Kehangatan menyambut pagi Javier dengan indah, ia menatap Freya yang berbaring di sebelahnya. Dengan lembut, tangannya membelai wajah wanita itu. Semalam sangat mengagumkan sampai tidak bisa Javier deskripsikan lagi.Hatinya menghangat, bisa menatap Freya yang terlelap seperti ini terasa begitu damai. Perlahan, Freya membuka mata dan ia kaget saat ciuman Javier tiba-tiba mendarat di bibirnya tanpa permisi."Selamat pagi," bisik Javier dengan senyuman menggoda.Wajah Freya seketika merona, teringat bahwa semalam ia begitu berani bermain dengan Javier dengan cara yang berbeda. "Sepertinya semalam ada seseorang yang begitu bersemangat, tapi kenapa pagi ini mendadak saja seperti orang yang berbeda?" goda Javier.Freya tidak merespon, dengan cepat Javier menarik selimut dan mengurung Freya di balik tubuh kekarnya. "Aku tidak tau kau bisa memiliki semangat yang begitu besar seperti itu.""Javier, cukup!" protes Freya, wajahnya pasti sudah sangat merah sekarang.Pria itu tidak lagi menggodan
Di tengah badai salju yang masih deras, apartemen itu menjadi benteng hangat bagi Freya dan keluarganya. Tidak ada perapian seperti di rumah-rumah besar, tetapi penghangat ruangan yang diatur Javier cukup untuk membuat mereka semua nyaman.Suasana apartemen hari itu benar-benar damai, bahkan lebih sunyi dari biasanya. Freya penasaran dengan kedua putranya, Felix dan Dylan, yang tak terdengar riuh seperti biasa. Perlahan ia membuka pintu kamar anak-anak, melihat Felix asyik dengan rubiknya sementara Dylan berkutat dengan komputer, tampak serius dalam dunia pemrogramannya yang Freya sendiri kurang paham.Tak ingin mengganggu, Freya menutup pintu dan beralih ke ruang tamu, di mana Javier sedang bersantai dengan iPad di tangannya.“Jadi, rumahmu sudah terjual?” tanya Freya, penasaran.Javier mengangkat kepala dan tersenyum, lalu meletakkan iPadnya. “Sudah. Untuk sementara aku akan tinggal di sini sampai menemukan rumah baru. Menurutmu, daerah mana yang cocok?”Freya berpikir sejenak. “Tem
Beberapa bulan kemudian, hubungan Freya dan Javier semakin menunjukkan kedekatan yang harmonis. Selayaknya keluarga bahagia yang dikaruniai dua orang anak, dan hari ini Javier baru saja bertemu dengan dokter untuk membantu Freya menghilangkan bekas luka di wajahnya.Setelah perawatan itu, Freya mengajak Javier untuk menjenguk Pamela. Kondisinya terlihat lebih baik, meskipun suaranya masih samar, ia mulai bisa berbicara. Ada perubahan di sorot matanya saat menatap Freya, seolah ingin mengatakan sesuatu yang masih tertahan.“Ayo pulang,” kata Javier pelan, sambil menggenggam tangannya.Dalam perjalanan pulang, saat mereka tiba di depan pintu apartemen, Freya baru ingat, “Javier, aku lupa bilang, bahan makanan di dapur habis. Kita harus membelinya.”“Astaga, kenapa tidak dari tadi saja bilangnya? Ayo kita pergi membelinya.”Keduanya pun memutuskan untuk berjalan ke supermarket terdekat, menyusuri jalan setapak yang tertutup salju. Jalanan licin memaksa mereka melangkah hati-hati, sesekal
Disaat kondisi Eben masih berkeliaran bebas, Javier masih harus menemani Freya untuk melakukan perawatan bekas luka. Namun, ia segera menyadari bahwa menghilangkan bekas luka ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bahkan bertahun-tahun. “Dokter, tidak adakah cara yang lebih cepat untuk menghilangkan bekas lukanya? Dua tahun terasa sangat lama…” Javier bertanya, tak tega membayangkan Freya harus hidup dengan bekas luka itu dalam waktu yang lama. Dokter mengangguk, memahami kekhawatirannya. “Jika Tuan dan Nyonya menginginkan hasil instan, opsi yang tersedia adalah operasi plastik. Namun, prosedur ini cukup invasif dan berisiko. Kami tidak menganjurkannya tanpa pertimbangan matang, meskipun pemulihannya lebih cepat dibanding perawatan saat ini.” Javier menoleh ke arah Freya, "Menurutmu, apa kita harus melakukan cara instan agar bekas lukamu hilang?" Freya diam, mencoba untuk mempertimbangkan. Lalu ia menatap Dokter dan bertanya, “Jika aku memilih operasi, apakah akan mengubah waja
Eben tiba di apartemen Harry dan melihat pemilik apartemen itu duduk membelakanginya di sofa. Melepas hoodie yang menutupi kepala, Eben mendekat.“Kukira kau pergi bertugas,” katanya, menyelidik.“Duduklah.” Tanpa berbalik, Harry mengisyaratkan Eben untuk mendekat.Begitu Eben duduk, Harry menyodorkan sebuah dokumen tanpa banyak kata. Eben membuka dokumen itu dan tersenyum saat menyadari isinya."Aku mendapatkan informasi, Javier akan membawa wanitanya untuk melakukan operasi plastik. Sepertinya kau sudah tau kalau Javier akan melakukan hal ini." ucap Harry.Sambil tersenyum, Eben membaca dokumen yang Harry berikan. "Viona membuka luka di wajah Freya, dan aku tau kalau luka itu akan menjadi luka permanen kalau penanganan yang dilakukan tidak tepat. Sementara Javier, pria itu tidak akan membiarkan wanitanya dengan wajah penuh bekas luka seumur hidup."Harry mengerutkan kening. "Jadi, apa rencanamu?”Eben tersenyum misterius, menutup dokumen itu perlahan. “Ini bagianku. Kau akan tahu na
Suhu tubuh Felix semakin tinggi, wajahnya memucat dan tubuhnya bergetar dalam demam yang tampaknya tak terkendali. Freya mencoba meredakan panasnya dengan kompres dan obat-obatan seadanya di rumah, tapi upayanya tak membawa hasil. Justru, suhu tubuh Felix semakin naik hingga membuatnya semakin lemas.Javier dan Freya pun segera membawa Felix ke rumah sakit, bergegas dalam kecemasan yang menggantung di udara malam itu. Freya menggenggam tubuh kecil Felix erat, merasakan nafasnya yang pendek dan berat di bahunya.“Bu, Felix akan sembuh, kan?” tanya Dylan, yang duduk diam dalam kekhawatiran, suaranya lirih.Freya mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski hatinya mencekam, sesekali mengusap rambut Felix yang basah karena keringat. Tiba di rumah sakit, Felix sempat kejang karena suhu tubuhnya yang sangat tinggi, itu membuat Freya ketakutan dan merasa hatinya teriris melihat kondisi Felix seperti ini, ia menahan tangis di tengah rasa takut yang memuncak.Sebelum ini, Felix tidak pernah dem
Setelah menerima pesan mengancam dari Eben, Javier segera bergegas ke rumah sakit. Langkahnya penuh kekhawatiran, namun ia merasa sedikit lega saat tiba dan melihat Freya serta Felix dalam kondisi baik. Saat masuk, Javier mendapati Freya sedang menyuapi Felix dengan bubur. Suasana tenang di kamar itu sedikit meredakan kekhawatirannya, meskipun hatinya masih gelisah. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga nada suaranya agar tetap tenang."Bagaimana kondisi Felix sekarang?" tanyanya, berdiri di samping tempat tidur.Freya menoleh, memberikan senyum tipis. "Sudah jauh lebih baik. Dokter bilang, kalau malam ini suhu tubuh Felix stabil, besok kita sudah bisa pulang."Javier mendekat dan dengan lembut mengusap rambut putranya. "Nak, apa kamu terjatuh saat bermain?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.Felix menatap ayahnya, matanya sedikit lelah tapi tetap bersinar. "Aku tergelincir saat bermain dengan teman-teman. Tapi tidak apa-apa. Kepalaku hanya terbentur sedikit, aku baik-baik
Saat Freya kembali sadar, ia kembali menantikan kedatangan Javier. Tidak menaruh curiga sama sekali kalau tubuhnya telah dipindahkan ke kamar lain yang sama persis dengan kamar yang sebelumnya.Tapi, jam demi jam berlalu dan Javier tidak kunjung datang. Hanya perawat yang datang memberi obat serta makanan untuk Freya, namun sejauh ini, Freya berpikir positif kalau Javier mungkin sedang ada kesibukan sehingga pria itu tidak mengunjunginya.Malam pun tiba, pagi hari kembali menyapa. Saat Freya bangun dan berharap Javier ada di sebelahnya, ia justru bangun dalam kondisi sendirian. Tidak ada ponsel yang bisa digunakan untuk menghubungi Javier, dan ia juga sendirian di dalam rumah sakit itu."Apa terjadi sesuatu pada Javier? Atau, dia sedang sangat sibuk? Tapi kalau Javier pergi untuk bekerja, dia pasti bicara padaku. Kenapa perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak seperti itu?" batinnya.Akhirnya, Freya memutuskan untuk bangun. Wajahnya terasa membengkak, rasa perih dan sakit terasa begitu ku
Pesta pernikahan itu berlangsung singkat, tetapi meninggalkan jejak kenangan manis yang mendalam. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah, mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan setelah perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama.Kini, Freya dan Javier resmi menjadi suami istri, sebuah status yang melambangkan cinta mereka yang akhirnya menemukan tempatnya.Beberapa hari telah berlalu sejak hari pernikahan. Pagi itu, Freya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu dengan langkah ringan. Namun, pandangannya segera terpaku pada sesuatu yang baru di dinding. Sebuah foto pernikahan mereka, berukuran besar dan menonjol, tergantung megah di tengah ruangan. Cahaya pagi yang lembut menyinari bingkai foto itu, mempertegas keindahan momen yang diabadikan di sana.Freya terkejut sekaligus terpesona. Foto itu begitu besar, hampir setinggi tubuhnya, memancarkan aura kebahagiaan dari senyuman mereka di hari spesial tersebut. Sebelum ia bisa berkata apa-apa, langkah Javier terdengar mend
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Udara pagi itu terasa segar, namun bagi Javier, udara seolah dipenuhi dengan ketegangan yang manis. Berdiri di ruang gantinya, ia merapikan tuksedo putih bersih yang melekat sempurna di tubuhnya. Setiap detail tampak serasi, memberikan kesan bahwa ia adalah pria yang siap memulai kembali kehidupan baru dalam hidupnya, sebagai suami dari wanita yang ia cintai.Javier menatap cermin di depannya, memperhatikan bayangan dirinya. Ada sedikit senyum puas di wajahnya, namun tatapannya segera berubah lembut ketika ia membayangkan sosok Freya."Aku ingin melihat seperti apa dia sekarang," gumamnya pelan.Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya di hadang oleh David yang tiba-tiba muncul di pintu."Hei, hei! Kau mau kemana, Dude?" David bertanya dengan nada menggoda, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan langkah Javier."Bertemu istriku," jawab Javier tanpa ragu, alisnya sedikit terangkat.David tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Di
Malam itu, suasana rumah Javier berubah menjadi hidup ketika suara deru mobil terdengar berhenti di halaman. Beberapa saat kemudian, riuh celotehan anak-anak mengisi udara. Dylan dan Felix melompat keluar dari mobil, berlari ke arah Freya dengan semangat yang nyaris meledak-ledak. Mereka berlomba-lomba untuk menceritakan petualangan mereka selama di luar rumah, wajah mereka berseri-seri seperti dua matahari kecil yang membawa keceriaan.Javier yang duduk di ruang tamu menoleh sejenak. Senyumnya tipis, cukup hangat untuk menandakan kebahagiaannya melihat anak-anak begitu bersemangat. Tapi pandangannya segera tertuju ke arah pintu mobil yang masih terbuka. Dari sana, Morgan muncul, langkahnya mantap namun terlihat lelah. Javier meletakkan ponselnya di meja, bangkit dan berjalan menghampirinya."Biasanya anak buahmu yang mengantar mereka pulang," ucap Javier, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Morgan hanya menatap Javier sekilas, tidak langsung merespons. Ia menyerahkan dua tas milik D
Langkah Javier terdengar ringan ketika memasuki rumah, senyuman tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di tangannya ada sebuah kotak beludru hitam, kecil namun begitu berharga, isinya adalah cincin pernikahan yang telah ia pesan. Pandangannya menyapu ruangan sesaat, mencari sosok yang sudah memenuhi setiap sudut hidupnya dengan kehangatan.Ia menemukannya di halaman belakang, wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu sedang memetik buah plum dari pohon. Freya terlihat begitu damai dalam kesederhanaannya, meskipun tubuhnya tengah mengandung keajaiban kecil yang sebentar lagi akan hadir di dunia.Javier berjalan perlahan ke arahnya, menikmati setiap detik pemandangan ini. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Freya, meskipun dia tampak sibuk dengan keranjang buah di tangannya.“Hai, kau sedang apa?” tanya Javier sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan halaman belakang.Freya menoleh, senyuman lembut menghiasi wajahnya. “Memetik b
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi satu hal selalu sama, setiap kali Dylan dan Felix pulang dari pertemuan mereka dengan Morgan, keduanya terlihat kelelahan. Javier sudah mulai terbiasa melihat wajah letih kedua putranya, meski rasa penasarannya terus mengganggu. Setiap kali ia bertanya apa yang mereka lakukan, jawaban mereka selalu singkat, "Bermain dengan Kakek."Namun sore itu berbeda. Wajah Dylan terlihat memerah seperti habis terbakar matahari, dan kulitnya tampak kasar. Freya yang cemas melihat kondisi anaknya, segera mengambil pelembap dan mengoleskannya ke wajah Dylan dengan lembut.Javier yang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan, "Permainan apa yang kalian lakukan dengan Kakek sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah pada Dylan.Dylan hanya menunduk, sementara Felix yang biasanya lebih blak-blakan, terlihat ragu-ragu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Dylan buru-buru menutup mulut saudaranya.Alis Javier terangkat tinggi. "Jad
"Kau yakin hanya pesta biasa saja?" tanya Javier, matanya memandang Freya dengan ragu, seolah memastikan dia tidak salah dengar.Freya mengangguk mantap, senyum lembut tersungging di wajahnya. "Aku tidak terlalu menyukai sesuatu yang berlebihan. Lebih baik kita mengadakan pernikahan yang sederhana. Hanya menghadirkan orang-orang terdekat, tanpa kemewahan yang berlebihan. Bagiku yang penting adalah maknanya, bukan pesta besar yang mencuri perhatian."Javier terdiam sejenak, lalu meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. Ia menatap mata wanita itu dengan penuh perhatian. "Jangan khawatir soal biaya. Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ingin hari itu menjadi sempurna, sesuatu yang tak akan pernah kita lupakan."Freya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, seolah meyakinkan pria di depannya. "Bukan soal biaya, Javier. Ini tentang apa yang membuatku bahagia. Aku tidak butuh pesta yang megah untuk merasa istimewa. Yang aku butuhkan hanyalah kamu, dan janji yang kita bangun bersama. It
Seperti yang Javier harapkan, keesokan paginya, bahkan sebelum cahaya matahari menyentuh cakrawala, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Javier yang sudah menunggu sejak semalam turun dari lantai dua ke ruang tamu.Saat pintu mobil terbuka, dua pria dengan tubuh tegap keluar, masing-masing menggendong Dylan dan Felix yang tertidur pulas di pelukan mereka. Bocah-bocah itu tampak damai, seolah-olah tak terganggu oleh perjalanan panjang yang baru saja mereka lalui.Javier melangkah keluar, matanya menyapu kendaraan dengan hati-hati, berharap menemukan sosok Morgan. Namun yang ia temui hanyalah seorang supir berdiri kaku di sisi pintu mobil.“Dimana bos kalian?” tanya Javier dengan nada datar, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip dalam suaranya.Supir itu menunduk hormat. “Tuan mempercayakan kami sepenuhnya untuk mengantar putra Anda kembali dengan selamat. Jika tidak ada yang lain, kami permisi.”Tanpa menunggu jawaban, kedua pria yang menggendong Dylan dan Felix
Keduanya menuju mobil terparkir, niat Javier ingin mengajak Freya ke butik hari ini berakhir di tunda. Mereka pulang, perjalanan dari pantai yang Freya kunjungi dari rumah sangat jauh dan mereka tiba di rumah saat langit sudah gelap. Tapi, rumah dalam keadaan sepi. Biasanya saat jam seperti ini, Dylan dan Felix sangat ribut sehingga rumah sepi seperti ini cukup membuat Freya curiga apa yang dilakukan oleh mereka. "Aku akan lihat mereka di kamar," kata Freya. Ketika Freya menghilang menuju lantai atas, Javier menerima panggilan telepon yang datang tiba-tiba. Ia menjawab dengan santai, “Halo?” Suara berat di ujung telepon langsung terdengar tanpa basa-basi. “Aku akan mengembalikan kedua putramu besok.” Belum sempat Javier menjawab, panggilan itu langsung terputus. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendesah panjang, memijat pelipisnya perlahan. Sementara itu Freya membuka kamar putranya, tapi kosong. Perasaannya mendadak cemas, dengan langkah tergesa-gesa ia kembal
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da