"Kau yakin hanya pesta biasa saja?" tanya Javier, matanya memandang Freya dengan ragu, seolah memastikan dia tidak salah dengar.Freya mengangguk mantap, senyum lembut tersungging di wajahnya. "Aku tidak terlalu menyukai sesuatu yang berlebihan. Lebih baik kita mengadakan pernikahan yang sederhana. Hanya menghadirkan orang-orang terdekat, tanpa kemewahan yang berlebihan. Bagiku yang penting adalah maknanya, bukan pesta besar yang mencuri perhatian."Javier terdiam sejenak, lalu meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. Ia menatap mata wanita itu dengan penuh perhatian. "Jangan khawatir soal biaya. Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ingin hari itu menjadi sempurna, sesuatu yang tak akan pernah kita lupakan."Freya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, seolah meyakinkan pria di depannya. "Bukan soal biaya, Javier. Ini tentang apa yang membuatku bahagia. Aku tidak butuh pesta yang megah untuk merasa istimewa. Yang aku butuhkan hanyalah kamu, dan janji yang kita bangun bersama. It
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi satu hal selalu sama, setiap kali Dylan dan Felix pulang dari pertemuan mereka dengan Morgan, keduanya terlihat kelelahan. Javier sudah mulai terbiasa melihat wajah letih kedua putranya, meski rasa penasarannya terus mengganggu. Setiap kali ia bertanya apa yang mereka lakukan, jawaban mereka selalu singkat, "Bermain dengan Kakek."Namun sore itu berbeda. Wajah Dylan terlihat memerah seperti habis terbakar matahari, dan kulitnya tampak kasar. Freya yang cemas melihat kondisi anaknya, segera mengambil pelembap dan mengoleskannya ke wajah Dylan dengan lembut.Javier yang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan, "Permainan apa yang kalian lakukan dengan Kakek sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah pada Dylan.Dylan hanya menunduk, sementara Felix yang biasanya lebih blak-blakan, terlihat ragu-ragu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Dylan buru-buru menutup mulut saudaranya.Alis Javier terangkat tinggi. "Jad
Langkah Javier terdengar ringan ketika memasuki rumah, senyuman tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di tangannya ada sebuah kotak beludru hitam, kecil namun begitu berharga, isinya adalah cincin pernikahan yang telah ia pesan. Pandangannya menyapu ruangan sesaat, mencari sosok yang sudah memenuhi setiap sudut hidupnya dengan kehangatan.Ia menemukannya di halaman belakang, wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu sedang memetik buah plum dari pohon. Freya terlihat begitu damai dalam kesederhanaannya, meskipun tubuhnya tengah mengandung keajaiban kecil yang sebentar lagi akan hadir di dunia.Javier berjalan perlahan ke arahnya, menikmati setiap detik pemandangan ini. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Freya, meskipun dia tampak sibuk dengan keranjang buah di tangannya.“Hai, kau sedang apa?” tanya Javier sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan halaman belakang.Freya menoleh, senyuman lembut menghiasi wajahnya. “Memetik b
Malam itu, suasana rumah Javier berubah menjadi hidup ketika suara deru mobil terdengar berhenti di halaman. Beberapa saat kemudian, riuh celotehan anak-anak mengisi udara. Dylan dan Felix melompat keluar dari mobil, berlari ke arah Freya dengan semangat yang nyaris meledak-ledak. Mereka berlomba-lomba untuk menceritakan petualangan mereka selama di luar rumah, wajah mereka berseri-seri seperti dua matahari kecil yang membawa keceriaan.Javier yang duduk di ruang tamu menoleh sejenak. Senyumnya tipis, cukup hangat untuk menandakan kebahagiaannya melihat anak-anak begitu bersemangat. Tapi pandangannya segera tertuju ke arah pintu mobil yang masih terbuka. Dari sana, Morgan muncul, langkahnya mantap namun terlihat lelah. Javier meletakkan ponselnya di meja, bangkit dan berjalan menghampirinya."Biasanya anak buahmu yang mengantar mereka pulang," ucap Javier, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Morgan hanya menatap Javier sekilas, tidak langsung merespons. Ia menyerahkan dua tas milik D
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Udara pagi itu terasa segar, namun bagi Javier, udara seolah dipenuhi dengan ketegangan yang manis. Berdiri di ruang gantinya, ia merapikan tuksedo putih bersih yang melekat sempurna di tubuhnya. Setiap detail tampak serasi, memberikan kesan bahwa ia adalah pria yang siap memulai kembali kehidupan baru dalam hidupnya, sebagai suami dari wanita yang ia cintai.Javier menatap cermin di depannya, memperhatikan bayangan dirinya. Ada sedikit senyum puas di wajahnya, namun tatapannya segera berubah lembut ketika ia membayangkan sosok Freya."Aku ingin melihat seperti apa dia sekarang," gumamnya pelan.Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya di hadang oleh David yang tiba-tiba muncul di pintu."Hei, hei! Kau mau kemana, Dude?" David bertanya dengan nada menggoda, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan langkah Javier."Bertemu istriku," jawab Javier tanpa ragu, alisnya sedikit terangkat.David tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Di
Pesta pernikahan itu berlangsung singkat, tetapi meninggalkan jejak kenangan manis yang mendalam. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah, mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan setelah perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama.Kini, Freya dan Javier resmi menjadi suami istri, sebuah status yang melambangkan cinta mereka yang akhirnya menemukan tempatnya.Beberapa hari telah berlalu sejak hari pernikahan. Pagi itu, Freya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu dengan langkah ringan. Namun, pandangannya segera terpaku pada sesuatu yang baru di dinding. Sebuah foto pernikahan mereka, berukuran besar dan menonjol, tergantung megah di tengah ruangan. Cahaya pagi yang lembut menyinari bingkai foto itu, mempertegas keindahan momen yang diabadikan di sana.Freya terkejut sekaligus terpesona. Foto itu begitu besar, hampir setinggi tubuhnya, memancarkan aura kebahagiaan dari senyuman mereka di hari spesial tersebut. Sebelum ia bisa berkata apa-apa, langkah Javier terdengar mende
Kamar yang Javier siapkan dengan sepenuh hati untuk menyambut bayinya sudah selesai. Ia berdiri di tengah kamar, matanya menyapu ruangan dengan rasa puas. Namun, ada satu hal yang masih harus ia lakukan. Tanpa menunda, Javier melangkah keluar dari kamar menuju tempat Freya.Di ruang keluarga, Freya duduk santai di sofa dengan perutnya yang sudah besar, sementara Dylan dan Felix, dua jagoan kecil Javier, sibuk mengobrol dengan bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya. Keduanya terlihat sangat antusias menyambut kehadiran anggota keluarga baru."Adik bayi banyak bergerak, Bu! Apa itu berarti dia laki-laki seperti kami?" tanya Felix polos, sambil meletakkan tangannya di perut Freya.Javier mendekat, mengusap kepala Felix sambil tersenyum. "Kau ingin punya adik laki-laki, ya?" tanyanya lembut.Felix menggeleng kecil sambil terkekeh. "Sebenarnya, aku lebih ingin adik perempuan."Javier mengangkat alisnya tinggi, lalu tertawa kecil. "Laki-laki atau perempuan, yang penting adik sehat. K
Keesokan paginya, suasana rumah kembali tenang setelah Javier mengantar Dylan dan Felix ke sekolah. Freya, yang kini memiliki waktu luang, memanfaatkannya untuk berolahraga ringan di ruang gym milik Javier. Meski tubuhnya sudah terasa berat karena kehamilannya, ia tetap ingin menjaga kebugaran agar persalinannya nanti berjalan lancar.Saat melakukan peregangan terakhir, Freya tidak bisa menahan rasa cemas yang perlahan menyelinap. Ia ingat betapa sulitnya proses persalinan sebelumnya, dan ia bertekad untuk tidak mengulanginya. Setelah satu jam, ia memutuskan cukup dan menuju dapur untuk meneguk segelas air dingin.Ketika ia baru saja mengangkat gelasnya, pintu depan terbuka, dan Javier melangkah masuk. "Semalam kau menjanjikan sesuatu padaku. Apa itu?" tanyanya, nada suaranya penasaran.Freya memiringkan kepala, pura-pura tidak mengerti. Tapi beberapa detik kemudian, ia tersenyum penuh arti saat ingatan tentang janjinya semalam ia ingat kembali. "Oh, itu. Tunggu sebentar," jawabnya, m
Selesai mengikuti kegiatan, Avery dan Nancy berjalan keluar dari aula, berbagi tawa ringan sambil bercanda. Namun, langkah mereka melambat ketika melihat Gabriel berdiri di dekat tangga jalan keluar, bersandar dengan sikap santai yang terlalu mencolok. Senyumnya yang setengah menggoda langsung menarik perhatian, meskipun tidak untuk Avery.“Oh, lihat siapa yang menunggu,” bisik Nancy, menyikut Avery dengan cengiran kecil.Avery hanya mendesah malas. "Aku tidak punya energi untuk meladeni pria itu."Tanpa mengubah ekspresi, Avery terus berjalan melewati Gabriel, mengabaikan pria itu seolah dia hanyalah tiang lampu di pinggir jalan. Tapi, Gabriel tidak menyerah begitu saja.“Avery, aku perlu bicara denganmu,” panggilnya, nada suaranya terdengar tegas namun menggoda.Avery berhenti sejenak, menoleh setengah hati. “Tidak ada yang perlu dibicarakan antara kita,” jawabnya dingin, melanjutkan langkah tanpa menunggu tanggapan.Gabriel mendecih, tapi ia tidak menyerah. Saat Avery hampir mencap
Sore itu, Felix dan Avery berjalan berdampingan di sebuah pameran seni. Ruangan itu dipenuhi aroma cat dan kayu halus, suasananya tenang dengan bisikan-bisikan kagum dari para pengunjung yang memandangi karya seni yang dipajang. Avery berdiri mematung di depan sebuah lukisan abstrak yang dominan warna biru dan keemasan, ekspresi anggunnya mencerminkan kekaguman mendalam. Felix yang memperhatikannya dari samping, tak bisa menahan senyum kecil melihat adiknya begitu serius."Ave," panggil Felix, berdiri di sebelahnya. "Kau sudah memutuskan di mana kau akan melanjutkan pendidikan?"Avery menoleh, lalu berjalan perlahan menuju lukisan lain. "Aku akan melanjutkan pendidikan ke New York University. Dan aku tidak akan mengambil cuti setelah lulus. Begitu kelulusan tiba, aku langsung masuk."Felix mengangguk sambil berjalan mendampinginya. "Pilihan yang bagus. Aku mendukung penuh keputusanmu. Tapi, kau sadar kan? Masuk ke NYU tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kau sudah mempersiapkan s
Sejak malam itu hubungan Katie dan Felix nyaris tidak ada jarak, sesuai kesepakatan maka setiap kali Felix membutuhkan Katie, maka perempuan itu harus datang memenuhi tugas sampingannya.Tidak terasa, hubungan yang mereka jalani itu sudah dua bulan berlalu. Katie juga sudah mulai aktif melakukan pemotretan perdananya, tak jarang pula ia dan Felix saling bertemu di kantor atau bahkan bercinta di dalam ruang kerja pria itu.Sebuah tindakan yang memalukan jika ketahuan orang lain, tapi baik itu Katie atau Felix tak peduli, mereka hanya saling memuaskan hasrat satu sama lain di manapun dan kapanpun mereka menginginkannya."Kau memanfaatkan tubuhmu dengan sangat baik menggoda orang lain," ujar Felix, ia menekan tengkuk Katie ke meja saat tubuhnya sibuk menghujam area feminim perempuan itu.
Suasana mendadak tegang, Katie merasa bingung untuk mengambil keputusan dengan situasi yang tercipta antara ia dan Felix saat ini. Dari tatapannya, Felix berjalan membelakanginya untuk meraih sebuah dokumen yang berisi kontrak perjanjian di atas meja."Ini kontraknya," ucap Felix, nada suaranya tenang, hampir seperti tantangan yang terselubung. Ia menyerahkan dokumen itu kepada Katie. "Baca baik-baik. Jika ada yang tidak kau suka, kau bebas pergi. Pintu apartemenku akan selalu terbuka untukmu... ke luar."Tatapan Katie tajam namun penuh keraguan saat ia meraih dokumen itu. Ia menunduk, mulai membaca setiap halaman. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari jebakan yang mungkin tersembunyi di antara kata-kata.Tapi anehnya, tidak ada yang merugikan. Setiap poin dalam kontrak itu terasa masuk akal, bahkan menguntungkan. Meski begitu, ada satu hal yang membuatnya terdiam, lima tahun. Lima tahun adalah waktu yang panjang untuk dihabiskan bersama pria seperti Felix."Jadi," Katie menata
Satu minggu berlalu dan Felix belum mendapatkan konfirmasi dari Katie, ia berpikir mungkin gadis itu sudah menemukan pekerjaan di agensi lain. Felix berusaha mengabaikan hal itu, meskipun sangat di sayangkan karena dalam hatinya ia tak bisa membohongi diri bahwa ia rindu suara jeritan Katie saat mereka melakukan hubungan yang kasar itu.Hari ini, setelah menyelesaikan pertemuan bisnis yang memakan waktunya hampir sepanjang pagi, Felix berniat segera kembali ke kantor. Namun, langkahnya terhenti begitu saja ketika ia menangkap sosok Katie di lobi hotel tempat ia melakukan pertemuan bisnis. Tubuhnya membeku sejenak, alisnya berkerut tajam.Katie berdiri santai dengan tangan menyilang di dada, seakan-akan kehadirannya di sana memang disengaja. Saat tatapan mereka bertemu, gadis itu mengangkat dagunya dengan percaya diri."Oh, disini kau ternyata." ucap Katie, kalimatnya seakan perempuan itu memang sengaja menunggunya.Felix mendekat, memasang ekspresi tenang meski di dalam dirinya timbul
Felix berdiri perlahan dari kursinya, matanya membeku pada sosok Katie yang baru saja memasuki ruangannya. Untuk beberapa saat, keheningan merayap di antara mereka, hanya dipecahkan oleh tatapan tajam yang saling bertautan.Akhirnya, suara Felix terdengar setelah beberapa saat. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.Katie memiringkan kepalanya, seolah menyelidik. "Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau ada di tempat ini?" balasnya, dengan nada penuh tantangan.Felix mengangkat satu alis tinggi-tinggi, lalu tanpa tergesa-gesa, ia mengulurkan tangan menunjuk papan nama di ujung meja yang terukir jelas dengan nama dan jabatannya. "Kau tidak lihat? Aku direktur di agensi ini. Jadi, aku yang seharusnya bertanya, kenapa kau di sini?"Katie menatap papan nama itu dengan mata yang melebar, seolah tak percaya. Bagaimana bisa kebetulan yang sangat tidak masuk akal ini terjadi? New York adalah kota besar yang terbentang luas, dari sekian banyak perusahaan yang ada di kota New York, kenapa m
Felix menatap ke arah Katie yang tertidur pulas setelah apa yang mereka lakukan beberapa saat lalu, pakaian yang berserakan kembali Felix ambil dan ia pakai kembali. Di luar, langit sudah mulai terang dan ia harus kembali ke penginapan karena pukul delapan nanti, ia dan keluarganya akan menuju bandara.Sebelum ia benar-benar pergi, sekali lagi Felix melihat ke arah Katie. Perempuan itu sudah memberinya sebuah pengalaman yang tampaknya akan sulit untuk Felix lupakan, tapi cukup kali ini saja karena setelahnya ia dan Katie kemungkinan tidak akan bertemu lagi.Sekilas Felix menghembuskan nafas dan keluar dari rumah itu, langkahnya berjalan santai hingga tiba di bibir pantai. Dari kejauhan terlihat Dylan dan Eloise bermain air di pinggiran, sebenarnya melihat keromantisan mereka membuatnya sedikit iri, apalagi semalam, Felix melihat Dylan melamar Eloise."Semoga kalian lebih bahagia setelah hari pernikahan itu dilakukan," batinnya, ia menyunggingkan senyum tipis kemudian menuju ke pengina
Suasana rumah tampak hening, sementara Felix dengan santai bersandar mengatur nafasnya setelah apa yang dia dan Katie lakukan. Sementara Katie, perempuan itu mengenakan kembali pakaian berwarna maroon miliknya sebelum menatap ke arah Felix."Apa yang membawamu kemari? Aku pikir kau tidak akan datang karena suatu hal, cukup mengejutkan karena kedatanganmu di luar prediksiku." ucap Katie sambil menatap Felix yang kini meliriknya.Tapi Felix tak langsung menjawab, pria itu menghembuskan nafas panjang dan menyentuh keningnya. Ia tak mengerti ada apa dengannya, ia tadi hanya melihat kalau Dylan melamar Eloise yang artinya mereka akan menikah.Sialnya hal itu membuat emosi aneh dalam dirinya bangkit, ia butuh sebuah kesenangan dan orang yang bisa membantunya mendapatkan hal itu adalah Katie. Toh, besok Felix dan keluarganya juga akan meninggalkan tempat tersebut."Anggap saja sebagai salam perpisahan," ujar Felix dengan nada acuh tak acuh.Katie menyeringai, ia berdiri dan berjalan menuju se
Liburan keluarga Bennett tinggal satu hari lagi, mereka kembali ke penginapan sebelumnya dan sebelum meninggalkan pulau, Avery sempat melihat ke arah Daniel yang berdiri cukup jauh dari dermaga.Pria itu berdiri tegap, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tatapannya sulit dibaca. Ada sesuatu tentang Daniel yang terus membuat Avery berpikir, seolah pria itu memancarkan aura yang tak terjangkau. Namun, perlu diakui, Daniel adalah tipe pria yang ia dambakan. Hanya saja, entah mengapa, ada jarak tak terlihat yang membuat Avery yakin bahwa pria itu tidak menyukainya.Avery memalingkan wajah, mengusir pikiran itu. Dengan langkah mantap, ia naik ke atas yacht bersama kedua saudaranya. Mesin kapal mulai bergetar halus, memecah permukaan air yang tenang saat mereka meninggalkan dermaga.“Nona Katie, apa kau setiap hari menyediakan jasa penyewaan antar-jemput menggunakan yacht?” tanya Dylan, memecah keheningan yang sempat terasa di kapal.Katie, yang duduk dibalik kemudi, menoleh sambil ters