Tanggal 1 januari ntar aku tambahin ekstra chapter pas Dylan dan Felix dewasa. Selamat akhir tahun semuanya :)
Langit terlihat mendung, hujan pun juga sudah mengguyur tanah dan pohon sekitarnya. Suasana dingin dan lembab terasa menyejukkan, Avery mengulurkan tangan, membiarkan air membasahi tangannya.Senyum cantik menghiasi bibir gadis tujuh belas tahun itu, matanya memandang jauh saat ia mendengar suara mobil. Buru-buru Avery menuju pintu utama, berharap itu adalah saudaranya yang sudah lama tidak ia temui."Dylan, Felix, kalian akhirnya pulang!" serunya penuh semangat, tapi saat ia membuka pintu, orang yang terlihat di depan sana bukanlah kedua saudaranya, melainkan David bersama putrinya yang berusia lima belas tahun."Hai, Ave!" David melambaikan tangannya singkat menyapa sosok Avery.Tatapan Avery terlihat kecewa, sudah dua tahun lamanya ia tidak bertemu dengan Dylan dan Felix, mereka begitu sibuk dengan dunia pekerjaan sampai tidak pernah sekalipun pulang di kediaman pribadi kedua orang tuanya."Aku pikir paman adalah saudaraku." ucapnya.David menghampiri, "Sayang sekali, kau terlihat
Avery membuka pintu apartemen Felix dengan dorongan ringan, dan langkahnya segera memenuhi ruang tamu."Sejak kapan kau pulang?" tanyanya tanpa basa-basi, matanya menyapu apartemen minimalis yang terasa sangat modern, rapi, tapi terasa dingin.Felix yang tengah berdiri di dekat jendela besar dengan pemandangan kota menoleh. Pria itu sudah genap 25 tahun, dan kesibukannya selama beberapa tahun terakhir menjadikannya jarang pulang ke rumah bertemu keluarga. Sama seperti Dylan, saudara kembarnya. Felix terserap oleh pekerjaan, meninggalkan sedikit ruang untuk hal lain."Aku baru sampai pagi tadi," jawabnya, melangkah mendekat sambil tersenyum tipis. Ia mengacak rambut Avery dengan penuh rasa sayang, membuat gadis itu mendengus sebal. "Aku ada urusan dengan perusahaan ayah. Tapi yang lebih mengejutkan adalah saat perjalanan pulang tadi, aku melihatmu diganggu dua preman di jalan. Apa kau baik-baik saja?"Avery menghela nafas panjang, mencoba mengusir rasa trauma yang masih membekas. "Aku
Di usia dewasa, Dylan dan Felix menyadari bahwa hidup mereka tidak lagi bisa bergantung pada kenyamanan rumah Javier. Pada usia sembilan belas, keduanya meninggalkan rumah keluarga untuk membangun kehidupan mereka sendiri, menantang dunia kerja yang lebih luas di luar sana.Sejak kecil Dylan selalu tertarik pada teknologi. Hasratnya itu membawanya ke dunia pengembangan aplikasi, hingga ia menciptakan sebuah perangkat lunak canggih yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan besar untuk menjaga keamanan data mereka. Di balik itu semua, ada sisi lain dari dirinya yang jarang diketahui, dia adalah seorang hacker berbakat, yang bergerak diam-diam untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tak bisa diselesaikan dengan cara konvensional.Malam ini, Dylan terlihat sibuk di depan dua layar komputer yang memancarkan cahaya kebiruan, tangannya dengan lincah menari di atas keyboard. Pintu ruang kerja terbuka perlahan, menampilkan sosok Eloise, kekasihnya. Ia berdiri di ambang pintu dengan kimono sutr
Sebulan telah berlalu, dan akhirnya Dylan memutuskan untuk membawa kekasihnya, Eloise, bertemu dengan keluarganya untuk pertama kali. Hari itu, mereka tiba di Brooklyn, di apartemen yang Dylan sewa khusus untuk kunjungan singkat selama lima hari sebelum perjalanan mereka ke New York.Dylan sedang berdiri di depan cermin, memastikan kemeja birunya rapi dan dasinya terpasang dengan sempurna. Rambut hitamnya tersisir rapi, mencerminkan sikapnya yang selalu perfeksionis. Sementara itu, Eloise duduk di sofa, memperhatikannya tanpa banyak bicara.“Sementara aku sibuk nanti, kau bebas bepergian ke mana saja selama kita di Brooklyn,” ucap Dylan, memecah kesunyian sambil membenahi kerah kemejanya.Eloise tersenyum kecil, pandangannya tetap tertuju pada Dylan. “Apa kau punya waktu luang malam ini?” tanyanya lembut, meski penuh harap.Dylan menoleh, sejenak melirik arlojinya sebelum kembali menatap Eloise. “Aku akan usahakan pulang lebih awal. Malam ini kita bisa jalan-jalan bersama,” katanya sam
Eloise menghilang begitu saja, meninggalkan Dylan yang kini panik dan tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya dipenuhi kecemasan, terutama karena Eloise tidak mengenal New York dengan baik. Hanya bayangan terakhirnya, Eloise berjalan menjauh dengan ekspresi terluka yang terus menghantui benaknya.Sudah dua jam berlalu. Dylan menyusuri setiap sudut jalan, lorong gelap, dan taman kota dengan harapan menemukan jejak Eloise. Tapi semua usahanya sia-sia. Kegelisahan semakin mencekam ketika malam mulai merayap dan dingin menusuk tulang. Dengan tangan gemetar, ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi Felix.Butuh beberapa detik sebelum Felix menjawab telepon, dan begitu mendengar suaranya, Dylan langsung berbicara tanpa henti. "Felix, aku butuh bantuan. Eloise menghilang! Dia salah paham mengira aku berselingkuh. Aku sudah mencarinya ke mana-mana, tapi aku tidak bisa menemukannya," ucap Dylan dengan suara penuh panik.Alih-alih serius, Felix justru tertawa kecil di ujung sana. "Tunggu, tunggu
Felix membawa Eloise yang setengah tak sadarkan diri ke apartemennya, membaringkan perempuan itu dengan hati-hati di atas tempat tidur. Ia menghela nafas, mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat. Malam itu tak berjalan sesuai rencana, siapa sangka ia akan berurusan dengan seorang perempuan asing yang mabuk berat? Saat Felix hendak meninggalkan kamar, tangan Eloise tiba-tiba mencengkram pergelangan tangannya.“Aku sangat menyukaimu… kenapa kau malah meninggalkanku?” Eloise menangis tersedu-sedu, suaranya penuh luka yang dihasilkan dari mabuk berat dan patah hati.Felix menoleh dengan ekspresi bingung. “Kita bahkan tidak saling mengenal,” katanya dengan nada datar. “Aku tidak tahu siapa kau, dan kau hanya perempuan asing yang entah kenapa harus kubawa ke sini supaya aman.”Namun, Eloise justru bangkit dari tempat tidur. Berdiri di atas kasur, tubuhnya kini lebih tinggi dari Felix. Mata yang berkaca-kaca menatapnya dengan intens. Sebelum Felix sempat bereaksi, Eloise mendekat, memeluk
Pagi yang cerah menyambut Eloise ketika akhirnya ia terbangun di sebuah kamar yang terasa asing namun nyaman. Matahari menyusup lembut melalui celah tirai, dan Eloise mengerjap, bingung menyadari dimana dirinya berada. Setelah menarik nafas dalam untuk mengumpulkan kesadaran, ia bangkit dan melangkah keluar.Di dapur, aroma harum telur yang sedang digoreng menguar di udara. Sosok Dylan terlihat santai, berdiri di depan kompor dengan lengan kemejanya yang digulung rapi, sesekali membalik telur di wajan.“Sejak kapan aku di sini?” suara Eloise terdengar serak, bercampur rasa bingung dan malu.Dylan menoleh singkat, lalu menyajikan telur ke atas piring dengan tenang. “Tadi malam,” jawabnya sambil melirik Eloise, “Bagaimana keadaanmu? Masih pusing? Aku sudah membelikan obat pengar untuk mengurangi pusing kepalamu, kau bisa meminumnya kalau masih merasa tidak enak.”Eloise mengerutkan kening, mencoba mengingat kejadian semalam. Gambaran samar memenuhi pikirannya, kilasan lampu-lampu kelap-
Kehangatan malam itu terasa menyelimuti kediaman Javier. Setelah dua tahun berlalu, akhirnya keluarga ini kembali berkumpul. Di ruang makan, tawa Avery menggema, ditemani komentar santai dari Dylan, menciptakan suasana yang ceria.Di sebelah Dylan ada Avery yang duduk berdekatan dengan Eloise, Avery terlihat banyak bicara membuat suasana ruang makan menjadi ramai. Namun, Javier merasa ada yang berbeda dari salah putranya.Felix, yang biasanya ceria, terlihat diam sepanjang makan malam. Javier akhirnya membuka suara, "Felix, ada sesuatu yang mengganggumu?"Suasana ruang makan yang tadinya ramai oleh celotehan Avery mendadak hening, semua orang yang duduk di kursi meja makan menoleh ke arah Felix.Dylan ikut menimpali, "Benar, kau tak seperti biasanya. Ada apa?"Felix menggeleng perlahan. "Aku hanya merasa kurang sehat. Lanjutkan saja makan malam kalian."Tapi saat yang lain melanjutkan makan, Felix pergi lebih dulu. Hal itu didasari oleh Freya, ia mengenal putranya cukup baik, pasti ad
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap Ja
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan
Malam itu terasa begitu sunyi, hanya suara angin dingin yang berhembus lembut di antara mereka, seperti ikut menyaksikan ketegangan yang memenuhi udara. Avery berdiri kaku, matanya menatap Daniel dengan sorot tidak percaya. Kata-kata pria itu barusan terus terulang di benaknya, menggema tanpa henti. Daniel merindukannya?Ia merasa bingung, hampir tidak bisa memahami maksud semua ini. Bukankah Daniel telah menolaknya dengan mudah musim panas lalu? Lalu, mengapa pria ini datang seakan memberikan kesempatan lagi.Akhirnya, Avery menarik nafas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Namun, ketika ia kembali membuka mulut, suaranya terdengar bergetar. “Aku berterima kasih atas semua hadiah yang kamu berikan padaku. Tapi kau tidak perlu melakukannya lagi.”“Avery, aku hanya ingin—”“Berhenti, Daniel!” potong Avery dengan nada tinggi. Ia memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mata Daniel yang penuh dengan emosi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Jangan membuatku berharap akan
Melihat Gabriel yang tidak melawan, Daniel segera meraih tangan Avery dan menuntunnya menjauh dari tempat itu. Sentuhan tangan Daniel membuat Avery terkejut, dan meski ia menurut, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Bagaimana mungkin pria ini tiba-tiba muncul di sini? Kebetulan? Atau… dia mengikutiku?Ketika mereka sudah cukup jauh dari Gabriel, Avery berhenti dan menarik tangannya dari genggaman Daniel. Pria itu berbalik, menatap Avery dengan sorot bingung."Bagaimana kau bisa tiba-tiba muncul di depanku seperti itu?" tanya Avery dengan nada curiga.Daniel menghela nafas pelan sebelum menjawab, "Kebetulan aku ada pekerjaan di sekitar sini. Dulu saat kita pertama bertemu, kau pernah bilang kalau sekolahmu ada di daerah ini. Tak kusangka, saat berjalan di sekitar area sekolahmu, aku justru melihat sesuatu yang sangat... tidak terduga." Ucapannya terdengar ringan, tapi matanya menyiratkan keseriusan.Avery memandang Daniel dengan ragu, mencoba mencerna jawabannya. Apakah itu benar, atau
Semenjak Avery menemukan hadiah saat hari ulang tahunnya di depan pintu apartemen, kini ia justru lebih sering mendapatkan hadiah lain yang tidak ia sangka. Setiap hari, selalu ada setangkai bunga mawar di depan pintu unit apartemen dengan kata yang sama."Untuk Winter Avery."Dan kini Avery semakin bingung dan penasaran, siapa orang yang memberinya hadiah-hadiah itu. Mungkinkah dia orang yang dikenalnya? Atau jangan-jangan adalah Gabriel? Avery menggeleng, ia hampir saja membuang bunga yang ia dapatkan di depan pintunya jika bunga itu dari Gabriel, tapi tangannya berhenti sejenak."Bagaimana kalau ternyata bukan dari Gabriel?" batinnya.Ia menggeleng pelan, akhirnya membawa masuk setangkai bunga mawar itu dan memasukkannya ke dalam vas bunga. Di sebuah meja di sudut ruangan, Avery menatap beberapa kotak dan juga bunga yang sebelumnya dikirim untuknya, semua barang yang dikirim memiliki kata yang sama, yaitu 'Untuk Winter Avery'.Semua barang itu berarti dikirim oleh orang yang sama d
Selesai mengikuti kegiatan, Avery dan Nancy berjalan keluar dari aula, berbagi tawa ringan sambil bercanda. Namun, langkah mereka melambat ketika melihat Gabriel berdiri di dekat tangga jalan keluar, bersandar dengan sikap santai yang terlalu mencolok. Senyumnya yang setengah menggoda langsung menarik perhatian, meskipun tidak untuk Avery.“Oh, lihat siapa yang menunggu,” bisik Nancy, menyikut Avery dengan cengiran kecil.Avery hanya mendesah malas. "Aku tidak punya energi untuk meladeni pria itu."Tanpa mengubah ekspresi, Avery terus berjalan melewati Gabriel, mengabaikan pria itu seolah dia hanyalah tiang lampu di pinggir jalan. Tapi, Gabriel tidak menyerah begitu saja.“Avery, aku perlu bicara denganmu,” panggilnya, nada suaranya terdengar tegas namun menggoda.Avery berhenti sejenak, menoleh setengah hati. “Tidak ada yang perlu dibicarakan antara kita,” jawabnya dingin, melanjutkan langkah tanpa menunggu tanggapan.Gabriel mendecih, tapi ia tidak menyerah. Saat Avery hampir mencap