"Tiara!""Duh, kenapa lagi sih. Udah malam masih aja teriak-teriak," keluh Tiara.Wanita itu terbangun dari tidurnya karena terkejut mendengar suara Gilang yang meneriaki memanggil namanya.Daripada terkena omel lagi, wanita itu memutuskan langsung mendekati Gilang.Tiara berjalan dengan cepat, hingga pada akhirnya kini wanita itu sudah berada di hadapan Gilang."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Tiara dengan sopan."Aku mau tanya, apa tadi ada yang datang ke sini?"Mata Tiara melirik ke sana-sini, setahunya tidak ada, selain wanita itu yang Tiara tidak tahu namanya."Tidak ada, Pak," jawab wanita itu pada akhirnya."Benarkah?""Iya, Pak," kata wanita itu yakin.Gilang manggut-manggut. "Tapi tadi kata Manda ada yang datang ke sini, kok kamu bilang nggak ada? Yang benar yang mana?""Mungkin Manda salah lihat kali, Pak," elak Tiara."Begitu ya?""Iya, Pak.""Kalau begitu kamu boleh pergi."'Hah? Cuma gitu doang? Cuma nanya gitu aja kenapa manggil namaku harus teriak-teriak sih, eman
Gilang menatap Kasih dengan sorot mata kecewa. Dia pikir Kasih datang ke sini memang untuk datang menemuinya, nyatanya wanita itu hanya membutuhkan pertolongan darinya saja."Siapa Bastian?" tanya Gilang dengan suara lirih.Kasih menelan salivanya dengan susah payah. Ingin berkata yang sebenarnya, tapi kalau dia melakukan hal itu, akan semakin memperlambat waktu, sedangkan anaknya saat ini sedang terbaring lemah di rumah sakit."Nanti aku akan menjelaskan semuanya ke kamu, Gilang. Untuk saat ini aku mohon sama kamu, tolong bantu aku.""Kenapa nggak kamu jelasin sekarang aja?""Waktunya benar-benar mepet, Gilang. Aku mohon bantu aku, Gilang.""Apa dia anak kamu?""Iya," jawab Kasih dengan tegas.Gilang tersenyum ironi. Anak Kasih? Itu tandanya wanita itu sudah menikah lagi, kan? Apa-apaan ini! Di sini dia mati-matian menahan rindu pada wanita itu, nyatanya wanita yang dia rindukan sama sekali tak pernah mengingatnya. Bahkan dengan tidak malunya saat ini Kasih meminta bantuan padanya ag
Gilang dan Kasih saling terdiam. Usai pengakuan Kasih perihal Bastian adalah anaknya, mereka tidak lagi terlibat obrolan."Bastian anak kamu, Gilang," ulang Kasih.Gilang menggelengkan kepalanya, dia sama sekali tak percaya dengan apa yang wanita itu ucapkan."Nggak mungkin! Bisa jadi kalau ini adalah sebuah akal licikmu supaya aku mau mendonorkan darahku untuk anak itu, kan?" tanya pria itu sinis."Nggak! Bastian memang anak kamu, Gilang," ucap wanita itu meyakinkan."Kalau Bastian anak aku? Terus Manda anak siapa? Apa kamu sengaja menukar Manda dengan Bastian? Apa Manda anak orang lain? Jika iya, jadi selama ini aku menjaga anak orang lain gitu? Kalau memang kenyataannya seperti itu, kamu benar-benar jahat, Kasih. Tidak pernah kusangka ternyata kamu selicik ini. Aku menyayangi Manda dengan setulus hati, tapi ternyata dia bukan anak aku. Kamu jahat, Kasih!"Kasih terus menggelengkan kepalanya, dia tak menyangka jika Gilang akan berpikir seperti itu."Nggak, Gilang. Manda anak kamu ju
Berkali-kali Bima menghela napas berat karena sampai saat ini Kasih belum muncul juga.Pria itu takut kalau usaha Kasih untuk menemui Gilang akan sia-sia. Bima selalu menghubungi nomor wanita itu, tapi sayangnya satupun dari panggilannya tidak ada yang diangkat oleh wanita itu. Itulah yang membuat pria itu cemas.Pria itu takut kalau Kasih kenapa-kenapa di jalan, misal kehabisan uang, atau apapun itu.'Semoga saja wanita itu tidak apa-apa. Kasih, cepatlah kembali. Anak kamu sangat membutuhkan pertolonganmu, dan aku harap kamu datang tidak membawa tangan kosong,' batin Bima.Bima mengernyit heran ketika melihat Dina yang saat ini tampak begitu resah, entah apa yang sedang wanita itu rasakan. Sedari tadi mondar-mandir tak jelas, kadang duduk, kadang berdiri, seperti ada yang wanita itu pikirkan."Kamu ini kenapa?" tanya Bima pada akhirnya. Awalnya pria itu tak ingin ambil pusing, tapi lama-lama penasaran juga dengan tingkah Dina yang tak biasa itu."Nggak apa-apa," jawab wanita itu pela
"Dia siapa, Bun?" tanya Bastian seraya melirik ke arah Gilang dengan takut-takut.Baru saja Kasih ingin menjawab, tiba-tiba saja Gilang lebih dulu menyela."Jadi, bunda kamu belum kasih tahu kalau aku ini siapa?" tanya Gilang tak percaya.Bastian menggeleng pelan, membuat Gilang langsung menatap Kasih sambil mendengkus keras."Bisa-bisanya kamu tidak kasih tahu dia kalau aku ini adalah ayahnya. Kamu ini benar-benar ya," geram pria itu pada Kasih.Kasih tak berani menjawab, itu semua memang salahnya, dia sengaja tidak memberitahu pada anaknya agar anaknya tidak selalu merengek ingin bertemu dengan ayahnya. Kalau sampai hal itu terjadi, sama saja Kasih ingkar janji."Kamu juga tidak pernah kasih tahu Manda kalau aku ini bundanya," celetuk wanita itu tanpa sadar.Gilang terkekeh sinis. "Tahu apa kamu, hah? Selama ini aku selalu memperlihatkan wajahmu di depan dia walau hanya sekadar foto," ucap pria itu tak terima karena dituduh seperti itu."Buktinya sekarang Manda sama sekali nggak nge
"Apa-apaan ini, Gilang? Kenapa sekarang kamu jadi menekanku? Dari awal aku mencarimu karena membutuhkan bantuanmu, tapi kenapa kamu jadi pamrih seperti ini?" tanya Kasih tak menyangka."Dari awal aku sudah memperingatimu, kalau di dunia ini nggak ada yang gratis. Lagian kita ini sama-sama untung kok. Bastian sudah sembuh karena berkat pertolonganku, dan harusnya aku juga dapat untung, kan? Sebagai imbalannya kamu menikah denganku. Bukankah itu impas?"Kasih mengepalkan tangannya, dia merasa dipermainkan oleh Gilang. Lebih parahnya lagi dia merasakan dejavu, bukankah pria itu dulunya pernah berkata seperti itu, ketika Kasih sedang membutuhkan uang untuk pengobatan ibunya? Dan sekarang kata-kata itu Kasih dengar lagi karena Gilang berhasil menyembuhkan putranya. Bukan hanya menyembuhkan, tapi juga membayar tagihan rumah sakit."Gilang, Bastian itu anak kamu juga, kenapa kamu jadi itung-itungan kayak gini," kata wanita itu frustrasi."Nggak itung-itungan, aku cuma minta imbalan sama kamu
"Aku harus bagaimana sekarang? Apa aku harus minta bantuan lagi ke Bima? Ya, memang dia satu-satunya orang yang mau bantu aku, tapi ... lagi-lagi kendalanya ada di Dina. Argghh! Aku harus bagaimana sekarang? Kenapa Gilang begitu egois sih. Kalau tahu seperti itu, aku nggak bakal minta tolong sama dia. Dan, Bastian? Bisa-bisanya kamu mau ikut dengan pria itu. Ah, ini gimana ceritanya sih," keluh wanita itu seraya mengacak rambutnya frustrasi.Rasanya dia sudah capek menangis hanya karena memikirkan hal itu, yang sialnya sama sekali tak ada solusinya.Kasih tersentak kaget karena tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, dengan cepat dia mengambil ponsel itu."Halo, Bim. Kenapa?""Kamu yang kenapa?" sentak pria itu, membuat kening wanita itu berkerut."Kamu ini kenapa? Nelepon tiba-tiba marah-marah," cetus Kasih."Ya jelas lah aku marah, kamu ini gimana sih, kenapa biarin anak-anak kamu dibawa sama pria itu, hah? Padahal waktu itu aku berharap kamu bisa memanfaatkan peluang, untuk mengajak ana
Kasih mencoba menghubungi nomor Gilang, sayangnya pria itu sama sekali tak mengangkat panggilannya."Astaga! Angkat dong, kenapa kamu suka sekali mempersulit hidupku," erang Kasih.Karena sudah berkali-kali menghubungi pria itu, tapi sama sekali tak ada hasil, akhirnya dia memutuskan untuk mengirimi pria itu pesan.[Tolong angkat panggilanku, aku ingin bicara denganmu!]Tak lama setelah itu Gilang membalas pesannya.[Siapa?]Kasih memutar bola matanya malas, menurutnya, pria itu pura-pura tidak tahu, padahal sebenarnya tahu. Jelas saja Kasih bisa menebaknya, karena pria itu sendiri waktu itu yang memberikan nomor pria itu."Halah! Dasar sok kecakepan," cibir wanita itu.[Kasih.]Wanita itu langsung membalas dengan ogah-ogahan.[Oh, aku kira orang iseng. Silakan telepon aku lagi, mumpung aku lagi nggak sibuk.]Mata Kasih membulat. "Idih, selain sok kecakepan ternyata dia sok sibuk juga," cibir wanita itu.[Kalau kamu selalu sibuk, bagaimana caranya kamu mengurus anak-anak?]Kasih memba