"Kamu kenapa sih, dari tadi duduk selalu gelisah?" tanya Yura heran."Hah? Oh, ini. Makanannya pedas banget," sahut Gilang asal.Yura mengerutkan keningnya. "Perasaan tadi kamu nggak pesan yang pedas deh, apa pelayannya yang salah antar kali ya? Aku panggil pelayan aja deh, biar makanan kamu diganti.""Jangan!" cegah Gilang. Pria itu tampak pias. "Nggak usah cari ribut deh, biar aja nggak usah diganti. Lagian ini makanannya nggak pedas-pedas banget kok. Udah, lanjut aja lagi makannya, bentar lagi kamu ada pemotretan, kan?" tanya Gilang, mengalihkan pembicaraan."Serius nggak apa-apa? Tapi kayaknya kamu tersiksa banget tuh. Atau kita tukeran makanan aja gimana?"Gilang menggeleng cepat. "Nggak usah, kamu bentar lagi ada pemotretan, nanti kalau tiba-tiba sakit perut gimana?""Ya udah deh," gumam Yura pelan. Wanita itu pun kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya.Sedangkan Gilang, pria itu bernapas lega karena Yura tak lagi menyahut ucapannya.Dia kembali melirik ke arah meja yan
"Udah dia balas?"Kasih menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tengah gelisah."Ya udah, nggak usah dipikirin. Kamu itu punya hak untuk bebas. Masa iya dia aja yang enak. Dia bisa tuh mesra-mesraan sama istrinya. Masa kamu nggak?" tanya Diana sinis."Masalahnya, di surat perjanjian itu--""Halah! Nanti kalau dia marah, kamu tinggal putar balikkan fakta. Masa gitu aja nggak bisa, jadi perempuan jangan mau dikekang. Emangnya dia itu siapa, suami kamu sendiri aja nggak pernah tuh ngelarang kamu."Kasih menghela napas berat. "Semoga aja masalahnya nggak berbuntut panjang."'Dan semoga Gilang nggak akan ngamuk seperti waktu itu. Semoga aja kali ini dia mau mengerti,' batin Kasih melanjutkan."Nggak bakal kalau kamunya tegas," imbuh Diana."Iya. Terus ini kita jadi nonton?""Jadi dong. Oh, ya, yang tadi itu siapa? Kok kalian kayak akrab banget gitu?" tanya Diana penasaran."Awalnya juga aku nggak ngeh dia siapa. Pas dia kasih tahu perihal laki-laki badut baru deh aku paham. Namanya Bima
Gilang duduk di sofa ruang tamu dengan tenang. Ditemani sebatang rokok di sela bibirnya.Gilang sebenarnya bukan pecandu rokok, dia seperti itu ketika hatinya sedang kalut. Menurutnya, membuang asap melalui mulutnya membuat apa yang tengah dia rasakan di hatinya sedikit plong.Pria itu tersenyum sinis ketika melihat Kasih terus meronta. Saat ini kedua tangan Kasih diingat dengan tali di salah satu besi yang Kasih tidak tahu dari mana besi itu berasal.Kasih menduga, mungkin Gilang sudah merencanakan semuanya untuk menghukumnya. Selain kedua tangannya diikat, mulutnya juga disumpal menggunakan kain. Hal ini sungguh menyiksa Kasih.Saat ini Kasih terlihat begitu kacau, dia mencoba menarik-narik ikatan yang ada di tangannya, tapi sayangnya tak berhasil karena ikatan itu sangat kuat. Bahkan karena Kasih selalu memberontak, membuat tangan wanita itu sedikit lebam.Melihat Gilang beranjak dari duduknya, Kasih semakin pias. Dia takut kalau pria itu akan melakukan hal yang lebih gila. Dia ing
Kasih meringis pelan ketika merasakan pergelangan tangannya terasa sakit. Dia membuka matanya perlahan, pertama kali yang dia lihat adalah langit-langit kamar.Sejenak dia berpikir, mengingat kejadian tadi malam. Seingatnya, dia tengah diikat oleh Gilang, dan juga ditinggalkan oleh pria itu.Kasih memandang sekitar, saat ini dia tengah berada di kamarnya. Tadi malam Kasih sudah mencoba beberapa kali untuk melepaskan ikatan tali itu, tapi hasilnya nihil. Lalu siapa yang melakukannya? Melepaskan ikatan itu dan juga membawa dirinya ke tempat tidur?"Tidak mungkin kalau itu dia," kata wanita itu pelan.Kasih kembali memejamkan mata, hari ini dia berniat untuk bermalas-malasan, kejadian tadi malam sungguh saat menguras energi dan juga emosinya, dia akan menggunakan waktu itu untuk menstabilkan perasaannya."Sudah bangun?""Eh?"Kasih langsung terduduk, dia kaget mendengar suara berat itu.Kasih sangat hapal siapa pemilik suara itu, suara lelaki yang sudah membuatnya seperti ini.'Kenapa di
Yura melihat jam sambil mendesah berat. Sudah berada di angka 00.00 kenapa suaminya sampai saat ini belum muncul juga?"Dia itu sebenarnya pergi ke mana sih? Apa lagi di luar kota?" gumam wanita itu. "Mana udah siap-siap pakai baju seksi kayak gini. Ish! Kebiasaan deh dia tuh. Janjinya selalu molor," cebiknya.Yura menghubungi nomor Gilang. Sambungan itu terhubung, akan tetapi tak ada jawaban dari pria itu, membuatnya jengkel setengah mati."Ya Tuhan! Dia itu kenapa selalu kayak gini. Mana gairah udah di ujung tanduk. Oke, tunggu setengah jam lagi, kalau dia belum datang juga, benar-benar keterlaluan."Yura memutuskan untuk tidur, tak lupa dia menyetel alarm. Untuk jaga-jaga kalau Gilang datang.Wanita itu pun akhirnya tertidur pulas. Tak terasa sudah jam 00.30 alarm itu akhirnya berbunyi, deringan itu sungguh memekakkan di telinga Yura, membuat wanita itu mendengkus keras.Dengan mata terpejam dia menonaktifkan ponselnya, dia kembali melanjutkan tidurnya. Dia lupa karena sebenarnya t
[Sudah lebih dari satu Minggu kamu tidak ada mengabariku.]Kasih membaca pesan itu sambil tersenyum miris. Bukankah harusnya pria itu yang lebih dulu menghubunginya?Kasih sama sekali tidak berniat untuk membalasnya, biar saja pria itu marah. Dia sudah capek dengan keadaan yang dijalani saat ini, biarlah suaminya itu berasumsi yang tidak-tidak. Untuk apa memikirkan pria itu, sedangkan pria itu saja sama sekali tidak memikirkannya.Pesan kembali masuk, kali ini bukan dari Dani, melainkan Gilang.[Aku akan kembali ke apartemen, aku ingin menghabiskan banyak waktu denganmu. Jalan-jalan, belanja, kulineran, dan juga nonton.]Kasih memejamkan mata sejenak, sedari tadi dia merasakan kepalanya nyut-nyutan. Selain karena faktor kurang tidur, dia juga pusing dengan kedua pria itu.[Ya, terserah kamu saja.]Kasih membalas pesan itu. Tak lama Gilang kembali membalasnya.[I Love You.]Kasih tak berniat membalasnya, dan lagi-lagi chat dari Gilang kembali masuk.[Dengan tubuhmu.]Kasih tertawa sumb
"Gimana? Puas?"Kasih memejamkan matanya, napasnya tampak tak beraturan, senyuman tipis muncul di bibirnya. Baru kali ini Gilang melihat senyuman itu ketika mereka habis bercinta.Jantung Gilang berdegup begitu keras ketika melihatnya. "Terima kasih," kata wanita itu lirih."Aku bahagia," imbuh Gilang.Perlahan mata Kasih terbuka, dia menatap Gilang dengan heran."Kenapa?""Kamu. Baru kali ini aku melihat kamu begitu puas dengan permainanku."Kasih tak menjawab, lagi-lagi hanya senyuman yang ia berikan untuk Gilang."Untuk kali ini aku begitu menikmatinya, terima kasih karena sudah berhasil membuatku melupakan beban yang aku pikul. Sebenarnya aku selalu menikmati permainanmu, tapi ... untuk kali ini beda."Gilang mengangguk. "Aku juga merasakannya. Apa sekarang kamu sudah mulai menerima keberadaanku?"Dahi Kasih berkerut. "Apa maksudmu?" tanyanya tak paham.Gilang tertawa pelan. "Aku tahu selama ini kamu mau bercinta denganku karena hanya perihal kontrak itu. Kamu tidak benar-benar m
Malam itu turun hujan begitu derasnya, sama halnya perasaan Gilang yang dia alami saat ini. Hatinya terasa tak karuan ketika mengingat percakapannya dengan Kasih.Ada perasaan sesal karena pertemuan itu. Tidak, dia bukan menyesal bertemu dengan wanita yang bernama Kasih, yang dia sesali kenapa baru sekarang bertemu dengan wanita itu? Kenapa tidak dari dulu saja, sebelum dia mengenal Yura?Takdir? Iya, Gilang mempercayai hal itu, dan yang menjadi pertanyaannya saat ini adalah mau dibawa ke mana hubungan gelap ini. Gilang tahu kalau di setiap pertemuan pasti ada perpisahan, tapi jujur saja, pria itu tidak terima. Dia tidak tahu yang dia rasakan itu sebuah perasaan cinta atau hanya obsesi saja.Gilang menatap rintik hujan itu dengan perasaan gamang. Tak lupa juga ada sebatang rokok terselip di sela bibirnya, dia tersenyum miris. Dengan adanya rokok menandakan jika hatinya sedang kacau."Anak?" gumam pria itu sambil tertawa pelan. "Dari dulu aku selalu mengharapkan kehadirannya, tapi yang
Tidak ada yang paling membahagiakan menurut Gilang selain menikah dengan orang yang dia cintai.Wanita yang selama ini dia tunggu-tunggu kehadirannya akhirnya sudah berada digenggamannya untuk selamanya.Kebahagiaan Gilang terasa sangat lengkap karena kedua anak yang lahir dari perut Kasih, wanita yang dicintainya.Ya, bukankah pria itu dari dulu sangat menginginkan hal itu? Mungkin dulunya Kasih menganggap jika omongan Gilang hanya candaan belaka, tapi tidak menurut Gilang, pria itu benar-benar sangat serius mengatakannya.Dulu, hubungan mereka sangatlah salah, tidak pantas ditiru untuk siapapun. Sebatas partner di atas ranjang, karena dia begitu kesepian, dan dia memanfaatkan Kasih karena wanita itu sangat membutuhkan bantuan.Gilang menggeleng seraya tersenyum kecil ketika mengingat awal pertemuan mereka yang menurut pria itu sangat berkesan."Ngapain senyum-senyum sendiri? Hayo, pasti lagi mikirin sesuatu," celetuk Kasih. Wanita itu menatap suaminya penuh curiga."Iya nih, tahu aj
"Selamat ya, akhirnya hari-hari yang kalian tunggu tiba juga," celetuk Fandi seraya menyalami Gilang."Makasih, Bro. Kalau bukan karena kamu, pasti hari ini nggak akan terjadi," ucap Gilang dengan suara tulus.Fandi tertawa kecil. "Habisnya aku greget banget sama hubungan kalian berdua. Sama-sama mau tapi gengsinya gede banget. Wanita itu memang harus digertak, kalau nggak digituin nanti malah teus mengulur waktu. Dan ya ... rencanaku berhasil, kan. Pada dasarnya itu Kasih cinta sama kamu, terlihat begitu jelas dengan tatapan matanya. Cuma ya seperti tadi yang aku bilang, gengsinya wanita itu besar. Yang dia mau lelaki harus berusaha sekuat mungkin berjuang buat meyakinkan dia, kalau sudah dirasa cukup barulah dia nerima kamu. Pikiran wanita itu gampang ditebak," celoteh Fandi panjang lebar."Ya, ya, ya. Terserah kamu bilang apa, intinya aku berterima kasih karena pada akhirnya kami sudah menikah, itu semua berkat kamu."Fandi menepuk pundak Gilang dengan pelan. "Sama-sama, tapi aku y
"Apa kamu menyesal karena sudah melakukan kesalahan fatal, Dina?" tanya Bima sinis.Wanita itu tak berani menatap calon suaminya itu, dia benar-benar begitu malu.Karena melihat Dina diam saja, Bima pun duduk di hadapan wanita itu, pria itu menghela napas berat."Sejujurnya aku nggak mau lihat kamu seperti ini, tapi ... kamu memang pantas dihukum seperti ini, karena kesalahanmu itu. Apa sampai saat ini kamu belum menyadari kesalahanmu itu? Apa sampai saat ini kamu masih menyalahkan aku dan Kasih karena kami dekat? Dan masih benci dengan Bastian yang jelas-jelas anak itu tidak memiliki kesalahan apapun? Apa kamu masih mempertahankan egomu itu, Dina?" tanya Bima secara beruntun.Tak lama setelah itu, terdengar suara isak tangis dari wanita itu. Sejujurnya Bima tak tega mendengarnya, ingin sekali memeluk wanita itu, tapi mati-matian ia tahan, dia ingin kalau Dina menyadari kesalahannya."Aku ... aku sangat menyesal, Mas. Aku menyesal. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, aku nggak
Gilang tersenyum puas karena pada akhirnya Tiara sudah masuk ke dalam penjara. Untuk sebagai bukti yang akan dia tujukan pada calon istrinya itu, Kasih, jadi dia mengambil foto Tiara ketika sedang di dalam penjara."Gimana? Enak, kan, rasanya hidup di sini. Makan gratis, nggak ngapa-ngapain lagi, harusnya kamu berterima kasih sama aku," kata pria itu dengan bangga.Tiara menggerakkan giginya. Rasa amarah dan juga malu menjadi satu.Niatnya ingin memiliki pria itu, malah berakhir seperti ini. Sungguh mengenaskan."Saya mohon, Pak. Tolong bebaskan saya dari sini," mohon wanita itu."Gimana? Kamu minta untuk dibebaskan? Bukannya di sini tempatnya sungguh nyaman?" Lagi-lagi Gilang mengejek wanita itu."Saya tidak mau tinggal di sini, Pak. Tolong keluarkan saya dari penjara ini, Pak. Saya janji akan menuruti semua perintah Anda kalau Anda mau mengeluarkan saya dari sini." Lagi-lagi Tiara memohon ampun.Wanita itu sangat menyesal karena sudah masuk ke dalam kehidupan pria itu. Sungguh, keja
"Aku sudah menuruti semua keinginanmu, sekarang giliran aku menagih janjimu.""Janji? Emangnya aku punya janji sama kamu?" tanya Kasih heran."Oh, jadi kamu mau melupakan hal itu?""Aku serius!" bantah Kasih."Bukankah kamu yang bilang sendiri kalau aku sudah berhasil memecahkan kasus siapa yang menabrak Bastian, kamu mau menikah denganku? Apa kamu mencoba untuk ingkar janji?" tanya Gilang dengan sorot mata tajam."Oh, yang itu. Aku kira apaan. Masih ada satu lagi yang belum kamu selesaikan.""Mencoba cari alasan lagi?"Kasih menggeleng. "Aku sama sekali nggak cari alasan," bantah wanita itu dengan mata melotot."Ya sudah, katakan saja. Aku harap ini yang terakhir kalinya kamu mencari alasan. Setelah itu, tidak ada lagi yang namanya ngeles, kamu harus menikah denganku secepatnya.""Kenapa harus terburu-buru?" tanya Kasih dengan senyum remeh."Serius kamu bertanya seperti itu? Baiklah, aku akan menjawabnya dengan sejujur-jujurnya. Apa lagi kalau tidak merindukan tubuhmu. Tubuhmu itu ca
"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Kasih heran. Bima menghela napas berat, dia melirik ke arah Gilang yang saat ini tengah duduk anteng di dekat Kasih. Tatapan mereka berdua bertemu, Bima memberi kode pada Gilang agar pria itu pergi dari situ, karena Bima ingin berbicara berdua saja dengan Kasih. Sayangnya yang diberi kode sama sekali tak mengerti, lebih tepatnya Gilang pura-pura tidak tahu apa maksud Bima, pria itu malah melengos. "Bim?" panggil Kasih heran karena melihat pria itu tampak diam saja. "Tadi katanya mau ngomong, kok malah diam aja?" "Bisakah hanya kita berdua saja di sini, nggak lama kok," pinta Bima. Gilang mendelik kesal ketika mendengar Bima berbicara seperti itu. Tidak cukup jelaskah kalau tadi Gilang menolak usiran dari pria itu melalui tatapannya? Lantas kenapa harus diperjelas lagi? "Kalian ngobrol aja, anggap aja aku nggak ada di sini. Aku nggak bakalan dengar pembicaraan kalian berdua kok," kata Gilang dengan suara tenang. "Gilang, biarkan kami berdua
"Mas aku beneran minta maaf, Mas. Tolong maafin aku, Mas. Please," mohon Dina."Kamu itu salah, Din. Salah besar! Apa pantas aku maafin kamu?" tanya pria itu sinis."Aku benar-benar khilaf, Mas. Aku minta maaf, Mas. Aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku?"Bima terus menggeleng. "Aku benar-benar masih nggak nyangka aja, Din. Wanita yang selama ini aku anggap baik, nyatanya aku salah kira. Di depanku aja kamu terlihat begitu baik, tapi di belakangku ... hatimu begitu busuk," desis pria itu."Aku akui kalau aku ini salah, Mas. Aku ini cemburu melihat kedekatan kalian, Mas," kata Dina jujur."Aku selalu meluangkan waktu untukmu, Din. Bahkan aku menemui Kasih dan Bastian itu termasuk jarang, itu semua aku lakukan demi menjaga hati kamu. Tapi apa? Kamu malah egois!" tandas pria itu."Aku nggak egois, Mas. Aku hanya ingin mempertahankan hubungan kita!" kata Dina tak terima.Bima yang melihat sikap arogan Dina pun tertawa sinis."Kamu itu ya, udah tahu salah bukannya minta maaf tapi mal
"Iya bentar!" Bima terlihat begitu kesal karena sedari tadi ada yang mengetuk pintu rumahnya dengan sangat kencang.Pria itu berjalan menuju ke arah pintu dengan terburu-buru, setelah itu dia pun membuka pintu, matanya terbelalak ketika melihat siapa yang datang ke rumahnya."Selamat siang," sapa pria itu.Bima tak segera menjawab, dia masih kaget dengan kedatangan pria itu."Ehem! Selamat siang," kata pria itu sekali lagi."Siang," jawab Bima kikuk."Apa aku mengganggu waktumu?""Nggak, nggak kok," sahut Bima seraya menggeleng cepat. "Omong-omong ada apa ya datang ke sini, apa ada yang bisa dibantu?""Apa aku tidak dipersilahkan untuk duduk?""Oh, ya, silakan duduk. Tunggu sebentar, aku buatkan minum dulu.""Nggak usah, aku datang ke sini bukan untuk minta minum, tapi ada yang harus aku selesaikan.""Kamu datang ke sini mau cari Kasih? Sorry aja ya, Kasih nggak pernah datang ke sini," jelas Bima, dia mengira kedatangan Gilang ke rumahnya karena ingin mencari wanita itu."Kedatangank
"Kasih!" teriak Diana, wanita itu berlari kecil mendekati sahabatnya. "Selama ini kamu ke mana aja sih, kok nggak pernah ada kabar," lanjut wanita itu seraya memeluk erat tubuh Kasih."Pelan-pelan, Di. Aku sesak napas, kamu meluknya kekencengan," keluh wanita itu."Oh, sorry-sorry." Diana pun langsung melepaskan pelukannya itu. "Ke mana aja sih kamu, kok nggak pernah kasih aku kabar. Udah lupa ya sama aku?"Kasih tertawa kecil. "Kalau udah lupa, nggak mungkin aku ngajak kamu ketemu, Di.""Terus selama ini kamu ke mana?" tanya Diana lagi."Nggak ke mana-mana sih, cuma menenangkan diri aja."Diana mendengkus keras. "Nyatanya dirimu nggak bisa tenang, kan, selain di sini?" cibir wanita itu.Lagi-lagi Kasih menanggapinya dengan tawa. "Kok tahu sih?" "Ya tahu lah, secara, kan, pujaan hatimu ada di sini. Gimana? Udah ketemu belum sama dia? Pasti udah dong ya. Omong-omong, si Manda itu anak kamu sama Gilang, kan? Itu beneran nggak sih, takutnya dia bohongin aku, siapa tahu itu anaknya sama