***
Sudah satu bulan aku menetap di Manila, aku mulai terbiasa dengan kehidupan, makanan dan tradisi masyarakat di sini.
“Permisi, Tuan. Tuan dipanggil Nyonya untuk turun sarapan.” Pintu kamar terbuka, terdengarlah suara lirih dan lembut dari seorang wanita yang mengenakan pakaian pembantu rumah.
Aku yang masih berdiri di depan balkon kamar yang terbuka sontak berbalik seraya mengangguk pelan, menjawab perintah dari Misa yang terlontar melalui perantara wanita tersebut.
Hidupku benar-benar berubah, begitu juga dengan Misa. Hubungan kami cukup erat belakangan ini dan itu dibuktikan dengan wajah Misa yang selalu cerah dan berseri di setiap pagi hari datang.
Jika kupikir, aku sudah melakukan dosa yang tak akan mungkin dimaafkan oleh Tiara. Wanita itu masih berada di sana, jauh dari dekapanku dan tak pernah tahu kalau aku masih hidup bersembunyi.
“Tuan…?”
“Iya aku akan ke sana, aku perlu mengganti pakaianku,” balasku singkat.
Wah, apakah Revan bisa menemukan sesuatu dari kedua orang utusan tersebut? Jadi penasaran:) Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa comment, vote, dan share ke temen-temen kalian, yah:) Selamat membaca.
*** Terdengar dari earphone yang kugunakan, mereka terdengar membahas proyek tadi dan memuji kepemimpinanku dalam perusahaan ini. Jujur saja aku tersanjung mereka berkata demikian. Namun, bukan pujian yang tengah kucari. “… apa kita perlu memberitahu Tuan Stefano tentang ini?” Jackpot! Mereka adalah komplotan yang satu grup dengan Stefano, aku sudah menduganya lewat tekstur tangan mereka. “Jangan dulu, kita perlu bukti kuat kalau dia adalah Revan.” Ucapan mereka terdengar jelas dari alat penyadap yang kusimpan di jas mereka, sampai detik ini pun aku masih mendengarkan pembicaraan mereka hingga ke bagian private. Kumatikan dan segera kaki-kakiku bangkit menopang tubuh ini, berjalan menghampiri jendela kantor sambil memperhatikan landscape Kota Manila dari langit. “Kecurigaanku benar,” ujarku. “Tentang mereka?” tanya Misa sambil berdiri dan menghampiriku. “Iya.” “Tapi bagaimana bisa merek
*** Dua hari kemudian. Aku terbangun di pagi buta karena dering ponselku yang kusimpan di atas meja. Dengan pandangan yang masih kabur dan berat karena kantuk, kuangkat telepon itu tanpa melihat nama si penelepon. “Halo … dengan siapa aku bicara?” tanyaku lirih. “Halo, ini denganku, Nathan. Apa aku membangunkanmu?” tanya Nathan. Segera aku bangkit dari posisi telentang dan duduk di tepi kasur. Kulihat di sampingku, Misa masih terlelap tidur tanpa mengenakan sehelai benang di tubuhnya. “Siapa juga orang gila yang menelepon di jam tiga pagi,” ketusku. Nathan tertawa kecil seraya melontarkan beribu maaf karena sudah membangunkanku, aku tak keberatan jika memang Nathan memiliki tujuan penting untuk meneleponku. “Lalu ada apa? Apa ada hal penting yang kamu temukan?” tanyaku sambil berjalan menghampiri lemari pakaian dan mengambil jubah tidur berwarna putih yang tergantung di dalam lemari. “Iya, ini terkait Tiara,” ba
*** “Lakukanlah!” Mereka semua segera bergerak sesuai perintahku, tidak ada yang mau membantah. Nancy datang menghampiriku sembari meletakan secangkir teh hangat di atas meja. “Ada apa denganmu hari ini? Apa ada yang salah terjadi di rumah?” tanya Nancy, berani sekali ia bertanya seperti itu kepadaku. “Lakukan tugasmu dan diam!” Perkataan itu mengunci bibir Nancy untuk tetap bungkam, meski pendingin ruangan sudah menyala tapi entah kenapa tubuhku rasanya begitu gerah dan panas. “Bagaimana persentase penjualan kita bulan ini?” tanyaku. Aku bangkit dan berbalik membelakangi wajah Nancy, wanita itu masih berdiri tegap di depan meja kerjaku sambil tertunduk sunyi. “Semuanya sektor berada di trend positif, aku pikir investor akan senang melihat perkembangan ini,” ungkap Nancy. “Itu benar.” Terdengar langkah kaki di belakangku yang cukup nyaring, kulirik pelan dan melihat wanita itu tengah duduk di atas sofa.
“Masuklah,” pinta kedua orang tua Nancy kepadaku. Aku mengiyakan saja apa yang mereka pinta, sedangkan Nancy masih terdiam seribu kata di depan rumahnya. Kuperhatikan, wanita di belakangku tak mengindahkan apa yang kedua orang tuanya katakan. Tangannya terlihat mengepal dan tak lama ia berlari meninggalkan kami, pergi menjauh dari rumah tersebut. “Nancy!” “Ngomong-ngomong, terima kasih banyak sudah mau melunasi hutang keluarga kami. Kami tidak tahu harus membalas—” “Kalian hanya perlu membujuk Nancy agar kembali bekerja denganku,” ujarku sembari menyela perkataan dari kedua orang tersebut, mereka mengangguk setuju tanpa membantah. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu pagar dan melihat wanita tersebut sudah berlari cukup jauh, hingga aku tak bisa menemukannya. “Apa kalian tahu kemana dia pergi jika sedang marah?” tanyaku. Ibu Nancy datang dan berdiri tepat di sampingku, “Dulu dia pernah semarah ini pada kami, ia tidak pul
***Pagi hari tiba, apa yang kulihat di atas meja makan sungguh mengejutkan. Berjajar masakan khas Indonesia pagi itu, mulai dari olahan daging, olahan laut, hingga ke makanan ringan.“Apa ini kejutan yang kamu maksud?” tanyaku, Misa mengangguk dengan senyuman.Kuperhatikan juga wajah Misa jauh lebih antusias dari sebelumnya, entah karena dia merasa bersalah atau bagaimana. Semua ini cukup untuk menutupi kekesalanku kemarin.“Apa ini berkaitan dengan sarapan tempo hari?” balasku, Misa tersipu malu sembari menghindar dari tatapanku.“Aku minta maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti itu. Aku merasa bersalah padamu setelah para pembantu menceritakan tentangmu yang bangun pagi dan ikut menyiapkan sarapan,” jelas Misa.Wajahnya benar-benar menghindar dariku, ia juga terlihat lebih kaku dari biasanya. Pagi itu, ada sesuatu yang aneh terjadi pada diri Misa.“Tapi kamu bisa memakan semua itu? Apa
*** Ponselku berdering, kulihat ternyata Misa menelepon. Tak ambil waktu lama, segera kuangkat panggilan tersebut sembari berjalan keluar ruangan. “Halo, ada apa, Misa?” tanyaku. “Apa kamu masih berada di kantor?” tanya Misa, suaranya begitu lembut dan kudengar sepertinya ia sedang dalam mood yang baik. “Iya. Aku sebentar lagi pulang, apa kamu membutuhkan sesuatu?” tanyaku. Pada awalnya, ia hanya diam saja tak menjawab pertanyaanku. Namun, setelah kutanyakan untuk kedua kali. Barulah ia berkata kalau ia menginginkan makanan yang selalu ia beli di pertokoan pusat kota. “Ginanggang? Baiklah aku akan membelinya sepulang nanti,” ujarku. “Terima kasih, Revan,” ucap Misa, ia terdengar begitu bersemangat hari ini, mungkin karena berita kehamilan yang membahagiakan baginya. “Jaga dirimu baik-baik.” Segera kututup telepon tersebut dan kembali masuk ke ruang kerjaku, di sana terlihat Nancy sudah menghabiskan mien
Aku langsung menutup panggilan tersebut karena kupikir apa yang dibicarakan pria tersebut sungguh aneh. Ia membicarakan perihal obat dan uang, apa dia memikirkan tentang obat-obatan terlarang? Tapi aku masih belum menemukan rumah dari Michelle. Kusisir tiap gang sempit dan kutanya ke beberapa orang yang kebetulan berpapasan, mayoritas dari mereka menjawab tidak tahu tentang Michelle. Ada satu pemuda yang memanggilku, ia terlihat tengah berdiri di persimpangan jalan dengan mengenakan pakaian serba hitam, terlihat sebuah rokok terselip di antara jari-jari tangannya. “Kudengar kamu mencari wanita binal itu?” tanya pemuda tersebut. “Wanita yang kamu maksud itu Michelle?” tanyaku, memastikan. Ia berdeham menjawab responku. Kuperhatikan wajahnya tidak terlalu teler dan matanya masih kuat memandangku dalam gelap. “Ikutlah denganku. Aku tahu tempatnya.” Pemuda itu berdiri tegap dan mematikan puntung rokok yang masih menyala dengan menginjaknya
*** Hanya luka kecil, dan beberapa memar di wajah yang mudah diobati. Michelle masih begitu cemas meski aku sudah sepenuhnya terobati. “Akan aku antar kamu ke kediaman Misa,” tawar Michelle, aku menolaknya. “Menurutku masalah ini akan panjang jika Misa mengetahui semuanya. Aku akan mengakalinya dengan mengatakan kalau aku terlibat kecelakaan di jalan,” ungkapku. Aku duduk di atas kasur ruang perawatan intensif, mereka tidak menyuruhku untuk rawat inap karena mereka pikir luka yang kuterima tidak terlalu parah. Wanita yang berjongkok di depanku tampak begitu sedih, di samping ancaman yang sewaktu-waktu datang menyerang mereka, ia juga mungkin merasa bersalah karena aku terluka akibat kelalaian darinya. Malam itu, kami sepakat untuk berpisah setelah keluar dari rumah sakit. Michelle mengiyakan dengan ekspresi yang kecewa, aku menyadari keinginannya tersebut. Segera kulaju mobil hitam mewah itu melesat di tengah jalan utama Manila