Sentakan barusan membuat Lily bergidik cepat. Lantas dia pun mengangguk dengan gerakan pelan. Tubuh yang tadi menjauh kini perlahan mendekat ke arah sang suami.“Ck. Naiklah ke sini!” titah Keenan yang sudah tak sabaran. Dirinya refleks menarik pergelangan tangan Lily agar sama-sama duduk di atas ranjang.Wanita berambut sebahu itu menyambar mangkuk berisi bubur buatannya. Lantas mengaduk sebentar lalu menyendokkannya ke depan mulut Keenan. “Aak!” Awalnya mereka tampak canggung karena posisi yang bisa dikatakan tak pernah sedekat itu. Namun, lama kelamaan berubah menjadi biasa karena Keenan yang fokus pada makanannya. Hingga ketukan dari arah luar membuat Lily menghentikan pergerakan tangannya tadi.“Masuklah!” sahut Keenan.Sang asisten muncul lalu segera menyerahkan sebuah plastik kecil berisi vitamin pada Lily. “Maaf, Tuan. Apa ada lagi yang harus saya lakukan?”“Bagaimana dengan Lisna?”“Nona Lisna sudah pergi sejak tadi, Tuan,” jawab pria berseragam se
[“Wah wah. Ada apa ini, hemm? Tumben kau menelepon.”]Keenan melirik Lily yang tampak gelisah di sampingnya. Setelah itu kembali mengupingi gawai. [“Lily hari ini tidak masuk kerja. Tolong kau uruskan ijinnya.”][“Wah wah. Kau apakan dia, hah??”][“Aku sedang sakit. Jangan banyak bertanya. Lakukan saja tugasmu.”] Setelahnya Keenan memutuskan panggilan tadi secara sepihak. Lantas menatap Lily yang masih saja kelihatan gusar. “Kenapa lagi? Bukankah semua sudah beres? Mau diganti berapa kali lipat karena tak masuk kerja hari ini? Aku transfer sekarang. Mungkin … cash barangkali.”Lily menggeleng singkat. “Makasih sebelumnya. Aku enggak butuh uang dari Abang. Tidak semuanya bisa dibeli dengan uang.”“Ya ya aku lupa.” Keenan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kau bersedia menikah denganku agar anakmu punya ayah. Heh.”“Itu lebih penting,” tukas Lily dengan suara yang mulai terdengar serak. “Sekarang, apa yang harus aku lakukan?”“Tidak ada. Kau bisa istirahat kalau mau,” kata K
Baru saja hendak meloloskan celananya, Keenan tersenyum puas. “Dasar munafik. Ini yang sebenarnya kau inginkan ‘kan?”“Enggak, Bang,” ucap Lily yang ke sekian kalinya menyangkal tuduhan sang suami.“Sebentar. Aku lupa di mana letak barang pengamanku,” kata Keenan yang bergerak sedikit menjauh. Langkahnya terhenti saat mendengar ketukan dari arah luar.“Mama! Papa!!” Suara bocah barusan membuat Lily semakin tergugu. Dengan cepat dia berlari menuju ambang pintu.“Sayang!” pekiknya sembari menangkap Farel ke dalam pelukan. Tangisnya menjadi-jadi.“Mama … kenapa?” tanya sang anak yang tentu saja keheranan. Wajah Keenan yang tadinya seperti singa pun mendadak berubah bagaikan malaikat. Pria itu mengulum senyum sembari menyambar kaosnya yang berada di atas ranjang. Mengenakan penutup atasan tubuh tersebut dengan gerakan santai.“Mama sedih karena papa sakit. Iya ‘kan?” gumam Keenan dengan tatapan dinginnya pada Lily.Mau tak mau wanita
Perdebatannya tadi malam dengan Dimas masih terekam jelas di memori Keenan. Pagi ini pria dingin tersebut tersentak begitu tak melihat sang istri yang biasanya masih berbaring di atas sofa. Matanya mengerjap cepat untuk melihat jam dinding. Jarum pendeknya masih menunjuk ke angka lima, ke mana perginya Lily? Ya. Tadi malam dia memilih tidur lebih dulu karena masih dongkol akibat sangkaan Dimas. Jelas dia menyangkal kalau sudah jatuh hati pada Lily. Sekarang dirinya yang kelabakan saat tak menemukan wanita tersebut di kamar maupun di dapur.“Tuan? Ada apa?” Suara barusan tentu saja mengejutkan Keenan. Bagaimana tidak. Seorang petugas keamanan dengan sarung di atas kepala sudah menegurnya sepagi ini. Dia pun berdecak kesal.“Kenapa kau kemari?” tanya Keenan balik dengan tatapan tak sukanya.Pria berkumis tebal tersebut meringis pelan. “Maaf, Tuan. Saya tadi tidak sengaja melihat Tuan mondar-mandir lebih dari dua kali dari ruang tengah ke dapur.
“Pak, jangan main-main,” decak Lily sambil membolakan matanya. Namun, Dimas masih bergeming. Pria itu malah menatapnya semakin intens. Bahkan kini berani mencondongkan kepalanya.“Kalau masalah perasaan saya tidak suka berkelit, Lily,” kata Dimas begitu yakinnya. “Ayo kita makan. Kali ini di kantin agar kita bisa mendengar apa yang mereka omongkan secara langsung.”“Saya tidak mau,” tolak Lily secara halus.Dimas pun tak mau menyerah. “Saya ini teman suami kamu. Artinya teman kamu juga ‘kan? Kenapa sombong sekali sih?” Lily tak punya pilihan selain mengikut karena bekal makanannya diambil oleh Dimas yang sudah berjalan lebih dulu. Wanita berambut sebahu itu terus menunduk hingga langkahnya sampai di tempat tujuan.“Kemarikan, Pak,” tunjuknya pada kotak makanan yang masih dipeluk Dimas di atas meja.“Silakan dimakan. Kamu mau pesan apalagi?” tanya Dimas yang pada akhirnya menyerahkan benda tersebut ke hadapannya. Istri Keenan itu menggeleng seraya membuka wa
Awalnya Keenan senang bukan main mendengarnya. Pria itu menyempatkan diri untuk tersenyum pada Lisna sebelum akhirnya mengikuti Lily yang berjalan menuju ruang tengah.“Kau tidak boleh keberatan. Ini rumahku,” kata Keenan menunjukkan kuasanya.Lily mengangguk mengiyakan. Lalu dia membuka mulutnya. “Aku tahu, Bang. Sangat tahu karena aku masih ingat dengan jelas tujuanku ke sini. Aku hanya ingin mengingatkan tentang kesepakatan kita. Ada hati Farel yang harus dijaga bukan?” Mendengar nama bocah empat tahunan tersebut, Keenan langsung tersadar. Lidahnya pun kelu untuk sekedar menyela atau membantah. Namun, ego di dalam diri mendorongnya untuk tetap bersuara.“Heh, kau menggunakan anakmu sebagai senjata?” ketusnya dengan nada dingin.Lily menggeleng sambil tersenyum. Sama sekali tidak menampakkan bahwa dia keberatan dengan kehadiran Lisna yang saat ini mengenakan pakaian kekurangan bahan. “Tentu saja tidak. Abang sendiri yang sepakat kalau ingin menjadi figure
Setengah jam sudah Keenan menemani anak sambungnya itu di kamar. Hingga suara dengkuran halus perlahan membuatnya kembali terjaga. Ya. Farel sudah tertidur pulas sembari memeluk lengan kekarnya. Dengan gerakan pelan Keenan berusaha membebaskan area tangannya dan bergegas pergi dari sana. Tepat setelah sampai di kamar, ia melihat Lily yang hendak berbaring di atas sofa. Namun, ada satu hal yang membuat Keenan mengernyit. Istrinya itu tampak kaget ketika menoleh ke arahnya.“Kenapa?” tanya Keenan tanpa basa-basi.Dengan napas yang masih belum teratur Lily menggeleng cepat. “Eng-gak,” katanya agak terbata-bata. “Aku hanya terkejut.”“Apa yang kau lakukan dengan Dimas di luar sana?”“Tidak ada. Aku hanya pulang dengan bus, tetapi begitu sampai di halte dia mengikutiku. Itu saja,” jawab Lily apa adanya. Tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Suasana menjadi hening begitu Keenan mematikan lampu ruangan dan menggantikan penerangan d
“Ya sudah. Kalau gitu mama pergi ya,” kata Lily sambil tersenyum getir. Hatinya semakin sakit saat Farel masih tetap memunggunginya. “Kamu yang nurut sama Nek Jum selama mama enggak ada. Maafi mama ya, Nak. Mama seperti tadi agar kamu terbiasa untuk mandiri. Kita tidak selamanya hidup enak.”“Berisik,” ketus Farel.“Sepertinya kamu hanya butuh papa. Baiklah. Jangan lupa minum obat ya, Sayang.” Tak ada sahutan dari putranya. Hingga Lily menghela napas panjang lalu perlahan beranjak dari sana. Langkahnya seketika berhenti begitu melihat Mbok Jum yang tersenyum hangat.“Nyonya?”“Mbok!” Lily lantas mendekap erat tubuh kepala pelayan itu sembari menangis sesenggukan. “Aku capek, Mbok.” Mbok Jum belum mengatakan apapun. Dia meminta seorang pelayan untuk membawakan air hangat ke taman belakang, sedangkan satu orang lainnya mengawasi Farel yang masih berada di kamar. Di sinilah Lily dan Mbok Jum berada sekarang. Menikmati segelas air hangat dengan p
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma