***
Pada akhirnya, Larissa akan melakukan apa yang kuperintahkan. Ia tak bisa menolaknya, benar-benar tidak bisa mengorbankan puluhan anggotanya yang tak bersalah karena keegoisan atas pilihannya.
“Aku tidak bisa memberikan keringanan apa pun, apa kamu pikir kamu bisa selamat setelah membohongi dan membuatku terlihat seperti orang bodoh karena silsilah keluargamu?” tanyaku.
Seharusnya aku mengeceknya sendiri, mulai dari identitas, kelompok, hingga silsilah keluarganya. Kuingat kembali saat itu aku benar-benar sibuk menyusun rencana, jadi aku menerimanya karena tidak ada pilihan lain lagi.
“Aku menyediakan beberapa orang kepercayaanku yang akan menemanimu membunuhnya.” Kubalikan tubuh ini dan memandang tubuh Larissa yang sudah berpakaian rapi dan berseragam lengkap dengan rompi anti peluru.
“Jika mereka mendapati kamu ragu atau justru berkhianat denganku, salah satu dari mereka akan melubangi kepalamu saat itu juga,” sambungku.
Kuraih r
Tiara tertangkap, apakah Revan bisa menyelamatkannya? Akankah Tiara mengetahui kalau Revan masih hidup? Simak terus kisahnya, yah. Jangan lupa vote, comment, dan share ke temen-temen kalian. Selamat membaca:)
***“Siapa sebenarnya yang menangkap Tiara?” tanyaku dengan cemas.“Dari yang kudengar, mereka hanyalah penjahat simpatisan dari kelompok kita,” jawab Nathan.Aku tidak bisa menyalahkan mereka, bagaimana pun juga mereka sudah melakukan yang terbaik untuk melindungi informasi seputar Cincin Hitam. Namun, yang kusesalkan adalah kenapa mereka bertindak melakukan penyekapan terhadap orang tersebut, Tiara.“Apa kamu akan menghukum mereka semua?” tanya balik Nathan.Aku yang duduk di kursi depan melirik ke arah luar mobil, memandangi gedung-gedung bertingkat yang terlihat besar dan mewah. Aku memutuskan dalam keheningan dan ketenangan hati kalau aku tidak akan menghukum mereka.“Mereka tidak akan mendapatkannya,” balasku.Aku yakin, Nathan pasti terkejut mendengarnya. Akan tetapi, ia tidak balik bertanya atas keputusanku, tata krama yang bagus ia tunjukan dalam menyikapi perintahku.&ld
“Lepaskan ikatannya,” ujarku, Nathan segera mengambil pisau yang ada di atas meja dan memutus tali yang mengikat tangan dan kaki Tiara. Tiara terjatuh di dekapanku, segera kuangkat dan kubawa pergi dari gubuk kayu tersebut. Mereka, orang-orang yang menyekap Tiara hanya bisa melongo kikuk melihatku membawanya. “Kemana kita akan membawanya?” tanya Nathan. Pertanyaannya menghentikan langkahku, aku tidak mungkin membiarkannya berada di salah satu markas cincin hitam, ia bisa saja bertindak lebih nekat dengan menyusup ke kediamanku. “Kita bawa saja dia ke rumahnya, ia tidak akan menyadari kalau kitalah yang menyelamatkannya,” ucapku, Nathan mengangguk tanpa membantah. Nathan langsung melajukan mobilnya, melintasi gelapnya malam ibukota menuju daerah tempat Tiara tinggal. Kuletakan wanita itu di belakang dan masih dalam keadaan yang tak sadarkan diri. Setengah jalan menuju rumahnya, mobil Nathan berhenti tatkala aku memerintahkannya. Pria it
*** Kami langsung melaju dengan kencang menuju kantor polisi, menjenguk dua orang yang sangat kunantikan raut mereka, Soo dan Reno. Cavid tidak banyak bertanya tentang alasanku, ia juga akan menyadarinya ketika mendengar percakapanku dengan kedua orang tersebut. Nathan mengirimkanku pesan teks, di dalamnya mengatakan kalau dia sudah mengantar Tiara sampai ke depan rumahnya. Ia bisa mengetahui alamat yang kukasih dengan baik karena dia sudah beberapa tahun di Jakarta tatkala menemani Violet. “Kerja bagus,” tulisku dalam pesan yang terkirim ke Nathan. “Tentang kunjungan kita ke kantor polisi, apa mereka tidak akan mencurigaimu?” tanya Cavid, kedua matanya masih fokus mengamati jalanan di depannya. Itu sama sekali tidak menjadi kekhawatiran bagiku, Soo dan Reno tidak dibawa ke Markas besar polisi. Mereka berdua masih ditahan di kantor polisi tingkat kota, sehingga para perwira polisi itu tentu tidak akan mengenal diriku dengan pasti. “Tid
*** “Apa kalian menikmati sel ini?” tanyaku dengan wajah sinis. Reno bangkit dan menatapku sedari dekat, hanya jeruji besi yang dingin yang hanya membatasi jarakku dengannya. Kutatap matanya seraya melipat kedua tanganku di hadapan pria pengkhianat tersebut, ekspresi Reno begitu mengkerut, memandangku dengan arti kebencian yang terpendam. “Bagaimana kamu masih hidup?!” tanya Reno, tegas. “Panjang kisahnya, satu hal penting yang perlu kamu tahu,” jawabku, kumelangkah maju mendekati telinga Reno. “Aku memiliki rekan setia yang mau berkorban untukku,” timpalku berbisik. Mendengar kalimat satire dariku membuatnya semakin berang, tangannya yang besar langsung mencengkeram kerah bajuku dan menariknya mendekat. Alhasil kepalaku terbentur jeruji besi dengan keras hingga orang-orang di belakangku tersentak kaget. “Sialan! Apa kamu mencari mati?!” bentak Cavid. Ia melepaskan cengkeraman Reno dan justru berbalik menarik tubuh pria
***Terdengar teriakan dari dalam ruang interogasi, suara seorang wanita yang begitu tak terima dengan perlakuan yang ia dapatkan. Kubiarkan Stefano mendengarnya agar ia bisa menyadari kalau hidup Larissa tak lagi berarti kecuali sebagai alat untuk pelaksana tugasku.“Ia tersiksa, terpaksa memilih jalan kotor ini karena memilih untuk mengikutimu. Apa kamu sama sekali tidak merasa bersalah atas hidupnya?” tanyaku dengan perlahan, aku berdiri di samping Stefano dan melirik kepadanya dengan sorot mata penuh arti.“Aku tidak ingin melakukan ini. Ia bisa menjadi kaki tanganku yang sempurna untuk rencana-rencana Cincin Hitam di Indonesia.”Kuputar tubuhku dan kini kami berdua kembali saling berhadapan satu sama lain, beradu pandang dalam pusaran emosi yang menggebu-gebu. Aku memilih bersikap tenang agar ia merasa terpojok atas ucapannya sendiri.“Jadi, kamu menyalahkanku atas pilihannya mengikutiku?” tanya Stefano.
***“T-Tunggu dulu, Presiden? Jangan bercanda!” bentakku.Memang momen tertangkapnya Stefano berbarengan dengan masa kampanye dari kedua pasangan calon presiden. Mendengar perkataan pria tua barusan yang mengatakan Presiden dengan tegas, maka bisa dipastikan pria yang dimaksud adalah si calon petahana.“Apa kamu melihat ekspresiku tengah bercanda?” tanya Stefano, tajam.Violet menenangkan hatiku yang tiba-tiba tersulut olehnya. Tidak mungkin jika Presiden yang memerintahkan pembunuhan Luqman, setahuku dia adalah orang yang baik, peduli kepada rakyat dan memiliki tujuan mulia untuk memakmurkan kehidupan masyarakat.Aku memilih diam bisu dan duduk di atas sofa yang berada di belakang punggung Stefano. Kubiarkan Violet yang berbicara kepadanya, aku percaya wanita itu jauh lebih ahli dalam mengendalikan emosi ketika berbincang kepada Stefano.“Tidak mungkin,” ucap Violet.Kedua matanya membelalak, tanga
***“Silakan duduk,” pintaku, Stefano dan Larissa duduk bersebelahan di depan meja makan berbahan dasar kayu jati.“Aku tidak melihat sekretarismu, apa dia sedang ada urusan?” tanya Larissa.Kulirik arah kursi kosong di sebelahku, aku harus mengakui kalau informasi yang Stefano berikan padanya sungguh mengguncang mentalnya. Ia mungkin yang paling merasa bersedih jika Cincin Hitam harus kembali vakum bila pemerintahan yang baru ada dan terwujud.“Iya, ia banyak mengerjakan pekerjaanku belakangan ini. Jadi, aku memberikannya waktu untuk istirahat,” jawabku dengan datar, tak lama kami bertiga saling melempar senyum satu sama lain.Hidangan tersaji di atas meja makan, aku mempersilakan keduanya menikmati makan malam yang tersuguhkan. Aku yakin, para pelayan sudah mempersiapkan semuanya hingga aku tak harus mengotori tanganku secara langsung.Masakan yang kusediakan begitu mewah, dan tentunya mahal. Berbahan da
***Jasad Stefano langsung dikirim ke rumahnya, peti mati itu pergi bersama dengan iringan mobil hitam yang memanjang. Tak hanya karena permintaan dari Stefano, tapi aku juga mementingkan hal berkaitan dengan perasaan emosional Larissa.Stefano sudah menjadi sosok yang berjasa baginya, jalan hidupnya kini didasarkan pada pilihannya mengikuti jejak pamannya. Sungguh egois jika aku bersikukuh untuk menolak Larissa dan membiarkan Stefano menghilang tanpa diketahui oleh keluarganya.“Apa langkah kita selanjutnya?” tanya Nathan, ia menemaniku ketika melepas iring-iringan mobil yang membawa jasad Stefano dari kediamanku.“Kita akan membicarakan terkait kejahatan Presiden sesuai informasi yang diberikan oleh Stefano,” jawabku, singkat.Nathan mendekatkan tubuhnya kepadaku, ia sama sekali belum mengetahui perihal dalang dari seluruh kekacauan di negeri ini. Kedua matanya membelalak kaget tatkala mendengar Presiden dan kejahatan yang