Part 115 "ADELIA!!!" Adelia sampai berjingkat mendengar teriakan menggelegar dari belakangnya. Dhea sebenarnya ingin tersenyum, sebab dia sudah berhasil memprovokasi perempuan itu untuk bertindak lebih jauh dengan cara yang sangat halus, bahkan mata Dhea berkaca-kaca. "Mas Bram?" cicit Adelia, dia sungguh tidak menyangka Bram sudah berdiri di belakangnya, apalagi lelaki itu memanggilnya dengan nama panjang begitu, biasanya lelaki itu akan memanggilnya dengan panggilan Lia, yang membuat seolah dia menjadi sangat istimewa. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menampar istri saya?" tatapan tajam Bram sungguh mengerikan, dia tidak pernah menatap demikian pada Adelia. "Aku ... Aku terpaksa melakukannya karena istri Mas ini menghinaku, dia mengatakan aku ini wanita penggoda, aku tidak terima, Mas," bela Adelia dengan mata sendu, tentu dia harus bersedih agar terdengar seperti korban. "Bagian mana istri ku menghinamu? Dari tadi dia tidak ada mengucapkan kata makian sedikitpun apalagi k
Part 116 "Mas ...," rengek Adelia. "Pergi! Pergi kamu dari sini!" ujar Bram dengan suara yang sedikit meninggi. Tak lagi tahan dengan pengusiran lelaki itu, Adelia akhirnya pergi dengan berlari, tangisnya pecah dan terdengar begitu pilu. Menyisakan kebisuan diantara suami istri yang kini berdiri berhadapan, Bram yang kemudian berinisiatif memangkas jarak diantara mereka, menatap istrinya dengan sendu dan mengulurkan tangan untuk mengelus pipi wanitanya ini. "Apa masih sakit?" tanya lelaki itu dengan lemah lembut, Dhea hanya menggeleng. "Maafkan Abang, ya? Selama ini Abang selalu menyakiti hati Dhea, Abang tidak bermaksud demikian, Sayang." Bram mengecup pipi Dhea yang tadi terkena tamparan Adelia. Mendapat perlakuan manis seperti ini malah membuat hati Dhea mellow dan terharu. Apalagi suaminya itu jelas-jelas sudah memarahi wanita itu di hadapannya. Dhea tidak menyangka saja, dia pikir Bram tidak akan berani berkata kasar pada cinta pertamanya ini, entah apa yang merasuki hati
Part 117Bram memilih penerbangan paling pagi ke Jakarta, Bram hanya akan dua hari saja di Jakarta sementara Dhea akan lima hari menunggu ibunya selesai kemoterapi. Ketika sampai di kediaman kakek Hanggono, Dhea pikir lelaki tua itu tinggal di sebuah rumah seperti white house ternyata kakeknya itu tinggal di rumah dengan konsep kebun dengan desain rumah tradisional rumah joglo yang di desain lebih modern, dengan furniture semua berbahan kayu jati. Suasana rumah yang klasik itu memberikan kesan hangat, sehingga rasa insicure yang menggelayuti Dhea luntur seketika. Halaman rumahnya sangat luas, di kota metropolitan seperti ini tentu harga tanah sangatlah mahal, rumah seluas ini tentu harga properti nya bernilai ratusan miliar.Ketika mereka tiba di halaman, mobil jemputan mereka parkir di sebelah mobil yang sudah berjajar di halaman rumah, Dhea membatin apa mobil sebanyak ini mobil kakek suaminya? Atau tengah ada acara di rumah ini?"Rame, Bang? Apa sedang ada acara?" tanya Dhea."Mung
Part 118 "Oh, orang kampung sudah datang rupanya?" cebik Nirmala menatap Dhea. Bram yang mendengar itu, segera membantu kakek dan neneknya duduk dan menggandeng istrinya untuk duduk di sebelahnya, di samping neneknya. "Asal Tante tahu, ya? Saya bangga punya istri orang kampung yang masih suci dan terjaga. Huh, saya saja bingung mau mengatakannya, anak kebanggaan Tante yang baru pulang dari Harvard itu saja suka sekali pada istriku ini," sindir Bram langsung tanpa Tedeng Aling-aling, Dhea saja terkejut mendengar mulut pedas suaminya, tetapi sepertinya keluarga ini biasa-biasa saja, apa memang begini cara berkomunikasi keluarga ini? "Apa kau bilang? Tidak mungkin anakku yang berkelas itu menyukai perempuan itu, apalagi istri orang. Seorang perempuan dari keluarga tidak jelas, anak yatim dan ibunya juga sakit-sakitan seperti itu. Seharusnya kau mencari istri itu yang berkelas seperti Siska ini." Dhea semakin terperangah, dia menolak cinta Aryan karena dihina oleh ibunya, sekarang di
Part 119"Kalian akan menginap di sini, kan? Inah sudah membersihkan kamarmu, menginaplah sampai resepsi pernikahan kalian selesai," ujar Hanggono. Sejak Bram berusia dua puluh lima tahun, lelaki itu tidak mau lagi tinggal bersama kakeknya, alasannya jarak rumah kakeknya dan kantor barunya sangat jauh, dia hany akan mengunjungi kakek dan neneknya di akhir pekan atau kadang sampai sebulan sekali."Baiklah, Kek. Tapi dalam dua hari ini, Dhea Adan aku akan mengunjungi ibunya, besok ibunya akan kemoterapi.""Ya, Asal kalian pulang ke sini. Ibunya sakit apa? Sekalian saja keluarganya diundang, biar Pak Maman yang menemui keluarganya.""Ibunya sakit kanker, sedang dirawat di rumah sakit Dharmais. Dhea anak yatim sejak delapan tahun yang lalu, saat itu dia mengalami kecelakaan yang menyebabkan ayah dan kedua adiknya meninggal dunia, sekarang wanita itu hanya memiliki seorang ibu yang juga tengah sakit."Sore itu Bram berbincang santai di gazebo belakang rumah kakeknya, sambil menikmati semi
Part 120Dhea yang memiliki reflek bagus, segera melawan lelaki yang meraih lehernya dan menodong dengan sebilah pisau, kontan saja dia mengarahkan tendangan kerasnya ke arah selangkangan lawan, sehingga lelaki itu terjatuh dan pisau ditangannya terpental dengan suara kesakitan yang tak terkira. Lelaki itu berguling memegangi asetnya yang mungkin kini bengkak parah."Jangan bergerak. Bergerak se inci saja, nyawa perempuan ini melayang!" ancam pria tinggi besar yang kini sedang menodongkan pistol ke arah Sania.Kalau Dhea sendiri yang menghadapi mereka, Dhea tidak gentar untuk bertarung. Tetapi ini melibatkan Sania, gadis itu juga tampak begitu ketakutan di dalam cengkeraman lelaki itu. Dhea tidak berdaya melihat Sania yang berwajah cemas dan takut itu."Bawa perempuan itu ke mobil itu, yang satunya ke sana. Ikat dia dengan kuat," perintah lelaki yang menodongkan Sania pistol, tangan satunya meraih tas sandang gadis itu.Dia orang lelaki langsung meraih tubuh Sania, salah satu diantar
Part 121Alangkah terkejutnya Bram ketika melihat tas Dhea dan Sania ada di dalam sana, tas Dhea berpendar-pendar cahaya sepertinya itu ponsel, ketika Bram menelpon Sania juga, sepertinya ponsel kedua wanita yang dia sayangi ada di sana."Aish, shiit!" umpat lelaki itu."Kenapa ponsel mereka berdua terkurung di dalam mobil? Apa itu sebabnya mereka tidak mengangkat telponku?"Bram segera menghubungi Amar Ghani, manajer mall ini. Karena sebenarnya mall ini adalah bagian dari perusahaan HG Aditama grup, milik kakeknya Hanggono Aditama."Amar, aku diparkiran mall! Cepat kamu ke sini!" perintah Bram to the point."Pak Bram? Iya, pak. Saya segera ke sana!" Belum sampai sepuluh menit, Amar, seorang pria berusia empat puluh tahunan datang menemui Bram, lelaki ini sendiri heran, kenapa cucu pemilik perusahaan datang bahkan ingin menemuinya diparkiran."Pak Bram? Kenapa bapak di sini! Mari, Pak. Silahkan kita bertemu di ruangan saya," ujar lelaki itu dengan sopan."Amar, aku tidak mau menemui
Part 122 Dhea terbangun saat mobil mengerem dengan kuat, kepalanya bahkan terantuk kursi di depannya. Kedua matanya yang tertutup sangat sulit mengenali lingkungan sekitar, ini masih siang atau sudah malam? "Kenapa berhenti di sini, Bang?" tanya salah seorang. "Aku akan membeli ponsel. Jay, Ragat, kau tinggal di sini, jagain gadis ini. Aku sama Arlan akan turun sebentar," perintah lelaki yang dipanggil bang. "Oke, Bang." Setelah kepergian dua orang itu, suasana kembali hening, dua orang yang berjaga sama sekali tidak bercakap-cakap. Sekitar lima belas menit kemudian, kedua orang itu telah kembali. "Ini, ambil ponsel ini satu-satu buat kalian, sudah ku isi kartu SIM-nya." "Oh, baik Bang. Ini HP mahal, Bang. Harganya lima jutaan ini," seru salah satu dari mereka. "Iya, ambillah. Aku sudah bilang, jika melakukan aksi apapun jangan membawa ponsel atau alat komunikasi apapun, kita bisa dilacak. Zaman sekarang sudah canggih, makanya kita letakkan saja ponsel kita di rumah." "Iya
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar