Alessa mengikuti Jovian kembali ke mansion usai mendapat kabar dari Kenzo jika ayahnya kembali dari perjalanan bisnis. Berhari-hari mereka menghabiskan waktu di apartemen sepulang bekerja, kebiasaan rutin Alessa kini melekat dengan Jovian begitu juga sebaliknya dengan Jovian. "Kenapa kita kembali ke mansion memakai pakaian formal?" tanya Alessa pada Jovian. Jovian masih berdiri diambang pintu apartemen karena dia tengah mengambil gaun pesanan untuk Alessa dari Kenzo. "Ini acara makan malam keluarga, penyambutan kembalinya Ayah sekaligus Ayah hendak menyampaikan keputusannya untukku," jawab Jovian. Alessa termangun. Artinya ia harus bertemu dengan keluarga besar Heide. "Apa semua sanak keluargamu datang?" tanya Alessa cemas. Pria itu mengangguk. "Tenanglah, Ayah cuman punya Adik laki-laki yang jadi satu-satunya keluarga Heide yang masih hidup kemudian ibu," jawab Jovian. "Aku ingin kamu berkesan sebagai pendampingku, Alessa." Jovian berucap sembari menyerahkan kotak oren berisi gau
"Maaf ... aku terlambat datang," ucap Georgina. Julia langsung bangkit dari kursi demi mendatangi Georgina kemudian berpelukan. "Cantik banget, Gina, cantiknya Gina tidak pernah gagal deh." Julia tak lupa melakukan cipika-cipiki pada Gadis favoritnya itu. Julia padahal tahu jika Jovian memilih Alessa tapi Julia tidak sudi menganggap Alessa. "Hi Jo, apa kabarmu?" sapa Georgina kemudian duduk tepat disebelah kiri Jovian. Georgina seolah tak melihat keberadaan Alessa yang duduk di sisi kanan Jovian. Lebih tepatnya sengaja tidak perduli. "Paman Simon, apa kabar? wah, Adriel sudah besar sekarang," ucap Georgina kemudian Gadis itu menyapa seluruh anggota Heide seolah-olah dialah yang paling akrab dengan keluarga Heide.Alessa pun membungkam. Ia belum sempat mengenalkan diri bahkan keluarga Heide melanjutkan makan malamnya tanpa memerdulikan keberadaan Alessa tapi tak lama. Alessa merasakan tangannya yang digenggam oleh Jovian. Alessa melirik ke bawah tepat dibawah meja makan. Tangan Jovia
"Kak Jo ternyata diam-diam bawel juga," ketus Alessa. Alessa selalu memicingkan kedua matanya. Alessa tidak tahu jika Jovian juga membicarakannya pada keluarganya. Jovian menatap Alessa. Pria itu tak bergeming. Bertemu dengan Simon beberapa hari lalu karena Jovian yang menjemput keluarga pamannya ini dari Bandara. Jovian hanya bercerita sedikit mengenai Alessa kemudian Jovian juga yang menanyakan Cheese Cake terenak pada bibinya semata-mata hanya untuk Alessa. "Apakah itu masalah?" Jovian bertanya dengan nada suara beratnya. "Kami menantikan kunjungan kalian," ucap Simon. Dia bersama keluarga kecilnya pun memasuki sebuah mobil kemudian melesat meninggalkan kediaman Heide yang sempat huru-hara ini. Alessa menghela napas lega. Setidaknya hari ini dia berhasil membantu Jovian mendapatkan keinginannya. Alessa melirik Jovian yang saat itu tengah melonggarkan dasinya. "Kurasa pencapaian hari ini berhasil," gumam Alessa. "Ayo, masuk ke mobil," ajak Jovian. Pria itu berjalan lebih dulu ke
"Alessa, kita pulang sekarang." Alessa bergidik usai mendengar suara berat yang terdengar dingin dari Jovian yang ada dibelakangnya. Alessa tersenyum hambar pada Eidar dan juga Mina. Alessa tidak terkejut jika tiba-tiba saja Jovian datang karena Rumah Sakit ini miliknya. "Kak Jo, bukannya menjemputku nanti saat jam pulang?" Alessa bertanya sembari memutar tubuhnya. Jovian diam dengan keadaan marah. Tatapan tajam Jovian ketika marah itu menyeramkan. Ia memang diam tapi menguarkan aura memangsa. "Eidar ... sedari kemarin aku selalu ingin berbincang denganmu," ucap Jovian."Oh, iyakah? harus sekali sekarang?" kekeh Eidar. Pria itu sebenarnya tahu jika Jovian marah karena ia mendekati Alessa. Eidar tersenyum miring pada Jovian.Ada dua Pria tampan yang memperebutkan Alessa. Alessa sejak awal menganggap Eidar sebagai sosok kakaknya kemudian Jovian hanya sekedar mangsa balas dendamnya, masalah yang Alessa alami adalah dia tak bisa berterus terang pada Jovian. Rencanya akan gagal dan Jovia
"Berhenti memotret istriku!" bentak Jovian. Pria itu sudah berdiri dengan tampang garangnya. "Alessa, kemari," perintah Jovian.Alessa menanggahkan kepalanya. Wajah Alessa sudah berantakan oleh tangisan. Wajah cantik yang sembab itu semakin terisak kala menatap tatapan tajam Jovian tapi sorot kedua mata biru itu terdapat kelembutan. Alessa beranjak berdiri kemudian berlari menghampiri Jovian dan memeluk Pria bertubuh besar nan tegap itu. "Kau aman bersamaku." Jovian berucap sembari membalas pelukan dari Alessa. Kini giliran Pria itu menatap para wartawan dan Georgina yang kompak terdiam. "Kupastikan kalian semua tidak akan memiliki mata pencaharian," ancam Jovian tak main-main. "Jo, dengarkan aku, memang benar bukan jika Alessa merebutmu dariku? dia merayumu," sergah Georgina masih tak terima."Tutup mulutmu!" bentak Jovian, suaranya menggelegar ke seluruh cafe sampai membuat semua orang terperangah. Georgina langsung menatap Jovian tak percaya. Selama ini Jovian selalu diam dan bu
"Tidak mengapa, pokoknya kita harus pergi bersama!" Jovian tidak tahan melihat wajah menggemaskan Alessa yang tampak ngotot padanya itu. "Kenapa tiba-tiba kamu paling ngotot ya?" canda Jovian. "Aku ... ya memangnya kenapa? kapan lagi liburan," ucap Alessa. Sebenarnya dia berdusta sekaligus mengelak pada alasan tertentunya. Alessa menatap kesal wajah Jovian yang senyum-senyum padanya itu. Lagian siapa terima sih membiarkan wanita lain pura-pura tobat, ya harus aku dong menarik perhatian Kak Jo, batin Alessa. Batinnya menggerutu sendiri. "Bagus, sekali-sekali egois sama diri sendiri tidak apa," sahut Jovian. Jovian mengarahkan tangan lebarnya pada puncak kepala Alessa kemudian mengusak rambut hitam Alessa seperti anak kecil. "Kamu harus ngotot seperti itu jika ingin sesuatu," ucap Jovian. "Ih, kok gitu sih Kak? nanti Kak Jo jadi kerepotan kalau aku banyak maunya." Alessa cemberut. "Lepasin Kak, rambutku jadi berantakan," elak Alessa. Jovian melepaskan tangannya sekaligus menggelen
"Alessa jadi kamu ikut dengan Jovian ya?"Mina langsung menatap waspada akan kedatangan Wanita itu. Mina maju satu langkah melindungi Alessa namun tangannya terasa disentuh oleh Alessa. "Kenapa? dia itu sudah jahatin kamu loh," ucap Mina namun Mina melihat Alessa menggeleng pelan padanya."Apa-apaan cara bicaramu yang jadi lembut begitu?" ledek Alessa.Alessa menyunggingkan senyumannya. Alessa berdiri berhadapan dengan Julia. Alessa tahu Julia tak akan gentar untuk menghadangnya dekat dengan Jovian. Hubungan pura-pura yang susah payah Alessa sepakati akan sia-sia jika mengalah lagi dari Julia. "Selamat siang, Nyonya Heide ... ada perlu apa ya?" tanya Alessa. "Pura-pura tidak tahu kamu, berhenti memasang wajah polos itu ketika bersama Jovian ... kamu seharusnya sudah mati bersama anak harammu," cibir Julia. "Anak haram ya? jadi Anda mengaku jika Anda menjebakku sampai kehilangan anakku?" Alessa tersenyum miring. Wanita ini jadi alasan hatinya beku. Alasan dendamnya selalu datang dala
"Bukan impian tapi mimpiku yang beku." Alessa mengalihkan tatapan membosankannya yang sedari tadi menatap langit-langit apartemen menjadi menatap kedua mata biru milik Jovian. "Apakah mimpi dan impian itu berbeda?" tanya Jovian.Alessa menyunggingkan senyuman. Alessa sadar jika Jovian selama ini hidup tanpa bersusah payah mengejar impiannya. Pria ini sudah sempurna jadi tidak ada cela untuk berusaha menutupi kekurangannya. "How unfair," gumam Alessa. Kedua matanya menatap Jovian yang masih setia dengan raut penasarannya. "Apanya yang tidak adil?" tanya Jovian lagi.Alessa kali ini terkekeh sembari menduduki dirinya. Dia duduk tepat disamping Jovian, sama-sama duduk dipinggiran ranjang kasur ini. "Kamu, Kak, betapa tidak adilnya sampai kamu tidak tahu bedanya impian dan mimpi," kekeh Alessa. "Mimpi itu bunga tidur yang nyaris tak mungkin diraih sementara impian sesuatu yang bisa diraih, misalnya saat ini ... seseorang bercita-cita jadi insinyur," ucap Alessa."Katakan padaku tentang