Part 111Dhea sungguh penasaran, jika memang itu adalah butiknya Adelia, siapa yang memberinya modal usaha itu kalau bukan dari suaminya, Bram. Akhirnya Dhea memutar kemudi, menuju toko tersebut demi menuntaskan rasa penasarannya.Dhea memarkirkan mobilnya di depan toko berdampingan dengan Honda jazz merah milik Adelia. Ketika keluar dari mobil, wanita itu mengamati toko dua pintu dengan tiga lantai tersebut, plang nama yang bertuliskan Lia beutiqe itu ditulis dengan huruf indah yang sangat estetik. Siapa yang memilihkan toko ini? Apa suaminya juga?Kaki Dhea melangkah perlahan ke arah ruko yang bagian terasnya saja melalu tangga berundak-undak, pintu kaca yang ada di sana juga bisa terbuka dan tertutup secara otomatis, ada seorang pelayan yang ditugaskan untuk menyambut pembeli."Selamat datang, Nona. Silahkan dilihat-lihat," ujar pelayan itu ramah.Bagaimana tidak ramah, pelayan itu sudah melihat Dhea ketika baru memarkirkan mobil, melihat mobil bagus yang dikemudikan Dhea, membuat
Part 112"Total semuanya tiga puluh juta empat ratus ribu rupiah, Nyonya," ujar Alin yang berdiri di stand kasir."Oh, banyak juga, ya? Tolong sampaikan terima kasih pada majikanmu, ya?""Anda harus membayarnya, Nyonya.""Membayar? Kau budek atau apa? Tidak dengarkah kau kata majikanmu tadi? Semua yang aku pilih akan digratiskan olehnya." Dhea menggebrak meja, dari tadi dia memendam amarah, baru kali ini bisa melampiaskan."Tapi itu hanya satu atau dua item saja, bukan sebanyak itu, Nyonya."Mendengar perkataan pelayan itu, membuat Dhea semakin marah. Apalagi mendengar pelayan dan majikan jalang di depannya ini dari tadi selalu memanggilnya 'nyonya' sebagai bahan ejekan halus."Mau satu atau dua, aku tidak akan membayar. Karena selain mulut majikanmu yang sudah menjanjikan gratis, ruko ini juga dimodali oleh suamiku, aku bahkan berhak mengambil ruko ini beserta isinya dan memperkarakannya pada polisi, kau dengar itu?" Dhea ingin memaki pelayan di depannya.Tetapi dia masih sadar, d
Part 113"Abang permisi dulu ya, Dhe! Terima kasih hadiahnya," ujar Aryan dengan gugup pasalnya dia tidak sengaja melihat keberadaan Bram tidak jauh dari mereka.Lelaki itu langsung pergi, tidak mau lama-lama di sana dan membuat perkara dengan bosnya sendiri, dia tentu tidak ingin dipecat apalagi baru naik jabatan beberapa hari saja.Dhea berdiri terpaku menatap kepergian Aryan, sementara Fikri dan Mario buru-buru pergi juga dari sana, tidak ingin menyaksikan bos mereka membuat keributan dengan istrinya. Arjuna juga pergi dari sana, tetapi sebelum pergi, lelaki itu hanya menepuk bahu kakaknya dengan pelan, pura-pura bersimpati padanya."Halo, Bu Dhea," sapa Fikri, sementara Mario hanya mengangguk hormat ke arahnya."Eh, pak Fikri, bang Mario," balas Dhea dengan mengangguk menghormati mereka."Kami permisi dulu, Bu Dhea," pamit Fikri lagi."Silahkan, silahkan, Pak.""Dhea? Kapan datang? Ayo, mampir ke ruangan Kak Juna," ujar Arjuna yang sudah mendekatinya."Ah, tadi Dhea sudah dari san
Part 114Dhea kembali lagi ke ruangan kerjanya sekaligus ruang kerja suaminya, ternyata suaminya belum kembali. Ke mana lelaki itu, pergi dengan tergesa-gesa karena mendapatkan jackpot dari permainannya sendiri. "Aish, dasar lelaki ambekan. Sudah tua juga masih kekanak-kanakan. Tampang aja garang, belum menyelesaikan masalah pakai kabur segala," keluh Dhea.Wanita itu memegang perutnya yang sudah mulai lapar, suara perutnya pun mulai terdengar bersahutan. Tidak perlu menunggu Bram, Dhea memesan makanan melalui aplikasi, memesan satu porsi saja, siapa tahu suaminya itu sudah makan di luaran sana. Dhea segera menghubungi Bram, tetapi panggilannya tidak juga dijawab.[Bang, Abang di mana? Jadi makan siang nggak? Aku sudah lapar!] tulis Dhea di pesan wa.Ceklis dua, cuma belum berwarna biru.Ketika makanan datang, Dhea langsung menyantapnya. Dhea memesan sebungkus mie kwetiau yang gerainya cukup dekat dari kantor. Setelah makan, pesannya belum juga dibalas, dibaca saja tidak. Dhea jadi b
Part 115 "ADELIA!!!" Adelia sampai berjingkat mendengar teriakan menggelegar dari belakangnya. Dhea sebenarnya ingin tersenyum, sebab dia sudah berhasil memprovokasi perempuan itu untuk bertindak lebih jauh dengan cara yang sangat halus, bahkan mata Dhea berkaca-kaca. "Mas Bram?" cicit Adelia, dia sungguh tidak menyangka Bram sudah berdiri di belakangnya, apalagi lelaki itu memanggilnya dengan nama panjang begitu, biasanya lelaki itu akan memanggilnya dengan panggilan Lia, yang membuat seolah dia menjadi sangat istimewa. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menampar istri saya?" tatapan tajam Bram sungguh mengerikan, dia tidak pernah menatap demikian pada Adelia. "Aku ... Aku terpaksa melakukannya karena istri Mas ini menghinaku, dia mengatakan aku ini wanita penggoda, aku tidak terima, Mas," bela Adelia dengan mata sendu, tentu dia harus bersedih agar terdengar seperti korban. "Bagian mana istri ku menghinamu? Dari tadi dia tidak ada mengucapkan kata makian sedikitpun apalagi k
Part 116 "Mas ...," rengek Adelia. "Pergi! Pergi kamu dari sini!" ujar Bram dengan suara yang sedikit meninggi. Tak lagi tahan dengan pengusiran lelaki itu, Adelia akhirnya pergi dengan berlari, tangisnya pecah dan terdengar begitu pilu. Menyisakan kebisuan diantara suami istri yang kini berdiri berhadapan, Bram yang kemudian berinisiatif memangkas jarak diantara mereka, menatap istrinya dengan sendu dan mengulurkan tangan untuk mengelus pipi wanitanya ini. "Apa masih sakit?" tanya lelaki itu dengan lemah lembut, Dhea hanya menggeleng. "Maafkan Abang, ya? Selama ini Abang selalu menyakiti hati Dhea, Abang tidak bermaksud demikian, Sayang." Bram mengecup pipi Dhea yang tadi terkena tamparan Adelia. Mendapat perlakuan manis seperti ini malah membuat hati Dhea mellow dan terharu. Apalagi suaminya itu jelas-jelas sudah memarahi wanita itu di hadapannya. Dhea tidak menyangka saja, dia pikir Bram tidak akan berani berkata kasar pada cinta pertamanya ini, entah apa yang merasuki hati
Part 117Bram memilih penerbangan paling pagi ke Jakarta, Bram hanya akan dua hari saja di Jakarta sementara Dhea akan lima hari menunggu ibunya selesai kemoterapi. Ketika sampai di kediaman kakek Hanggono, Dhea pikir lelaki tua itu tinggal di sebuah rumah seperti white house ternyata kakeknya itu tinggal di rumah dengan konsep kebun dengan desain rumah tradisional rumah joglo yang di desain lebih modern, dengan furniture semua berbahan kayu jati. Suasana rumah yang klasik itu memberikan kesan hangat, sehingga rasa insicure yang menggelayuti Dhea luntur seketika. Halaman rumahnya sangat luas, di kota metropolitan seperti ini tentu harga tanah sangatlah mahal, rumah seluas ini tentu harga properti nya bernilai ratusan miliar.Ketika mereka tiba di halaman, mobil jemputan mereka parkir di sebelah mobil yang sudah berjajar di halaman rumah, Dhea membatin apa mobil sebanyak ini mobil kakek suaminya? Atau tengah ada acara di rumah ini?"Rame, Bang? Apa sedang ada acara?" tanya Dhea."Mung
Part 118 "Oh, orang kampung sudah datang rupanya?" cebik Nirmala menatap Dhea. Bram yang mendengar itu, segera membantu kakek dan neneknya duduk dan menggandeng istrinya untuk duduk di sebelahnya, di samping neneknya. "Asal Tante tahu, ya? Saya bangga punya istri orang kampung yang masih suci dan terjaga. Huh, saya saja bingung mau mengatakannya, anak kebanggaan Tante yang baru pulang dari Harvard itu saja suka sekali pada istriku ini," sindir Bram langsung tanpa Tedeng Aling-aling, Dhea saja terkejut mendengar mulut pedas suaminya, tetapi sepertinya keluarga ini biasa-biasa saja, apa memang begini cara berkomunikasi keluarga ini? "Apa kau bilang? Tidak mungkin anakku yang berkelas itu menyukai perempuan itu, apalagi istri orang. Seorang perempuan dari keluarga tidak jelas, anak yatim dan ibunya juga sakit-sakitan seperti itu. Seharusnya kau mencari istri itu yang berkelas seperti Siska ini." Dhea semakin terperangah, dia menolak cinta Aryan karena dihina oleh ibunya, sekarang di
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m