***
Terdengar dari earphone yang kugunakan, mereka terdengar membahas proyek tadi dan memuji kepemimpinanku dalam perusahaan ini. Jujur saja aku tersanjung mereka berkata demikian. Namun, bukan pujian yang tengah kucari.
“… apa kita perlu memberitahu Tuan Stefano tentang ini?”
Jackpot! Mereka adalah komplotan yang satu grup dengan Stefano, aku sudah menduganya lewat tekstur tangan mereka.
“Jangan dulu, kita perlu bukti kuat kalau dia adalah Revan.”
Ucapan mereka terdengar jelas dari alat penyadap yang kusimpan di jas mereka, sampai detik ini pun aku masih mendengarkan pembicaraan mereka hingga ke bagian private.
Kumatikan dan segera kaki-kakiku bangkit menopang tubuh ini, berjalan menghampiri jendela kantor sambil memperhatikan landscape Kota Manila dari langit.
“Kecurigaanku benar,” ujarku.
“Tentang mereka?” tanya Misa sambil berdiri dan menghampiriku.
“Iya.”
“Tapi bagaimana bisa merek
Tampaknya Nathan akan ikut serta dalam rencana Revan, apakah Nathan bersama Violet bisa menghapuskan seluruh jejak digital yang dimiliki Revan? Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan upa comment, vote, dan share ke temen-temen kalian yah. Selamat membaca:)
*** Dua hari kemudian. Aku terbangun di pagi buta karena dering ponselku yang kusimpan di atas meja. Dengan pandangan yang masih kabur dan berat karena kantuk, kuangkat telepon itu tanpa melihat nama si penelepon. “Halo … dengan siapa aku bicara?” tanyaku lirih. “Halo, ini denganku, Nathan. Apa aku membangunkanmu?” tanya Nathan. Segera aku bangkit dari posisi telentang dan duduk di tepi kasur. Kulihat di sampingku, Misa masih terlelap tidur tanpa mengenakan sehelai benang di tubuhnya. “Siapa juga orang gila yang menelepon di jam tiga pagi,” ketusku. Nathan tertawa kecil seraya melontarkan beribu maaf karena sudah membangunkanku, aku tak keberatan jika memang Nathan memiliki tujuan penting untuk meneleponku. “Lalu ada apa? Apa ada hal penting yang kamu temukan?” tanyaku sambil berjalan menghampiri lemari pakaian dan mengambil jubah tidur berwarna putih yang tergantung di dalam lemari. “Iya, ini terkait Tiara,” ba
*** “Lakukanlah!” Mereka semua segera bergerak sesuai perintahku, tidak ada yang mau membantah. Nancy datang menghampiriku sembari meletakan secangkir teh hangat di atas meja. “Ada apa denganmu hari ini? Apa ada yang salah terjadi di rumah?” tanya Nancy, berani sekali ia bertanya seperti itu kepadaku. “Lakukan tugasmu dan diam!” Perkataan itu mengunci bibir Nancy untuk tetap bungkam, meski pendingin ruangan sudah menyala tapi entah kenapa tubuhku rasanya begitu gerah dan panas. “Bagaimana persentase penjualan kita bulan ini?” tanyaku. Aku bangkit dan berbalik membelakangi wajah Nancy, wanita itu masih berdiri tegap di depan meja kerjaku sambil tertunduk sunyi. “Semuanya sektor berada di trend positif, aku pikir investor akan senang melihat perkembangan ini,” ungkap Nancy. “Itu benar.” Terdengar langkah kaki di belakangku yang cukup nyaring, kulirik pelan dan melihat wanita itu tengah duduk di atas sofa.
“Masuklah,” pinta kedua orang tua Nancy kepadaku. Aku mengiyakan saja apa yang mereka pinta, sedangkan Nancy masih terdiam seribu kata di depan rumahnya. Kuperhatikan, wanita di belakangku tak mengindahkan apa yang kedua orang tuanya katakan. Tangannya terlihat mengepal dan tak lama ia berlari meninggalkan kami, pergi menjauh dari rumah tersebut. “Nancy!” “Ngomong-ngomong, terima kasih banyak sudah mau melunasi hutang keluarga kami. Kami tidak tahu harus membalas—” “Kalian hanya perlu membujuk Nancy agar kembali bekerja denganku,” ujarku sembari menyela perkataan dari kedua orang tersebut, mereka mengangguk setuju tanpa membantah. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu pagar dan melihat wanita tersebut sudah berlari cukup jauh, hingga aku tak bisa menemukannya. “Apa kalian tahu kemana dia pergi jika sedang marah?” tanyaku. Ibu Nancy datang dan berdiri tepat di sampingku, “Dulu dia pernah semarah ini pada kami, ia tidak pul
***Pagi hari tiba, apa yang kulihat di atas meja makan sungguh mengejutkan. Berjajar masakan khas Indonesia pagi itu, mulai dari olahan daging, olahan laut, hingga ke makanan ringan.“Apa ini kejutan yang kamu maksud?” tanyaku, Misa mengangguk dengan senyuman.Kuperhatikan juga wajah Misa jauh lebih antusias dari sebelumnya, entah karena dia merasa bersalah atau bagaimana. Semua ini cukup untuk menutupi kekesalanku kemarin.“Apa ini berkaitan dengan sarapan tempo hari?” balasku, Misa tersipu malu sembari menghindar dari tatapanku.“Aku minta maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti itu. Aku merasa bersalah padamu setelah para pembantu menceritakan tentangmu yang bangun pagi dan ikut menyiapkan sarapan,” jelas Misa.Wajahnya benar-benar menghindar dariku, ia juga terlihat lebih kaku dari biasanya. Pagi itu, ada sesuatu yang aneh terjadi pada diri Misa.“Tapi kamu bisa memakan semua itu? Apa
*** Ponselku berdering, kulihat ternyata Misa menelepon. Tak ambil waktu lama, segera kuangkat panggilan tersebut sembari berjalan keluar ruangan. “Halo, ada apa, Misa?” tanyaku. “Apa kamu masih berada di kantor?” tanya Misa, suaranya begitu lembut dan kudengar sepertinya ia sedang dalam mood yang baik. “Iya. Aku sebentar lagi pulang, apa kamu membutuhkan sesuatu?” tanyaku. Pada awalnya, ia hanya diam saja tak menjawab pertanyaanku. Namun, setelah kutanyakan untuk kedua kali. Barulah ia berkata kalau ia menginginkan makanan yang selalu ia beli di pertokoan pusat kota. “Ginanggang? Baiklah aku akan membelinya sepulang nanti,” ujarku. “Terima kasih, Revan,” ucap Misa, ia terdengar begitu bersemangat hari ini, mungkin karena berita kehamilan yang membahagiakan baginya. “Jaga dirimu baik-baik.” Segera kututup telepon tersebut dan kembali masuk ke ruang kerjaku, di sana terlihat Nancy sudah menghabiskan mien
Aku langsung menutup panggilan tersebut karena kupikir apa yang dibicarakan pria tersebut sungguh aneh. Ia membicarakan perihal obat dan uang, apa dia memikirkan tentang obat-obatan terlarang? Tapi aku masih belum menemukan rumah dari Michelle. Kusisir tiap gang sempit dan kutanya ke beberapa orang yang kebetulan berpapasan, mayoritas dari mereka menjawab tidak tahu tentang Michelle. Ada satu pemuda yang memanggilku, ia terlihat tengah berdiri di persimpangan jalan dengan mengenakan pakaian serba hitam, terlihat sebuah rokok terselip di antara jari-jari tangannya. “Kudengar kamu mencari wanita binal itu?” tanya pemuda tersebut. “Wanita yang kamu maksud itu Michelle?” tanyaku, memastikan. Ia berdeham menjawab responku. Kuperhatikan wajahnya tidak terlalu teler dan matanya masih kuat memandangku dalam gelap. “Ikutlah denganku. Aku tahu tempatnya.” Pemuda itu berdiri tegap dan mematikan puntung rokok yang masih menyala dengan menginjaknya
*** Hanya luka kecil, dan beberapa memar di wajah yang mudah diobati. Michelle masih begitu cemas meski aku sudah sepenuhnya terobati. “Akan aku antar kamu ke kediaman Misa,” tawar Michelle, aku menolaknya. “Menurutku masalah ini akan panjang jika Misa mengetahui semuanya. Aku akan mengakalinya dengan mengatakan kalau aku terlibat kecelakaan di jalan,” ungkapku. Aku duduk di atas kasur ruang perawatan intensif, mereka tidak menyuruhku untuk rawat inap karena mereka pikir luka yang kuterima tidak terlalu parah. Wanita yang berjongkok di depanku tampak begitu sedih, di samping ancaman yang sewaktu-waktu datang menyerang mereka, ia juga mungkin merasa bersalah karena aku terluka akibat kelalaian darinya. Malam itu, kami sepakat untuk berpisah setelah keluar dari rumah sakit. Michelle mengiyakan dengan ekspresi yang kecewa, aku menyadari keinginannya tersebut. Segera kulaju mobil hitam mewah itu melesat di tengah jalan utama Manila
“Lalu hanya itu maksud dan tujuan kalian datang kemari? Meminta maaf?!” bentakku, kesal. “I-Iya.” “Kalian menyedihkan! Buang-buang tenaga dan waktuku untuk datang kemari,” balasku. Kuhina dan kucaci mereka dengan perkataan yang kasar, kulampiaskan semua kemarahanku yang tertunda semalam pada mereka. “Kami mohon maaf sebesar-besarnya,” balas Pedro, ia masih menundukan kepalanya, begitu juga dengan Michelle dan Alfonso. Kutarik kursi dorongku dan duduk tepat di depan ketiganya. Aku berada di atas angin terhadap hidup mereka, Misa akan mendengarkanku dan ancaman untuk mereka bertahan hidup semakin nyata. Aku memiliki ide cemerlang. “Tegakkan kepala kalian!” perintahku. Kepala ketiganya langsung mendongak menatapku, seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Tak hanya ketiga orang tersebut, aku memiliki seluruh kuasa atas orang yang berada di depan kantorku saat ini. Kudorong kursi ini dan kutarik kerah kemeja Pe
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa