***
“Lakukanlah!”
Mereka semua segera bergerak sesuai perintahku, tidak ada yang mau membantah. Nancy datang menghampiriku sembari meletakan secangkir teh hangat di atas meja.
“Ada apa denganmu hari ini? Apa ada yang salah terjadi di rumah?” tanya Nancy, berani sekali ia bertanya seperti itu kepadaku.
“Lakukan tugasmu dan diam!”
Perkataan itu mengunci bibir Nancy untuk tetap bungkam, meski pendingin ruangan sudah menyala tapi entah kenapa tubuhku rasanya begitu gerah dan panas.
“Bagaimana persentase penjualan kita bulan ini?” tanyaku.
Aku bangkit dan berbalik membelakangi wajah Nancy, wanita itu masih berdiri tegap di depan meja kerjaku sambil tertunduk sunyi.
“Semuanya sektor berada di trend positif, aku pikir investor akan senang melihat perkembangan ini,” ungkap Nancy.
“Itu benar.”
Terdengar langkah kaki di belakangku yang cukup nyaring, kulirik pelan dan melihat wanita itu tengah duduk di atas sofa.<
Memang sifat Revan, ia akan membantu orang yang menurutnya cocok dan berharga baginya. Nancy tidak perlu mengkhawatirkan hutang keluarganya lagi. Namun, Apakah Nancy akan menerima kebaikan Revan tersebut? Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa vote, comment, dan share ke temen-temen kalian, yah. Selamat membaca:)
“Masuklah,” pinta kedua orang tua Nancy kepadaku. Aku mengiyakan saja apa yang mereka pinta, sedangkan Nancy masih terdiam seribu kata di depan rumahnya. Kuperhatikan, wanita di belakangku tak mengindahkan apa yang kedua orang tuanya katakan. Tangannya terlihat mengepal dan tak lama ia berlari meninggalkan kami, pergi menjauh dari rumah tersebut. “Nancy!” “Ngomong-ngomong, terima kasih banyak sudah mau melunasi hutang keluarga kami. Kami tidak tahu harus membalas—” “Kalian hanya perlu membujuk Nancy agar kembali bekerja denganku,” ujarku sembari menyela perkataan dari kedua orang tersebut, mereka mengangguk setuju tanpa membantah. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu pagar dan melihat wanita tersebut sudah berlari cukup jauh, hingga aku tak bisa menemukannya. “Apa kalian tahu kemana dia pergi jika sedang marah?” tanyaku. Ibu Nancy datang dan berdiri tepat di sampingku, “Dulu dia pernah semarah ini pada kami, ia tidak pul
***Pagi hari tiba, apa yang kulihat di atas meja makan sungguh mengejutkan. Berjajar masakan khas Indonesia pagi itu, mulai dari olahan daging, olahan laut, hingga ke makanan ringan.“Apa ini kejutan yang kamu maksud?” tanyaku, Misa mengangguk dengan senyuman.Kuperhatikan juga wajah Misa jauh lebih antusias dari sebelumnya, entah karena dia merasa bersalah atau bagaimana. Semua ini cukup untuk menutupi kekesalanku kemarin.“Apa ini berkaitan dengan sarapan tempo hari?” balasku, Misa tersipu malu sembari menghindar dari tatapanku.“Aku minta maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti itu. Aku merasa bersalah padamu setelah para pembantu menceritakan tentangmu yang bangun pagi dan ikut menyiapkan sarapan,” jelas Misa.Wajahnya benar-benar menghindar dariku, ia juga terlihat lebih kaku dari biasanya. Pagi itu, ada sesuatu yang aneh terjadi pada diri Misa.“Tapi kamu bisa memakan semua itu? Apa
*** Ponselku berdering, kulihat ternyata Misa menelepon. Tak ambil waktu lama, segera kuangkat panggilan tersebut sembari berjalan keluar ruangan. “Halo, ada apa, Misa?” tanyaku. “Apa kamu masih berada di kantor?” tanya Misa, suaranya begitu lembut dan kudengar sepertinya ia sedang dalam mood yang baik. “Iya. Aku sebentar lagi pulang, apa kamu membutuhkan sesuatu?” tanyaku. Pada awalnya, ia hanya diam saja tak menjawab pertanyaanku. Namun, setelah kutanyakan untuk kedua kali. Barulah ia berkata kalau ia menginginkan makanan yang selalu ia beli di pertokoan pusat kota. “Ginanggang? Baiklah aku akan membelinya sepulang nanti,” ujarku. “Terima kasih, Revan,” ucap Misa, ia terdengar begitu bersemangat hari ini, mungkin karena berita kehamilan yang membahagiakan baginya. “Jaga dirimu baik-baik.” Segera kututup telepon tersebut dan kembali masuk ke ruang kerjaku, di sana terlihat Nancy sudah menghabiskan mien
Aku langsung menutup panggilan tersebut karena kupikir apa yang dibicarakan pria tersebut sungguh aneh. Ia membicarakan perihal obat dan uang, apa dia memikirkan tentang obat-obatan terlarang? Tapi aku masih belum menemukan rumah dari Michelle. Kusisir tiap gang sempit dan kutanya ke beberapa orang yang kebetulan berpapasan, mayoritas dari mereka menjawab tidak tahu tentang Michelle. Ada satu pemuda yang memanggilku, ia terlihat tengah berdiri di persimpangan jalan dengan mengenakan pakaian serba hitam, terlihat sebuah rokok terselip di antara jari-jari tangannya. “Kudengar kamu mencari wanita binal itu?” tanya pemuda tersebut. “Wanita yang kamu maksud itu Michelle?” tanyaku, memastikan. Ia berdeham menjawab responku. Kuperhatikan wajahnya tidak terlalu teler dan matanya masih kuat memandangku dalam gelap. “Ikutlah denganku. Aku tahu tempatnya.” Pemuda itu berdiri tegap dan mematikan puntung rokok yang masih menyala dengan menginjaknya
*** Hanya luka kecil, dan beberapa memar di wajah yang mudah diobati. Michelle masih begitu cemas meski aku sudah sepenuhnya terobati. “Akan aku antar kamu ke kediaman Misa,” tawar Michelle, aku menolaknya. “Menurutku masalah ini akan panjang jika Misa mengetahui semuanya. Aku akan mengakalinya dengan mengatakan kalau aku terlibat kecelakaan di jalan,” ungkapku. Aku duduk di atas kasur ruang perawatan intensif, mereka tidak menyuruhku untuk rawat inap karena mereka pikir luka yang kuterima tidak terlalu parah. Wanita yang berjongkok di depanku tampak begitu sedih, di samping ancaman yang sewaktu-waktu datang menyerang mereka, ia juga mungkin merasa bersalah karena aku terluka akibat kelalaian darinya. Malam itu, kami sepakat untuk berpisah setelah keluar dari rumah sakit. Michelle mengiyakan dengan ekspresi yang kecewa, aku menyadari keinginannya tersebut. Segera kulaju mobil hitam mewah itu melesat di tengah jalan utama Manila
“Lalu hanya itu maksud dan tujuan kalian datang kemari? Meminta maaf?!” bentakku, kesal. “I-Iya.” “Kalian menyedihkan! Buang-buang tenaga dan waktuku untuk datang kemari,” balasku. Kuhina dan kucaci mereka dengan perkataan yang kasar, kulampiaskan semua kemarahanku yang tertunda semalam pada mereka. “Kami mohon maaf sebesar-besarnya,” balas Pedro, ia masih menundukan kepalanya, begitu juga dengan Michelle dan Alfonso. Kutarik kursi dorongku dan duduk tepat di depan ketiganya. Aku berada di atas angin terhadap hidup mereka, Misa akan mendengarkanku dan ancaman untuk mereka bertahan hidup semakin nyata. Aku memiliki ide cemerlang. “Tegakkan kepala kalian!” perintahku. Kepala ketiganya langsung mendongak menatapku, seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Tak hanya ketiga orang tersebut, aku memiliki seluruh kuasa atas orang yang berada di depan kantorku saat ini. Kudorong kursi ini dan kutarik kerah kemeja Pe
*** Lima bulan kemudian. Kehamilan Misa semakin tua, perutnya sudah terlihat membesar dari sebelumnya. Aku lebih perhatian dari sebelumnya, karena aku memiliki tanggung jawab di dalam janin tersebut. Bak seorang ratu di jaman kerajaan, perlakuan khusus kuberikan pada Misa. Beberapa pembantu di rumahnya ikut berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik bagi Misa. Tak hanya tubuhnya yang berbeda, sifat dan perilakunya bertambah manja dari hari ke hari. Bahkan dalam sebulan kemarin, aku harus membolos kerja untuk satu pekan penuh untuk menemani Misa di kamarnya. “Kandungannya sudah berada di tahap yang aman, kita hanya perlu menjaga agar Misa tidak melakukan hal-hal yang berat, pikirannya juga tidak boleh merasa tertekan dan terbebani,” ucap dokter pribadi Misa ketika datang ke rumah untuk pemeriksaan rutin perminggu. “Begitu, yah? Aku harap dia juga tidak memikirkan banyak hal,” timpalku. Dokter wanita itu mengangguk dan b
*** Bianca menyimak semua ceritaku dengan antusias, ia banyak bertanya terkait peranku di Cincin Hitam, awal mula kasus pembunuhan yang menjerat organisasiku, hingga ke bagian pribadi seperti hubungan dengan Misa. Aku senang, akhirnya aku bisa berbagi kisahku dengan orang lain selain Misa. Semua pertanyaan dari Bianca kujawab dengan senyuman yang terukir di wajahku. “Aku akan menjawabnya sepulang nanti,” balasku, meski Bianca terlihat kecewa tapi ia menyetujui apa yang kuusulkan. Siang itu, waktu istirahat sudah hampir selesai. Bianca harus segera kembali ke kediaman agar Misa tidak mencurigai kami berdua. Ia juga menceritakan ada tugas lain yang perlu ia kerjakan dan kumpulkan pada atasannya. Sama seperti janjiku di restoran tadi. Aku mulai pembicaraan kami yang kedua dan kujawab semua pertanyaan tadi dengan jelas nan singkat. Bianca hanya mengangguk dan sesekali berdeham ketika aku bercerita panjang, tak terasa kami sudah sampai di depan rum