Mata Lenita berbinar senang, apakah pertanyaan Juna itu menyiratkan ketidaksukaan suaminya jika dia tampil seksi dan gaya meski tidak berbusana terbuka?“Iya, aku ingin pakai pakaian seperti ini. Kenapa?” tanya Lenita, bersiap mendengar Juna akan menyuruhnya mengganti baju atau semacam itu. Dia menantikan momen-momen Juna khawatir lelaki terpikat padanya.‘Ha! Ayo, larang aku! Suruh aku ganti baju!’ Lenita berseru girang di hatinya. Jangan cuma dia yang terus kelimpungan karena takut kehilangan Juna! Juna juga harus merasa demikian!“Oh, ya sudah. Terserah saja, sih! Aku hanya merasa aneh kalau karyawan kantor pakai baju seperti itu, terlihat kurang profesional.” Setelah mengatakan itu, Juna meraih jas dan tasnya, lalu keluar kamar karena dia sudah rapi.Lenita mematung di tempatnya. Kesal! Tentu saja dia kesal! Ternyata bukan karena takut Lenita ditatap lelaki lain dengan pandngan napsu, melainkan karena dianggap aneh serta tidak terlihat profesional!Dia mematut dirinya di depan kac
“Eh? Ada apa ini?” Wenti bingung ketika menaiki angkot untuk pulang usai berbelanja cukup banyak, ternyata mobil angkutan umum itu tidak ke arah yang semestinya. “Pak, kok arahnya ke sana? Bukannya harusnya angkot nomor ini belok ke kiri tadi, ya?”Wenti tak habis pikir karena sopir angkot justru berbelok ke kanan dan itu arah berbeda untuk pulang ke rumah Hartono.“Tenang saja, Nyonya, memang sudah seharusnya ke kanan, kok!” Sopir lalu terkekeh, demikian juga beberapa penumpang lelaki di sana.Melihat kejanggalan respon dari orang di dalam angkot, Wenti segera mengerti bahwa angkot ini sengaja menargetkan dia.Terlebih sopir memanggilnya nyonya, bukan ibu, menandakan mereka mengetahui kalau dia bukan orang sembarangan. Pantas saja mobil angkot ini lebih gelap kacanya dibandingkan angkot biasanya. Rupanya sudah dipersiapkan untuk dirinya.Wenti juga teringat si kernet angkot sempat menghampiri dia begitu dia keluar dari pasar dan langsung menawarkan angkot padanya dan malah membawakan
Shevia melihat sepertinya Juna mengabaikan istrinya saat ini. Lelaki itu bersikap seolah Lenita bukan istri melainkan karyawatinya saja. ‘Hebat! Dia benar-benar orang yang bisa bertindak profesional! Biarpun itu istrinya, tapi perlakuannya tidak jauh berbeda seperti kepada sekretarisnya. Orang begini memang pantas diajak kerja sama!’Juna bukannya tak tahu Shevia memandanginya sejak tadi. Bahkan ketika kini mereka berempat sudah berada di restoran, gadis cantik itu secara terang-terangan menatapnya disertai senyum menawan.Bukan, Juna bukan terpikat. Dia hanya mengakui kecantikan Shevia. ‘Apakah rata-rata perempuan di zaman ini memang cantik-cantik dan menarik, ya? Apalagi mereka lebih berani dan tidak malu-malu.’Sedangkan, semakin Shevia menatap Juna, dia merasa ada rasa menggelitik di hatinya. ‘Dia itu tampan, gagah, tegas, profesional. Ya ampun! Andai dia belum punya istri!’Ini berbeda dengan Lenita yang terus memasang wajah cemberut karena dia diharuskan duduk berdua saja dengan
“Masa percobaanku belum selesai! Aku masih punya waktu seminggu lagi, Juna!” Lenita sudah tidak menggubris tata krama bos dan bawahan lagi dan menjerit tak terima akan keputusan suaminya.“Belum satu minggu saja tingkahmu sudah seperti itu apalagi harus menunggu genap satu minggu, bisa kacau bisnisku!” Juna memutar matanya.“Tak mau!” Lenita bertahan. Dia belum menyelesaikan misinya, kenapa malah hendak dihentikan?“Terserah! Ini sudah menjadi keputusanku. Sana, pulanglah! Aku hendak menelepon klien.” Juna tak mau tahu, juga tak ingin dibantah. Daripada istrinya makin membuatnya kesal, lebih baik Lenita pulang dulu agar dia bisa menenangkan hatinya.“Siapa? Si jalang Shevia itu?” Sayang sekali, Lenita justru makin kasar dengan mengucapkan itu.Mata Juna mendadak saja menyala dan dia lekas hampiri Lenita sambil matanya berkobar akan ketidaksukaan, wajahnya seketika gahar memberikan dominasi penuh sehingga Lenita ciut.“Jangan seenaknya menyimpulkan sebutan pada seseorang kalau kau tak
Mata Juna berputar jengah, lagi-lagi mencetuskan mengenai perceraian, sungguh kekanakan, kalau ada masalah, solusi langsung ke cerai, bukannya mencari jalan keluar yang lebih menyenangkan.“Kamu pikir pernikahan itu hanya sebatas permainan atau apa, hm?” Juna masih menatap tajam istrinya, dia geram karena bisa-bisanya Lenita menuduh dia yang aneh-aneh.Bagaimana mungkin dia ingin membuat affair terlarang dengan Wenti yang berstatus ibu mertua? Dia belum segila itu. Dia belum sebobrok itu moralnya.‘Meski Wenti cantik, muda, dan molek, bukan berarti aku berminat ingin melakukan hal-hal intim tak senonoh dengannya! Dia itu ibu mertuaku, mau bagaimanapun juga! Lenita gila!’ rutuk Juna di hatinya.“Juna! Sakit! Ini sakit!” jerit Lenita sambil berjuang melepaskan kedua tangannya dari genggaman ketat suaminya.“Tidak akan aku lepaskan sebelum kamu minta maaf pada Mama Wen.” Juna bersikeras terus mengetatkan genggamannya di pergelangan tangan Lenita.“Ju—Juna, jangan begitu.” Wenti memegangi
Juna memiliki rencana sendiri. Dia bahkan ingin mempermainkan orang-orang itu.Sebagian dari pria di dalam sana adalah yang dia incar, sedangkan sisanya akan dia tindak karena melakukan judi ilegal, apalagi di kawasan pemukiman penduduk meski tergolong daerah pinggiran yang agak sepi, tetap saja sungguh meresahkan masyarakat.Pertama-tama ….Kraakk … krekk … taakk ….“Eh? Bunyi apa itu?” tanya salah seorang dari mereka sambil menghentikan tangannya yang masih memegang kartu sembari kepalanya mendongak ke atas. Sepertinya dia pemimpin kelompok judi dan pemilik rumah tersebut. Tubuhnya besar dengan perut buncit yang ditutup dengan kaos singlet putih lusuh dan sarung tua.“Memangnya apa yang kau dengar, kawan? Sudah, teruskan mainnya! Paling-paling itu kucing di atap!” Kawannya yang lain membanting kartu di tangannya dan terkekeh. “Ha ha! Lihat, aku dapat flush!”“Halah! Dapat flush saja bangga! Nih! Aku full house!” Kawannya yang lain tertawa keras sambil menguak kartu miliknya yang dit
“Ho ho ho ….” Juna mengganti suaranya dengan suara berat, serak, dan dalam agar mereka semakin gentar.Benar saja, mereka semua memang mulai gentar. Namun, pemilik rumah itu sepertinya lebih berani dari semua yang di sana. Dia membentak Juna, “Kau manusia! Ya, kan?”Juna tak mengira pemilik rumah langsung mengetahui bahwa dia memang bukan hantu apalagi setan. “Ha ha ha! Ya, aku memang manusia.”Sama sekali tidak ragu untuk mengakuinya. Usai mengatakan itu, Juna cukup melambaikan tangan dan pintu mendadak saja tertutup dengan bunyi berdebam cukup keras seperti dihempas angin kuat.“Ahhh!” Banyak yang kaget dan terlonjak di tempat gara-gara bantingan pintu ulah Juna tadi.Mereka yang tadinya mulai kembali mendapatkan keberanian karena ternyata Juna hanyalah manusia, apalagi setelah melihat jelas bahwa Juna memakai masker dan topi, kini mereka kembali ciut akibat keanehan pintu akibat kibasan tangan Juna.Ada yang mengucapkan doa dengan suara bergetar, sampai kepalanya ditepuk keras oleh
Polisi belum sempat bertanya ini dan itu pada Juna, tapi dia sudah lebih dulu melesat pergi dan menghilang tanpa bisa ditemukan mata.“Cepat sekali dia pergi!” Ketua tim polisi sampai terheran-heran. Lalu dia memandang bukti yang diserahkan Juna berupa kamera mini yang berisi rekaman perjudian di rumah tersebut.“Bawa mereka semua ke truk!” Ketua tim memberi perintah ke anak-anak buahnya.“Baik!” Lalu, para polisi segera menggiring semua orang di rumah itu menaiki truk yang sudah disediakan.Sementara itu, Juna sebenarnya masih dekat dari rumah tersebut, dan dia benar-benar pergi ketika melihat polisi menaikkan para pelaku perjudian. Dia sudah memiliki bukti tersendiri.‘Untung aku menyiapkan dua kamera mini. Hm, tidak kusangka di zaman ini ada benda praktis semacam ini.’ Juna sudah bersiap pergi dari sana, tapi sosok bergaun putih melayang di sebelahnya.“Bang, rumah yang tadi, boleh aku tempati?” tanya si sosok bergaun putih tanpa menggunakan bahasa roh.“Tempati saja! Ajak teman-te