Catharina terkejut saat seseorang merebut paksa uang yang ada dalam genggaman tangannya. Sempat terjadi tarik-menarik antara Cat dan pria tersebut. Namun, akhirnya Cat memilih melepaskannya.
"Cat, are you okay?" Paman Deff mendekati Catharina. "Kenapa kau lepaskan?" lanjutnya bertanya. Cat terus menatap pria yang berdiri tidak jauh darinya.
"Well, tiap hari kalau kau seperti ini sudah pasti kau akan dapat uang banyak. Ah—ternyata type-mu itu adalah pria-pria setengah tua, ya?" ocehnya tidak karuan.
"Jaga bicaramu, hah!" Deff terlihat marah.
"Sudahlah, Paman. Jangan meladeni dia. Percuma diladeni pun, dia akan semakin melonjak!" sahut Cat kesal.
"Hei, jangan mulutmu itu! Begitukah caramu bicara pada Ayahmu ini?"
"Ayah?" Deff mengulangi kata-kata itu. "Benarkah itu, Cat? Apa dia benar-benar Ayahmu?" tanya Deff menatap Cat. Gadis itu menganggukkan kepala. Deff pun menatap pria yang berdiri di depannya. Dia terlihat berantakan dan mulutnya bau alkohol. Deff menatap Damian dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia tidak percaya jika orang itu adalah Ayah dari Catharina.
"Apa kau ada hubungan dengan putriku, Catharina?" tanyanya dengan sedikit berjalan gontai mendekati Catharina. Namun, dengan sigap Deff menarik tangan Cat ke belakang.
"Jangan dekati dia! Seorang Ayah tidak akan berbuat kasar pada anaknya apalagi meminta uang dengan cara memaksa!" ucap Deff tidak suka.
"Ah, jadi benar kau ada hubungan dengan anakku?" tebak Damian.
"Iya. Memang aku ada hubungan dengan anakmu, Catharina. Dia pekerja di tempatku dan dia sudah menceritakan semuanya padaku," sahut Deff.
"Lebih baik Ayah segera pergi dari sini. Aku tidak mau ada keributan di sini." Catharina segera pergi dari tempat itu. Dia berlari menyusuri trotoar. Deff pun berusaha mengejarnya.
"Catharina!" panggil Deff dengan keras. Sebelum akhirnya pria itu bisa menarik tubuh Catharina yang hampir terserempet mobil.
Catharina memegangi dadanya, detak jantung begitu kencang. Dia benar-benar hampir celaka. Kalau bukan karena Deff mungkin Catharina sudah kehilangan nyawanya.
"Te-terima kasih, Paman," isaknya dengan sedikit gemetaran.
Deff menuntun Cat ke sebuah kursi kayu yang ada di pinggir jalan. Di bawah pohon yang rindang, Cat duduk sambil menenangkan hatinya. Dia sempat melirik di tempat semula, di mana Ayahnya berdiri. Dia melihat Damian melangkah menjauh meninggalkan tempat itu dengan membawa sebuah kotak. Ya, kotak yang isinya roti dari Paman Deff telah dibawa pergi oleh Damian.
Deff kembali dengan membawa sebuah botol air mineral dan memberikannya pada Catharina. Gadis itu langsung meneguk air mineral itu.
"Sekali lagi terima kasih, Paman." Catharina tersenyum menatap pria yang duduk di sampingnya. Deff memang bukan Ayahnya, tapi Deff sudah menganggap Catharina sebagai anaknya sendiri.
"Sudahlah, jangan dipikirkan." Deff menepuk-nepuk bahu Catharina.
"Paman, kotak roti itu dibawa oleh Ayahku pergi," ujar Catharina menatap Deff.
"Kotak roti?" Deff mengulang kata-kata tersebut. "Oh, kotak itu. Biarkan saja, nanti Paman ganti yang baru," lanjutnya.
"Tidak perlu, Paman. Aku tidak mau merepotkan Paman." Catharina menunduk.
"Jangan bersedih, ya. Kau tunggu di sini dulu." Deff beranjak meninggalkan Catharina. Gadis cantik itu terus mengekori pria tua itu sampai masuk ke dalam toko roti.
Deff keluar dari toko membawa sebuah kotak dan masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu Deff melangkah kembali ke kursi kayu di mana Catharina sedang duduk. Deff memberikan sebuah kotak dan amplop pada Catharina.
"Apa ini, Paman?" Catharina bingung.
"Kotak ini sama seperti kotak yang dibawa oleh Ayahmu dan amplop ini upahmu." Deff memberikan amplop putih pada Cat.
"U-upah apa, Paman?" tanya Cat tidak paham apa yang dimaksud oleh pria itu.
"Ini upah karena kau telah membantu Paman di toko selama seminggu," jawab Deff. "Padahal kau pun kerja di bar itu, tapi kau tetap mau membantu Paman disaat tubuh dan otakmu capek."
"Paman—terima kasih. Paman selalu baik padaku, tapi aku belum bisa membalas kebaikan Paman. Aku hanya bisa merepotkan Paman."
"Jangan dipikirkan." Paman Deff tersenyum.
Matahari dengan sempurna bertengger di atas kepala. Setelah pertemuannya dengan Paman Deff, Catharina langsung pulang ke rumah. Sepertinya gadis itu melupakan tujuan awalnya untuk mencari pekerjaan.
Catharina berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Dia memukul pelan kepalanya sendiri, ketika dia melupakan sesuatu.
"Bodoh sekali aku ini. Kenapa aku bisa lupa," gerutunya. Cat menarik napas panjang. "Mungkin aku harus mencari lowongan kerja lain waktu. Aku hanya punya libur sebulan sekali," dengkusnya.
Cat memegang gagang pintu dan memutarnya. Cat melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Keadaan rumah siang itu tampak sepi. Lalu dia masuk ke dalam rumah dan menaruh kotak berisi enam jenis macam-macam roti di atas meja.
"Kenapa sepi?" Cat menyebarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Apa Ibu sedang tidur siang?" bisiknya sendiri. Catharina melangkah masuk ke dalam kamar Ibunya dan melihat Ibunya sedang tidur siang. Lalu dia kembali menutup pintunya kembali.
Catharina duduk di sebuah kursi kayu yang berdenyit ketika kursi itu didudukinya. Catharina kembali mengingat kejadian tadi.
Aku masih bisa menjaga kehormatanku sampai sekarang. Tapi entah nanti, apakah aku masih bisa menjaga kehormatanku jika aku terus bekerja di sana. Aku tidak mau masa depanku hancur dan dosaku terus bertambah dengan berbohong pada Ibu. Batin Catharina bergejolak.
"Aku harus terus berusaha mencari jalan lain untuk mendapatkan pekerjaan." Lamunannya buyar karena keterkejutannya pada Celine yang baru pulang sekolah.
"Eh—maaf, Kak. Maaf jika aku mengejutkan Kakak," ucap Celine nyengir. "Kenapa Kakak jam segini ada di rumah? Apa Kakak tidak kerja?" tanya Celine.
"Hari ini Kakak libur. Gantilah baju dulu dan ajaklah Ibu untuk makan siang."
~•••~
Malam itu di Heaven on Earth Bar kedatangan seorang pemuda yang bisa dibilang terpandang dan disegani. Pemuda terkaya di kota Berlin. Dia datang untuk kedua kalinya. Pemuda itu menikmati minuman yang disajikan oleh waitres. Dia pun memperhatikan wanita-wanita pemandu karaoke. Namun, dia tidak menemukan apa yang dia cari malam itu. Dia berdecak seperti kecewa, tapi dia tetap menikmati para wanita pemandu karaoke yang berpenampilan seksi.
"Apa Tuan tidak ingin berkaraoke?" Nyonya Lance terlihat ganjen mendekati pemuda itu. "Lihatlah wanita-wanita itu terlihat sangat seksi. Apa mereka tidak terlihat seksi di mata Tuan?" lanjut Nyonya Lance. Pemuda itu tidak menggubris perkataan Nyonya Lance yang sedari tadi berusaha mencari perhatian dari sang pemuda.
Saat Nyonya Lance hendak menyentuh dan membelai pipi pemuda tampan tersebut, bodyguard yang ada di sampingnya segera menahan tangan wanita itu. Pemuda itu langsung menatap tajam pada Nyonya Lance.
"Aku sedang mencari seorang gadis dan tentunya dia harus masih perawan. Apakah di sini ada gadis seperti itu?" tanyanya mendekati Nyonya Lance.
TO BE CONTINUE.
Nyonya Lance terus-menerus memikirkan siapa yang dimaksud oleh Tuan Wagner itu. Perlahan dia mengingat satu-persatu anak-anak yang ada di Bar itu. Nyonya Lance langsung teringat gadis yang dimasukkan oleh Deff. "Mungkinkah Catharina?" Nyonya Lance sudah bisa menduganya. Di hari berikutnya, Nyonya Lance memanggil Catharina ke ruangannya. Gadis cantik itu tampak bingung. Dia mengetuk pintu dengan pelan. Setelah terdengar sahutan suara dari dalam sana, Catharina pun membuka pintu dan masuk. "Duduklah!" perintah Nyonya Lance. Catharina menuruti perintah Nyonya Lance yang terkenal galak. Cat duduk berhadapan dengan Nyonya Lance dan dibatasi oleh sebuah meja. Catharina begitu takut dan gugup, dia bertanya-tanya dalam hatinya. Nyonya Lance menarik napas dan menatap Catharin
"Bagaimana bisa dia tertidur, sedangkan aku belum melakukan apa-apa," keluh Mischa yang melihat Catharina sudah tertidur lelap. "Ya sudah, mungkin dia lelah menungguku." Mischa melangkah masuk ke dalam kamar dan keluar membawa selimut, kemudian menutupi tubuh Catharina. Empat jam sebelumnya. Getaran ponsel milik Mischa menghentikan aktivitasnya yang hendak mencumbu Catharina. Pemuda itu segera meraih ponsel yang tergeletak di atas lemari dan melangkah sedikit menjauh dari Catharina. Mischa segera menjawab panggilan masuk tersebut. Dia begitu sangat serius mendengarkan suara dari seberang sana. Lantas setelah menutup sambungan telepon tersebut, Mischa menatap Catharina yang sedang duduk. "Malam ini sepertinya aku harus meninggalkanmu," ucap Mischa. "Tidak masalah!" jawab Catharina singkat. "Aku pergi dulu. Selesai menyelesaikan urusan kantor aku
Pertama tiba dan sampai detik ini juga, belum terjadi apa-apa dengan Catharina. Dia belum sama sekali disentuh oleh si penyewanya yang tidak lain adalah Mischa Wagner. Ya, Catharina masih perawan. Selama bekerja menjadi pemandu karaoke, Catharina masih terlindungi. Untung saja Nyonya Lance jarang melirik Catharina. Mungkin Nyonya Lance tidak begitu memperhatikan bentuk tubuh Catharina, bahkan Nyonya Lance terkejut saat seorang pengusaha muda justru menolak tawaran wanita pilihan darinya. Justru pria itu memilih pilihannya sendiri. Catharina Berntsen dipilih sendiri oleh Mischa Wagner untuk menjadi partner bayarannya. Mischa menyewa Catharina selama beberapa hari. Dihari pertama Catharina belum disentuh sedikit pun oleh Mischa. Malam itu tiba, Mischa yang pulang lebih awal dari kantornya tampak sedang santai duduk di balkon membaca sebuah buku ditemani dengan secangkir teh hangat. Catharina yang saat itu baru selesai man
Suasana kian panas, walaupun di luar sana hujan turun dengan lebat. AC tidak bisa menandingi panasnya cuaca saat itu. Gemuruh rintik hujan terdengar dari dalam ruangan. Mischa memang sengaja membuka tirai yang menutupi pintu balkon apartemennya. Pria yang menyewa Catharina menatap intens, begitu dalam dan begitu lekat menusuk hati Catharina. Mischa menyibakkan anak rambut yang menutupi mata sebelah kiri Catharina. Perlahan Mischa menggendong tubuh Catharina ala Bridal Style dan membaringkannya di atas ranjang. Tangan Mischa aktif bergerilya menjamah tubuh putih milik Catharina. Catharina memang mempunyai kulit yang halus hingga membuat Mischa betah menjamah tubuhnya. Jantung Catharina berdegup sangat cepat saat Mischa merangkak di atas tubuhnya dan berhenti tepat di atas wajahnya. "Santai saja. Jangan terlalu gugup." Mischa Melanjutkan aktivitasnya. Dia mendekatkan wajahnya pada daun telinga Catharina. "Kau ben
Hidup memang keras, harus punya pilihan untuk menentukan jalan hidup ke depan. Kadang kita bisa memilih, terkadang kita harus pasrah dengan jalan yang sudah digariskan. Dunia ini menyimpan banyak rahasia yang kita tidak tahu, karena semua sudah diatur oleh Sang Pemberi Hidup. Ini baru awalan dan permainan yang sebenarnya baru akan dimulai. Pemanasan yang membuat Catharina sempat menahan rasa pedih dan rasa tak berdaya saat dia harus mengambil keputusan menjadi wanita bayaran. Hanya karena uang, Catharina harus merendahkan harga dirinya. Sama sekali dia tidak berpikir sampai kesitu. Dia harus menukar semua yang dia miliki termasuk harga dirinya demi uang yakni berhubungan badan dengan pria yang bukan suaminya. Mischa yang sudah menguasai tubuh Catharina, pria itu dapat dengan leluasa melihat setiap lekuk tubuh indah Catharina. Tubuh itu terekspos dengan jelas tanpa sehelai benang pun. Kini Mischa telah siap untuk bertempur, dia mengatur posisi un
Mischa benar-benar melakukannya lagi sehingga membuat Catharina kewalahan. Mischa pun tidak melihat betapa kesakitan Catharina saat itu. Yang ada dalam pikiran Mischa adalah nafsu dan nafsu. Entah apa yang dirasakan oleh Mischa dan Catharina saat ini. Keduanya hanya bermain dalam pusaran yang tidak jelas ujungnya. Mischa membutuhkan Catharina sebagai partnernya. Sedangkan Catharina, gadis itu membutuhkan Mischa untuk menjadi mesin uangnya. Tidak ada ikatan dan tidak ada rasa cinta. Semua terjalin begitu saja akibat ada ketergantungan satu dengan lainnya. Keadaan yang membuat keduanya tidak bisa saling melepaskan dan entah itu sampai kapan. Mungkinkah keduanya akan saling jatuh cinta atau mereka berdua akan bosan dengan sendirinya dan memilih pergi? Suara kicau burung membuat Catharina yang masih tidur dengan cantiknya terbangun. Mata cantik dan lentik itu terbuka berlahan. Dia menggeliat dan tidak menemukan Mischa ada di sana. Ca
Saat Darren berusaha menarik kasar Catharina, gadis itu terus meronta. Dia mencoba untuk melepaskan diri dari cengkeraman tangan Darren yang sangat menyakitinya. Kulit putih dan mulus milik Catharina sobek karena kuku Darren. Catharina mencoba menahan rasa sakit. Namun, pada akhirnya Darren melepas cengkeramannya saat sebuah suara mengancamnya akan memanggil polisi dan berteriak agar semua warga mendengar. Darren pun pergi berlalu begitu saja tanpa sepatah kata pun. Akan tetapi dia sempat berbisik pada Catharina bahwa dirinya akan bersungguh-sungguh melukai Mischa ataupun siapapun yang berusaha menghalanginya termasuk pemuda yang baru saja menggagalkan aksinya. Ya. Aaric memang datang tepat waktu. Pemuda itu lantas menghampiri Catharina setelah kepergian Darren. "Kau tidak apa-apa?" tanya Aaric memegang tangan Catharina yang terluka. Catharina menggeleng pelan, walaupun dia tahu jika kuku Darre
Mischa Wagner yang tidak pernah merasa penasaran dalam hidupnya, untuk kali ini dia merasakan penasaran pada suatu hal. Apa karena hal itu menyangkut Catharina? Mischa memang baru pertama kali melihat pria itu, akan tetapi Mischa punya daya ingat yang tinggi. Mischa pun akhirnya menggunakan kemampuannya dalam melukis. Ya, Mischa bisa melukis karena diajari oleh ibunya. Bakat melukisnya pun diturunkan pada Mischa. Dengan keahlian yang dimilikinya Mischa akhirnya melukis wajah pria yang membuatnya penasaran. Setelah itu dia menyuruh anak buahnya untuk melacak pria tersebut. Tidak ada yang tidak mungkin bagi seorang Mischa Wagner dan tak butuh waktu lama Mischa menemukan sosok pria tersebut. "Bagaimana?" tanya Mischa. "Kami sudah menemukan data lengkap dari pria itu." Salah seorang anak buat Mischa menyodorkan sesuatu pada Mischa. Mischa mengambil sebuah amplop yang berisi beberapa data. Dia membaca dan mengerutkan alisnya.
Senyum licik Gilly mulai mengembang. Dia merasa yakin jika rencananya kali ini akan berjalan dengan lancar.Ya, manusia hanya bisa berencana, tapi semua kembali pada sang Pencipta. Karena Marcel merasa ada yang janggal, pria itu memutuskan akan kembali ke rumah dengan cepat. Pria itu bukan khawatir dengan sang ibu, melainkan dia khawatir dengan seseorang.Dalam perjalanan menuju kantor, Marcel tidak tenang. Dia selalu menggigit kukunya saat menyetir bahkan ketika dia berhenti di lampu merah."Ah, ada apa dengan perasaan ini? Kenapa jantung ini berdetak cepat dan rasa itu ...." Marcel dikejutkan dengan suara klakson yang berbunyi nyaring di belakang. Marcel baru sadar jika lampu sudah berganti warna hijau. Marcel segera menjalankan mobilnya.Rasa tenang masih dia rasakan sampai kantor. Di sana pun Marcel berpapasan dengan Mischa. Marcel menundukkan sedikit kepalanya, akan tetapi Mischa sama sekali tidak merespons. Melirik pun juga tidak. Setelah Mischa melewatinya, Marcel menghentikan
Mischa tergeletak di sofa. Botol Black Label yang tidak sengaja jatuh karena senggolan dari tubuh Mischa yang oleng tidak sadarkan diri. Air keluar dari botol sampai titik akhir.Mata itu terbuka dan tangan kanan bergerak memegang kepalanya. "Aahh ..," desah Mischa berusaha mengangkat tubuhnya. "Ke-kenapa kepalaku sakit sekali?" ucapnya lirih dan tak sengaja membangunkan seseorang yang sedang tidur di sampingnya."Ehm, sudah sadar?" ujar Catharina lirih sambil menutup mulutnya karena menguap."Memangnya aku kenapa?" tanya Mischa heran."Aku menemukanmu tergeletak di sofa," tunjuk Catharina."Aahh ...." Mischa kembali mengeluh dan memegangi kepalanya."Apa kau mabuk?" Catharina memberanikan diri untuk bertanya. Dia melihat Mischa menundukkan kepalanya."Buang botol itu, sayang," sahut Mischa.Catharina menoleh ke arah tempat yang ditunjuk oleh Mischa. Di sana ada beberapa botol Black Label. Catharina sempat bingung dengan Mischa, kenapa dia bisa mabuk? Atau memang dia sedang ada masala
Gilly melangkah dengan ringannya menuju ruang tengah. Hatinya merasakan kemenangan tersendiri. Wanita itu berjalan dengan berdendang ria, dia sama sekali tidak melihat ada Mischa di sana.Saat Gilly sadar ada Mischa di sana, wanita itu langsung menutup mulutnya. Mata itu melotot menatap Mischa. Secara reflek Gilly menggeleng-geleng kan kepalanya."Ti-tidak ... tidak, k-kau t-tidak pe-perlu m-mendengarkan ocehan ku. I-itu semua adalah omong kosong," jelas Gilly mencoba membela dirinya sendiri.Mischa berdecak, "Omong kosong katamu? Bagaimana bisa kau melemparkan kesalahanmu pada orang lain, hah? Berani sekali kau melakukan hal itu di rumahku? Apa kau ingin mati?" Mischa berdiri dari duduknya."Bu-bukan b-begitu ma-maksudku. Aku hanya ti-----""Kau tahu tidak, bagaimana rasanya jika benda ini menusuk rongga lehermu?" Mischa mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan sebuah benda kecil.Kedua tangan Gilly langsung memegang lehernya sendiri. Mischa melangkahkan kakinya mendekati Gilly
Begitu mendengar sebuah teriakan Mischa berlari masuk ke dalam rumah dan menaiki anak tangga menuju lantai atas. Mischa berdiri di ambang pintu dan melihat seorang gadis terduduk sambil menangis."Ada apa ini?" tanyanya mendekati gadis itu. Namun, justru gadis itu menangis semakin menjadi-jadi. Di dalam ruangan itu ada sekitar lima orang dan semuanya terdiam tidak menjawab pertanyaan dari Mischa."Kenapa tidak ada yang menjawab, hah!" Mischa menyebarkan pandangannya mencari seseorang."Ada apa ini? Kenapa kalian semua berkumpul di kamar ini?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakang Mischa.Mischa membalikkan badannya dan menatap gadis itu. "Dari mana saja kau ini?" Memegang kedua bahu gadis tersebut."Auw ... a-aku dari taman. Tadi aku melihat mobilmu masuk, makanya aku menyusulmu naik. Tolong, lepaskan cengkeraman tanganmu. Itu menyakitiku," rintis Catharina.Mischa pun melepaskan cengkeraman kedua tangannya. "Kau tahu apa yang terjadi di kamar ini?"Catharina menggeleng
Tautan itu terlepas. Mischa memandang lekat bola mata Catharina. Mata itu seperti memberi kode sesuatu pada Mischa. Pria tampan itu serasa menangkap sesuatu."Kau ingin memberitahu sesuatu padaku?" "Bukannya tadi aku sudah bilang padamu.""Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Aku akan selalu melindungimu," hibur Mischa.Namun, Catharina tidak seratus persen mempercayai ucapan Mischa. Gadis itu tahu betul Mischa seperti apa. Kadang baik, kadang juga bersikap dingin. Catharina kurang yakin dengan Mischa."Kenapa? Apa kau tidak percaya padaku?" lanjut Mischa.Catharina hanya menatap Mischa dan Catharina pun menggelengkan kepalanya. Akan tetapi mata itu tidak bisa membohongi. Sebenarnya Mischa sudah memahami itu, tapi dia memilih diam.Mischa menarik napas panjang dan mengembuskan pelan. Embusan napas Mischa menerpa halus wajah cantik Catharina. Gadis itu memejamkan matanya saat embusan napas itu mengenainya."Sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan. Lama-lama kau bisa keriput karena terlalu
Adegan romantis yang begitu panas antara Mischa dan Catharina membuat seseorang menjadi panas. Seseorang itu tampak resah gelisah dibuatnya. Dia terlihat seperti orang bingung. Memainkan jari jemarinya dan menggigit bibir bawahnya. Sesekali membuang muka dan akhirnya meremas rambutnya sendiri, lalu pergi meninggalkan tempat tersebut.'Sial. Aku ini kenapa? Apakah aku ini ... ah, tidak ... tidak ... tapi,' batinnya dalam hati terhenti seketika saat berdiri di depan sebuah jendela. Mata itu kembali menatap ke arah sana dan kedua tangan itu mengepal sangat kuat. Kembali dia membuang muka dan melangkahkan lagi kakinya dengan kuat. Namun, langkah itu kembali berhenti."Apa kau menyukainya?" Sebuah suara melontarkan pertanyaan yang membuat hatinya mendadak berdetak tidak karuan."Tidak!" jawabnya dengan pasti."Apakah kau yakin dengan ucapanmu itu?" Kembali dia bertanya.Pemuda itu membalikkan badannya dan menatap wanita yang berdiri tidak jauh darinya. Tatapan tegas terlihat dari sorot mata
Ada pepatah yang berbunyi 'Lempar batu, sembunyi tangan'. Mungkin pepatah itu cocok untuk Gilly. Sejak Mischa tinggal di rumah itu, ruang gerak Gilly berkurang bahkan wanita itu tidak leluasa berbuat semaunya sendiri di rumah itu dan pada akhirnya Gilly memilih melakukan rencananya secara diam-diam. Mau bagaimana lagi tidak ada yang membantunya, bahkan putra kandungnya pun menentang.Seperti kejadian di ruang makan pagi itu. Gilly memang berniat untuk menaruh sesuatu ke dalam makanan dan minuman pria tua itu. Setelah Gilly mengambil dan menaburkan sesuatu di dalam makanan dan minumannya. Gilly membawanya ke ruang makan dan menaruh nampan berisi bubu, sup, dan susu hangat di sisi pinggir meja makan. Lalu Gilly meninggalkannya karena ingin membantu Barren. Namun, saat Gilly sedang membantu Barren, nampan itu jatuh dan isinya berserakan di lantai. Dua mangkuk dan satu gelas pecah berhamburan.Gilly yang melihat hal itu sempat histeris dan memegang kepalanya dengan ke dua tangannya. "Aaah,
Mendekati suaminya sendiri Gilly harus menerima jadwal dari Mischa. Gilly mengepalkan tangannya. Posisinya sudah tidak seleluasa seperti sebelum Mischa tinggal di rumah itu. Tentunya hal itu menghambat rencana yang telah disusun oleh Gilly untuk Baren.Gilly memang sudah menyusun rencana untuk membuat Baren sakit parah. Namun, rencana itu sudah diketahui oleh Marsya. Itulah kenapa Marsya meminta Mischa untuk kembali dan tinggal di rumah. Tak hanya itu yang membuat Gilly geram dan kesal, akan tetapi sekembalinya Mischa ke rumah itu justru membawa seorang gadis yang dikenalkan ke penghuni rumah dengan sebutan calon istri. Sudah pasti bisa ditebak Gilly akan kebakaran jenggot mendengarnya. Wanita itu memang sudah memilih seseorang yang akan dikenalkan pada Mischa.Kenapa Gilly kekeh mengenalkan gadis itu pada Mischa bukan pada Marcel yang merupakan anak kandungnya sendiri? Pastinya Gilly mempunyai maksud lain untuk hal itu."Kenapa dia harus membawa pulang perempuan asing?" Gilly terdiam
Memang menjadi momok tersendiri untuk Gilly. Semua jadi terbatasi dan semuanya harus atas persetujuan Mischa. Gilly, wanita yang terobsesi ingin menguasai harta kekayaan Baren Wagner dan ingin menjadikan Marcel sebagai pewaris tunggal dari perusahaan Wagner. Kini wanita itu harus kembali memutar otak untuk merencanakan semua dari awal. Terlebih lagi sekarang dirinya harus tidur sendirian karena Mischa meminta maid kepercayaan keluarga Wagner untuk memindahkan semua keperluan sang ayah ke kamar Marsya. Hal itu membuat Gilly semakin geram. Antara terima dan tidak terima dengan keputusan itu.Pagi itu Gilly baru saja bangun dan dia merasa sangat haus. Gilly melirik gelas yang ada di nakas kecil di samping ranjang, gelas itu sudah kosong. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Namun, di luar sana langit masih gelap gulita dan cuaca begitu sangat dingin. Dengan terpaksa Gilly harus mengambil air minum di dapur.Gilly berjalan menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitarnya. Masih sepi, be