Setelah dua hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Freya diperbolehkan pulang. Saat melangkah masuk ke rumah, ada sesuatu yang berbeda yang langsung menarik perhatiannya. Beberapa perabotan tampak berganti, memberikan kesan ruangan yang lebih lapang dan elegan. Freya memutar tubuhnya, menatap Javier yang tengah menggendong Avery."Apa yang terjadi di sini? Kenapa terlihat berbeda?" tanyanya heran.Javier tersenyum tipis. "Beberapa barang terlalu memakan tempat, jadi aku menggantinya. Aku pikir kita membutuhkan lebih banyak ruang dengan kehadiran bayi di rumah."Freya mengangkat alis, tampak sedikit terkejut namun tak dapat menyembunyikan senyumnya. Sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Javier melanjutkan, "Sekarang, ayo. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."Dengan penuh rasa penasaran, Freya mengikuti langkah Javier, yang sudah lebih dulu menuju kamar bayi. Saat memasuki ruangan itu, Freya terpana. Semua sudah tersusun dengan rapi, jauh lebih lengkap dari yang terakhir ka
Setelah lima bulan berlalu, dan kehidupan Javier bersama Freya berlangsung dengan harmonis. Tidak ada hal yang perlu mereka khawatir, semuanya baik-baik saja sampia tiba-tiba saat Freya tengah sibuk bermain di halaman belakang bersama anak-anak, Javier datang menghampiri."Babe, bisa bicara sebentar?" seru Javier.Freya menoleh, mengangguk singkat lalu menatap kedua putranya. "Dylan, Felix. Jaga adik kalian, ibu akan kembali sebentar lagi." katanya yang diangguki patuh oleh kedua lelaki kecil itu.Langkah Freya menghampiri Javier dengan tatapan bertanya, tapi sebelum ia bertanya, Javier sudah lebih dulu berkata. "Kau masih ingin bertemu dengan Viona seperti yang kamu katakan waktu itu?"Wajah Freya terlihat senang, "Kamu akan mempertemukan aku dengannya?" tanyanya balik.Tapi berbanding terbalik dengan respon Freya, Javier justru tampak tidak senang. "Dia mungkin tidak berubah, dan masih sama seperti yang kamu kenal dulu. Aku khawatir saat Viona melihatmu, dia akan menyerangmu.""Buka
Beberapa tahun kemudian.Seorang remaja berusia tiga belas tahun terlihat sibuk memacu kendaraan bermotornya, di halaman belakang rumah, menerjang tiap rintangan dan membuat kendaraan bermotor itu melayang di udara selama beberapa saat.Teriakan dari sisi jalan terdengar menyemangati, tak lama kemudian kendaraan bermotor yang lain menyusul di belakang, melakukan atraksi serupa seperti motor sebelumnya. Dua kendaraan bermotor menghilang dari pandangan, hanya suara mesin yang terdengar dari kejauhan. Tidak berselang lama, suara mesin kendaraan terdengar mendekat dengan kecepatan tinggi. Secara bersamaan, dua kendaraan itu berhenti di depan seorang gadis kecil berusia enam tahun. "Wow! Kalian luar biasa!" seru Avery sembari mengacungkan kedua jempolnya pada saudara kembarnya.Dylan dan Felix melepaskan helm, rambut mereka berantakan. Setelah memarkirkan motor dan meletakkan helm begitu saja ke tanah, Dylan langsung meraih adiknya ke pelukannya, sementara Felix hanya mengacak-acak rambut
Perjalanan panjang ditempuh oleh Javier sambil membawa serta keluarganya, suasana perjalanan terasa sangat ramai karena tiga anak-anak yang duduk di belakang tidak ada hentinya berbicara. Mereka berhenti ketika tidur, dan setelah beberapa jam berkendara, akhirnya mereka pun tiba di sebuah perumahan di mana sekitar mereka adalah ladang jagung yang sangat luas."Anak-anak, kita sudah sampai." ucap Freya membangun Dylan, Felix dan Avery.Ketiga anak itu membuka mata, menoleh keluar jendela dan detik itu juga mata mereka terbuka lebar penuh semangat. "Wow! Kita menemui kakek?" seru Dylan.Mereka segera turun dari mobil, sementara seorang pria yang tidak lagi muda terlihat berlari menghampiri dari belakang rumahnya. Senyum cerah terlihat di wajah Morgan menyadari cucu-cucunya datang, mereka segera berhambur ke pelukan Morgan sebelum pria tua itu mengajak anak-anak ke halaman belakang rumah."Tuan Davidson terlihat lebih sehat setelah memutuskan untuk menjadi seorang petani." ucap Freya yang
Langit terlihat mendung, hujan pun juga sudah mengguyur tanah dan pohon sekitarnya. Suasana dingin dan lembab terasa menyejukkan, Avery mengulurkan tangan, membiarkan air membasahi tangannya.Senyum cantik menghiasi bibir gadis tujuh belas tahun itu, matanya memandang jauh saat ia mendengar suara mobil. Buru-buru Avery menuju pintu utama, berharap itu adalah saudaranya yang sudah lama tidak ia temui."Dylan, Felix, kalian akhirnya pulang!" serunya penuh semangat, tapi saat ia membuka pintu, orang yang terlihat di depan sana bukanlah kedua saudaranya, melainkan David bersama putrinya yang berusia lima belas tahun."Hai, Ave!" David melambaikan tangannya singkat menyapa sosok Avery.Tatapan Avery terlihat kecewa, sudah dua tahun lamanya ia tidak bertemu dengan Dylan dan Felix, mereka begitu sibuk dengan dunia pekerjaan sampai tidak pernah sekalipun pulang di kediaman pribadi kedua orang tuanya."Aku pikir paman adalah saudaraku." ucapnya.David menghampiri, "Sayang sekali, kau terlihat
Avery membuka pintu apartemen Felix dengan dorongan ringan, dan langkahnya segera memenuhi ruang tamu."Sejak kapan kau pulang?" tanyanya tanpa basa-basi, matanya menyapu apartemen minimalis yang terasa sangat modern, rapi, tapi terasa dingin.Felix yang tengah berdiri di dekat jendela besar dengan pemandangan kota menoleh. Pria itu sudah genap 25 tahun, dan kesibukannya selama beberapa tahun terakhir menjadikannya jarang pulang ke rumah bertemu keluarga. Sama seperti Dylan, saudara kembarnya. Felix terserap oleh pekerjaan, meninggalkan sedikit ruang untuk hal lain."Aku baru sampai pagi tadi," jawabnya, melangkah mendekat sambil tersenyum tipis. Ia mengacak rambut Avery dengan penuh rasa sayang, membuat gadis itu mendengus sebal. "Aku ada urusan dengan perusahaan ayah. Tapi yang lebih mengejutkan adalah saat perjalanan pulang tadi, aku melihatmu diganggu dua preman di jalan. Apa kau baik-baik saja?"Avery menghela nafas panjang, mencoba mengusir rasa trauma yang masih membekas. "Aku
Di usia dewasa, Dylan dan Felix menyadari bahwa hidup mereka tidak lagi bisa bergantung pada kenyamanan rumah Javier. Pada usia sembilan belas, keduanya meninggalkan rumah keluarga untuk membangun kehidupan mereka sendiri, menantang dunia kerja yang lebih luas di luar sana.Sejak kecil Dylan selalu tertarik pada teknologi. Hasratnya itu membawanya ke dunia pengembangan aplikasi, hingga ia menciptakan sebuah perangkat lunak canggih yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan besar untuk menjaga keamanan data mereka. Di balik itu semua, ada sisi lain dari dirinya yang jarang diketahui, dia adalah seorang hacker berbakat, yang bergerak diam-diam untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tak bisa diselesaikan dengan cara konvensional.Malam ini, Dylan terlihat sibuk di depan dua layar komputer yang memancarkan cahaya kebiruan, tangannya dengan lincah menari di atas keyboard. Pintu ruang kerja terbuka perlahan, menampilkan sosok Eloise, kekasihnya. Ia berdiri di ambang pintu dengan kimono sutr
Sebulan telah berlalu, dan akhirnya Dylan memutuskan untuk membawa kekasihnya, Eloise, bertemu dengan keluarganya untuk pertama kali. Hari itu, mereka tiba di Brooklyn, di apartemen yang Dylan sewa khusus untuk kunjungan singkat selama lima hari sebelum perjalanan mereka ke New York.Dylan sedang berdiri di depan cermin, memastikan kemeja birunya rapi dan dasinya terpasang dengan sempurna. Rambut hitamnya tersisir rapi, mencerminkan sikapnya yang selalu perfeksionis. Sementara itu, Eloise duduk di sofa, memperhatikannya tanpa banyak bicara.“Sementara aku sibuk nanti, kau bebas bepergian ke mana saja selama kita di Brooklyn,” ucap Dylan, memecah kesunyian sambil membenahi kerah kemejanya.Eloise tersenyum kecil, pandangannya tetap tertuju pada Dylan. “Apa kau punya waktu luang malam ini?” tanyanya lembut, meski penuh harap.Dylan menoleh, sejenak melirik arlojinya sebelum kembali menatap Eloise. “Aku akan usahakan pulang lebih awal. Malam ini kita bisa jalan-jalan bersama,” katanya sam
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap J
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan
Malam itu terasa begitu sunyi, hanya suara angin dingin yang berhembus lembut di antara mereka, seperti ikut menyaksikan ketegangan yang memenuhi udara. Avery berdiri kaku, matanya menatap Daniel dengan sorot tidak percaya. Kata-kata pria itu barusan terus terulang di benaknya, menggema tanpa henti. Daniel merindukannya?Ia merasa bingung, hampir tidak bisa memahami maksud semua ini. Bukankah Daniel telah menolaknya dengan mudah musim panas lalu? Lalu, mengapa pria ini datang seakan memberikan kesempatan lagi.Akhirnya, Avery menarik nafas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Namun, ketika ia kembali membuka mulut, suaranya terdengar bergetar. “Aku berterima kasih atas semua hadiah yang kamu berikan padaku. Tapi kau tidak perlu melakukannya lagi.”“Avery, aku hanya ingin—”“Berhenti, Daniel!” potong Avery dengan nada tinggi. Ia memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mata Daniel yang penuh dengan emosi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Jangan membuatku berharap akan
Melihat Gabriel yang tidak melawan, Daniel segera meraih tangan Avery dan menuntunnya menjauh dari tempat itu. Sentuhan tangan Daniel membuat Avery terkejut, dan meski ia menurut, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Bagaimana mungkin pria ini tiba-tiba muncul di sini? Kebetulan? Atau… dia mengikutiku?Ketika mereka sudah cukup jauh dari Gabriel, Avery berhenti dan menarik tangannya dari genggaman Daniel. Pria itu berbalik, menatap Avery dengan sorot bingung."Bagaimana kau bisa tiba-tiba muncul di depanku seperti itu?" tanya Avery dengan nada curiga.Daniel menghela nafas pelan sebelum menjawab, "Kebetulan aku ada pekerjaan di sekitar sini. Dulu saat kita pertama bertemu, kau pernah bilang kalau sekolahmu ada di daerah ini. Tak kusangka, saat berjalan di sekitar area sekolahmu, aku justru melihat sesuatu yang sangat... tidak terduga." Ucapannya terdengar ringan, tapi matanya menyiratkan keseriusan.Avery memandang Daniel dengan ragu, mencoba mencerna jawabannya. Apakah itu benar, atau
Semenjak Avery menemukan hadiah saat hari ulang tahunnya di depan pintu apartemen, kini ia justru lebih sering mendapatkan hadiah lain yang tidak ia sangka. Setiap hari, selalu ada setangkai bunga mawar di depan pintu unit apartemen dengan kata yang sama."Untuk Winter Avery."Dan kini Avery semakin bingung dan penasaran, siapa orang yang memberinya hadiah-hadiah itu. Mungkinkah dia orang yang dikenalnya? Atau jangan-jangan adalah Gabriel? Avery menggeleng, ia hampir saja membuang bunga yang ia dapatkan di depan pintunya jika bunga itu dari Gabriel, tapi tangannya berhenti sejenak."Bagaimana kalau ternyata bukan dari Gabriel?" batinnya.Ia menggeleng pelan, akhirnya membawa masuk setangkai bunga mawar itu dan memasukkannya ke dalam vas bunga. Di sebuah meja di sudut ruangan, Avery menatap beberapa kotak dan juga bunga yang sebelumnya dikirim untuknya, semua barang yang dikirim memiliki kata yang sama, yaitu 'Untuk Winter Avery'.Semua barang itu berarti dikirim oleh orang yang sama d
Selesai mengikuti kegiatan, Avery dan Nancy berjalan keluar dari aula, berbagi tawa ringan sambil bercanda. Namun, langkah mereka melambat ketika melihat Gabriel berdiri di dekat tangga jalan keluar, bersandar dengan sikap santai yang terlalu mencolok. Senyumnya yang setengah menggoda langsung menarik perhatian, meskipun tidak untuk Avery.“Oh, lihat siapa yang menunggu,” bisik Nancy, menyikut Avery dengan cengiran kecil.Avery hanya mendesah malas. "Aku tidak punya energi untuk meladeni pria itu."Tanpa mengubah ekspresi, Avery terus berjalan melewati Gabriel, mengabaikan pria itu seolah dia hanyalah tiang lampu di pinggir jalan. Tapi, Gabriel tidak menyerah begitu saja.“Avery, aku perlu bicara denganmu,” panggilnya, nada suaranya terdengar tegas namun menggoda.Avery berhenti sejenak, menoleh setengah hati. “Tidak ada yang perlu dibicarakan antara kita,” jawabnya dingin, melanjutkan langkah tanpa menunggu tanggapan.Gabriel mendecih, tapi ia tidak menyerah. Saat Avery hampir mencap