menoleh menatap Dhea, tetapi tatapannya masih sama, acuh dan sedikit curiga, membuat Dhea sebenarnya tidak terlalu nyaman bersama lelaki ini "Kak Viyatan sendiri selama ini tinggal di mana?" tanya Dhea lagi. "Aku tidak menetap. Kemarin aku tinggal di Singapura dan akan kembali ke sana, pekerjaanku ya mengajar, mengajar dan mengajar. Mengajar di luar negeri gajinya lebih besar daripa
Setelah dua hari Dhea tinggal di rumah tepi pantai, Ibrahim sudah mengunjunginya sebanyak tiga kali. Lelaki paruh itu sepertinya tidak rela jauh dari putrinya. Fathan sendiri malah begitu sibuk mengurusi perusahaannya, hingga pulang hingga larut malam dan pergi pagi-pagi sekali. Kejutannya justru Viyatan yang banyak menemani Dhea di rumah tepi pantai itu. "Kak Viyatan, apa kakak tidak pulang? ini sudah sangat malam," ujar Dhea ketika melihat lelaki itu tengah asyik mengetik di iPad-nya dengan santai duduk di ruang tamu. Viyatan mendongak dan menatap jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, lelaki itu justru menatap Dhea dengan tatapan tajam. "Ini sudah malam, kenapa kau tidak istirahat? wanita hamil tidak boleh terlalu banyak begadang!" "Hanya saja, aku tidak enak tidur duluan sementara masih ada tamu di rumah ini." "Kenapa kamu menganggap aku ini tamu? aku di kota ini tidak punya rumah, bahkan aku hanya menumpang di rumah adik sendiri sudah kena u
Ibrahim hanya terpaku mendengar pertanyaan anak sulungnya, sementara Viyatan sendiri masih setia menunggu jawaban dari ayahnya. "Ayah?" tanya Viyatan lagi tidak sabaran. Lelaki muda itu langsung masuk ke ruangan ayahnya dan menutup pintu dengan cepat. Dia duduk di hadapan ayahnya dengan tatapan serius. "Ayah begitu perhatian dan sayang pada perempuan itu bukan hanya karena dia mirip Kamelia, kan? katakan padaku! apa yang ayah sembunyikan!" Ibrahim ingin mengatakan sejujurnya pada anak sulungnya ini, tetapi sekali lagi dia ingat pesan Dhea. Fathan yang dari awal begitu sayang pada Dhea saja tidak dia kasih tahu, apalagi anak sulungnya yang jelas-jelas anak pembangkang ini. "Iya, karena dia begitu mirip Kamelia, makanya ayah merasa Kamelia hidup kembali. Ayah menyayanginya, tidak ingin dia pergi seperti Kamelia. Apalagi Dhea juga sudah yatim piatu, hubungan kami seperti simbiosis mutualisme." Akhirnya Ibrahim tidak berani untuk jujur. Sepertinya memang bukan waktu yang tepat
"Sebenarnya apa yang kau kuatirkan, Fathan? apa kamu juga menyukai Dhea?" "Apa?" Roti isi yang akan masuk ke mulut Fathan, tertunda begitu mendengar perkataan kakak sulungnya. Fathan jelas tidak menyangka perkataan seperti itu keluar dari mulut lelaki itu, bahkan senyum lelaki itu tampak begitu meremehkan Fathan, jelas saja Fathan menjadi tidak terima. "Kakak, apa yang kau katakan? bagaimana aku bisa menyukai adik sendiri? Dhea bahkan sudah seperti Kamelia bagiku." "Tapi, dia bukan Kamelia, kan?" "Memang bukan, tetapi selama ini aku tidak pernah kepikiran seperti itu. Aku tulus menyayanginya seperti aku menyayangi Kamelia, bahkan aku juga sangat menghormati suaminya." Viyatan yang mendengar perkataan adiknya itu hanya mencebik tidak percaya. Ketika Kamelia hidup dulu, Viyatan memang menyayangi adiknya itu, bahkan tidak ada yang menyayangi Kamelia seperti Viyatan menyayanginya. Jika Ibrahim menyayangi putrinya hanya di hati saja tanpa tindakan nyata, tetapi Viyatan menyayan
"Tidak ada yang berselingkuh, mereka berpisah karena keadaan. Tetapi suaminya itu juga seorang pengecut, hanya memikirkan diri sendiri daripada membela istrinya." "Maksudnya? jelaskan, sejelas-jelasnya!" Fathan tidak tahu harus memulai bicara dari mana, waktu yang sedikit itu sangat tidak efektif untuk bercerita kisah hidup Dhea yang cukup panjang dan rumit itu. "Kisahnya panjang, tidak cukup waktu untuk menceritakannya." "Poin pentingnya saja!" "Begini, intinya ... Mereka berpisah karena keadaan. Ada yang berniat jahat pada mereka sehingga Dhea dituduh membunuh mertuanya dan berakhir di penjara." "Apa?!" Tentu saja kabar tersebut membuat Viyatan terkejut, dia pikir kisah hidup Dhea hanya seputar kisah hidup biasa, hamil dan diselingkuhi suaminya, akhirnya berpisah hingga wanita itu terdampar di sini. "Ssssttt, jangan keras-keras, nanti Dhea dengar!" Tatapan mata Fathan tertuju pada tangga, dia jelas kuatir Dhea mendengar pembicaraannya ini. Telunjuknya menempel di
Menjelang waktu yang direncanakan, para anggota organisasi Gir sudah berdatangan ke Indonesia memakai paspor turis, dengan penerbangan berbeda. mereka sudah memesan hotel yang sama dengan rekomendasi Adi melalui online. Sampai pukul satu delapan malam, semua sudah berdatangan. Adi sendiri menyewa aula diskotik untuk party umum yang pesertanya hanya diundang tamu-tamu hotel yang memiliki tiket masuk, dan mereka yang masuk hanya anggota Gir. Sehingga party ini tidak dicurigai sebagai pertemuan rahasia yang berpotensi membahayakan keamanan, karena party diadakan secara natural untuk menyambut turis asing. Adi tersenyum lega melihat orang-orang yang dulu menjadi rekan kerjanya, mereka berpelukan seperti layaknya teman sudah lama tidak bertemu. "Kami datang semua untuk mendukungmu, Di," ujar Michael dengan bahasa Inggris. Michael kini menjadi ketua organisasi, mantan tentara Amerika itu masih aktif di organisasi tersebut. "Aku juga membawa semua anggota baru, perkenalkan ...." Mich
Bram menghela napas berat, dibelainya rambut istrinya yang kusut karena lama hanya melakukan aktifitas berbaring. "Sayang, Abang akan secepatnya datang menjemputmu. Sekarang masih belum bisa, Abang hanya menjengukmu, kuatir dengan keadaanmu. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Bram dengan hati-hati. Dhea hanya diam menatap wajah suaminya dengan kecewa, matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Apanya yang baik-baik saja? situasinya bahkan lebih kejam dari ketika dia dipenjara dulu. Rasa kangennya yang tidak tertahan pada putranya membuatnya sulit memejamkan matanya setiap malam. Perasaan ditinggalkan oleh suaminya mengikis rasa kepercayaannya sedikit demi sedikit, sudah seminggu lebih, tetapi apakah Bram tidak bisa mengatasi masalah di perusahan? apakah pria di depannya ini sengaja memilih kekuasaan dan hartanya daripada dia? Dhea menggeleng pelan untuk menghilangkan prasangkanya. "Percayalah pada Abang, doakan Abang agar cepat membawa Dhea dari tempat ini. Abang sangat merindukan Dhea, b
Dhea hanya bisa berbaring di tempat tidur yang cukup besar dan mewah, kasurnya empuk, kamarnya luas dengan kamar mandi yang juga cukup mewah. Tidak kalah dengan kondisi di rumah Bram dulu. Dia hanya bisa berbaring dan tidak banyak melakukan aktifitas sepanjang hari untuk menghemat tenaga. Dua butir telur rebus dan setengah liter air mineral yang dijatah kepadanya sekarang sungguh benar-benar tidak akan cukup untuk melakukan aktivitas yang lebih dari itu. Apalagi awal-awal dia hanya mengkonsumsi tiga butir telur, rasanya hampir tiga malam dia tidak bisa tidur karena kelaparan. Semakin ke sini, tubuhnya sudah terbiasa, tetapi dia juga harus menghemat energi. Sedang hari ini, dia hanya menerima jatah dua butir telur. Ini baru hari ke tujuh, tetapi rasanya sudah sangat menyiksa. Lebih tersiksa dari kondisinya di penjara dulu, padahal dulu dia sama sekali menempati kamar yang tidak layak sama sekali. Dulu dalam satu ruangan hanya ada satu buah kasur singel, yang dihuni oleh enam orang
Niko dengan serius memantau dua komputer sekaligus, rute pelacak yang ada pada Bram, serta navigasi robot kecilnya yang terus terbang di udara. Dalam dua puluh menit, robot itu sudah menyusul mobil yang membawa Bram ke arah barat daerah Banten."Cepat sekali dia menyusul," ujar Fikri i yang juga ikut memantau gerakan robot itu."Dia terbang, bukan jalan. dalam waktu satu menit sudah mencapai belasan kilometer," ujar Adi mengkomentari omongan Fikri, sementara Niko tetap serius menggerakkan kursor mouse untuk mengendalikan robot kecilnya."Kita keluarkan cengkeraman pada robot itu agar menempel di mobil itu, untuk menghemat baterai," ujar Niko."Emang cengkeramannya sekuat apa? tidak takut diterbangkan angin?" tanya Fikri yang antusias seperti mendapat mainan baru "Dia ditempatkan di belakang mobil agar bisa terlindungi angin. Cengkeramannya tidak kuat, hanya dilapisi lem seperti lem alteco.""Loh, kalau tidak bisa lepas bagaimana?" tanya Adi yang mengernyit heran, pasalnya lem itu ter
"Kau terlalu banyak mengeluh, harusnya kondisi istrimu bisa menjadi motivasi untukmu. Atau kuhadirkan juga anakmu yang masih bayi?" ancam Abimanyu. "Aku tidak akan tergerak kalau belum melihat secara langsung bagaimana kondisi istriku, juga tidak akan termotivasi kalau belum berbincang dengannya," ujar Bram dengan keras kepala. "aish! baiklah!" dengus Abimanyu akhirnya mengalah. "Sakti, Ijal ... Bawa dia bertemu istrinya, biar dia puas melihat keadaan istrinya. Ketika pergi ke sana pastikan tangan dan kakinya terikat biar tidak kabur, matanya juga ditutup biar tidak tahu kondisi jalan!" perintah Abimanyu yang tidak sabar mendengar rengekan Bram. Setelah mengatakan itu, Abimanyu kembali lagi ke ruang pribadinya, sementara Bram tersenyum. Ternyata hanya sebatas ini kemampuan Abimanyu dalam mendengarkan keluhannya, dia hanya mengikuti saja pengaturan lelaki itu ketika para pengawal itu langsung meraih tangannya untuk memasang borgol dan menutup matanya dengan kain hitam. Para pengawa
"Sakti?!" ujar Abimanyu yang melihat siapa yang mengetuk ruang pribadinya ini. "Selamat sore, Pak?" sapa Sakti yang melihat Abimanyu tengah bersantai duduk di sofa sambil bermain game di ponselnya. "Ada apa?" tanya lelaki itu masih fokus dengan ponselnya. "Pak Bram memaksa untuk bertemu dengan anda, Pak." Mendengar perkataan Sakti, Abimanyu berhenti menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, spontan lelaki itu menatap Sakti dengan tatapan garang. "Bukankah sudah kukatakan? kalau dia tidak boleh menemui ku kalau tugasnya dalam menstabilkan harga saham sudah berhasil, ini apa? belum ada kemajuan apa-apa," ujar Abimanyu dengan marah. "Justru itu yang akan dikatakan dan didiskusikan oleh pak Bram kepada anda, Pak." "Tidak ada negosiasi apalagi diskusi. Usir dia dari sini. Kenapa kau bawa dia ke sini tanpa bilang padaku dulu, Ha? kamu ini terlalu lancang, Sakti!" Abimanyu bertambah marah mendengarnya. "Situasi di perusahaan terlalu rumit, Pak. Bapak tidak bisa membuat hal
Pulang kerja, seperti hari kemarin Bram dikawal oleh beberapa orang dan disupiri oleh supir baru yang juga tidak Bram kenal. Apalagi selama beberapa hari ini mereka juga tidak berinteraksi, Bram juga malas untuk bertegur sapa dengan mereka. "Antarkan saya ke tempat Abimanyu!" perintah Bram. "Bukankah Pak Abimanyu mengatakan dengan jelas, Pak Bram boleh menemuinya jika pekerjaan pak Bram selesai. Ini belum ada apa-apanya jadi pak Bram tidak berhak bertemu pak Abimanyu," ujar supir itu dengan tegas. "Kamu itu hanya sekedar supir, jadi tidak perlu mendikte saya. Saya tidak akan menyelesaikan tugas dari Abimanyu. Terserah dia sekarang, saya juga sudah buntu! saya mana bisa bekerja sendiri, saya akan bilang sama dia untuk memberi saya tim." "Ingat, Pak. Bapak harus keluarkan semua potensi dan usaha. Karena taruhannya nyawa istri dan anak bapak." "Keluarkan potensi dan usaha apa? sementara saya tidak boleh menghubungi siapapun. Memangnya saya bisa menyulap dengan sendiri nilai sah
Mang Giman selalu membersihkan ruangan Bram pukul tujuh pagi sebelum semua karyawan datang ke kantor. Dia membersihkan ruangan Bram seperti biasa dan tidak mencurigakan, ketika dia sedang mengelap-elap meja dan merapikan dokumen diatas meja, dia segera meletakkan surat ber amplop putih itu di atas meja dekat kotak tissue. Lelaki itu menahan napas ketika melakukan itu semua, segera dia cepat-cepat keluar dan masuk toilet, di sana dia menghela napas sekuat-kuatnya, sangat ketakutan karena dia merasa gerak-geriknya dipantau dari jarak jauh oleh orang yang tidak diketahui siapa. Sungguh misterius dan menakutkan untuk orang awam seperti dia. Jam menunjukan pukul delapan pagi, semua karyawan sudah berdatangan dan sudah masuk ke ruangan kerja masing-masing. Bram sendiri datang sekitar jam setengah sembilan pagi. Ketika masuk ruangan, dia terus berkutat pada dokumen, sungguh tidak ada pegawai atau orang suruhan yang kompeten yang dia percaya sekarang. "Pak Bram, ini sudah seminggu, tetapi
Sudah tiga hari Bram bekerja mengurus perusahannya, tetapi tidak ada perubahan sama sekali pada peningkatan nilai saham. Abimanyu sendiri mengatakan jika semua pegawai dan kolega Bram sudah dimutasi bahkan sudah dipecat dari perusahaan. Bram sendiri yang terpaksa menandatangani surat pemecatan mereka, pasalnya Abimanyu mengancam tidak akan memberikan makanan apapun pada Dhea jika dia tidak mengikuti semua perintah lelaki itu. Bram memang masuk ke kantor tetapi tetap saja rasanya seperti dipenjara. Dia tidak bisa mengontak siapapun dan meminta bantuan siapapun. Semua pekerja yang ada di kantor ini diduduki oleh orang-orang baru atau orang lama memang sudah bersekongkol dengan Abimanyu. Bram duduk dengan frustasi dengan semua kondisi ini, bahkan Adi orang kanannya sekarang tidak tahu di mana. Abimanyu memberi batas sampai tiga Minggu untuk menstabilkan nilai saham dan melakukan peralihan pemilik perusahaan dalam waktu tiga bulan. Abimanyu juga tidak bisa terburu-buru agar apa yang t