“Suaminya Lily ya?” tanya wanita yang baru saja tiba di depan Keenan dan Farel.
“Iya,” jawab Keenan singkat.
Wanita tersebut meringis pelan lalu berjalan mendekati mereka. “Kenapa mau sama Lily sih? Kamu dipelet mungkin sama dia.”
Keenan berdecak lalu mengeratkan dekapannya pada Farel yang mulai terganggu dengan kedatangan orang itu. Baru saja dia hendak bersuara, Lily dan sang bibi muncul dari arah dalam. Kedua perempuan itu saling menoleh ketika melihat senyum yang dipaksakan oleh tetangga mereka.
“Eh, Bu. Saya mau beli beras kemari.”
“Iya. Langsung ke warung saja kalau gitu. Sebentar lagi saya menyusul. Lily mau pamit dulu,” jawab bibi dengan cepat.
Setelah wanita tadi pergi, barulah Lily mendekati dua pria beda usia tersebut. “Kita pergi yuk, Sayang,” katanya pada Farel. “Salim ke nenek dulu.”
Farel menurut lalu tersenyum begitu kepalanya dielus le
Ucapan tadi terjeda lantaran sang sopir meringis setelahnya. “…, Perut saya mules lagi. Sepertinya salah makan.”Lily yang langsung tanggap segera memutar pandangannya ke berbagai arah. Kedua matanya menyipit saat melihat klinik bersalin di seberang café. “Pak, badan Bapak lemes itu. Kita ke sana ya.”“Eh, enggak usah Nyonya. Saya masih kuat kok. Cuma enggak bisa nyetir aja. Takut salah fokus,” tolak pria seusia pamannya tersebut.Keenan pun berdecak. “Jangan membantah. Turutin kata-kata Lily.”“I-iya, Tuan. Maaf kalau merepotkan.” Lily sibuk memapah sang sopir. Sementara Keenan menggendong Farel agar perjalanan mereka bisa cepat menuju klinik bersalin yang dimaksud Lily tadi. Setidaknya ada pertolongan pertama yang didapatkan oleh pria tersebut.“Kasihan kakek itu ya, Ma,” gumam
“Oh. Hemm … dari teman. Sudah lama sekali,” jawab Lily sembari mengulum senyum. Setelahnya tidak ada lagi pembicaraan karena Lily kembali fokus ke jalan raya sana. Hingga beberapa menit kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Beruntung hujan berangsur reda. “Makasih ya, Nyonya. Maaf sudah merepotkan,” kata Pak Sopir yang merasa sungkan. “Sama-sama, Pak. Namanya juga musibah ya kita mana tahu,” balas Lily yang segera menyerahkan kunci mobil pada pria paruh baya tersebut. Farel yang tampak kelelahan karena satu harian bermain segera pamit undur diri menuju kamarnya. Meninggalkan sang mama dan papa yang masih berada di ambang pintu utama. “Bang!” panggil Lily saat suami dinginnya itu berjalan menuju anak tangga. Keenan pun menoleh tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Menunggu apa yang hendak diucapkan oleh wanita tersebut. “Apa ada yang mau masak untuk nanti malam.” “Terserah. Yang penting jangan terlalu banyak minyak dan santan.” “Kalau sup iga bagaimana?” tanya Lily menawarkan.
PRANG!! Keenan melemparkan piring makannya ke lantai. Sontak aksinya barusan membuat semua orang ketakutan.“Bang.” Lily hendak bertanya. Namun, dia kembali mengatupkan bibir ketika melihat sorot mata tajamnya suami. Sementara Farel sudah bangkit dari duduknya usai mendengar pecahan piring tersebut. Bocah itu segera memandang awas sang papa sambung yang kelihatan sangat menyeramkan.“Mbok Jum!! Kemari!!” pekik Keenan dengan suara tegasnya. Tak butuh waktu lama hingga kepala pelayan yang dielukan namanya tadi muncul di depan mata. “I-iya, Tuan.”Keenan meneguk habis sisa air minumnya lalu berujar dengan lantang, “Siapa yang menyiapkan makan malam ini??”“Aku, Bang. Aku yang masak sendiri,” ucap Lily cepat. “Kenapa?”“Mama,” rengek Farel yang sudah gemetaran. Anak usia empat tahunan itu memeluk pinggang mamanya. Suaranya bergetar hendak menangis.“Sayang, jangan takut ya.” Lily memberi kode pada Keenan agar menjaga sikapnya. Lantas segera menyuruh
“Mama? Kenapa berdiri di situ saja?” Suara barusan lekas membuat Lily terkesiap. Wanita lantas tersenyum. “Eummm … mama boleh masuk, Sayang?”Farel mengangguk cepat. “Boleh dong. Papa baru aja mau bacain buku cerita buat aku. Iya ‘kan, Pa?”Keenan bergumam pelan sembari membolak-balik kertas buku yang ada di tangannya. Sementara Lily sebisa mungkin menampakkan wajah cerianya.Satu hal yang membuat ia bertanya-tanya. Kenapa wajah ketakutan Farel yang dilihatnya tadi bisa berubah menjadi seperti ini?“Ma, sini dong!” rengek Farel yang sudah tampak siap dengan posisi tidurnya.“I-iya.” Lily menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat ke bagian samping kanan sang putra. Sementara Keenan berada di seberangnya. Hingga tak ada pembicaraan lagi ketika suaminya itu mulai membacakan buku cerita. Datar dan tidak berintonasi. Begitu yang Lily nilai dari cara Keenan bercerita. Namun, dia tak mendengar suara protes dari Farel. Bocah tersebut hanya tersenyum samb
Lily menggeleng pelan lalu lekas membuntuti Keenan yang berjalan di depannya. Tak ada yang berbicara hingga mobil yang dikemudikan oleh sang sopir sudah tiba di rumah.“Aku mau mengucapkan terimakasih karena Abang sudah ikut mengantar Farel.” Ucapan barusan hanya ditanggapi Keenan dengan anggukan kepala. Lily pun lekas pamit undur diri dari sisi suaminya. Dia menunggui mobil tersebut kembali ke luar pagar lalu setelahnya masuk ke rumah. Masih sama. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah tatapan tidak suka dari para pelayan yang ada di sana.“Aku tidak melakukan apapun. Jadi berhenti melihatku seperti ini,” kata Lily yang merasa tersinggung. Namun, mereka malah berbisik seolah tidak mempercayai kata-katanya. Tidak ada pilihan memang. Lily lantas segera menaiki anak tangga. Perasaannya semakin tak menentu sekarang. Tidak ada yang percaya padanya selain Mbok Jum. Wanita itu memilih berdiam diri di balkon sembari mena
Sorot mata tajam Keenan membuat Dimas mengangguk paham. Pria itu lantas kembali melanjutkan makannya tanpa berkata-kata lagi.“Makanan kamu enak. Makasih ya,” ucap Dimas yang sudah menerbitkan senyumnya. Lily hanya merespon perkataan barusan dengan anggukan kecil. Setelahnya dia pergi bersama dengan para pelayan ke dapur. Sekarang hanya tinggal Farel dan kedua pria dewasa tersebut yang ada di ruang makan.“Hai, Anak Ganteng! Tadi kita belum sempat berkenalan bukan?” Dimas lebih dulu membuka obrolan setelah ketiganya sepakat beranjak menuju ruang tengah.Farel mengangguk sambil tersenyum. “Namaku Farel, Om.”“Iya, Om tahu. Sudah sekolah?” tanya Dimas kemudian. Dan begitulah obrolan keduanya berlanjut. Dimas yang pandai menciptakan suasana membuat Farel terus menjawab pertanyaannya. Bahkan menyahut jika sesekali mendengar candaan dari tamu tersebut. Sementara Keenan hanya diam dan membiarkan tangannya digamit sang bocah. Hingga sep
“Kenapa? Kenapa berhenti?” tanya Lily dengan suara yang terdengar parau.Keenan mengembuskan napas kasar lalu mengepalkan tangan yang tadi sempat diayunkannya ke udara. Pria dingin itu mengutuki sikapnya barusan. Bisa-bisanya dia hendak memukul wajah sang istri. Suasana mendadak hening lantaran Lily yang bergegas pergi ke kamar mandi. Sementara Keenan terduduk di atas ranjang dengan kepala yang sudah menunduk. Entah mengapa dia tak suka bagaimana cara Dimas memandang Lily tadi. Hatinya kembali memanas mengingat dirinya yang sempat berkata bahwa pernikahan mereka hanya sebatas status saja. Tepat saat pintu kamar mandi terbuka, dia bisa melihat wajah sembab Lily. Mulutnya langsung berkata, “Aku tidak bermaksud begitu tadi. Maaf.” Tak ada respon dari wanita tersebut. Tentunya membuat Keenan berdecak kesal. “Aku tidak akan berbuat kasar kalau kau mendengarkan kata-kataku.”“Ucapan mana yang tidak aku patuhi, hemm?” sentak Lily akhirnya. “Katakan
Ucapan barusan membuat semua orang bertanya-tanya. Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Tak mau menjelaskan apa yang akan dilakukannya nanti.“Sayang, hari ini mama masuk pagi. Jadi tidak bisa mengantar kamu sampai ke depan,” ucap Lily pada buah hatinya. “Nanti nurut sama Nek Jum ya.”“Iya, Ma,” jawab Farel patuh. Sementara Keenan yang baru saja tiba di depan pintu utama mengernyit ketika melihatnya sudah rapi dengan pakaian kerja. Dia hendak bersuara, tetapi sebelum itu terlebih dahulu melirik ke arah Farel. “Papa berangkat ya. Kau masuklah duluan. Papa mau bicara dengan mamamu.”“Papa mau mengantar mama?” tanya Farel usai mengecup punggung tangan keduanya secara bergantian. Keenan hanya membalasnya dengan senyuman. Lantas memberi tatapan menuntut agar sang anak sambung segera pergi ke dalam rumah. Setelahnya dia menatap Lily dengan sinis.“Kenapa? Aku harus berangkat sekarang. Busnya akan lewat lima belas menit lagi.” Lily melirik sekila
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma