***
Hari pertama di kediaman Missa. Pagi itu, aku mendapati tubuhku benar-benar polos tak berbusana, hanya selimut kasur yang hangat dan menutup seluruh tubuhku semalaman itu.
Sinar surya menerangi ruang kamarku, masuk melalui celah jendela dan pintu balkon yang terbuka. Masih samar dalam pandanganku, seorang wanita berbalutkan jubah mandi dengan rambut hitam basah berdiri tepat di balkon yang menghadap ke kompleks perumahan mewah Misa.
Kufokuskan pandanganku dan melihat wanita itu tak lain adalah sang pemiliki rumah, Missa. Lekukan tubuhnya begitu ramping membuat siapa pun pria pasti jatuh hati dalam pandangan pertama mereka.
“Apa yang kulakukan semalam?” tanyaku, memecah keheningan di ruangan tersebut.
Tubuh Misa tersentak, ia segera berbalik dan menatapku dengan penuh nafsu. Apa hormonnya sedang meninggi pagi ini?
“Kamu tidak mengingatnya? Itu momen paling menyenangkan yang pernah kurasakan.”
“Momen? M
Hidup baru dengan identitas baru di negeri orang. Ia bertemu dengan Bianca dan Revan merasakan ada yang aneh dengan wanita tersebut. Apakah firasat Revan memang benar atau ia hanya sekedar menduga-duga? Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa vote, comment, dan share ke temen-temen kalian. Selamat berakhir pekan:)
Tak terasa, setelah kami puas berkeliling Kota Manila dalam satu hari, kami memutuskan untuk mampir sejenak ke Manila Bay untuk kedua kali setelah siang tadi. Bianca bilang tempat ini akan sangat indah jika didatangi ketika malam tiba.Aku tidak bisa menemukan kemiripan Manila Bay dengan sesuatu di Jakarta, suasananya cukup tenang, tiang-tiang tinggi dihiasi lampu terang berwarna warni.Yang menarik perhatianku, mayoritas pengunjung Manila Bay ketika malam hari tak lain adalah sepasang kekasih. Mereka berpegangan tangan, saling rangkul satu sama lain dan mungkin hanya aku dan Bianca yang tidak melakukannya.“Terima kasih untuk hari ini, kupikir perjalanannya cukup menyenangkan,” ucapku.Kami berdua duduk di sebuah kursi kosong dekat dengan pohon rindang, angin dari laut sungguh kencang dan kurasakan lebih dingin dari pada hawa di Jakarta.Bianca tersenyum, ia masih berekspresi sama seperti yang kulihat di dalam mobil, kuat dan mencoba m
*** Hari ini, Misa tidak pergi ke mana pun. Ia tetap berada di kediamannya sampai tengah hari. Sedangkan aku masih menyimak pemberitaan di Indonesia melalui laptop milik Misa. Mayoritas membahas terkait politik, perdagangan dan hukum. Salah satunya terkait denganku, kulihat salah satu media ikut memberitakan kalau aku kabur dari rumah sakit. “Sayang, apa kamu sedang sibuk?” tanya Misa, wanita itu dengan percaya diri mulai memanggilku dengan panggilan romantis, mungkin ia hanya ingin dilihat mesra oleh orang lain. Kuputar kursi tersebut dan menghadap kearah Misa, kugelengkan kepala sembari menutup layar laptop ketika ia berjalan menghampiriku. “Apa yang sedang kamu tonton?” tanya Misa, matanya sesekali melirik ke laptopnya yang tertutup. “Bukan apa-apa, aku hanya sedang menyimak pemberitaan di Indonesia.” “Oh, bukankah terlalu dini untuk kembali pulang?” tanya Misa. Seperti biasa, jika tidak ada orang, maka Misa akan ber
“Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak membutuhkannya,” balasku, singkat. “Aku ingin kamu memilikinya, anggap saja hadiah dariku karena kamu sudah melakukan yang terbaik selama ini,” jawab Misa. Ia begitu keras kepala menyuruhku menerima saham dan kepemilikan dari perusahaan tersebut. Jika dilihat dari pengalamanku sebelumnya, aku sama sekali tidak merasa kesulitan jika harus mengurus sebuah perusahaan. Akan tetapi aku masih awam jika harus dihadapkan dengan perusahaan besar yang berada di luar Indonesia, terutama di bagian administrasi dan birokrasi yang masih tak kumengerti. “Apa yang sudah kulakukan hingga kamu bersikeras ingin memberikan perusahaan itu padaku?” tanyaku, kulihat kedua pandangan Misa terangkat menatap langit-langit restoran. “Banyak hal, terutama kamu sudah memberikanku pengalaman yang berarti beberapa hari belakangan ini.” Apa pengalaman yang ia maksud adalah sesuatu terkait hubungan intim? Apa sebenarnya isi kepala d
*** Sudah satu bulan aku menetap di Manila, aku mulai terbiasa dengan kehidupan, makanan dan tradisi masyarakat di sini. “Permisi, Tuan. Tuan dipanggil Nyonya untuk turun sarapan.” Pintu kamar terbuka, terdengarlah suara lirih dan lembut dari seorang wanita yang mengenakan pakaian pembantu rumah. Aku yang masih berdiri di depan balkon kamar yang terbuka sontak berbalik seraya mengangguk pelan, menjawab perintah dari Misa yang terlontar melalui perantara wanita tersebut. Hidupku benar-benar berubah, begitu juga dengan Misa. Hubungan kami cukup erat belakangan ini dan itu dibuktikan dengan wajah Misa yang selalu cerah dan berseri di setiap pagi hari datang. Jika kupikir, aku sudah melakukan dosa yang tak akan mungkin dimaafkan oleh Tiara. Wanita itu masih berada di sana, jauh dari dekapanku dan tak pernah tahu kalau aku masih hidup bersembunyi. “Tuan…?” “Iya aku akan ke sana, aku perlu mengganti pakaianku,” balasku singkat.
*** Terdengar dari earphone yang kugunakan, mereka terdengar membahas proyek tadi dan memuji kepemimpinanku dalam perusahaan ini. Jujur saja aku tersanjung mereka berkata demikian. Namun, bukan pujian yang tengah kucari. “… apa kita perlu memberitahu Tuan Stefano tentang ini?” Jackpot! Mereka adalah komplotan yang satu grup dengan Stefano, aku sudah menduganya lewat tekstur tangan mereka. “Jangan dulu, kita perlu bukti kuat kalau dia adalah Revan.” Ucapan mereka terdengar jelas dari alat penyadap yang kusimpan di jas mereka, sampai detik ini pun aku masih mendengarkan pembicaraan mereka hingga ke bagian private. Kumatikan dan segera kaki-kakiku bangkit menopang tubuh ini, berjalan menghampiri jendela kantor sambil memperhatikan landscape Kota Manila dari langit. “Kecurigaanku benar,” ujarku. “Tentang mereka?” tanya Misa sambil berdiri dan menghampiriku. “Iya.” “Tapi bagaimana bisa merek
*** Dua hari kemudian. Aku terbangun di pagi buta karena dering ponselku yang kusimpan di atas meja. Dengan pandangan yang masih kabur dan berat karena kantuk, kuangkat telepon itu tanpa melihat nama si penelepon. “Halo … dengan siapa aku bicara?” tanyaku lirih. “Halo, ini denganku, Nathan. Apa aku membangunkanmu?” tanya Nathan. Segera aku bangkit dari posisi telentang dan duduk di tepi kasur. Kulihat di sampingku, Misa masih terlelap tidur tanpa mengenakan sehelai benang di tubuhnya. “Siapa juga orang gila yang menelepon di jam tiga pagi,” ketusku. Nathan tertawa kecil seraya melontarkan beribu maaf karena sudah membangunkanku, aku tak keberatan jika memang Nathan memiliki tujuan penting untuk meneleponku. “Lalu ada apa? Apa ada hal penting yang kamu temukan?” tanyaku sambil berjalan menghampiri lemari pakaian dan mengambil jubah tidur berwarna putih yang tergantung di dalam lemari. “Iya, ini terkait Tiara,” ba
*** “Lakukanlah!” Mereka semua segera bergerak sesuai perintahku, tidak ada yang mau membantah. Nancy datang menghampiriku sembari meletakan secangkir teh hangat di atas meja. “Ada apa denganmu hari ini? Apa ada yang salah terjadi di rumah?” tanya Nancy, berani sekali ia bertanya seperti itu kepadaku. “Lakukan tugasmu dan diam!” Perkataan itu mengunci bibir Nancy untuk tetap bungkam, meski pendingin ruangan sudah menyala tapi entah kenapa tubuhku rasanya begitu gerah dan panas. “Bagaimana persentase penjualan kita bulan ini?” tanyaku. Aku bangkit dan berbalik membelakangi wajah Nancy, wanita itu masih berdiri tegap di depan meja kerjaku sambil tertunduk sunyi. “Semuanya sektor berada di trend positif, aku pikir investor akan senang melihat perkembangan ini,” ungkap Nancy. “Itu benar.” Terdengar langkah kaki di belakangku yang cukup nyaring, kulirik pelan dan melihat wanita itu tengah duduk di atas sofa.
“Masuklah,” pinta kedua orang tua Nancy kepadaku. Aku mengiyakan saja apa yang mereka pinta, sedangkan Nancy masih terdiam seribu kata di depan rumahnya. Kuperhatikan, wanita di belakangku tak mengindahkan apa yang kedua orang tuanya katakan. Tangannya terlihat mengepal dan tak lama ia berlari meninggalkan kami, pergi menjauh dari rumah tersebut. “Nancy!” “Ngomong-ngomong, terima kasih banyak sudah mau melunasi hutang keluarga kami. Kami tidak tahu harus membalas—” “Kalian hanya perlu membujuk Nancy agar kembali bekerja denganku,” ujarku sembari menyela perkataan dari kedua orang tersebut, mereka mengangguk setuju tanpa membantah. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu pagar dan melihat wanita tersebut sudah berlari cukup jauh, hingga aku tak bisa menemukannya. “Apa kalian tahu kemana dia pergi jika sedang marah?” tanyaku. Ibu Nancy datang dan berdiri tepat di sampingku, “Dulu dia pernah semarah ini pada kami, ia tidak pul
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa