"Apa-apaan ini, Gilang? Kenapa sekarang kamu jadi menekanku? Dari awal aku mencarimu karena membutuhkan bantuanmu, tapi kenapa kamu jadi pamrih seperti ini?" tanya Kasih tak menyangka."Dari awal aku sudah memperingatimu, kalau di dunia ini nggak ada yang gratis. Lagian kita ini sama-sama untung kok. Bastian sudah sembuh karena berkat pertolonganku, dan harusnya aku juga dapat untung, kan? Sebagai imbalannya kamu menikah denganku. Bukankah itu impas?"Kasih mengepalkan tangannya, dia merasa dipermainkan oleh Gilang. Lebih parahnya lagi dia merasakan dejavu, bukankah pria itu dulunya pernah berkata seperti itu, ketika Kasih sedang membutuhkan uang untuk pengobatan ibunya? Dan sekarang kata-kata itu Kasih dengar lagi karena Gilang berhasil menyembuhkan putranya. Bukan hanya menyembuhkan, tapi juga membayar tagihan rumah sakit."Gilang, Bastian itu anak kamu juga, kenapa kamu jadi itung-itungan kayak gini," kata wanita itu frustrasi."Nggak itung-itungan, aku cuma minta imbalan sama kamu
"Aku harus bagaimana sekarang? Apa aku harus minta bantuan lagi ke Bima? Ya, memang dia satu-satunya orang yang mau bantu aku, tapi ... lagi-lagi kendalanya ada di Dina. Argghh! Aku harus bagaimana sekarang? Kenapa Gilang begitu egois sih. Kalau tahu seperti itu, aku nggak bakal minta tolong sama dia. Dan, Bastian? Bisa-bisanya kamu mau ikut dengan pria itu. Ah, ini gimana ceritanya sih," keluh wanita itu seraya mengacak rambutnya frustrasi.Rasanya dia sudah capek menangis hanya karena memikirkan hal itu, yang sialnya sama sekali tak ada solusinya.Kasih tersentak kaget karena tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, dengan cepat dia mengambil ponsel itu."Halo, Bim. Kenapa?""Kamu yang kenapa?" sentak pria itu, membuat kening wanita itu berkerut."Kamu ini kenapa? Nelepon tiba-tiba marah-marah," cetus Kasih."Ya jelas lah aku marah, kamu ini gimana sih, kenapa biarin anak-anak kamu dibawa sama pria itu, hah? Padahal waktu itu aku berharap kamu bisa memanfaatkan peluang, untuk mengajak ana
Kasih mencoba menghubungi nomor Gilang, sayangnya pria itu sama sekali tak mengangkat panggilannya."Astaga! Angkat dong, kenapa kamu suka sekali mempersulit hidupku," erang Kasih.Karena sudah berkali-kali menghubungi pria itu, tapi sama sekali tak ada hasil, akhirnya dia memutuskan untuk mengirimi pria itu pesan.[Tolong angkat panggilanku, aku ingin bicara denganmu!]Tak lama setelah itu Gilang membalas pesannya.[Siapa?]Kasih memutar bola matanya malas, menurutnya, pria itu pura-pura tidak tahu, padahal sebenarnya tahu. Jelas saja Kasih bisa menebaknya, karena pria itu sendiri waktu itu yang memberikan nomor pria itu."Halah! Dasar sok kecakepan," cibir wanita itu.[Kasih.]Wanita itu langsung membalas dengan ogah-ogahan.[Oh, aku kira orang iseng. Silakan telepon aku lagi, mumpung aku lagi nggak sibuk.]Mata Kasih membulat. "Idih, selain sok kecakepan ternyata dia sok sibuk juga," cibir wanita itu.[Kalau kamu selalu sibuk, bagaimana caranya kamu mengurus anak-anak?]Kasih memba
"Kok malah diam, jadi benar ya? Kalau kamu mau menghubungiku itu karena benar-benar merindukan suaraku?"Kasih mendengkus keras. "Hentikan kegeeranmu itu, aku mau tanya gimana kabar anak-anakku?" tanya wanita itu dengan suara sinis."No! Bukan anak-anak kamu, tapi anak kita," koreksi Gilang.Wanita itu memutar bola matanya malas. "Ya, ya, ya. Terserah kamu aja mau bilang apa. Sekali lagi aku tanya, gimana keadaan anak-anak ak-- ehem, maksudnya gimana keadaan anak-anak?""Kalau kamu penasaran atau khawatir dengan Manda dan juga Bastian, kenapa nggak datang ke sini aja."'Itu sih maunya kamu,' cibir Kasih dalam hati."Gilang, aku tanya!" geram wanita itu dengan suara ditekan. "Mereka baik-baik aja, kan? Pasti Bastian di sana rewel, kan? Dia itu nggak bakal betah kalau di tempat asing. Jadi sebaiknya kamu bawa aja dia ke sini," titah wanita itu."Kata siapa dia rewel? Dia anteng banget kok. Tuh, dia malah lagi asyik main sama saudara kembarnya.""Jangan bohong, Gilang!" geram Kasih."Kam
"Anak siapa lagi yang kamu bawa, Bro?" tanya Fandi penuh keheranan."Anak aku lah," dengkus Gilang.Mulut Fandi menganga begitu lebar. "Tunggu-tunggu, anak kamu?" tanya pria itu balik."Ya.""Ya Tuhan, dari perempuan mana lagi tuh? Kok kamu ini sukanya menabur benih di mana-mana sih," gerutu Fandi seraya geleng-geleng kepala."Sembarangan aja kalau nuduh. Itu anak aku sama Kasih."Mulut Fandi semakin menganga. "Hah? Gimana? Anak kamu sama Kasih? Kalian kapan bikinnya? Bukannya selama ini nggak pernah ketemu ya? Terus kok tiba-tiba anaknya udah besar gitu?" tanya Fandi secara beruntun, membuat Gilang memijat pelipisnya karena terasa berdenyut sakit."Makanya dengar dulu kalau aku lagi ngomong," kata Gilang kesal."Gimana mau dengarin kamu ngomong. Aku dari tadi tanya kamu jawabnya juga dikit-dikit," cibir pria itu.Gilang menghela napas berat. "Ya, intinya dia itu anak aku juga.""Gimana ceritanya?""Kasih waktu itu melahirkan anak kembar.""Hah? Masa?" tanya pria itu tak percaya. "Ter
"Di mana anak-anak?" tanya wanita itu ketus.Gilang berdecak kesal. "Anak-anak mulu yang dicari, ini tangan aku udah pegal loh, nggak pengin dipeluk?"Kasih mendengkus keras. "Peluk aja tuh pintu, minggir aku mau masuk, mau ketemu sama anak-anak.""Eits! Nggak segampang itu kamu mau masuk ke rumah ini, patuhi dulu aturanku. Peraturannya juga nggak sulit kok, cukup berikan aku pelukan, ciuman atau yang lainnya juga boleh," kata pria itu seraya mengedipkan sebelah matanya.Kasih yang tampak jengah mendengar bualan Gilang pun langsung mendorong tubuh pria itu. Alhasil membuat pria itu jatuh tersungkur.Kasih yang melihatnya tersenyum sinis. "Segitu doang kemampuan kamu? Dasar lemah," ejek wanita itu.Gilang langsung berdiri, dia langsung mendekati wanita itu."Apa kamu bilang? Kamu ngatain aku lemah? Wah, jangan salahkan aku kalau aku nekat, kamu benar-benar melukai harga diriku, Kasih. Awas saja nanti, aku akan mengalahkanmu di ranjang," desis pria itu.Kasih mengedikkan bahunya acuh, p
Kasih menggigit bibir bawahnya, dia bingung harus menjawab apa. Ditambah lagi mendapat tatapan mengintimidasi dari kedua anaknya, dan juga dari Fandi.Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia langsung menjawab pertanyaan dari Fandi di depan mereka semua? Bagaimana kalau jawabannya membuat kedua anaknya terluka."Aku akan menjawabnya nanti," gumam wanita itu.Fandi menggeleng dengan tegas. "Nggak bisa! Kami butuh kejelasan sekarang juga, dan aku harap jawabannya adalah iya. Coba pikir-pikir, Kasih. Apa kamu tega melihat mereka akan kembali berpisah, padahal baru aja mereka bertemu.""Apa kamu nggak kasih waktu buat aku berpikir?" tanya Kasih kesal."Aku yakin Gilang udah kasih kamu banyak waktu buat berpikir, dia sudah terlalu berbaik hati padamu, sayangnya kamu malah ngelunjak. Jadi, mau nggak mau, suka nggak suka, kamu harus menjawab sekarang juga, nggak ada kata nanti-nanti.""Tapi--""Oke, kami beri waktu selama sepuluh menit untuk berpikir."Kasih mendengkus keras. "Kamu jahat bange
"Kasih!" teriak Diana, wanita itu berlari kecil mendekati sahabatnya. "Selama ini kamu ke mana aja sih, kok nggak pernah ada kabar," lanjut wanita itu seraya memeluk erat tubuh Kasih."Pelan-pelan, Di. Aku sesak napas, kamu meluknya kekencengan," keluh wanita itu."Oh, sorry-sorry." Diana pun langsung melepaskan pelukannya itu. "Ke mana aja sih kamu, kok nggak pernah kasih aku kabar. Udah lupa ya sama aku?"Kasih tertawa kecil. "Kalau udah lupa, nggak mungkin aku ngajak kamu ketemu, Di.""Terus selama ini kamu ke mana?" tanya Diana lagi."Nggak ke mana-mana sih, cuma menenangkan diri aja."Diana mendengkus keras. "Nyatanya dirimu nggak bisa tenang, kan, selain di sini?" cibir wanita itu.Lagi-lagi Kasih menanggapinya dengan tawa. "Kok tahu sih?" "Ya tahu lah, secara, kan, pujaan hatimu ada di sini. Gimana? Udah ketemu belum sama dia? Pasti udah dong ya. Omong-omong, si Manda itu anak kamu sama Gilang, kan? Itu beneran nggak sih, takutnya dia bohongin aku, siapa tahu itu anaknya sama